Share

BAB 3 GARA-GARA LIFT

Alif terbangun saat mendengar suara percakapan di kamarnya, ia mendapati dua orang yang baru pertama ia lihat. Ia membetulkan posisi duduknya di atas tempat tidur, mencoba memfokuskan diri dari kantuk yang tersisa.

“Weeeh dia kebangun,” ucap seorang lelaki bertubuh berisi dan berkacamata.

“Ehh maaf nih kita berisik ya?” seorang lagi menimpali, lelaki kurus dengan stelan yang rapi.

“Eh nggak kok, ini tadi emang ketiduran aja, enak adem banget,” jawab Alif.

“Oia gue Sandi.”  Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan ke Alif dan berkenalan.

“Alif, Alif Pramata.” Balas Alif santai.

“Saya Bagus bang, bang Alif udah lama datengnya?” giliran lelaki dengan perawakan kurus mengenalkan diri.

“Sekitar jam dua belas kurang kayaknya, lagi panas-panasnya tadi cuaca, makanya langsung rebahan deh hehehe,” jawab Alif.

“Iye bang panas beud, kaga nahan gue juga. Eh pembukaan jam berapa dah?”

Sandi mengenakan kaos oblong dan menghempaskan tubuhnya ke kasur di sisi  Alif. Ia juga nampak lelah.

“Kayaknya setengah empat gitu deh bang, abis asar pokoknya,” jawab Bagus.

“Eh emang sekarang jam berapa bang Bagus?” Alif gantian bertanya.

“Emmm, jam dua kurang bang Alif, kenapa?” Bagus gantian yang menyandarkan tubuhnya di kasur untuk istirahat.

“Belum zuhur gue bang, berarti pulas banget gue tidur hahaha,” jawab Alif.

“Oalah, yaudah bang buru. Saya mau ikut rebahan juga deh selagi ada waktu.” Bagus memejamkan matanya.

Kamar yang ditempati oleh Alif, Sandi, dan Bagus cukup luas untuk 2 kasur utama dan 1 kasur tambahan yang lebih kecil. Satu kamar mandi, satu lemari besar dengan dua pintu, satu televisi LED, dan satu set meja kerja dengan cermin besar.

Sedari awal Alif menempatkan dirinya di kasur ekstra yang berukuran lebih kecil, setelah salat zuhur ia merapikan pakaiannya. Mengambil perlahan pakaiannya dari ransel yang ia bawa dan memindahkan ke lemari. Lemari dengan dua pintu yang  ia buka rupanya sudah terisi pakaian Sandi dan Bagus, disisakan slot tengah untuknya. Sisi kanan lemari berisi tiga susun untuk pakaian lipat, sisi kiri untuk pakaian gantung.

Tepat pukul 15.00WIB Sandi terbangun, lalu ia membangunkan Bagus. Alif masih menonton TV.

“Bang bro udah mandi belum?” tanya Sandi ke Alif.

“Udah bang tadi jam dua sekalian mau salat zuhur.”

“Bang, gue mandi duluan yak,” pinta Sandi ke Bagus.

“Iya duluan aja bang, masih ngumpulin nyawa nih.”

Bagus bangkit dari kasurnya dan menuju lemari, ia menyiapkan perlengkapan mandi dan pakaian untuk acara pembukaan.

Sandi dan Bagus pun ternyata dalam satu acara yang sama yaitu diklat untuk pegawai baru pemerintah dan sebentar lagi mereka akan mengikuti serangkaian kegiatan pendidikan dan latihan tersebut.

“Bang Bagus dari mana bang?” tanya Alif, yang dari tadi memperhatikan Bagus mencari pakaian, pandangannya kembali ke TV.

“Saya dari Pandeglang bang, bang Alif dari mana?” Bagus giliran bertanya.

“Waaah sama dong, saya juga dari Pandeglang cuma agak ke ujung lagi.”

“Oalah kalau nggak ketemu disini mana tau ya kita sama-sama dari Pandeglang,” Bagus menimpali.

“Bang Alif berangkat jam berapa tadi?” Bagus bergabung menonton tv dengan membawa peralatan mandinya.

“Tadi sekitar jam 6-an pagi bang naik KRL.”

“Waah pagi banget, karena jauh juga ya jarakanya,” terka Bagus.

“Nggak sih bang, tadi berangkat dari rumah di Cikokol Kota Tangerang, cuma ada teman mau bareng jadi janjian KRL-an.” Alif menjelaskan.

“Oalah gitu, kirain langsung dari Pandeglang berangkatnya.”

Pintu kamar mandi terbuka, Sandi keluar dengan handuk di lehernya sambil mengeringkan rambutnya.

“Bang gantian nih!” suaranya memenuhi kamar.

“Mantap dah ah segeeeeeer,” celetuk Alif.

“Iye nih mantap beud dah ah, udah mah tadi siang di luar panas beud bang gerah, jadi nyes dah ah,” jawab Sandi.

“Emang nanti pembukaan seremonial gitu ya bang?”

“Kurang tau gue juga bro, biasanya sih gitu.”

Setelah azan asar mereka salat berjamaah, lalu merapikan diri masing-masing. Mereka menggunkan stelan yang sama, kemeja putih dan celana hitam, lengkap dengan dasi hitam juga.

“Ada yang bawa semir nggak?” tanya Sandi.

“Gue bawa ni bang, tapi yang roll gitu bukan pakai sikat,” jawab Alif.

“Boleh dong, lupa nyemir gue tadi.”

