Alif terbangun saat mendengar suara percakapan di kamarnya, ia mendapati dua orang yang baru pertama ia lihat. Ia membetulkan posisi duduknya di atas tempat tidur, mencoba memfokuskan diri dari kantuk yang tersisa.
“Weeeh dia kebangun,” ucap seorang lelaki bertubuh berisi dan berkacamata.
“Ehh maaf nih kita berisik ya?” seorang lagi menimpali, lelaki kurus dengan stelan yang rapi.
“Eh nggak kok, ini tadi emang ketiduran aja, enak adem banget,” jawab Alif.
“Oia gue Sandi.” Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan ke Alif dan berkenalan.
“Alif, Alif Pramata.” Balas Alif santai.
“Saya Bagus bang, bang Alif udah lama datengnya?” giliran lelaki dengan perawakan kurus mengenalkan diri.
“Sekitar jam dua belas kurang kayaknya, lagi panas-panasnya tadi cuaca, makanya langsung rebahan deh hehehe,” jawab Alif.
“Iye bang panas beud, kaga nahan gue juga. Eh pembukaan jam berapa dah?”
Sandi mengenakan kaos oblong dan menghempaskan tubuhnya ke kasur di sisi Alif. Ia juga nampak lelah.
“Kayaknya setengah empat gitu deh bang, abis asar pokoknya,” jawab Bagus.
“Eh emang sekarang jam berapa bang Bagus?” Alif gantian bertanya.
“Emmm, jam dua kurang bang Alif, kenapa?” Bagus gantian yang menyandarkan tubuhnya di kasur untuk istirahat.
“Belum zuhur gue bang, berarti pulas banget gue tidur hahaha,” jawab Alif.
“Oalah, yaudah bang buru. Saya mau ikut rebahan juga deh selagi ada waktu.” Bagus memejamkan matanya.
Kamar yang ditempati oleh Alif, Sandi, dan Bagus cukup luas untuk 2 kasur utama dan 1 kasur tambahan yang lebih kecil. Satu kamar mandi, satu lemari besar dengan dua pintu, satu televisi LED, dan satu set meja kerja dengan cermin besar.
Sedari awal Alif menempatkan dirinya di kasur ekstra yang berukuran lebih kecil, setelah salat zuhur ia merapikan pakaiannya. Mengambil perlahan pakaiannya dari ransel yang ia bawa dan memindahkan ke lemari. Lemari dengan dua pintu yang ia buka rupanya sudah terisi pakaian Sandi dan Bagus, disisakan slot tengah untuknya. Sisi kanan lemari berisi tiga susun untuk pakaian lipat, sisi kiri untuk pakaian gantung.
Tepat pukul 15.00WIB Sandi terbangun, lalu ia membangunkan Bagus. Alif masih menonton TV.
“Bang bro udah mandi belum?” tanya Sandi ke Alif.
“Udah bang tadi jam dua sekalian mau salat zuhur.”
“Bang, gue mandi duluan yak,” pinta Sandi ke Bagus.
“Iya duluan aja bang, masih ngumpulin nyawa nih.”
Bagus bangkit dari kasurnya dan menuju lemari, ia menyiapkan perlengkapan mandi dan pakaian untuk acara pembukaan.
Sandi dan Bagus pun ternyata dalam satu acara yang sama yaitu diklat untuk pegawai baru pemerintah dan sebentar lagi mereka akan mengikuti serangkaian kegiatan pendidikan dan latihan tersebut.
“Bang Bagus dari mana bang?” tanya Alif, yang dari tadi memperhatikan Bagus mencari pakaian, pandangannya kembali ke TV.
“Saya dari Pandeglang bang, bang Alif dari mana?” Bagus giliran bertanya.
“Waaah sama dong, saya juga dari Pandeglang cuma agak ke ujung lagi.”
“Oalah kalau nggak ketemu disini mana tau ya kita sama-sama dari Pandeglang,” Bagus menimpali.
