Bersebelahan dengan pintu yang pegangannya rusak itu, terdapat sebuah jendela besar. Dari sana orang dapat mengintip kegiatan yang ada di ruang tamu rumah itu. Tepat sebelum Richie mendorong pintu tersebut, matanya sempat menangkap gerakan mencurigakan dari pantulan kaca jendela.
Sedangkan Patty, dia tampak berjalan lambat sambil memeluk tubuhnya sendiri. Entah karena udara berangin yang bertambah dingin atau karena gadis itu mulai membayangkan hal yang aneh-aneh – tentang tiga orang yang terbunuh di dalam rumah.
Gadis itu menggosok-gosok kedua lengannya. “Richie, kita akan bermalam di sini?” tanya Patty. Matanya menjelajahi setiap jengkal teras rumah yang berantakan itu.
Richie tak bergeming. Telinganya fokus mendengarkan suara injakan dedaunan kering. Seseorang pasti bersembunyi tidak jauh dari posisi mereka dan dia harus segera membereskannya. Tetapi sebelumnya dia perlu terlebih dulu mengamankan Patty dari keributan yang mungkin akan terjadi lagi.
“Ha – hakim agung?” Emery berkata dengan suara lemah yang terbata.“Rasanya tak perlu aku mengulangnya, kan? Pakai otakmu untuk mengingatnya dan jangan mengkhianati kebaikan hatiku. Karena aku bisa saja membunuhmu saat ini juga.” Richie menekan moncong pistolnya ke dahi Emery dan mengangkat pria itu dengan satu tangannya.Emery berdiri gemetar. Kedua kakinya seakan terlalu lemas untuk melangkah. Richie mendorong kencang tubuh Emery hingga pria itu terhuyung dan kemudian berlari tunggang-langgang menjauh dari pekarangan rumah Richie.“Ingat! Sampaikan salamku kepada tuanmu!” seru Richie sebelum pria itu menghilang di antara pepohonan.Richie berbalik ke arah rumah masa kecilnya. Dia tidak langsung masuk ke dalam rumah untuk menemui Patty melainkan berjalan memutari rumah menuju ke bagian belakangnya. Richie berhenti di dekat jendela yang mengarah ke hutan.Di sanalah dirinya berdiri mengkeret dan gemetar. Ri
Pagi keesokan harinya.Richie selesai mandi, melilitkan handuk di pinggang dan memamerkan kesempurnaan tubuhnya yang atletis. Dia berjalan ke ruang duduk yang hanya ada sepasang kursi kayu dan meja kecil untuk menaruh cangkir teh. Entah kemana perginya sofa cantik milik ibunya dulu, apakah mungkin ada yang menjarahnya? Richie berdecak.Tercium wangi kopi dari arah dapur. Patty tampak mondar-mandir dengan hanya menggunakan bra dan celana jins pemberian Martin.“Kau tidak perlu repot-repot membuat kopi. Kita bisa membelinya di kedai,” ucap Richie sambil menerima mug yang diberikan Patty kepadanya.“Mana aku tahu kalau di sekitar sini ada kedai kopi atau semacamnya. Lagipula aku mendapatkan kopi-kopi kemasan ini dari Dokter Martin. Kenapa tiba-tiba aku jadi meerindukan dia yaa?”Sejenak terlintas dalam pikiran Richie untuk memberitahu Patty kalau Martin sudah meninggal, tapi dia mengurungkan niatnya. Bisa-bisa gadis itu syok da
“Ingat! Jangan banyak protes! Hari ini kau hanya boleh mengikuti ke mana pun aku pergi dan jangan coba-coba melepaskan diri dari genggaman tanganku.” Richie menatap Patty dengan tatapan serius.“Lalu, kalau aku suruh kau berbelanja, pilihlah hanya yang benar-benar kita butuhkan dan bayar dengan uang yang tadi aku berikan. Bisa dimengerti?”“Iya, tuan beruang!” Patty mengerucutkan bibirnya.Sejak dia selesai berganti pakaian, Richie tak berhenti mewanti-wanti dirinya hingga telinganya panas. Kalau Richie sedang dalam mode yang seperti itu, Patty jadi merasa seperti seorang anak kecil yang menyusahkan. Dia lalu menyelempangkan tasnya dan berjalan menuju pintu keluar dengan wajah kesal.Jarak dari rumah Richie menuju tengah kota cukuplah jauh. Mereka berkendara sekitar setengah jam sampai akhirnya berbelok di salah satu gang sempit dan memarkirkan mobilnya. Keluar dari dalam mobil, Patty dalam sekejap merasakan suasana yan
“Kenapa lama sekali?” Patty menerima uang kembalian dari kasir dengan wajah cemberut, sambil menolehkan kepalanya ke arah tangga. “Ohh … aku bertemu dengan sekumpulan pria di atas sana dan mereka manawari aku pekerjaan,” ucap Richie asal. Kasir mini market itu seorang wanita tua bertubuh gemuk. Dia tersenyum kala melihat Richie yang baru saja turun dari lantai atas. “Apa mereka menganggumu, tampan?” tanyanya ramah. “Tidak. Mereka baik. Tetapi sayangnya – aku belum menemukan di mana letak perkakas.” “Oohh … minggu lalu Jordan memindahkannya ke sudut kecil di sebelah sana. Aku terkadang tak bisa mengerti apa maunya. Sudah dua kali dia mengosongkan ruangan atas hanya untuk berkumpul-kumpul tidak jelas dengan teman-temannya.” Wanita itu menggelengkan kepalanya. Mendadak Richie teringat akan sesuatu yang tadi sempat membuatnya penasaran. “Nyonya, kalau boleh tahu, apa pekerjaan suami anda selama ini?” “Pria berjanggut itu bertahun-tahun lal