Terdengar suara panitia bahwa lima menit lagi pembukaan diklat akan dimulai di aula utama atau gedung D. Ketiganya keluar bersama, Sandi mengunci kamar dan menitipkannya ke Alif, mereka menuju lift dengan terburu-buru. Sandi menekan tombol lift, indikator lift menyala berpindah tanda ke arah atas. Setelah menuggu sekian menit, lift terbuka dan ketiganyanya masuk. Baru turun satu lantai, lift berhenti lumayan lama. Alif, Sandi, dan Bagus saling beradu pandang.

“Coba lagi bang, ditekan!” pinta Alif ke Sandi yang berada di depan deretan nomor lift.

“Udah bang, nih udah berkali-kali,” jawab Sandi.

Lift terbuka, harum parfum yang familiar di hidung Alif menyeruak masuk memenuhi lift, si empunya padahal belum melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.

“Kayaknya nggak boleh banget mas saya ikut liftnya,” suara yang Alif kenal terdengar.

Alif tertegun, gadis dengan kerudung hitam itu masuk.

“Iya mba emang gitu dia orangnya, tadi udah saya bilang sabar ae mungkin ada orang yang mau masuk eh dia bilang, gas aja udah mau telat, gitu mba,” Sandri nyerocos. Bagus menyembunyikan tawanya, menyisakan simpul senyum.

Alif berdiri di tengah, Sandi di kanan Alif dan Bagus di kiri Alif, gadis berwajah tirus itu berdiri aga depan beberapa cm dari Alif. Wajah Alif bak udang rebus, memerah.

“Ouh jadi mau balas dendam mas, kalo tadi siang belum selesai mending kita selesaikan aja sekarang mas!”

“Ya ampun brooo, loe nggak boleh gitu. Udah mba nanti saya nasehatin. Kebetulan satu kamar sama saya. Udah mba kalem ae mba, selooow,” jawab Sandi tanpa diminta.

Lift terbuka, gadis berwajah tirus itu keluar duluan. Sandi dan Bagus melepas tawanya, mereka berdua keluar lift hanya untuk menumpahkan tawanya.

“Bhahahaha nggak kuat gue bro,” seloroh Sandi, guyonan Sandi membuat Alif tak berkutik selama di lift.

“Hahahaha kacau loe bang Sandi, nggak tega liat Alif kikuk gitu,” tambah Bagus.

“Ah pada tega loe bang, kan gue dikiranya nggak asyik nanti,” jawab Alif sejadinya.

“Jiaaahhh bro belum juga dimulai ni acara udah ada yang pake perasaan aja nih.” Ledek Sandi, ia merangkul pundak Alif.

“Bhahaha bukan gitu konsepnya bang, itu orang tadi emang udah ketemu, di lift juga. Gue mau masuk eh dikira dia jadi penyebab liftnya lama karena gue baru masuk. Persis dia tadi posisinya.” Alif menjelaskan.

“Ouh bisa sama gitu ya skenarionya,” Bagus menimpali.

“Tau dah ah, yudah yuk udah mepet nih waktunya.” Alif menutup pembicaraan.

Ketiganya menuju aula utama, nampak beberapa orang dengan stelan yang sama dengan mereka berlari kecil, ada lagi yang berjalan cepat memasuki gedung D.

Saat Alif, Sandi, dan Bagus masuk aula sudah dipadati orang. Mereka juga mengenakan stelan yang sama, serba putih hitam. Peserta sudah menempati kursi yang disediakan panitia. Kursi dibagi menjadi tiga kelompok besar. Bagian kanan sudah terisi penuh, bagian tengah menyisakan satu baris kosong di belakang dan bagian paling kiri sebaris dengan posisi berdiri Alif yang baru masuk, menyisakan kursi kosong di barisan belakang.

“Nih kosong nih yang paling belakang, rejeki banget, disitu yuk!” Ajak Sandi.

Ketiganya menempati kursi di barisan belakang yang kosong, ada enam kurusi satu barisnya.

Panitia nampak memberikan beberapa arahan, menginfokan sesaat lagi acara pembukaan diklat akan dimulai.

“Baik bapak/ibu peserta diklat, sekali lagi kami minta kerjasamanya untuk terlebih dahulu mengisi kursi barisan depan yang masih kosong. Coba itu yang baru datang, tiga orang yang paling belakang untuk pindah ke depan”, suara MC mengundang ratusan pasang mata untuk melihat Alif, Sandi, dan Bagus.

“Wahhh kacau loe bang, kacau sarannya,” celetuk Alif.

Ketiganya bangkit dari kursi, Bagus kembali menahan tawa.  Sandi hanya senyum-senyum saja. Sandi berjalan paling depan, Alif mengikuti di belakang dan terakhir Bagus.

“Udah mah tadi gue jadi bahan lawakan di lift, nah sekarang gara-gara loe ni bang bukannya santai di belakang malah jadi paling depan,” Komentar Alif dengan suara kecil.

Dua baris sebelum Alif duduk, ia kembali mencium parfum yang sama wanginya seperti di lift dari sebelah kanan. Setelah duduk, Alif memastikan sumbernya, ia sedikit menoleh ke kanan, si gadis berwajah tirus sedang asyik mengobrol dengan teman di samping kirinya.  Ia pun menyadari saat Alif melihat ke arahnya.

Alif kembali duduk ke arah depan, ia mencoba duduk setenang mungkin. Ia tak memberitahukan keberadaan gadis yang ia temui bertiga di lift ke Sandi dan Bagus. Sandi di samping kiri nampak menangkap gerak-gerik Alif.

“Iye bang kalem, gue juga tau kok dia ada di deket sini,” tiba-tiba suara Sandi mengagetkannya.

“Asli kacau loe bang,” jawab Alif dengan santai. Ketiganya kembali menahan tawa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status