“Bang Alif berangkat jam berapa tadi?” Bagus bergabung menonton tv dengan membawa peralatan mandinya.
“Tadi sekitar jam 6-an pagi bang naik KRL.”
“Waah pagi banget, karena jauh juga ya jarakanya,” terka Bagus.
“Nggak sih bang, tadi berangkat dari rumah di Cikokol Kota Tangerang, cuma ada teman mau bareng jadi janjian KRL-an.” Alif menjelaskan.
“Oalah gitu, kirain langsung dari Pandeglang berangkatnya.”
Pintu kamar mandi terbuka, Sandi keluar dengan handuk di lehernya sambil mengeringkan rambutnya.
“Bang gantian nih!” suaranya memenuhi kamar.
“Mantap dah ah segeeeeeer,” celetuk Alif.
“Iye nih mantap beud dah ah, udah mah tadi siang di luar panas beud bang gerah, jadi nyes dah ah,” jawab Sandi.
“Emang nanti pembukaan seremonial gitu ya bang?”
“Kurang tau gue juga bro, biasanya sih gitu.”
Setelah azan asar mereka salat berjamaah, lalu merapikan diri masing-masing. Mereka menggunkan stelan yang sama, kemeja putih dan celana hitam, lengkap dengan dasi hitam juga.
“Ada yang bawa semir nggak?” tanya Sandi.
“Gue bawa ni bang, tapi yang roll gitu bukan pakai sikat,” jawab Alif.
“Boleh dong, lupa nyemir gue tadi.”
Terdengar suara panitia bahwa lima menit lagi pembukaan diklat akan dimulai di aula utama atau gedung D. Ketiganya keluar bersama, Sandi mengunci kamar dan menitipkannya ke Alif, mereka menuju lift dengan terburu-buru. Sandi menekan tombol lift, indikator lift menyala berpindah tanda ke arah atas. Setelah menuggu sekian menit, lift terbuka dan ketiganyanya masuk. Baru turun satu lantai, lift berhenti lumayan lama. Alif, Sandi, dan Bagus saling beradu pandang.
“Coba lagi bang, ditekan!” pinta Alif ke Sandi yang berada di depan deretan nomor lift.
“Udah bang, nih udah berkali-kali,” jawab Sandi.
Lift terbuka, harum parfum yang familiar di hidung Alif menyeruak masuk memenuhi lift, si empunya padahal belum melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.
“Kayaknya nggak boleh banget mas saya ikut liftnya,” suara yang Alif kenal terdengar.
Alif tertegun, gadis dengan kerudung hitam itu masuk.
“Iya mba emang gitu dia orangnya, tadi udah saya bilang sabar ae mungkin ada orang yang mau masuk eh dia bilang, gas aja udah mau telat, gitu mba,” Sandri nyerocos. Bagus menyembunyikan tawanya, menyisakan simpul senyum.
Alif berdiri di tengah, Sandi di kanan Alif dan Bagus di kiri Alif, gadis berwajah tirus itu berdiri aga depan beberapa cm dari Alif. Wajah Alif bak udang rebus, memerah.
“Ouh jadi mau balas dendam mas, kalo tadi siang belum selesai mending kita selesaikan aja sekarang mas!”
“Ya ampun brooo, loe nggak boleh gitu. Udah mba nanti saya nasehatin. Kebetulan satu kamar sama saya. Udah mba kalem ae mba, selooow,” jawab Sandi tanpa diminta.
Lift terbuka, gadis berwajah tirus itu keluar duluan. Sandi dan Bagus melepas tawanya, mereka berdua keluar lift hanya untuk menumpahkan tawanya.
“Bhahahaha nggak kuat gue bro,” seloroh Sandi, guyonan Sandi membuat Alif tak berkutik selama di lift.
“Hahahaha kacau loe bang Sandi, nggak tega liat Alif kikuk gitu,” tambah Bagus.
“Ah pada tega loe bang, kan gue dikiranya nggak asyik nanti,” jawab Alif sejadinya.
