Share

Trauma

Kepergian Athur meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak Yara. Kalimat sederhana yang disusun dengan begitu rapi sehingga meninggalkan jejak begitu dalam. Sejak saat itu pula Yara banyak berpikir hanya untuk memahami maksud terselubung.

Ketika makan malam bersama, Yara tak banyak berbicara. Tangannya sibuk memotong daging bakar dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. Suara sendok dan piring beradu mendominasi keheningan di ruangan itu.

"Semua barang untuk ospek besok sudah kamu siapkan?" Mama meraih segelas air putih, kemudian meneguknya.

"Sudah, Ma." Yara menghabiskan nasi yang tinggal sesuap. "Aku ke kamar duluan ya, Ma."

"Ya sudah, kamu istirahat saja sekalian siapin mental buat besok. Selamat malam, Nak."

"Malam, Ma."

Sekeras apapun Yara berpikir, Dia tidak akan menemukan jawaban yang pasti. Aku akan melindungimu kali ini, perkataan Athur tadi kembali terdengar dalam benaknya. Melindunginya dari apa? Tidak dapat dipastikan apakah Athur adalah sosok yang bisa melihat masa depan, seperti dirinya atau perkataan Athur semata-mata sengaja dibuat agar dirinya dipenuhi rasa kebingungan. Tak ada pilihan pasti selain bertanya langsung padanya, tetapi yang perlu dipastikan apakah Athur berpikir logis seperti Mamanya atau dia tidak mempercayai hal-hal tak masuk logika, seperti fantasi?

Kemampuan untuk melihat masa depan melalui mimpi adalah kemampuan yang awalnya Yara sendiri anggap tidak masuk akal. Pasalnya Dia sama sekali tidak menduga bahwa segala kejadian yang terjadi dimimpinya akan menjadi nyata, bisa dibilang sebagai pertanda.

Yara membuka pintu balkon, membiarkan semilir angin malam menyapa wajahnya. Balkon Yara lurus dengan balkon Athur karena semua bentuk bangunan rumah disini sama percis yang membedakan warna dinding dari setiap rumah.

Dibawah terangnya bulan, Athur ke luar rumah mengenakan pakaian rapi. Supir yang berdiri tegap di depan mobil melihat tuannya mendekat dengan sigap segera membuka pintu, mempersilahkan tuan mudanya masuk. Sebelum memasuki mobil, ia merasakan adanya tatapan dari atas mengarah padanya. Kepala Athur menengadah ke atas, mendapat Yara yang tengah melihatnya.

Athur melambaikan tangan, memperhatikan raut wajah Yara yang tengah kebingungan dari bawah bentuk wajahnya tampak kecil. Ia tersenyum kecil sebelum dirinya memasuki mobil. "Jalan, Pak."

"Baik, Tuan Muda!" Supir itu masuk ke dalam setelah mendengar perintah dari tuannya.

Mobil hitam berjalan ditengah terangnya langit dan menghilang dipersimpangan. Yara yang melihat kepergian Athur dari atas hanya menghela napas. Dilihat dari sifatnya sepertinya Athur adalah orang yang berpikir logis, meskipun begitu Dia akan tetap mencari tahu sendiri dan menemukan jawabannya tanpa Ia ketahui jawaban yang dicari ada dalam mimpinya.

Angin bertiup semakin kencang, rasanya setiap embusan menusuk tulang rusuk. Yara memutuskan untuk menutup pintu balkon dan menghempaskan dirinya dalam kasur empuknya. Dia meraih dan memeluk bantal, salah satu tangannya terangkat ke udara dengan mata yang menatap ke setiap sela jari.

"Semua ini membingungkan."

Perlahan mata Yara terlelap dan menghantarkan ke dalam mimpi. Satu hal yang tidak diketahuinya bahwa ini adalah permulaan dari setiap clue yang Athur berikan karena akan ada banyak pernyataan yang membuat Yara semakin bingung, sehingga tak ada pilihan lain selain bertanya langsung padanya tanpa memperdulikan dirinya dicap aneh, gila, dan sebutan lainnya.

Sementara dalam mobil, seorang lelaki sibuk mencari sebuah artiker tanpa menyadari tatapan sopir yang sesekali meliriknya.

"Sepertinya tuan muda mengenali gadis itu," kata sang sopir, Ali.

"Kalau dulu, sih, iya. Akrab malah, Pak. Tapi sekarang, aku ngerasa dia adalah dua orang yang beda," jawab Athur tanpa mengalihkan tatapan pada ponselnya sedikit pun. "Makanya itu, aku penasaran penyebab dia berubah."

Dulu? Ali mengernyitkan dahi. Mengingat tuan mudanya dulu sama sekali tak pernah bercerita tentang seorang gadis, bahkan ekspresinya pun selalu datar. Namun, ia tak berani bertanya lebih jauh. Sebab ada batasan tertentu yang tak boleh antara atasan dan bawahan.

***

Di pagi hari, Yara sudah bersiap hanya tinggal mengenakan alas kaki. Selama ospek murid baru hanya perkenankan memakai pakaian putih merah–pakaian semasa sekolah dasar tak lupa dengan name tag yang sudah diikat dengan tali rapia dikenakan didada.

