Share

Bunga Takdir
Bunga Takdir
Author: Ardaliewarts

Sosok dalam mimpi

Katanya, orang yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan adalah anugerah terindah yang tuhan berikan. Namun, bagi sebagian orang kekuatan itu adalah kutukan, sebab bisa membuat orang lain berpikir bahwa dirinya tidak waras.

Dulu, ketika usianya menginjak sepuluh tahun, dia bermimpi tentang hal yang sekali tidak diduga akan menjadi kenyataan. Mimpi yang merenggut nyawa sang papa. Awalnya, Dia mengira bahwa itu adalah bunga tidur, bahkan lokasi dan situasi saat mereka liburan sama persis dengan dimimpinya. Namun, Ia tidak menyadari.

Mereka bercanda, tertawa ria ditepi pantai tanpa mengetahui kejadian yang akan menimpa. Dalam hitungan menit, papa mengalami kecelakaan saat hendak membelikan makanan untuk anaknya. Suasana yang tadinya riang seketika berubah dipenuhi duka. Semua orang berlarian, mengelilingi tubuh pria yang terkapar dengan bersimbah darah disekitarnya.

Sang anak menangis, meraung-raung tepat dihadapan tubuh papahnya yang sudah memejamkan mata dengan senyum diwajah. Ditepuk-tepuk pipi papa dengan tangan mungilnya berharap papanya akan membuka mata kembali, lalu berkata, "tidak apa-apa, Nak." seperti biasa.

Namun, itu hanyalah harapan kosong yang tak pernah terkabul layaknya berharap pada angin. Ironis, tetapi terkadang ketidaktahuan membuat orang merasa biasa saja, tanpa harus waspada terhadap kondisi dan situasi apapun.

Selang beberapa minggu, Dia kembali bermimpi tentang teman dekatnya yang akan merenggang nyawa karena penyakit tertentu yang telat ditangani. Tak lama kemudian, berita duka kembali menghampirinya. Temannya meninggal dunia.

Sejak saat itu, Dia menyadari satu hal. Mimpinya bukan hanya bunga tidur biasa, tetapi sebuah pertanda yang akan terjadi pada orang terdekatnya.

Sejak itu pula, Ia mulai menjauh dari teman sekelasnya. Mengasingkan diri dan tidak menjadi pusat perhatian dengan menjawab pertanyaan soal dari guru. Ini adalah keputusannya.

Waktu berjalan begitu cepat, tak terasa sejak saat itu sudah satu tahun lamanya. Tahun lalu adalah tahun yang terburuk bagi seorang gadis yang tengah memerhatikan penampilannya melalui cermin.

Pintu tua berwarna cokelat berdecit pelan. Mama yang berniat membangunkan anak gadisnya pun hanya tersenyum kala melihat anaknya sudah berpenampilan rapi menggunakan kebaya berwarna biru langit.

"Sudah siap, Nak?" tanya mama.

"Sudah, Ma."

"Mau sarapan dulu atau langsung berangkat?"

Dia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh pagi. "Langsung berangkat saja, Ma. Takut telat."

Mama mengangguk. Sebenarnya acara perpisahan dimulai jam setengah delapan, tetapi melihat mama yang sudah berpakaian rapih. Selain itu jika diingat, Dia selalu berangkat ke kantor jam segini. Jabatannya bukanlah seorang CEO, Ia hanya menjabat sebagai karyawan biasa.

Setibanya di sekolah, para murid sudah ramai berdatangan. Wajahnya menatap lingkungan sekolah dengan datar, lantas pamit pada mama. Mereka mencari tempat duduk paling depan untuk menyaksikan penampilan salah satu boyband terkenal setelah mendengar bahwa sekolah mengundang Jay's Band.

Berbagai acara dibuat untuk meriahkan momen perpisahan kelas enam, dimulai dari pembukaan dari kepala sekolah dan wakil kepala sekolah, drama, penampilan Jay's Band, dan ditutup dengan sesi foto-foto.

"Ayok, semuanya kita foto perpisahan bareng!" seru salah satu siswi.

"Sekalian minta foto bareng juga sama anggota Jay's Band, gimana?" usul siswi dengan kebaya merah marun.

"Setuju!"

Mereka sibuk membujuk vokalis penyanyi Jay's Band untuk menyetujui foto bersama anggotanya, sedangkan Dia masih dalam posisi duduk—memerhatikan mereka, hingga akhirnya vokalis menyetujuinya.

"Yara, kemari! Memangnya kamu gak mau ikutan foto, huh?" teriak Tarya, salah satu teman dekat Yara.

Yara mengangguk dengan canggung, lantas bangun dari duduknya. Ia memilih berdiri dipojok kanan alih-alih rebutan dengan teman lainnya, pose dengan dua jari membentuk huruf v.

"Satu, dua, dan ..." Kilatan cahaya berwarna putih muncul begitu masuk dalam hitungan ketiga, kemudian fotografer meminta gaya bebas.

