Share

Kejanggalan Athur

Seiring waktu berjalan semakin cepat, hingga tak ada seorang pun menyadari, kecuali mereka yang gemar menyibukkan diri. Sementara orang yang memiliki hobi rebahan tak akan menyadari dan berpikir bahwa waktu hanya berputar ketika dirinya melihat jam.

Yara akui, itu benar karena tak terasa esok dirinya sudah memulai babak ospek. Padahal setelah pulang dari Kafe waktu itu, dirinya hanya menghabiskan sepanjang waktu dengan kasur seperti kungkang yang bermalas-malasan. Namun, itu berlaku ketika Mamanya sudah berangkat kerja.

Rumah Yara yang berada ditepi jalan sehingga cukup terganggu ketika berbagai kendaraan melewati rumahnya, meskipun biasanya hanya ada satu-dua kendaraan saja yang lewat. Yara menuruni tangga, menghampiri mama yang tengah duduk sambil menonton televisi. Tanpa permisi, Ia langsung duduk dan mengambil cemilan yang ada diatas meja.

"Ma, di depan ada apa, sih? Kok ramai," tanyanya.

"Kamu belum dengar beritanya?" Mama masih fokus menonton televisi.

"Ada berita apa, sih, Ma? Kok aku gak tahu."

Padahal yang selama ini ada di rumah hanyalah dirinya, tetapi dengan ajaibnya mama dapat mengetahui berita sedangkan Ia sibuk bekerja—berangkat pagi, pulang malam. Mama meraih ponsel yang terletak dekat dengan toples camilan, kemudian menunjukkan chat dari grup ibu-ibu kompleks.

"Ada tetangga baru yang pindahan, makanya ramai. Itu mungkin suara kendaraan tetangga lamanya yang ikut berpartisipasi," terang Mama. Yara hanya ber-oh ria sembari menganggukkan kepala.

Selang beberapa menit, ketika keduanya sedang terhanyut pada sinetron suara ketukan pintu membuat Mamanya mendesah kecewa. Bagaimanapun ketukan pintu merusak momen mengharukan ketika seorang pria yang sudah lama berpisah dengan kekasihnya, kembali bertemu dipadukan dengan latar yang romantis.

"Biar Yara saja yang buka, Ma." Yara bangun dari duduknya.

Saat pintu dibuka, wanita paruh baya dengan senyum lebar menyambutnya. Tak lupa ditangan kanannya membawa bingkisan. "Halo, kami tetangga baru. Aku pikir jika berkunjung ke sini bisa menjalin silaturahmi."

Kening Yara bergelombang saat mendengar kata 'kami', sementara hanya ada seorang wanita dihadapan dirinya. Secara refleks, Ia memiringkan kepala, "kami?"

"Iya, kami." Seorang lelaki sepantaran dirinya muncul dari belakang wanita paruh baya sesaat Yara merasa tertegun melihat penampilannya yang sedikit ... Namun, Yara tidak ambil pusing dan segera memanggil Mamanya.

"Selamat sore, Bu, kami tetangga baru sebelah rumah Ibu," katanya.

Mama tersenyum ramah, "halo, Bu. Semoga betah disini. Mari masuk dulu, gak enak dilihat tetangga."

Wanita itu terkekeh, lalu merangkul Athur memasuki rumah. Yara membiarkan mereka masuk terlebih dahulu karena dirinya harus menutup pintu. Dia menundukkan tubuhnya sedikit ketika melewati tamu. Sejak kecil, Yara diajarkan etika bahwa ketika melewati orang siapapun itu tundukkan badan sedikit. Jika, ada seorang tamu hendaklah menyediakan secangkir minuman, apapun itu. Dan masih banyak etika yang diterimanya ketika kecil.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika menyediakan minuman untuk tamu. Jika membuat teh, takaran untuk gula harus pas—tidak terlalu banyak ataupun sedikit, lalu untuk kopi hanya perlu menambahkan sedikit garam. Namun, berhubung di rumahnya tidak ada teh ataupun kopi, dirinya hanya menyiapkan air putih dengan tiga gelas.

"Ya ampun! Gak perlu repot-repot, Nak. Kami hanya berkunjung sebentar." Wanita itu merasa terkesiap saat memperhatikan sikap sempurna Yara saat menyajikan minuman tanpa sedikitpun melakukan kesalahan.

"Gak repot, kok, Bu. Saya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan." Yara tersenyum, lantas duduk disamping mama.

"Pindahan dari mana, Bu?" tanya Mama.

"Saya asal dari Bandung, Bu, tapi yang pindah kemari bukan saya." Wanita itu mengelus puncak rambut anak lelaki disebelahnya. "Cucu saya, Athur, yang ingin pindah kemari."

Begitu mendengar nama Athur, Yara yang tadinya tidak begitu pernasaran dengan percakapan mereka langsung menatap wajah lelaki yang duduk bersebrangan. Merasa sedang diperhatikan seseorang, Athur mematap balik dengan tatapan teduh miliknya, tetapi terasa menusuk.

"Athur disini tinggal dengan siapa, Bu?"