“Jiaaahhh bro belum juga dimulai ni acara udah ada yang pake perasaan aja nih.” Ledek Sandi, ia merangkul pundak Alif.
“Bhahaha bukan gitu konsepnya bang, itu orang tadi emang udah ketemu, di lift juga. Gue mau masuk eh dikira dia jadi penyebab liftnya lama karena gue baru masuk. Persis dia tadi posisinya.” Alif menjelaskan.
“Ouh bisa sama gitu ya skenarionya,” Bagus menimpali.
“Tau dah ah, yudah yuk udah mepet nih waktunya.” Alif menutup pembicaraan.
Ketiganya menuju aula utama, nampak beberapa orang dengan stelan yang sama dengan mereka berlari kecil, ada lagi yang berjalan cepat memasuki gedung D.
Saat Alif, Sandi, dan Bagus masuk aula sudah dipadati orang. Mereka juga mengenakan stelan yang sama, serba putih hitam. Peserta sudah menempati kursi yang disediakan panitia. Kursi dibagi menjadi tiga kelompok besar. Bagian kanan sudah terisi penuh, bagian tengah menyisakan satu baris kosong di belakang dan bagian paling kiri sebaris dengan posisi berdiri Alif yang baru masuk, menyisakan kursi kosong di barisan belakang.
“Nih kosong nih yang paling belakang, rejeki banget, disitu yuk!” Ajak Sandi.
Ketiganya menempati kursi di barisan belakang yang kosong, ada enam kurusi satu barisnya.
Panitia nampak memberikan beberapa arahan, menginfokan sesaat lagi acara pembukaan diklat akan dimulai.
“Baik bapak/ibu peserta diklat, sekali lagi kami minta kerjasamanya untuk terlebih dahulu mengisi kursi barisan depan yang masih kosong. Coba itu yang baru datang, tiga orang yang paling belakang untuk pindah ke depan”, suara MC mengundang ratusan pasang mata untuk melihat Alif, Sandi, dan Bagus.
“Wahhh kacau loe bang, kacau sarannya,” celetuk Alif.
Ketiganya bangkit dari kursi, Bagus kembali menahan tawa. Sandi hanya senyum-senyum saja. Sandi berjalan paling depan, Alif mengikuti di belakang dan terakhir Bagus.
“Udah mah tadi gue jadi bahan lawakan di lift, nah sekarang gara-gara loe ni bang bukannya santai di belakang malah jadi paling depan,” Komentar Alif dengan suara kecil.
Dua baris sebelum Alif duduk, ia kembali mencium parfum yang sama wanginya seperti di lift dari sebelah kanan. Setelah duduk, Alif memastikan sumbernya, ia sedikit menoleh ke kanan, si gadis berwajah tirus sedang asyik mengobrol dengan teman di samping kirinya. Ia pun menyadari saat Alif melihat ke arahnya.
Alif kembali duduk ke arah depan, ia mencoba duduk setenang mungkin. Ia tak memberitahukan keberadaan gadis yang ia temui bertiga di lift ke Sandi dan Bagus. Sandi di samping kiri nampak menangkap gerak-gerik Alif.
“Iye bang kalem, gue juga tau kok dia ada di deket sini,” tiba-tiba suara Sandi mengagetkannya.
“Asli kacau loe bang,” jawab Alif dengan santai. Ketiganya kembali menahan tawa.
