BAB 5
STALKER
Seorang instruktur masuk dan memberikan arahan.
“Coba bapak/ibu perwakilan dari kelas ini ke ruang panitia di lantai 1 gedung A, silakan ambil seragam trainingnya setelah itu saya tunggu setengah jam dari sekarang di lapangan dan sudah mengganti pakaiannya dengan seragam training ya!” suara Instruktur menutup pengumuman.
“Ayok mas sama saya!” ucap seorang lelaki yang tingginya sama dengan Alif.
Alif menyetujui dan langsung keluar kelas. Alif mencari-cari ruang panitia di lantai 1, ia dengan teman barunya nampak ragu untuk masuk. Namun, ada seorang peserta diklat dari kelas lain yang bertemu di depan pintu masuk panitia, mereka sepakat untuk masuk bersama.
Di dalam ada dua karung besar yang berisi seragam training, panitia langsung meminta membawakan karung tersebut dan membagikannya ke peserta lain. Di lampirkannya daftar hadir peserta untuk diceklist bagi yang sudah menerima seragam training.
Alif menggotong karung berisi seragam training dengan teman barunya, selama di perjalanan menuju kelas ia baru mengetahui nama temannya, Ibnu Tamam. Ibnu sengaja mengajak Alif untuk keluar karena ia merasa suntuk dengan kebisingan suara di dalam kelas sesaat sebelum instruktur datang, peserta memang nampak sedang saling berkenalan satu sama lain. Terlebih saat itu Alif memang berada di dekat pintu.
Alif berada di sisi depan dan Ibnu di sisi satunya, saat sampai di pintu keluar pintu panitia, Alif menggunakan pundaknya untuk mendorong pintu dengan posisi membelakangi pintu, kedua tangannya sudah ia gunakan untuk memegang karung.
Terjadi benturan saat Alif membuka pintu menggunakan punggungnya, ia menabrak seseorang.
“Awww.... aduh, berantakan deh,” ucap seorang gadis dengan hijab sport hitam lengkap dengan topi hitamnya, ia membereskan kertas yang tercecer.
“Aduuh maaf, Mba bertopi, saya beneran nggak sengaja.” jawab Alif spontan, ia menurunkan karung seragam training dan langsung mengambil secarik kertas yang tercecer agak jauh.
“Lain kali hati-hati dong mas, sakit tahu.” gadis itu menerima kertas dari Alif sambil memegangi pundak kirinya.
“Iya mba sekali lagi maaf, beneran saya nggak sengaja. Nanti kalau mba kenapa-kenapa bisa cari saya ya, maaf saya mesti bagikan ini ke kelas.” Alif menunjuk karung seragam trainingnya.
Gadis dengan jilbab sport itu memaklumi, ia mengizinkan Alif melanjutkan ke kelas. Gadis itu masuk ke ruang panitia dan menyerahkan kerta daftar nama kelasnya yang sudah selesai menerima training.
Alif memberikan info ke teman-teman barunya, untuk pembagian training, nama-nama peserta akan dipanggil sesuai daftar hadir. Namun, baru setengah berjalan ada beberapa temannya yang mendapatkan kaos tidak sesuai ukuran badannya. Terjadilah tukar menukar ukuran kaos, seisi kelas menjadi ramai. Alif menyerahkan sisa nama-nama dan kaos training yang belum dibagikan ke seorang temannya.
Selesai pembagian training dan semua peserta telah memakainya, Alif dan teman-temannya menuju lapangan.
“Bro kunci kamar di loe kan?” Sandi menyusul langkah Alif.
“Iya bang, mau ke kamar?” tanya Alif.
“Nggak sekarang mah, tadinya mau ganti di kamar eh gue nyari-nyari loe nggak ada.”
“Iya sori bang, tadi gue langsung ke ruang panitia ngasih daftar nama pembagian kaos,” Alif memberikan penjelasan.
“Sip kalem bro, eh itu instrukturnya udah nunggu deh.” Sandi menunjuk ke lapangan.
Semua peserta dibariskan. Sang Instruktur lalu memberikan info bahwa kelas yang ada dihadapannya dinamai kelas B, Ia lalu membagi peserta dalam kelompok kecil. Ada 5 kelompok dan masing-masing berisi 8 orang.
