Share

Test

Tak terasa sebulan sejak ujian terakhir sudah berlalu, kini saatnya mempersiapkan diri menjelang test memasuki jenjang SMP yang akan dilaksanakan dalam waktu seminggu.

Nilai ujiannya bisa dikatakan standar karena bukan termasuk anak yang pandai, terlebih daya ingat yang minimalis menghambat Ia dalam proses pembelajaran.

Mendapat nilai standar bukan menjadi point utama di SMP yang diinginkan, tetapi mendapat nilai yang memuaskan dalam test-lah yang akan diterima itu pun dengan beberapa pertimbangan.

Apabila melebihi kuota yang tersedia, maka murid tidak diterima meski mendapat nilai dalam nominasi yang sudah diputuskan pihak sekolah. Di sini, semua murid berjuang keras untuk mendapat nilai terbaik dari yang terbaik agar dapat diterima.

Yara yang mendapat nilai standar pun tak berharap banyak agar bisa diterima, meski begitu Ia akan berusaha melakukan yang terbaik karena tak ingin membuat mama kecewa.

Mama yang selalu sibuk dengan pekerjaannya pun memutuskan untuk mengambil cuti. Menemani dan menunggu di depan gerbang sekolah ditengah-tengah rasa juang sang anak untuk mendapat nilai terbaik.

"Lakukan yang terbaik, mama yakin kamu bisa," kata mama, menyemangati.

Dia mengangguk pelan, lantas pamit memasuki ruangan setelah meminta doa agar dapat mengerjakan semua soal dengan mudah.

Kebetulan sekali ruangan yang ditempati saat ini tak ada satu pun orang dikenali. Bukan berarti benci, hanya saja merasa risih pada tatapan mereka yang seolah dirinya adalah santapan yang bisa mereka makan kapan saja.

Ada beberapa alasan mengapa Yara memilih sekolah ini. Pertama, dekat dengan rumah. Kedua, sekolah ini terkenal dengan kedisiplinannya. Ketiga, Dia tidak perlu repot menunggu kendaraan umum. Keempat, mama tidak perlu mengantar seperti berangkat ke sekolah dasar, dulu.

Beberapa orang mulai berbisik ketika mendapat soal yang sulit. Yara memiliki telinga yang sensitif apabila mendengar suara sekecil apapun seketika moodnya berubah dan kali ini suara bising merusak konsenterasinya dalam mengerjakan soal.

Yara menengok ke samping; kanan-kiri. Posisi duduknya berada dibelakang membuatnya dapat mengawasi mereka dengan mudah. Orang yang duduk didepannya melempar kertas jawaban pada teman disamping. Yara mencoba menghiraukan mereka dan kembali fokus dengan soal yang dihadapi. Di depan, panitia tampak tak peduli dengan apa yang terjadi.

"Diam!"

Teriakkan lantang membuat seluruh perhatian tertuju padanya; seorang lelaki yang duduk dipojok kanan depan menengok ke samping kiri, ditatapnya satu per satu murid dengan tajam. Dilihat dari ekspresinya pun sepertinya dia merasa terganggu, sementara orang yang ditatapnya, tampak tak peduli.

Lega rasanya ketika selesai mengerjakan semua soal tadi seolah beban yang selama ini ditanggung terlepas begitu saja. Padahal Yara sendiri yakin, anak-anak diusia sepertinya tak pernah tahu yang namanya beban. Kalaupun ada, hanya segelintir diantara mereka. Bisa dibilang, mereka tumbuh lebih dewasa daripada umurnya.

"Sudah selesai tesnya?"

"Sudah, Ma."

"Yara, bisa tunggu mama disini sebentar?"

"Mama mau kemana?"

Mama menunjuk seorang wanita paruh baya tampak sedang memperhatikannya, "ada yang mau mama bicarakan. Mama mau menghampirinya tadi, tapi takut nanti kamu kebingungan saat cari mama."

"Aku tidak keberatan, Ma."

"Ingat pesan mama, jangan kemana-mana. Mama hanya sebentar." Yara mengangguk agar mama tak perlu mencemaskan dirinya, lagi.

Mengingat mama dulu juga pernah sekolah disini, mungkin orang yang ingin mama temui adalah gurunya dan itu terlihat jelas dari seragam guru yang dikenakan oleh wanita yang ditunjuknya tadi.

Jika diperhatikan bangunan sekolah ini terlihat baru, sepertinya mereka baru selesai merenovasi, mengingat sebentar lagi tahun ajaran baru. Tak heran, sekolah dasarnya dulu pun begitu. Setiap tahun sekolah selalu dicap 'baru' ntah itu cat, fasilitas, atau lingkungan yang dipenuhi dengan tanaman dengan alibi menyambut murid-murid baru.