Dalam kasus berfoto, Yara tidak pandai berpose. Pose dengan jari membentuk huruf v selalu menjadi andalan ketika dihadapkan dengan sebuah kamera, bahkan sering kali menutup wajah dengan salah satu tangannya. Yara adalah orang yang anti dengan kamera.

"Hei! Kita kompakan saja, semuanya lihat ke vokalis—Kak Wira!" teriak Tarya, diangguki oleh semua murid. Bagus, setidaknya Yara yang kaku dihadapan kamera memiliki gaya lain.

Usai sesi berfoto, Yara langsung pergi meninggalkan mereka yang masih sibuk berfoto dengan teman terdekatnya. Dalam hati terkecilnya, Ia ingin ikut berfoto dengan mereka. Namun, keputusan untuk menjauhi mereka sudah bulat.

Begitu mendekati gerbang, Yara menatap satu persatu bangunan sekolah. Bagaimanapun sekolah ini adalah tempatnya menuntut ilmu selama enam tahun. Kenangan bersama mereka seiring berjalannya waktu berada di tempat ini.

"Ya, seenggaknya masih ada reuni." Yara melangkahkan kaki, meninggalkan sekolah tanpa kembali menengok kebelakang ataupun seseorang berteriak memanggil namanya.

***

Matahari berwarna jingga merona berada diperaduan. Burung-burung kecil berterbangan di atas pantai. Ombak-ombak kecil membawa hanyut apapun yang berada dalam jangkauannya serta merta menghancurkan istana pasir yang sudah susah payah dibuat.

Seorang gadis duduk ditepian, menatap matahari yang mulai tenggelam. Rasanya, baru kemarin dirinya berada disini. Mengingat kejadian lalu rasanya menyakitkan, tetapi dalam hati ada perasaan rindu yang teramat dalam. Namun, saat ini semuanya hampa.

Tanpa sadar, air matanya lolos. Ia menangis dengan tersedu-sedu saat memerhatikan seorang pria yang tengah menyemangati anaknya karena istana pasir yang dibuatnya hanyut dalam sekali terpaan ombak.

"Papa ... Yara kangen sama Papa."

Andai saat itu Dia menyadarinya dengan cepat, maka semua ini pasti tak'kan terjadi. Dan papanya masih berada disampingnya.

"Ini semua salah Yara, Pa. Salah Yara!"

Dalam hatinya terasa sesak seolah remuk secara perlahan menjadi kepingan yang tidak berarti. Kata penyesalan terucap berulang kali dibibirnya.

Suara langkah kaki mendekat. Yara yang tengah menangis sambil menundukkan kepalanya pun langsung menyeka air mata begitu melihat kaki seseorang berdiri dihadapannya.

Seseorang itu mengulurkan tangannya, dia berkata, "Bangun!"

Perasaan Yara campur aduk, antara bingung, heran, marah, dan sedih. Namun, Yara memilih diam. Ia berpikir, kalau tidak merespon orang dihadapannya akan pergi sesegera mungkin.

"Aku bilang, bangun!" Suaranya naik pitam.

Kaget karena tidak mengira sosok dihadapannya akan membentak, perlahan Yara menatap wajahnya. "S-siapa?"

Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena wajahnya berwarna hitam legam, kecuali anggota tubuhnya terlihat jelas. Namun, jika mendengar suaranya sosok dihadapan Dia adalah laki-laki.

Yara mengernyit bingung, dia kembali berkata, "kamu ... Siapa?"

"Tanganku pegal, nih! Kamu gak mau bangun?" tanyanya.

Alih-alih menjawab 'ya' atau 'tidak', Yara justru memerhatikan lengan dia. Tangan yang jika diperhatikan secara teliti terdapat luka.

"Jadi, gak mau bangun, nih? Kalau begitu, biarkan aku duduk disampingmu."

Tanpa permisi dia duduk disamping Yara, lalu memerhatikan wajahnya. "Aku gak tahu masalah apa yang kamu hadapi, tetapi ingat hal ini. Setiap manusia memiliki masalahnya sendiri, mungkin kamu iri terhadap mereka yang bisa tertawa bebas, tapi jangan melihat dari luarnya. Siapa yang tahu mereka tengah bertengkar. Namun, mereka tidak ingin larut dalam masalah yang tengah dihadapi."

Yara menengok, sementara sosok misterius disamping membuang muka. "sebenarnya kamu itu siapa?"

"Aku? Cepat atau lambat, kamu akan mengetahui siapa aku."

"Kenapa harus dirahasiakan, 'sih? Padahalkan hanya sebut nama, selesai."

"Ngomongnya sih gampang, tapi bagiku sulit untuk mengungkap siapa aku karena ...."

"Karena, apa?!" Yara mulai emosi.

"Karena ini rahasia." Dia tersenyum. Namun, dalam penglihatan Yara, Ia tidak bisa melihat apapun selain wajah hitam legamnya.

"Gak usah penasaran, karena cepat atau lambat aku akan segera menghampirimu. Bukan, akan kuusahakan secepatnya karena itu tunggulah aku."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status