Alif berbeda kelompok dengan Sandi dan Bagus. Namun, ia malah satu kelompok dengan si gadis berwajah tirus. Saat mengetahui satu kelompok, Alif mencoba sebiasa mungkin.
Instruktur membuat beberapa permainan untuk dimainkan dengan lima kelompok yang sudah terbentuk, mulai dari menebak ukuran sepatu dari angka terkecil ke angka terbesar, urutan angka kelahiran, hingga terakhir permainan kelompok, di tutup dengan memilih ketua kelas. Tujuan utama dari permainan kelompok tersebut yaitu untuk membangun keakraban dan bisa saling mengenal satu sama lain karena sudah dijadikan satu kelas.
Hari itu Alif nampak menikmati semua permainan kelompok yang diberikan oleh instruktur, bukan tanpa alasan, Alif dapat melihat dengan jelas dan dari dekat si gadis berwajah tirus meski ia berbeda kelompok. Saat itu Alif mencari-cari kesempatan memperhatikan tiap gerak si gadis berwajah tirus.
“Emang sampai gitu yak bro ngeliatinnya?” suara Sandi mengagetkan.
“Eh loe bang, et dah ini gara-gara loe,” bela Alif.
“Iye kalo nggak gitu loe nggak akan gini kan? Hehehehehe,” balas Sandi asal jawab, ia kembali ke kelompoknya.
Selanjutnya masing-masing kelompok memilih perwakilannya untuk dilakukan voting memilih ketua kelas, dari kelompok Alif justru ia yang dijadikan kandidat, ada lima perwakilan yang maju ke depan. Setelah voting dan musyawarah Alif dijadikan ketua kelas B, seorang kandidat lagi atas saran dari Instruktur diusulkan untuk menjadi “Pak Lurah” selama diklat berlangsung.
Selang beberapa menit instruktur dari dua kelas lainnya, kelas A dan C bergabung di lapangan yang semula hanya ada kelas B. Masing-masing instruktur berdiskusi, instruktur kelas A memberikan info akan ada pemilihan pak lurah. Pak Lurah ini yang nantinya sebagai koordinator utama penyambung info antara instruktur dan masing-masing ketua kelas. Di kelas Alif lalu maju pak Zulkifli yang sebelumnya sudah disepakati bersama di kelas B. Begiupun kelas A dan C, masing-masing perwakilannya lalu maju ke depan.
Tak perlu waktu lama, proses pemilihan lurah dilaksanakan dan benar saja saat perolehan suara pak Zulkifli mengungguli kandidat dari kelas A dan C.
Seusai kegiatan dan sebelum kembali ke kamar masing-masing, sore itu Alif diberikan presensi oleh panitia, ada tiga lembar presensi yang harus di isi. Alif lalu memberikan info ke teman-temannya untuk mengisi daftar presensi tanpa harus berbaris layaknya anak sekolah dasar, ia hanya berpesan jika sudah diisi semua, siapa pun yang terakhir bisa mengantarkan daftar hadir ke kamarnya.
Peserta bubar dan mulai melakukan berbagai aktivitas. Sebagian istirahat di lapangan dengan bersantai-santai, sebagaian ke ruang makan untuk minum, sebagian kembali ke kamar, ada juga yang keluar gedung untuk ke minimarket.
“Bang gue langsung ke kamar yak, nanti kalo bang Sandi nyariin atau bang Bagus mau ke kamar langsung aja,” ucap Alif kepada Bagus.
“Buru-buru banget mas, santai dulu disini!” jawab Bagus yang sedang ngobrol dengan kenalan barunya.
“Mau nyuci bang hehehe,” jawaba Alif sambil berlalu.
Sedari selesai kegiatan di lapangan, Alif memang belum melihat Sandi, jadi ia hanya menitip pesan ke Bagus yang kebetulan bertemu. Alif masuk ke kamar dan tidak menguncinya. Ia lalu mengumpulkan pakaian kotornya dan di rendam dengan deterjen cair selama beberapa menit.
“Bro titipan tuh, gue taro di meja,” ucap Sandi saat Alif keluar dari kamar mandi.
“Apaan bang?” tanya Alif, “Ouh daftar hadir.”
“Panjul dasar, dia yang nanya dia juga yang jawab,” protes Sandi.
Alif lalu memeriksa daftar hadir teman sekelasnya. Kolom nama, tanggal lahir, nomor telepon, dan tanda tangan sudah terisi semua. Ia berinisiatif menambahkan nomor telepon teman-temannya di kontak gawainya.
