Alif, Sandi, dan Bagus kembali ke kamar. Sandi dan Bagus masih sesekali tertawa dengan kejadian yang mereka alami. Sementara Alif jadi bahan ledekan keduanya. Tanpa disadari ketiganya, dalam pertemuan yang masih sangat baru bagi orang yang sama sekali belum kenal, suasa di kamar B.10 menjadi hangat dengan tawa dan keakraban yang tercipta. Sosok Alif yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat, Sandi yang sedikit konyol, dan Bagus yang pendiam dan mampu mengimbangi, menjadikan ketiganya seperti saudara lama yang baru bertemu kembali.
Hari pertama mereka di acara diklat hanya sampai pukul 17:30WIB, setelah seremonial dan acara dibuka oleh ketua pelaksana kegiatan, semua peserta diberikan kesempatan untuk kembali ke kamar masing-masing dan istirahat.
Alif sempat bertemu dengan pak Fahri saat di aula utama. Namun, selama kegiatan diklat mereka terpisah dalam kelas yang berbeda. Ternyata kelas peserta di kelompokkan berdasarkan gedung. Gedung A untuk kelas A, Gedung B untuk kelas B, dan gedung C untuk kelas C.
“Paling nanti deh mas kalo pulang saya minta bareng lagi, biar ada temannya selama di KRL,” pinta pak Fahri.
“Rebes pak, semua bisa dibicarakan hehehe,” jawab Alif santai. Sandi dan Bagus menunggu Alif sekitar dua meter jaraknya di pintu keluar aula.
Selepas salat magrib Sandi mengajak Alif dan Bagus untuk keluar, mencari minimarket atau sejenisnya untuk membeli perlengkapan mandi serta beberapa perlengkapan lainnya yang mungkin dibutuhkan.
“Oia, Bang Sandi tadi ada info ada makan malam jam 19:30 WIB ya?” tanya Alif ke Sandi.
“Iya deh kayaknya, eh iya kan bang Bagus?” Sandi memastikan ke Bagus.
“Iya mas Alif benar itu, jadi gimana mau tetap keluar atau nunggu makan dulu?” Bagus menawarkan.
“Keluar ae dulu dah yuk, sekalian nyari angin, kali aja ada wangi parfum yang seger itu bro,” ledek Sandi.
“Halllllah mulain, okay ayok deh otw.”
Alif, Sandi, dan Bagus lalu keluar gedung untuk ke minimarket. Ternyata bukan hanya mereka yang berpikiran demikian, terlihat beberapa peserta dengan kelompok yang berbeda-beda juga nampak keluar gedung.
Sesampainya di gerbang, peserta yang akan keluar mengisi formulir izin terlebih dahulu. Identitas, jumlah orang, keperluan, keterangan waktu, dan nomor telepon harus diisi. Sandi yang inisiatif langsung menuju pos satpam untuk mengisi formulir mewakili Alif dan Bagus.
Saat di minimarket lagi-lagi pemandangan yang mereka dapati sama, minimarket dipadati oleh peserta diklat. Yang membuat peserta diklat mudah dikenali dari potongan rambutnya.
Alif membeli sikat dan pasta gigi, dua detergen cair ukuran besar, sikat, sabun cair, dan shampo. Sandi sudah mengantre dengan keranjang belanja yang terisi penuh perlengkapan mandi, air mineral, dan beberapa cemilan ringan sementara Bagus tak jauh berbeda dengan yang Alif beli.
Setelah belanja ketiganya kembali ke gedung pelatihan, sepanjang jalan pemandangan yang didapati malam itu adalah deretan laki-laki dengan cukuran rambut ala TNI berjalan berkelompok kecil dan beriringan. Tak jauh dengan peserta laki-laki, berbaur juga peserta perempuan yang belanja dari minimarket.
Rombongan peserta yang keluar untuk belaja di minimarket dan keperluan lainnya memasuki area gedung diklat berbarengan, peserta paling depan kemudian masuk ke gedung diklat dan menuju ruang makan, yang lainnya mengikuti.
Alif, Sandi, dan Bagus pun demikian, ketiganya memilih untuk langsung bergabung dengan peserta lain dan langsung makan.
