Perhatian Alif seketika tertuju ke pak Firdaus, hatinya tidak tenang.
“Eh apa ya pak? Saya belum tahu nih,” jawab Alif sedikit kaget.
“Tadi siang kan ada dokter yang disediakan panitia, teman kita Riana check up dan ternyata dia harus istirahat seharian. Makanya dia nggak ikut materi siang ini,” pak Firdus menjelaskan.
“Masyaallah, terus gimana pak kondisi terbarunya?” Alif kembali bertanya.
“Saya juga dapat infonya dari bu Faidah, panitia yang tadi ngasih info melalui siaran itu. Ternyata teman kita memang kondisinya lagi kurang sehat, mengenai penyakitnya saya juga kurang tahu, tapi memang sepertinya parah dan kalau sampai nanti malam tidak ada perubahan harus dibawa ke rumah sakit mas,” sambung pak Firdaus.
“Astagfirullah, ternyata sampai seperti itu, pak maaf nanti saya minta tolong temani ya untuk liat kondisi Riana setelah jam materi selesai!” pinta Alif ke pak Firdaus.
“Ok mas tenang nanti saya temani, tapi info ini untuk sementara jangan disebarluaskan dulu ya, kita sambil tunggu info terbaru dari bu Faidah,” pak Firdaus menutup pembicaraan.
Raut wajah Alif sedikit berubah, Nurul membaca situasinya. Namun, ia tak sampai menanyakan ke Alif. Kelas dilanjutkan dengan presentasi dari kelompok lain.
Selesai salat Isya Alif langsung mencari pak Firdaus, ia tergesa-gesa.
“Mau mane loe bro buru-buru gitu?” tanya Sandi.
“Iya bang mau liat kondisi Riana nih, infonya dari tadi siang sakit,” jawab Alif.
“Oalah pantes tadi dicari-cari pak Firdaus mas,” Bagus menimpali.
“Bang Bagus liat dimana?”
“Di lantai 9 mas, coba deh cek!”
Alif langsung menuju ke lantai 9. Kamar Riana berada di pojok lantai 9, di depan pintu sudah ada pak Firdaus, pak Zulkifli, dan pak Fahmi.
“Maaf pak saya baru selesai salat Isya, gimana kondisi terbarunya?” Alif membuka pertanyaan.
“Ini panitia yang udah rawat Riana dari siang menyarankan untuk dirawat di rumah sakit mas,” jawab pak Firdaus.
“Iya mas, tadi saya sudah koordinasi dengan pak Ade wali kelas kita untuk pinjam mobilnya,” pak Zulkifli menambahkan.
“Lantas rencananya siapa aja yang akan berangkat pak?” tanya Alif.
“Mas Alif, pak Firdaus, dan pak Fahmi ya yang berangkat. Saya standby disini untuk mengondisikan yang disini,” saran pak Zulkifli.
“Tapi sepertinya kita butuh perempuan untuk nemenin Riana,” saran pak Fahmi.
Saran dari pak Fahmi disepakati, pak Firdaus lalu menanyakan persiapan keberangkatan perawatan Riana malam itu, di dalam kamar, ada Laras teman sekamar Riana yang sudah merapikan pakaiannya, ternyata ada Nurul juga di dalam membantu Laras.
“Pak, Ini kalau-kalau Riana dirawat sampai besok baju gantinya sudah saya siapakan di tas ya, ada dompetnya juga khawatir butuh identitasnya.” Laras menyerahkan tas berisi pakaian Riana ke pak Firdaus.
“Loh, Laras juga sekalian ikut nemenin Riana,” ajak pak Firdaus.
“Mohon maaf pak, saya juga lagi kurang fit, Nurul aja ya yang berangkat,” jawab Laras.
Tanpa banyak komunikasi lagi, Riana dipapah oleh Laras dan Nurul menuju mobil pak Ade. Sedikit kegaduhan yang ditimbulkan dari percakapan yang terjadi dan suara langkah orang-orang yang membawa Riana membuat beberapa pintu kamar di lantai 9 terbuka. Mengetahui teman sekelasnya terlihat pucat terjadi percakapan diantara penghuni kamar yang menyaksikan kejadian tersebut.
Pak Ade sudah standby di lobi utama dengan Avanza silvernya, ia menyerahkan kunci dan STNK ke pak Fahmi dan memberitahukan ia akan menyusul karena harus berkoordinasi dengan panitia lainnya.