Alif, Sandi, dan Bagus kembali ke kamar. Sandi dan Bagus masih sesekali tertawa dengan kejadian yang mereka alami. Sementara Alif jadi bahan ledekan keduanya. Tanpa disadari ketiganya, dalam pertemuan yang masih sangat baru bagi orang yang sama sekali belum kenal, suasa di kamar B.10 menjadi hangat dengan tawa dan keakraban yang tercipta. Sosok Alif yang mampu menyesuaikan diri dengan cepat, Sandi yang sedikit konyol, dan Bagus yang pendiam dan mampu mengimbangi, menjadikan ketiganya seperti saudara lama yang baru bertemu kembali.Hari pertama mereka di acara diklat hanya sampai pukul 17:30WIB, setelah seremonial dan acara dibuka oleh ketua pelaksana kegiatan, semua peserta diberikan kesempatan untuk kembali ke kamar masing-masing dan istirahat.Alif sempat bertemu dengan pak Fahri saat di aula utama. Namun, selama kegiatan diklat mereka terpisah dalam kelas yang berbeda. Ternyata kelas peserta di kelompokkan berdasarkan gedung. Gedung A untuk kelas A, Gedung B u
BAB 5STALKERSeorang instruktur masuk dan memberikan arahan.“Coba bapak/ibu perwakilan dari kelas ini ke ruang panitia di lantai 1 gedung A, silakan ambil seragam trainingnya setelah itu saya tunggu setengah jam dari sekarang di lapangan dan sudah mengganti pakaiannya dengan seragam training ya!” suara Instruktur menutup pengumuman.“Ayok mas sama saya!” ucap seorang lelaki yang tingginya sama dengan Alif.Alif menyetujui dan langsung keluar kelas. Alif mencari-cari ruang panitia di lantai 1, ia dengan teman barunya nampak ragu untuk masuk. Namun, ada seorang peserta diklat dari kelas lain yang bertemu di depan pintu masuk panitia, mereka sepakat untuk masuk bersama.Di dalam ada dua karung besar yang berisi seragam training, panitia langsung meminta membawakan karung tersebut dan membagikannya ke peserta lain. Di lampirkannya daftar hadir peserta untuk diceklist bagi yang sud
Alif nampak fokus memperhatikan pemateri, namun ia tidak bisa membohongi saat perlahan kantuk menyerangnya, kelopak matanya seperti digelayuti anak timbangan lima gram. Ia menggeser posisi duduknya sedikit ke belakangan agar tidak langsung terlihat pemateri. Bang Sandi yang duduk di samping kirinya menyadari kantuk yang dirasakan Alif, ia memberinya permen. Alif menerimanya, saat suara pemateri sedang meninggi menjelaskan materi, Alif langsung membuka kemasan permennya.Saat menjelang sesi materi pagi selesai, terdengar pengumuman dari speaker di kelas. Panitia menginfokan ada dokter yang akan standby selama jam istirahat siang, peserta yang merasa atau sedang sakit bisa melakukan pemeriksaan.Siang itu Alif membawa daftar hadir kelas ke musala, ia mengirimkan pesan ke grup WA kelas yang baru saja ia buat.-----Kelas B NewsTeman-teman yang mau isi presensi ibadah bisa langsung ke musala ya, presensi saya taro di meja pin
Perhatian Alif seketika tertuju ke pak Firdaus, hatinya tidak tenang.“Eh apa ya pak? Saya belum tahu nih,” jawab Alif sedikit kaget.“Tadi siang kan ada dokter yang disediakan panitia, teman kita Riana check up dan ternyata dia harus istirahat seharian. Makanya dia nggak ikut materi siang ini,” pak Firdus menjelaskan.“Masyaallah, terus gimana pak kondisi terbarunya?” Alif kembali bertanya.“Saya juga dapat infonya dari bu Faidah, panitia yang tadi ngasih info melalui siaran itu. Ternyata teman kita memang kondisinya lagi kurang sehat, mengenai penyakitnya saya juga kurang tahu, tapi memang sepertinya parah dan kalau sampai nanti malam tidak ada perubahan harus dibawa ke rumah sakit mas,” sambung pak Firdaus.“Astagfirullah, ternyata sampai seperti itu, pak maaf nanti saya minta tolong temani ya untuk liat kondisi Riana setelah jam materi selesai!” pinta Alif ke pak Firdaus.