Makanan peserta diklat dibuat prasmanan, jadi tinggal ambil piring dan mengambil nasi serta lauk sesuai selera. Alif mengantre di belakang Sandi, dalam hal makan Sandi memiliki tingkat inisiatif di atas rata-rata.
“Bang bentar bang, ini nggak bisa begini nih,” suara Alif memecah keasyikan sebelum makan.
“Kenapa mas?” tanya Bagus.
“Iye kenapa dah? Kaget gue,” timpal Sandi.
“Gue lupa ngambil kerupuk bang, bentar yak!” jawab Alif seenaknya dan berlalu.
“Ettt daaaahhh asyeeem bener gue kira apaan.” Sandi terlihat sewot namun langsung melanjutkan makan.
Malam itu ada beberapa peserta yang bergabung ke meja Alif, Sandi, dan Bagus. Mereka mulai saling memperkenalkan diri, ngobrol ngalor ngidul hingga satu per satu menyelesaikan makannya dan undur diri kembali ke kamar. Mereka bertigapun akhirnya kembali ke kamar.
“Akhirnya bisa juga ya ngelewatin hari ini,” celetuk Sandi saat di dalam lift.
“Lah kayak abis ujian aja bang.”
“Ya loe sih enak dapet gacoan baru, jadi seharian semangat ae,” ledek Sandi.
“Nih ya bang, biasanya kalau diomongin gini suka muncul tiba-tiba ntr gue lagi yang kena,” Alif membela diri.
Sandi dan Bagus tertawa bersamaan.
“Tapi loe nggak berharapa lift ini tiba-tiba berhenti kan di lantai 9 terus siapa itu namanya tadi? Dia masuk cuma mau balik ke bawah ngambil belanjaannya yang ketinggalan,? sambung Sandi terkekeh.
Lift berhenti dan pintunya terbuka, tepat di lantai 9. Aroma parfum dengan wangi yang segar kembali merangsek masuk.
“Bu, ayoooo temenin bentar ke bawah,” suara wanita yang familiar di telinga Sandi, Bagus dan tentu saja Alif.
“Iya ini ditemenin, kamu itu ada-ada aja masa belanjaan aja sampai ketinggalan,” jawab seorang ibu yang posturnya lebih tinggi dan berisi, keduanya masuk lift.
Alif, Sandi, dan Bagus hanya memberi isyarat anggukan dan senyum saat orang yang mereka bahas benar-benar masuk ke lift. Seperti pasar malam yang sudah tutup, sepi tidak ada satupun kata di dalam lift. Alif sesekali memperhatikan si gadis berwajah tirus dari pantulan interior lift namun tak sampai melihat wajahnya.
Lift sampai di lantai 10, setelah Sandi permisi ke si gadis berwajah tirus dan si ibu yang menemaninya, Alif dan Bagus hanya melempar senyum untuk menyetujuinya.
“Kok bisa gitu ya?” Bagus yang dari tadi diam akhirnya angkat bicara.
“Kan bang gue bilang apa, bang Sandi ini kalau lagi ceplas seplos suka kejadian.” Alif menimpali.
“Bro....bro.... apa ini yang namanya you know lah?” ledek Sandi sambil menepuk pundak Alif.
“You know lah kenyang banget ini efeknya naik ke mata,” jawab Alif.
“Halllaaah sa ae lu,” protes Sandi.
Ketiganya masuk kamar, Alif langsung ke kasurnya untuk bersandar, Bagus merapikan pakaiannya, dan Sandi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
“Mas Alif mau ke kamar mandi nggak?” tanya Bagus setelah Sandi selesai dari kamar mandi.
“Iya bang, mau bersih-bersih sekalian wudhu belum salat isya.”
“Ouh yaudah duluan kalau gitu!”
“Bang Bagus mau duluan nggak apa-apa, duluan aja,” Alif menawarkan.
“Mas Alif aja duluan, saya aga lama mau BAB nih.”
Setelah ketiganya bersih-bersih dan salat isya Sandi dan Alif langsung tidur, hanya Bagus yang masih terjaga menonton TV.