"Sendiri, orang tuanya sibuk." Wanita itu melirik Yara. "Saya harap kalian berdua berteman baik karena yang saya dengar di blok ini gak ada anak seumuran dengan cucu saya, kecuali anak ibu. Saya harap ini gak memberatkan Ibu."

Dengan kata kasar, wanita tersebut menitipkan Athur selama tinggal disini. Mama memahami dan tak merasa akan direpotkam karena baginya ini adalah kesempatan emas dimana Ia akan menganggap Athur sebagai anaknya.

"Tanpa meminta pun, saya akan melakukannya karena dulu saya sangat berharap bahwa anak pertama saya adalah laki-laki, tapi seperti yang Ibu lihat anak saya ternyata seorang gadis." Mama terkekeh, "meski begitu, saya sangat menyayanginya."

Melihat raut mama yang sedih, membuat wajita itu bertanya, "suami ibu dimana?"

Mama tersenyum pias. "Suami saya sudah meninggal satu tahun lalu, Bu."

"Duh, maafkan kelancangan saya karena sudah bertanya hal yang sensitif."

Percakapan mereka berlangsung lama, bahkan beberapa kali Yara menguap; merasa bosan karena tak melakukan kegiatan apapun, kecuali menyimak perbincangan antara wanita. Jenis kelaminnya memang perempuan, bahkan jika dirinya bergabung akan terasa sambung. Namun, perbedaan usia yang terlampau jauh membuat Yara memilih diam.

Selama satu jam penuh mereka hanya menghabiskan waktu dengan perbincangan. Tak ada yang spesial dalam percakapan mereka. Semuanya terasa membosankan bagi mereka berdua karena tak dapat melakukan hal lain, kecuali menyimak. Menyela perkataan mereka akan lebih terkesan tidak sopan, bagaimanapun mereka berdua lebih tua daripada Yara dan Athur.

"Eum ... Maaf, Tante. Jika, saya memotong pembicaraan Tante dan Oma, tapi saya ingin berbicara sebentar dengan anak Tante," usul Athur yang sedari tadi berpikir bagaimana caranya mengajak Yara untuk berbicara berdua.

Mama terkekeh. "Ya ampun! Tanpa kamu meminta pun, Tante akan mengizinkan dengan senang hati." Mama menyikut lengan Yara. "Lagipula Yara kelihatannya juga sedang bosan."

Tiba-tiba Yara merasa tangannya ditarik oleh seseorang. Dia yang sedari tadi melamun langsung menyadari, bahwa dirinya sudah berpindah ruangan dengan sosok lelaki yang tengah memunggunginya. Athur berjalan menjauh dan mendekati ayunan. Tanpa mengucap sepatah kata, dirinya langsung duduk diatas ayunan.

"Maaf karena t'lah menarik lenganmu tiba-tiba. Pasti gak nyaman, ya?" tanya Athur sambil menatap terangnya langit.

"M-maaf, karena aku ...." Athur langsung mengusap air matanya yang lolos tak bisa dibendungnya lagi. "Bukan, seharusnya kamu dulu gak membahayakan dirimu dengan menyelamatkanku."

Ditengah kebingungan yang mendalam, Yara memutuskan untuk duduk disebelah Athur, tanpa menjawabnya. Siapapun akan berada diposisi Yara begitu mendengar kalimat absurb dari orang yang pertama kali ditemui. Terlebih orang itu menyinggung masa lalu yang tak Yara pahami.

Menyelamatkannya untuk apa? Yara sendiri bahkan lebih menyayangi dirinya ketimbang harus menolong orang yang notabene-nya adalah orang asing.

"Aku gak mengerti maksudmu–umm, maaf namamu siapa?"

"Athur."

"Aku ga tahu masalah apa yang kamu hadapi, tapi kata papaku; masalalah apapun yang tengah kamu hadapi, hadapilah dengan berani dan selesaikan secepat mungkin dengan begitu ketika masalah lain datang kamu gak akan begitu larut dengan masalah lain yang belum diselesaikan," saran Yara.

Dinding kokoh yang sudah Yara bangun dengan susah payah agar dapat menjaga jarak dengan orang sekitar, secara perlahan runtuh begitu mendengar cerita orang asing lebih tepatnya Yara tak bisa mendiami seseorang yang butuh sarannya, meskipun Yara sudah menyadari sosok disampingnya adalah sosok yang kerap kali muncul dalam mimpinya. Secara tidak sadar, Yara ingin tahu lebih dalam alasan mengapa lelaki itu muncul sedangkan baru kali ini Ia bertemu dengannya secara langsung.

"Aku baru tahu, ternyata kamu banyak bicara, ya, Yara." Athur menengok ke samping, menatap Yara yang tengah menundukkan kepalanya. Ia tersenyum, "Seharusnya aku yang memberimu nasihat. Kalau gitu, sampai jumpa lagi."

Athur bangkit dari duduknya. Sebelum dirinya berlari ke Oma baru saja keluar dari rumah, berbalik dan berbisik, "aku akan melindungimu kali ini."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status