“Besok kau akan pergi lagi?” tanya Patty sebelum matanya terpejam malam itu. “Iya. Masih ada banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku harap televisi yang aku bawa kemarin bisa menghiburmu, manis.” Richie mencuil hidung Patty yang terbaring di sebelahnya. “Televisi itu masih hitam putih dan hanya menampilkan berita siaran stasiun lokal. Kau pasti membelinya dari toko loak? Kau pelit sekali, tuan beruang!” protes Patty. Bukannya pelit, tapi Richie sengaja melakukannya untuk membatasi informasi yang bisa Patty dapatkan melalui siaran televisi. “Aku seperti terpenjara dalam sangkar emas. Kau memenuhi segala kebutuhanku, tapi kau tidak membiarkanku melakukan apa yang aku suka.” Patty membalikkan badannya memunggungi Richie. Hingga detik ini, Richie selalu saja bingung bagaimana caranya membujuk seorang gadis yang tengah merajuk. Tetapi karena dia sudah semakin terbiasa dengan perilaku Patty, dia malah menjadi ingin membuat gadis itu jengkel dengan u
Patty menyesap kopi yang baru diseduhnya dan menghirup aromanya dalam-dalam. Aroma kopi yang seharusnya menenangkan, malah memberikan efek berlawanan saat kandungan kafein merambati nadinya. Adrenalinnya seketika terpacu untuk menjelajahi isi kamar lainnya.Kamar utama di rumah itu – kamar orang tua Richie.Patty menadaskan kopinya dan menaruh cangkir kosong di wastafel. Kamar orang tua Richie terletak paling depan, bersebelahan dengan ruang keluarga. Patty terlebih dulu mengintip ke luar rumah dari jendela di sisi dapur.Tidak ada tanda-tanda kedatangan Richie. Berarti situasi aman terkendali.Patty berjalan ke pintu dan mengerahkan lagi tenaganya, mendorong pintu ke dalam. Bau pengap menghantamnya. Dengan keras. Auranya jauh berbeda dengan sewaktu dia membuka kamar Margareth. Sembari menutup hidung dan mulutnya, Patty mendorong pintu itu lebih kuat.“Uugghh!! Tuan Allan … maafkan aku … aku hanya penasaran,” ucapnya
“Kenapa isi berita ini terus menyebut-nyebut tentang area pertambangan dan senjata api illegal?” Patty menggumamkan rasa penasarannya.Dia pun terus membongkar lembaran-lembaran koran tersebut. Mencari-cari benang merah antara koran, foto hitam putih dan kemungkinan adanya hubungan dengan keluarga Richie. Sebuah potongan dengan ukuran paling besar di antara yang lain menarik perhatian Patty.Diambilnya lembaran itu, lalu membacanya lambat-lambat perkalimat. Pada pertengahan isi berita yang tengah menjabarkan rincian kejahatan yang dilakukan oleh lima orang terdakwa, Patty dikejutkan dengan penyebutan nama yang yang begitu dia kenal.“Ba – Baron … hay – den?” ucap Patty terbata.Dia menatap nanar lembaran koran yang dipegangnya. Patty meneguk ludahnya. Otak Patty bergerak cepat, menyusun setiap informasi yang dia dapatkan. Hingga terkumpul sebuah kesimpulan yang menimbulkan rasa takut dan ngeri bersamaan.&
Richie berada di tengah-tengah barisan bersama para calon pekerja tambang yang tak hanya berasal dari Hazen Hills. Jordan – suami wanita pemilik mini market itu berada dalam barisan terdepan. Dia mengangkat dadanya tinggi. Seolah menjadi pekerja tambang merupakan prestasi bagi para pria di desa itu.Tidak sia-sia Richie melakukan pendekatan berhari-hari terhadap pria itu dan juga sobat-sobatnya. Akhirnya Richie mendapatkan kepercayaan dari Jordan untuk ikut ke dalam rombongan calon pekerja.“Selama ada aku juga bekerja di sana, kau tidak perlu takut! Kerja saja sebaik mungkin dan kalau ada yang mencoba mengusikmu, laporkan kepadaku. Maka akan aku buat dia cacat seumur hidup!” Jordan mewanti-wanti sebelum mereka sampai ke aula tertutup ini.Para pria tersebut pun berbaris rapi, mengisi formulir dan melakukan wawancara singkat, sebelum diperbolehkan untuk melintasi pintu menuju area pertambangan. Mereka juga wajib meninggalkan kartu identit