Azan subuh terdengar sayup-sayup dari masjid di kompleks diklat, Alif membangunkan Sandi dan Bagus. Ia langsung membesihkan diri lalu mengenakan baju koko dan sarung, Alif menunggu Sandi dan Bagus namun suara ikamah sudah selesai.
“Eh udah ikamah ya?” tanya Sandi.
“Iya bang barusan,” jawab Alif santai.
“Lah ketinggalan dong kita? Bro buruan bro,” ajak Sandi ke Bagus.
“Yang ketinggalan sih buat berjamaah di Masjidnya bang, kalau mau berjamaah subuh disini sih ya nggak ketinggalan,” jawab Alif.
“Oia, yudah disini aja yuk.”
Hari kedua setelah sarapan, peserta kembali diarahkan ke aula utama. Di aula utama panitia menjelaskan kembali pembagian kelas berdasarkan penamaan gedung sesuai abjad, mulai di hari kedua juga tiap peserta akan menjadi satu kelas dan mengikuti kegiatan serta pemberian materi diklat di masing-masing kelas.
Alif, Sandi, dan Bagus mulai mencari kelasnya. Saat mendapati kelasnya dan membuka pintu kelas sudah nampak beberapa peserta yang berada di dalam lebih dulu. Alif mulai melihat wajah orang-orang baru di kelasnya satu per satu, kecuali Sandi dan Bagus.
Degh, jantung Alif berhenti sejenak saat melihat seorang wanita yang beberapa kali mengomentarinya saat berada di lift. Mata mereka beradu pandang, Alif melempar arah pandangannya ke sosok lain.
Di sepanjang jalan Alif terus-terusan kepikiran, duduknya tak tenang, tangannya berkali-kali melihat gawai. Baru saja Alif merasakan indahnya kebersamaan yang sedang ia bangun dengan Fatimah, tanpa ada angin dan badai tiba-tiba Nurul malah kembali membuka komunikasi dengannya. Alif tentu tidak asing dengan profil WA yang tadi mengirim pesan kepadanya, itu jelas Nurul. Meskipun nomernya sudah ia hapus, tapi tetap mudah ia kenali.Alif tidak membalas pesan yang ia dapat, ia berusaha untuk tetap menjaga rumah tangganya dengan Fatimah. Setelah semua yang ia alami saat dahulu bersama Nurul, rasanya sudah cukup ia merasakan pahitnya dikhianati. Alif hanya bisa mendoakan agar Nurul selalu baik-baik saja, bukan semata karena ia ingin membalas sakit hati yang pernah ia alami, tetapi ia pun sadar jika menyimpan rasa kesal dan sesal yang berkepanjangan hanya akan menjadi penyakit di hatinya.****“Kamu mau kemana lagi?”“Kamu kenapa sih nanya terus? Udah kayak anak kecil aja.”“Eh, aku ini istr
Hari Alif kembali ke Sumur Pandeglang, atas masukan dan dukungan Fatimah, ia akhirnya tidak jadi resign dan masih bekerja seperti biasa. Untungnya Alif masih bisa berangkat bersama dengan Mustafa dan Zulham. Teman-temannya itu lewat Tol Serang-Panimbang, jadi Alif bisa menunggu mereka di pintu keluar tol, di Rangkasbitung. Tol Serang-Panimbang memang belum sepenuhnya selesai, jalan yang sudah selesai baru sampai Rangkasbitung.Alif mendapat kabar jika proyek yang dipegang oleh timnya sudah mendapat izin dari pemerintah setempat dan dinas pariwisata, sehingga objek wisata air Wahangan yang ditugaskan padanya bisa mulai dibuka untuk umum.“Kapan nih makan-makannya, Lif? Ucap Mustafa.“Lah, loe belum makan, Bang?”“Bukannya belum makaaaaan, panjul. Proyek loe kan lancar tuh.”“Hehehe, hayuk. Nyobain ikan nila di Bendungan Cikoncang gimana?”“Dimana tuh?”“Daerah munjul, nanti ambilnya dari arah pasar Panimbang belok kiri.”“Makin jauh dong kita.”“Yah, itu sih penawaran, Kalau mau ya hay