Upacara pagi akan dimulai, hal yang menjadi rutinitas sebelum memulai kegiatan, beberapa peserta masih berlarian untuk masuk dalam barisan. Alif memberikan aba-aba untuk balik kanan, lalu memberikan waktu untuk teman-temannya merapikan seragam sebelum upacara dimulai.Saat barisan sudah rapi, seorang panitia maju ke depan barisan dan mengambil mikrofon. Raut wajahnya nampak tidak bersahabat, bu Nida tampak kesal.“Bapak/ibu sebelum upacara dimulai, yang merasa tidak salat subuh berjamaah di masjid silakan memisahkan diri dan baris di depan. Saya heran dengan bapak/ibu, sudah berhari-hari disini tapi untuk salat saja masih belum tertib, saya cek banyak presensi yang kosong,” suaranya memasuki barisan peserta upacara.Suasana seketika hening, sangat sepi. Ada beberapa peserta yang saling lempar pertanyaan dan saling berpandangan.“Bang loe mau maju nggak?” Sandi yang berada dibarisan depan bertanya kepada Alif.“In
BAB IX Dua hari berlalu sejak diklat berakhir, ada perasaan tak biasa yang dirasakan Alif. Sesekali ia memang membuka percakapan dengan Nurul di pesan W*, namun tetap saja ada perasaan aneh yang mendera. Minggu jam sepuluh pagi, Alif menanyakan kesibukan Nurul, ia hanya hangout dengan teman-temannya. ---- /Aku kesitu boleh? ---- Jemari Alif dengan cepat telah mengirim W*. ---- //Ya kesini aja kalau kamu mau ---- /Sharelock dong Jika kesurupan tapi Alif masih sempat-sempatnya membaca doa saat berangkat, jika konyol tapi Alif dengan mantap memacu sepeda motornya melintasi Jalan Daan Mogot ke arah Serang. Siang itu tanpa ba bi bu Alif mengikuti titik map yang dikirimkan Nurul. Dari arah Jalan Daan Mogot Alif ke ara
BAB 10 VIDEO CALL PERTAMA “Boleh aku ngasih tahu kamu sesuatu?” suara Nurul sedikit berat. “Silakan.” “Aku seneng dengernya, seneng banget. Tapi, aku juga harus jujur sama kamu, aku nggak mau ada yang ditutupi. Aku pernah dekat sama seseorang,” Nurul berhenti, untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. “Nggak apa-apa, lanjutin aja!” pinta Alif. “Iya, aku pernah dekat sama seseorang. Tapi, dia nggak ada kejelasan makanya aku nggak lanjut sama dia. Intinya, siapa pun yang pertama kali datang dan minta restu orang tuaku, aku pilih orang tersebut.” Suasana kembali sepi. Bukan tanpa alasan, Alif mencoba memahami situasi dan menunggu beberapa waktu untuk bicara. Alif tidak menyangka akan secepat ini langkah ke arah “serius” dihadapkan kepadanya. Sebenarnya cepat atau lambat baginya bukan masalah, namun ia perlu menyesuaikan beberapa rencana hidupnya yang sudah ia buat menjadi sejalan dengan urus
BAB 11PERJALANANBeberapa nelayan baru pulang mencari ikan, menambatkan perahunya di tepian. Beberapa lainnya sedang sibuk memasukan ikan teri putih ke wadah besar yang berisi air mendidih, untuk selanjutnya diletakan ke tempat penjemuran. Keramaian sudah nampak di Pasar Sumur Pandeglang, pagi itu Alif menggilas aspal dengan ban motornya, dari simpang tiga Sumur Alif menuju arah Tanjung Lesung. Wangi pagi bercampur wangi air laut menenami perjalanan Alif. Trek yang di lalui Alif memang sebagian besar jalan lurus, ia melewati jembatan pelangi hingga pantai Bugle dengan kecepatan 70km/jam.Belum banyak aktivitas kendaraan di jalur Sumur menuju Tanjung Lesung, hanya ada satu Damri yang memang memiliki trek Sumur-Serang di depan Alif, mudah baginya untuk mendahului Damri yang memiliki jadwal keberangkatan pukul 06:00WIB tersebut.Memasuki Cikujang ada tanjakan yang lumayan tiggi saat melewati Batu Hideung. Selebihnya trek ke