Perhatian Yara teralih pada sosok lelaki yang tengah duduk digerbang sekolah sembari memeluk tas, dia tampak memperhatikan jalan seolah menunggu seseorang. Dia adalah anak yang berteriak di dalam ruangan tadi.

Sedetik kemudian, mata mereka bertemu, walau kemungkinannya kecil karena banyak orang disekitarnya, tapi Dia yang memiliki penglihatan tajam tak pernah salah melihat. Buru-buru Ia mengalihkan pandangan pada mama yang masih mengobrol, bahkan mama sempat tertawa. Walau sesaat, Yara menyadari sesuatu; manik matanya memancarkan kesepian.

Ah, ngomong-ngomong sekolah ini ... Adalah tempat pertemuan mama dengan papa. Yara ingat betul mama bercerita tentang masa mudanya, terlebih mama berantusias ketika menceritakannya terlihat jelas dari ekspresi yang berubah-ubah setiap ada adegan yang berbeda.

"Ini anak saya, bu."

Yara menengok ke belakang begitu mendengar suara mama. Matanya tertuju pada wanita paruh baya yang sudah berdiri beberapa centi. Mama mengedipkan sebelah matanya, memberikan kode. Yara yang awalnya mengernyit bingung, segera memberi salam pada bu guru yang tidak diketahui namanya.

"Cantik anaknya, ya, sama seperti mamanya."

Mama tertawa pelan, "bu Wiwi bisa saja. Ya sudah, saya pamit undur diri, Bu. Mari."

"Ya, hati-hati di jalan."

***

Gambaran mimpi semalam kembali menghantui pikirannya. Pasalnya, Dia tak pernah bermimpi seperti ini. Terlebih lelaki yang berada dimimpi dapat dipastikan bahwa dirinya tak mengenali bahkan akrab pun tidak. Jelas, ini aneh sekali.

Yata tak ingin menceritakan mengenai mimpi pada mama, mengingat mama adalah wanita yang berpikir logis. Menceritakan hal berbau fantasi, atau hal diluar nalar pasti dikira berimajinasi. Ini sama seperti ketika dia memimpikan papa, sejak saat itu apapun yang dimimpikan, Yara sama sekali tak pernah menceritakannya.

"Yara, nilai tes-mu dan keputusan lulus-tidaknya sudah keluar diforum sekolah, lho. Kamu tidak ingin mengeceknya sendiri?"

"Nanti saja, Ma. Mama gak kerja?"

Sejujurnya Yara tak mau melihat saat mama masih berada disini. Takut mama kecewa saat melihat nilai dan keputusannya yang tidak sesuai dengan harapannya.

"Sebentar lagi mama berangkat. Oh, iya, Mama udah lihat nilaimu diforum, sangat memuaskan. Mama gak nyangka kamu mendapat peringkat enam dari lima ratus murid yang mengikuti tes."

Yara yang tengah menonton televisi pun terperanjat, mematap mamanya tidak percaya, "s-serius, Ma?"

Pasalnya Yara tidak menyangka bahwa dirinya akan mendapat peringkat enam dari total semua siswa. Dia hanya menargetkan bahwa dirinya akan memasuki peringkat terakhir dari kuota yang dibutuhkan.

"Serius, dong. Kalau kamu gak percaya, buka forumnya. Mama pamit kerja dulu, jangan lupa tutup dan kunci semua pintu."

"Ya, hati-hati dijalan, Ma."

Mama yang baru membuka pintu menahan sesaat, lantas menengok kebelakang. "Seharusnya mama yang bilang gitu. Kamu kan sendirian di rumah."

"Kalau gitu, mari kita jaga diri masing-masing!" seru Yara. Mama terkekeh, lalu menutup pintu.

Keadaan rumah begitu senyap, hanya terdengar dari acara televisi yang tengah ditonton. Suara dentingan jam memecah keheningan. Yara yang merasa bosan pun mematikan televisi dan beranjak ke kasur. Dia merasa tak perlu membuka forum, karena mama sudah memberitahukan secara langsung.

Dirinya mulai terlelap. Bunga tidur menghantarkannya kembali pada mimpi yang sama seperti kemarin. Berbeda dengan kemarin yang wajahnya samar, wajah sosok lelaki misterius kini tampak jelas terlihat. Yara yang menyadarinya pun segera membuka matanya secara paksa.

Napasnya berderu tidak beraturan, keringat memenuhi wajahnya. Dia mengusap wajahnya berulang kali, "I-ini ... Gak mungkin!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status