Pak Fahmi menyetir, Alif di sampingnya. Di bagian tengah ada Nurul yang memegangi Riana, dan di bagian belakang diisi oleh pak Firdaus. Setelah berpamitan dengan pak Ade, pak Fahmi langsung tancap gas, belum ada percakapan lagi semua nampak tegang. Avanza silver membelah angin menembus pekat malam, bersahutan dengan bising kota Jakarta yang belum tidur.
Sesekali Alif mencari sosok Nurul lewat pantulan spion tengah mobil, Nurul nampak siaga dan sigap memegangi Riana.
Suara ban mobil berdenyit lumayan keras di lobi utama rumah sakit, pak Fahmi yang awalnya tenang mulai ikut panik karena Nurul meminta untuk cepat sampai, badan Riana tiba-tiba panas dan nafasnya sesak.
Pak Firdaus langsung mengarahkan Riana ke IGD, ia lalu segera berkoordinasi dengan pak Ade. Pak Fahmi dan Nurul mendampingi Riana, sedangkan Alif menuju bagian administrasi.
Atas saran dari Nurul, dompet Riana kini dibawa oleh Alif, semua barang sudah dipastikan isinya. Data identitas Riana dibutuhkan untuk proses administrasi. Alif lumayan lama di bagian administrasi karena sedang dilakukan pengecekan riwayat kesehatan Riana.
“Pasien atas nama Riana Sari,” suara seorang ibu dibagian adminstrasi memecahkan lamunan Alif.
“Iya bu,” jawab Alif singkat.
“Bapak dengan siapanya pasien?”
“Saya temannya bu, ketua kelasnya. Kami sedang diklat.”
“Bapak maaf, apa keluarga pasien bisa dihubungi untuk kesini?”
“Maaf bu, untuk penanganan yang sekiranya bisa didahulukan apa bisa disegerkan? Kami sedang menghubungi pihak keluarganya.”
“Iya pak sedang kami upayakan, tapi ini ada hal yang sifatnya hanya bisa disampaikan ke pihak keluarga langsung?”
Suara derap kaki mendekat ke arah Alif.
“Kami sudah menghubungi keluarganya yang di Jakarta bu, apa ada lagi yang perlu kami ketahui?” suara pak Ade menghangatkan suasana.
Pak Ade langsung menangani keadaan, ada beberapa diskusi yang terjadi. Pak Ade datang bersama pak Firdaus, setelah bagian administrasi selesai Alif, pak Firdaus, dan pak Ade keluar untuk mencari angin.
Pak Firdaus mengeluarkan rokoknya, begitupun pak Ade. Asap putih mengepul, keteganganpun lenyap bersamaan dengan lenyapnya asap rokok didekap angin dan menyatu dengan pekatnya malam kota Jakarta Timur. Pak Fahmi datang membawa beberapa minuman dingin, ia yang sejak Alif keluar dari bagian administrasi tidak kelihatan rupanya sudah berinisiatif membeli minuman dan beberapa cemilan.
“Mas Alif nggak ngerokok,? tanya pak Ade.
“Nggak pak,” jawab Alif singkat.
“Okay teman-teman sekarang sudah jam dua pagi, karena besok kalian masih ada kegiatan saya sarankan kalian langsung kembali untuk istirahat,” pak Ade membuka pembicaraan.
“Riana gimana pak?” tanya Alif.
“Tadi saya sudah telepon keluarganya yang di Jakarta, yang terhubung bibinya. Mungkin lima belas menitan lagi mereka sampai dan karena kondisi Riana harus pihak keluarganya yang langsung menangani, usaha kita cukup sampai disini,” pak Ade menambahkan.
“Kondisinya Riana sekarang sudah baikan belum pak?” Alif kembali bertanya.
“Nanti mas Alif coba tengok ya, tadi sih sudah tenang dibantu oksigen untuk bernafas. Ada Nurul di dalam lagi jagain,” jawab pak Fahmi.
Pak Fahmi menawarkan minuman yang ia beli ke Alif sementara pak Firdaus, pak Ade, dan pak Fahmi masih larut dalam hisapan rokok. Alif membuka plastik yang berisi minuman dari pak Fahmi. , lalu ia foto. Alif mengirimkan pesan W* ke Nurul.
----
/Mau yang mana?
----
//Aku air mineral aja deh.
----
Alif mengetuk pelan pintu kamar rawat Riana, ia masuk dan menyerahkan air ke Nurul. Alif melihat dengan seksama, Riana nampak tertidur. Ia lalu keluar dan duduk berjongkok.
“Jadi gimana?” suara Nurul pelan.