Malam itu hanya ada pembicaraan kecil diantara Alif, Sandi, dan Bagus sebelum tidur. Kegiatan hari hari kedua lumayan menguras energi. Sandi dan Bagus tertidur lebih dulu. Sementara Alif mengeluarkan speaker bluetooth mini dan menyambungkannya ke gawai, ia lalu iseng memfotonya dan dijadikan status W*.
/Beberapa hari ke depan nampaknya mesti pasang alarm disambung ke speaker gini, biar nggak kesiangan/.
Alif menarik selimutnya, suara notifikasi W* terdengar kencang, baru saja ia akan memejamkan mata ada W* yang masuk. Alif maraih gawainya dengan maksud mengaktifkan nada getar. Ia melihat pesan W* yang masuk.
-----
/Terniaaaaaat
-----
Suara degup jantung Alif lebih keras dari biasanya, kontak baru dengan nama Nurul Qolby Izzay yang ternyata mengomentari status W* nya. Ia si gadis berwajah tirus yang berhasil mengisi pikiran Alif dengan rasa penasaran yang begitu tinggi.
----
//Hehehehe biar nggak kesiangan
----
Matanya memang sudah sangat mengantuk tapi malam itu entah mengapa ia masih menatap layar gawainya, mengetikan lengkap nama yang baru ia kenal di berbagai jejaring media sosial. Alif mencari-cari info Nurul Qolby Izzay.
Di sepanjang jalan Alif terus-terusan kepikiran, duduknya tak tenang, tangannya berkali-kali melihat gawai. Baru saja Alif merasakan indahnya kebersamaan yang sedang ia bangun dengan Fatimah, tanpa ada angin dan badai tiba-tiba Nurul malah kembali membuka komunikasi dengannya. Alif tentu tidak asing dengan profil WA yang tadi mengirim pesan kepadanya, itu jelas Nurul. Meskipun nomernya sudah ia hapus, tapi tetap mudah ia kenali.Alif tidak membalas pesan yang ia dapat, ia berusaha untuk tetap menjaga rumah tangganya dengan Fatimah. Setelah semua yang ia alami saat dahulu bersama Nurul, rasanya sudah cukup ia merasakan pahitnya dikhianati. Alif hanya bisa mendoakan agar Nurul selalu baik-baik saja, bukan semata karena ia ingin membalas sakit hati yang pernah ia alami, tetapi ia pun sadar jika menyimpan rasa kesal dan sesal yang berkepanjangan hanya akan menjadi penyakit di hatinya.****“Kamu mau kemana lagi?”“Kamu kenapa sih nanya terus? Udah kayak anak kecil aja.”“Eh, aku ini istr
Hari Alif kembali ke Sumur Pandeglang, atas masukan dan dukungan Fatimah, ia akhirnya tidak jadi resign dan masih bekerja seperti biasa. Untungnya Alif masih bisa berangkat bersama dengan Mustafa dan Zulham. Teman-temannya itu lewat Tol Serang-Panimbang, jadi Alif bisa menunggu mereka di pintu keluar tol, di Rangkasbitung. Tol Serang-Panimbang memang belum sepenuhnya selesai, jalan yang sudah selesai baru sampai Rangkasbitung.Alif mendapat kabar jika proyek yang dipegang oleh timnya sudah mendapat izin dari pemerintah setempat dan dinas pariwisata, sehingga objek wisata air Wahangan yang ditugaskan padanya bisa mulai dibuka untuk umum.“Kapan nih makan-makannya, Lif? Ucap Mustafa.“Lah, loe belum makan, Bang?”“Bukannya belum makaaaaan, panjul. Proyek loe kan lancar tuh.”“Hehehe, hayuk. Nyobain ikan nila di Bendungan Cikoncang gimana?”“Dimana tuh?”“Daerah munjul, nanti ambilnya dari arah pasar Panimbang belok kiri.”“Makin jauh dong kita.”“Yah, itu sih penawaran, Kalau mau ya hay