Namun, kali ini saat hal yang sama terjadi, ia hanya diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ada kegetiran dalam hatinya, kini ia tidak lagi merasakan manisnya kata-kata indah dan penuh harap dari suaminya.Udara di kamarnya tak kunjung sejuk, keberadaan AC 2pk ditambah kipas angin seakan percuma. Guratan kecewa nampak jelas di wajahnya, tapi tetap ia coba sembunyikan saat bertemu orang lain.Saat di awal pernikahan, betapa ia merasa diperlakukan bak seorang ratu. Ia yang merupakan anak bungsu dari keluarganya, memang sangat nyaman saat dihadirkan kasih sayang. Belakangan, ia jarang mendapatkannya.Di tengah kepenatan dari sikap suaminya dan untuk menghilangkan rasa suntuknya, ia sengaja membuka gawainya, dengan maksud pikirannya bisa teralihkan. Jemarinya digerakan naik turun, lalu berhenti di salah satu status media sosial seseorang yang ia kenal di instagram.Semula ia hanya melihat kata-kata yang tertera di bawah foto itu, akhirnya ia klik juga dan masuklah ke akun si pemilik fo
/Assalamualaikum, selamata ya Mas. Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Maaf baru ngucapin selamat, aku baru liat foto profil kamu, hehehe.Btw minat maaf lagi baru tiga bulan berselang ngucapinnya.----Manisnya masa-masa awal pernikahan Alif hanya berlangsung tiga bulan, sebelum pesan dari Nurul terdampar di WAnya. Semula, ia tidak menggubrisnya. Tapi, saat pesan yang sama ia dapatkan tiga kali dalam waktu satu hari. Dengan berat hati, Alif membalasnya.----//Walaikumsalam. Terima kasih, ya.----Alif telah sepakat dengan Fatimah, mereka memulai perjalanan keluarga kecilnya tetap tinggal di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, Fatimah memang sudah meminta izin kepada Alif untuk bisa tetap dekat dengan Abahnya, yang saat ini sendirian. Sementara Alif, ia sedang mencari cara untuk mutasi ke Lebak atau memutuskan untuk resign dari pegawai negeri.Alasannya untuk mutasi, jelas karena ingin dekat dengan Fatimah dan bisa meluangkan waktu dengannya. Sebagai keluarga yang baru seum
Proyek revitasilasi kawasan wisata yang beberapa bulan lalu disurvei oleh Alif, ternyata harus memenuhi dua dokumen lagi untuk bisa dibuka untuk masyarakat umum. Kawasan wisata yang ia tangani adalah wisata air yang memiliki potensi besar jika bisa dikelola dengan baik, yaitu berupa sungai yang di sisinya berdiri tebing tinggi mirip Grand Canyon. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah “wahangan”. Semula lokasi tersebut luput dari perhatian penduduk sekitar karena memang tempat-tempat sejenis wahangan dianggap sungai biasa yang airnya biasa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Namun, dengan ketelitian dari tim yang dibawahi oleh Alif, masyarakat sekitar akhirnya menemui titik temu untuk sepakat dikelola sebagai objek wisata agar bisa menggerakan roda ekonomi warga.Hanya tinggal menunggu dokumen yang kelengkapan ternyata bisa ditangani oleh rekan kerjanya, Akif memutuskan kembali ke indekost. Besok ada hal besar yang tengah menantinya.Alif menda
“Kenapa sih mas harus selalu menjadikan alasan segala hal di masa lalu kita untuk sulit melangkah ke depan? Memahami dan belajar ilmu agama itu memang penting, wajib malahan. Tapi kalau kita bukan orang yang diberi kesempatan untuk sama dengan orang-orang yang bisa belajar ilmu agama, kenapa nggak menjadi orang yang mencegah diri dari berbuat yang bisa membuat Allah murka.” Alif masih teringat kata-kata Fatimah saat ia berbincang dengannya beberapa hari yang lalu, saat itu Alif dengan sadar mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, ia mengutarakan hal seperti itu karena merasa perlu disampaikan kepada Fatimah, tetapi Fatimah malah memberikan jawaban yang menurut Alif begitu berimbang. Fatimah sepertinya memahami bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing, tanpa harus mengungkit masa lalu dan mencari-cari alasan mengapa seseorang tidak belajar ilmu agama dengan serius, ia lebih kepada memiliki pemikiran untuk me