Alif kembali mencium parfum yang menurutnya segar dihirup. Hatinya tenang. Kepenatan dan rasa cemas yang sedari siang menggelayut di pikirannya perlahan hilang seketika, di lorong kamar tunggu pasien meski dengan berjongkok ternyata ada ketenangan tersendiri, tenang dalam arti yang berbeda.
Upacara pagi akan dimulai, hal yang menjadi rutinitas sebelum memulai kegiatan, beberapa peserta masih berlarian untuk masuk dalam barisan. Alif memberikan aba-aba untuk balik kanan, lalu memberikan waktu untuk teman-temannya merapikan seragam sebelum upacara dimulai.Saat barisan sudah rapi, seorang panitia maju ke depan barisan dan mengambil mikrofon. Raut wajahnya nampak tidak bersahabat, bu Nida tampak kesal.“Bapak/ibu sebelum upacara dimulai, yang merasa tidak salat subuh berjamaah di masjid silakan memisahkan diri dan baris di depan. Saya heran dengan bapak/ibu, sudah berhari-hari disini tapi untuk salat saja masih belum tertib, saya cek banyak presensi yang kosong,” suaranya memasuki barisan peserta upacara.Suasana seketika hening, sangat sepi. Ada beberapa peserta yang saling lempar pertanyaan dan saling berpandangan.“Bang loe mau maju nggak?” Sandi yang berada dibarisan depan bertanya kepada Alif.“In
BAB IX Dua hari berlalu sejak diklat berakhir, ada perasaan tak biasa yang dirasakan Alif. Sesekali ia memang membuka percakapan dengan Nurul di pesan W*, namun tetap saja ada perasaan aneh yang mendera. Minggu jam sepuluh pagi, Alif menanyakan kesibukan Nurul, ia hanya hangout dengan teman-temannya. ---- /Aku kesitu boleh? ---- Jemari Alif dengan cepat telah mengirim W*. ---- //Ya kesini aja kalau kamu mau ---- /Sharelock dong Jika kesurupan tapi Alif masih sempat-sempatnya membaca doa saat berangkat, jika konyol tapi Alif dengan mantap memacu sepeda motornya melintasi Jalan Daan Mogot ke arah Serang. Siang itu tanpa ba bi bu Alif mengikuti titik map yang dikirimkan Nurul. Dari arah Jalan Daan Mogot Alif ke ara
BAB 10 VIDEO CALL PERTAMA “Boleh aku ngasih tahu kamu sesuatu?” suara Nurul sedikit berat. “Silakan.” “Aku seneng dengernya, seneng banget. Tapi, aku juga harus jujur sama kamu, aku nggak mau ada yang ditutupi. Aku pernah dekat sama seseorang,” Nurul berhenti, untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. “Nggak apa-apa, lanjutin aja!” pinta Alif. “Iya, aku pernah dekat sama seseorang. Tapi, dia nggak ada kejelasan makanya aku nggak lanjut sama dia. Intinya, siapa pun yang pertama kali datang dan minta restu orang tuaku, aku pilih orang tersebut.” Suasana kembali sepi. Bukan tanpa alasan, Alif mencoba memahami situasi dan menunggu beberapa waktu untuk bicara. Alif tidak menyangka akan secepat ini langkah ke arah “serius” dihadapkan kepadanya. Sebenarnya cepat atau lambat baginya bukan masalah, namun ia perlu menyesuaikan beberapa rencana hidupnya yang sudah ia buat menjadi sejalan dengan urus
BAB 11PERJALANANBeberapa nelayan baru pulang mencari ikan, menambatkan perahunya di tepian. Beberapa lainnya sedang sibuk memasukan ikan teri putih ke wadah besar yang berisi air mendidih, untuk selanjutnya diletakan ke tempat penjemuran. Keramaian sudah nampak di Pasar Sumur Pandeglang, pagi itu Alif menggilas aspal dengan ban motornya, dari simpang tiga Sumur Alif menuju arah Tanjung Lesung. Wangi pagi bercampur wangi air laut menenami perjalanan Alif. Trek yang di lalui Alif memang sebagian besar jalan lurus, ia melewati jembatan pelangi hingga pantai Bugle dengan kecepatan 70km/jam.Belum banyak aktivitas kendaraan di jalur Sumur menuju Tanjung Lesung, hanya ada satu Damri yang memang memiliki trek Sumur-Serang di depan Alif, mudah baginya untuk mendahului Damri yang memiliki jadwal keberangkatan pukul 06:00WIB tersebut.Memasuki Cikujang ada tanjakan yang lumayan tiggi saat melewati Batu Hideung. Selebihnya trek ke