Namun, kali ini saat hal yang sama terjadi, ia hanya diam seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Ada kegetiran dalam hatinya, kini ia tidak lagi merasakan manisnya kata-kata indah dan penuh harap dari suaminya.Udara di kamarnya tak kunjung sejuk, keberadaan AC 2pk ditambah kipas angin seakan percuma. Guratan kecewa nampak jelas di wajahnya, tapi tetap ia coba sembunyikan saat bertemu orang lain.Saat di awal pernikahan, betapa ia merasa diperlakukan bak seorang ratu. Ia yang merupakan anak bungsu dari keluarganya, memang sangat nyaman saat dihadirkan kasih sayang. Belakangan, ia jarang mendapatkannya.Di tengah kepenatan dari sikap suaminya dan untuk menghilangkan rasa suntuknya, ia sengaja membuka gawainya, dengan maksud pikirannya bisa teralihkan. Jemarinya digerakan naik turun, lalu berhenti di salah satu status media sosial seseorang yang ia kenal di instagram.Semula ia hanya melihat kata-kata yang tertera di bawah foto itu, akhirnya ia klik juga dan masuklah ke akun si pemilik fo
/Assalamualaikum, selamata ya Mas. Aku turut berbahagia atas pernikahanmu. Maaf baru ngucapin selamat, aku baru liat foto profil kamu, hehehe.Btw minat maaf lagi baru tiga bulan berselang ngucapinnya.----Manisnya masa-masa awal pernikahan Alif hanya berlangsung tiga bulan, sebelum pesan dari Nurul terdampar di WAnya. Semula, ia tidak menggubrisnya. Tapi, saat pesan yang sama ia dapatkan tiga kali dalam waktu satu hari. Dengan berat hati, Alif membalasnya.----//Walaikumsalam. Terima kasih, ya.----Alif telah sepakat dengan Fatimah, mereka memulai perjalanan keluarga kecilnya tetap tinggal di lingkungan pesantren. Bukan tanpa alasan, Fatimah memang sudah meminta izin kepada Alif untuk bisa tetap dekat dengan Abahnya, yang saat ini sendirian. Sementara Alif, ia sedang mencari cara untuk mutasi ke Lebak atau memutuskan untuk resign dari pegawai negeri.Alasannya untuk mutasi, jelas karena ingin dekat dengan Fatimah dan bisa meluangkan waktu dengannya. Sebagai keluarga yang baru seum
Proyek revitasilasi kawasan wisata yang beberapa bulan lalu disurvei oleh Alif, ternyata harus memenuhi dua dokumen lagi untuk bisa dibuka untuk masyarakat umum. Kawasan wisata yang ia tangani adalah wisata air yang memiliki potensi besar jika bisa dikelola dengan baik, yaitu berupa sungai yang di sisinya berdiri tebing tinggi mirip Grand Canyon. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah “wahangan”. Semula lokasi tersebut luput dari perhatian penduduk sekitar karena memang tempat-tempat sejenis wahangan dianggap sungai biasa yang airnya biasa dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari. Namun, dengan ketelitian dari tim yang dibawahi oleh Alif, masyarakat sekitar akhirnya menemui titik temu untuk sepakat dikelola sebagai objek wisata agar bisa menggerakan roda ekonomi warga.Hanya tinggal menunggu dokumen yang kelengkapan ternyata bisa ditangani oleh rekan kerjanya, Akif memutuskan kembali ke indekost. Besok ada hal besar yang tengah menantinya.Alif menda
“Kenapa sih mas harus selalu menjadikan alasan segala hal di masa lalu kita untuk sulit melangkah ke depan? Memahami dan belajar ilmu agama itu memang penting, wajib malahan. Tapi kalau kita bukan orang yang diberi kesempatan untuk sama dengan orang-orang yang bisa belajar ilmu agama, kenapa nggak menjadi orang yang mencegah diri dari berbuat yang bisa membuat Allah murka.” Alif masih teringat kata-kata Fatimah saat ia berbincang dengannya beberapa hari yang lalu, saat itu Alif dengan sadar mengakui bahwa ia bukanlah seseorang yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, ia mengutarakan hal seperti itu karena merasa perlu disampaikan kepada Fatimah, tetapi Fatimah malah memberikan jawaban yang menurut Alif begitu berimbang. Fatimah sepertinya memahami bahwa setiap manusia memiliki perannya masing-masing, tanpa harus mengungkit masa lalu dan mencari-cari alasan mengapa seseorang tidak belajar ilmu agama dengan serius, ia lebih kepada memiliki pemikiran untuk me