Menuruni anak tangga, lantas menuju dapur.  Mama yang tengah menggoreng telur mata sapi setengah matang seketika menoleh saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Bibirnya tersenyum lebar melihat penampilan anaknya yang sudah rapih.

"Aku berangkat dulu, Ma," pamit Yara.

"Eh, gak mau sarapan dulu?" Mama mematikan kompor, "Mama sudah masak makanan kesukaanmu, lho."

Yara sedikit berpikir, sebelum memutuskan untuk memakannya. Dia merasa iba meninggalkan Mama yang sudah menyisihkan waktu untuk memasak makanan kesukaannya telur mata sapi setengah matang. Biasanya Mama tak sempat memasak untuk menyiapkan sarapan dipagi hari. Roti yang dipanggang diatas toaster dibalut dengan selai anggur selalu mama hidangkan dipagi hari, kecuali hari libur. Katanya, untuk menghemat waktu agar tidak telat berangkat ke kantor.

"Oh, ya Ma, aku berangkat sekolah sendiri saja, ya," kata Yara setelah makanan dimulutnya tertelan.

"Lho, kenapa, Nak?"

"Aku sudah besar, Ma. Lagipula sekolahku kan dekat, tinggal nyebrang jalan doang."

"Memangnya kamu sudah bisa nyebrang sendiri?"

"Bisa dong, Ma," kata Yara bohong, tak ingin membuat Mamanya khawatir.

Di depan jalan raya kebetulan ada tukang parkir sehingga dia bisa dengan mudahnya meminta tolong sambil mempelajari dan mengamati bagaimana cara menyebrang dengan aman. Dalam dirinya Dia ingin bisa melakukan semuanya tanpa pijakan atau bantuan dari Mamanya lagi. Sederhanyanya, Yara berpikir untuk tidak merepotkan Mama.

"Ya sudah kalau itu keinginan kamu. Pesan mama, hati-hati saat menyebrang."

"Siap, komandan!" Yara terkekeh, menyadari perkataannya tadi terdengar menggelikan. Dia memeluk Mama dengan erat, "aku berangkat dulu, Ma. Terima kasih untuk telur mata sapi setengah matangnya."

"Ya! Hati-hati di jalan."

Semakin seorang anak tumbuh besar dan berkembang mereka cenderung ingin melakukan segala hal seorang diri tanpa melibatkan orang tua. Ketika saat itu tiba orang tua mau tak mau membimbing dan tetap mengawasi anaknya dari jauh, walaupun hati kecil mereka tak tega melihat anaknya bersusah payah untuk terbang. Begitu sayapnya kuat dan mampu terbang tinggi, mereka akan meninggalkan sarang dan mencoba mengelilingi dunia, begitu menyadari kerasnya dunia mereka akan kembali ke dalam sarangnya. Kira-kira seperti itu fasenya.

Jalanan masih sepi, bahkan yang biasanya Ibu-ibu diam didepan pos ronda menunggu tukang sayur lewat pun tidak ada. Setiap rumah pintu mereka masih terkunci rapat. Semilir angin menggoyangkan pepohonan menjatuhkan daun-daun yang tampak mengering. Dari jarak yang semakin dekat dengan jalan raya, Yara melihat sosok tak asing yang sedang duduk di pinggir jalan. Namun, dia tidak mengindahkan kehadiran dan melewatinya tanpa permisi.

"Lama banget, sih. Aku tunggu dari tadi juga," cibir Athur sambil menghampiri Yara yang tengah menunggu tukang parkir datang.

"Kamu ... Menungguku? Buat apa?"

"Buat apalagi? Bantu kamu nyebrang lah, makanya aku tunggu disini."

"Huh, tapi aku gak minta dibantu sama kamu, tuh.""

Terus kamu mau nyebrang sendiri? Kamu kan ga bisa nyebrang."

"K-kata siapa? Aku bisa nyebrang sendiri tahu!" sergah Yara.

"Oh, ya?" Athur menyeringai, "kalau gitu lakukan. Aku mau melihatnya."

Kepala Yara menengok kanan-kiri dengan berani, memastikan kendaraan longgar dan adanya jarak untuk memudahkan dirinya menyebrang. Kebetulan ini masih pagi, sehingga tidak terlalu banyak kendaraan yang lewat. Namun, melihat kendaraan berlalu-lalang dihadapannya mengingatkan pada kecelakaan yang dialami Papa. Kakinya bergemetar, Yara menundukkan kepalanya dalam.

Rasa takutnya perlahan hilang ketika tangan hangat Athur menggenggamnya. "Maaf, mungkin kamu merasa gak nyaman dengan tindakanku, tapi ini harus kulakukan karena sebentar lagi ospek akan dimulai. Kalau kamu masih takut, tundukkan saja kepala dan percaya padaku."

Saat menyebrang perhatian Yara hanya tertuju pada punggung Athur. Entah kenapa dibalik punggung kecilnya Yara merasa bahwa sosok dihadapannya adalah sosok yang biasa menjadi tameng bagi orang disekitarnya.

Athur melepas genggamannya. "Sudah, aku duluan ke kelas."

"E-eh! Athur kamu tahu darimana aku ga bisa nyebrang?!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
yah kenapa ceritanya udah abiiiiis,penasaran sama lanjutannya (T-T ) kakak ada sosmed ga? aku pingin follow biar bisa keep up ama cerita2nya kak
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status