Setelah istirahat dan salat zuhur, Alif berpamitan dengan Nadia. Ia mengajak Nurul ke Danau Cigaru Cisoka yang terletak di Kabupaten Tangerang. Alasannya sederhana, pertama Alif tidak tahu menahu daerah Rangkasbitung sekalipun bisa mencarinya secara googling akan memakan waktu yang ekstra untuk menjangkaunya, kedua untuk Danau Cigaru sendiri merupakan tempat wisata yang pernah viral dengan pesona air danaunya berwarna biru dan memang rutenya satu arah dengan jalur yang dilalui Alif jika pulang ke Kota Tangerang.“Kak, saya izin ajak jalan Nurul. Nanti diantar lagi pulangnya.”“Nggak usah pakai kak, formal banget. Nadia aja. Sip hati-hati ya kalian,” jawab Nadia.Alif kini bersama orang yang ia dambakan, orang yang ia kenal sebelumnya sebagai sosok yang selalu membuatnya kepikiran dan penasaran, seseorang yang di awal perkenalan telah berulang kali menyihirnya dengan tingkah lucu semasa diklat, dan orang yang tanpa diduga me
Matahari mulai terbenam saat Alif kembali dari Danau Cigaru, dengan pertimbangan jika mengantar Nurul kembali ke Rangkasbitung menggunakan sepeda motornya akan memakan waktu lebih lama, Alif memutuskan untuk naik KRL. Ia membuka gawainya dan menggunakan map menuju Stasiun Tenjo. Nurul pun menyetujui, karena memang saat sampai di Danau Cigaru sudah terlalu sore ia sepakat dengan pemikiran Alif.Tepat azan magrib Alif dan Nurul sampai di Stasiun Tenjo, suasana sangat ramai dengan kondisi jalan yang kecil dan dipenuhi pedagang di masing-masing sisi jalan.“Kita salat dulu ya,” saran Alif.Di luar Stasiun Tenjo ada musala terdekat, dengan berjalan kaki berlawan arah dari stasiun sekitar 20 meter musala dapat dijangkau.“Kamu laper nggak?” tanya Alif.“Lumayan sih, tapi aku lagi nggak mau makan nasi.”“Yaudah kita ngebakso aja yuk.”Kebersamaan dengan Nurul menjadi sesuatu yang sanga
Dalam ruang sempit yang menjadi tempat singgah sementara Alif, di Sumur Pandeglang. Alif membuka buku binder di kamarnya, menelusuri lembar demi lembar, mencari sesuatu. Ada rangkaian kata per kata, kalimat demi kalimat yang tersusun dengan tanggal, bulan, dan tahun. Beberapa ia coret, lalu menuliskan beberapa kalimat lagi dan tak lupa diberi keterangan waktu. Alif sedang menuliskan rencana dalam hidupnya, menyertakan nama Nurul Qolby Izazy di dalamnya dan melingkarinya. “De, apa mimpi dalam hidupmu?” tanya Alif dalam salah satu pembicaraan. “Nggak ada mas, aku ngikut kamu aja. Kamu kan nanti jadi imam aku.” Sejuk menjalar ke seluruh tubuhnya, walaupun tak ada udara sama sekali. Alif mengartikan ada tanggungjawab besar di balik jawaban Nurul. “De, ini mimpi mas, segala sesuatu dalam hidup mas yang ingin mas capai. Saat ini mas ada di sini de, di titik ini, dan untuk sampai disini, jalan-jalan ini yang akan mas tempuh,” Alif memperlihatkan foto
Air mata Nurul kini tak dapat lagi dibendung, jatuh dengan sejadinya. Balong yang berada di jantung alun-alun Rangkasbitung malam itu membisu, membiarkan dua insan yang sedang menata rencana hidup untuk bersama larut dalam kata. Ada satu cup lagi es durian yang belum habis dimakan, masih menyisakan setengah. Satu cup es durian kesukaan Nurul.****“Eh ngomong-ngomong sowang apa kabarnya?” suara Alif diujung telepon.“Tadi pagi aku labrak dong mas.”“Hah dilabrak, gimana-gimana?”“Iya kan tadi aku mau berangkat kerja, nah motor aku kan udah di depan, di halaman. Ya aku kan biasa aja langsung naik motor, waktu aku mau starter eh ada satu sowang yang tiba-tiba udah di depan aku dong.”“Hahahaha, kok jadi kayak tukang parkir ya de.”“Ihh kamu mah mas, bentar dulu belum selesai tahu, jadi ternyata teman-temannya ada lagi dong di belakang nyamperin aku rame-rame. Uda