Share

BAB 7 PANIK

Perhatian Alif seketika tertuju ke pak Firdaus, hatinya tidak tenang.

“Eh apa ya pak? Saya belum tahu nih,” jawab Alif sedikit kaget.

“Tadi siang kan ada dokter yang disediakan panitia, teman kita Riana check up dan ternyata dia harus istirahat seharian. Makanya dia nggak ikut materi siang ini,” pak Firdus menjelaskan.

“Masyaallah, terus gimana pak kondisi terbarunya?” Alif kembali bertanya.

“Saya juga dapat infonya dari bu Faidah, panitia yang tadi ngasih info melalui siaran itu. Ternyata teman kita memang kondisinya lagi kurang sehat, mengenai penyakitnya saya juga kurang tahu, tapi memang sepertinya parah dan kalau sampai nanti malam tidak ada perubahan harus dibawa ke rumah sakit mas,” sambung pak Firdaus.

“Astagfirullah, ternyata sampai seperti itu, pak maaf nanti saya minta tolong temani ya untuk liat kondisi Riana setelah jam materi selesai!” pinta Alif ke pak Firdaus.

“Ok mas tenang nanti saya temani, tapi info ini untuk sementara jangan disebarluaskan dulu ya, kita sambil tunggu info terbaru dari bu Faidah,” pak Firdaus menutup pembicaraan.

Raut wajah Alif sedikit berubah, Nurul membaca situasinya. Namun, ia tak sampai menanyakan ke Alif. Kelas dilanjutkan dengan presentasi dari kelompok lain.

Selesai salat Isya Alif langsung mencari pak Firdaus, ia tergesa-gesa.

“Mau mane loe bro buru-buru gitu?” tanya Sandi.

“Iya bang mau liat kondisi Riana nih, infonya dari tadi siang sakit,” jawab Alif.

“Oalah pantes tadi dicari-cari pak Firdaus mas,” Bagus menimpali.

“Bang Bagus liat dimana?”

“Di lantai 9 mas, coba deh cek!”

Alif langsung menuju ke lantai 9. Kamar Riana berada di pojok lantai 9, di depan pintu sudah ada pak Firdaus, pak Zulkifli, dan pak Fahmi.

“Maaf pak saya baru selesai salat Isya, gimana kondisi terbarunya?” Alif membuka pertanyaan.

“Ini panitia yang udah rawat Riana dari siang menyarankan untuk dirawat di rumah sakit mas,” jawab pak Firdaus.

“Iya mas, tadi saya sudah koordinasi dengan pak Ade wali kelas kita untuk pinjam mobilnya,” pak Zulkifli menambahkan.

“Lantas rencananya siapa aja yang akan berangkat pak?” tanya Alif.

“Mas Alif, pak Firdaus, dan pak Fahmi ya yang berangkat. Saya standby disini untuk mengondisikan yang disini,” saran pak Zulkifli.

“Tapi sepertinya kita butuh perempuan untuk nemenin Riana,” saran pak Fahmi.

Saran dari pak Fahmi disepakati, pak Firdaus lalu menanyakan persiapan keberangkatan perawatan Riana malam itu, di dalam kamar, ada Laras teman sekamar Riana yang sudah merapikan pakaiannya, ternyata ada Nurul juga di dalam membantu Laras.

“Pak, Ini kalau-kalau Riana dirawat sampai besok baju gantinya sudah saya siapakan di tas ya, ada dompetnya juga khawatir butuh identitasnya.” Laras menyerahkan tas berisi pakaian Riana ke pak Firdaus.

“Loh, Laras juga sekalian ikut nemenin Riana,” ajak pak Firdaus.

“Mohon maaf pak, saya juga lagi kurang fit, Nurul aja ya yang berangkat,” jawab Laras.

Tanpa banyak komunikasi lagi, Riana dipapah oleh Laras dan Nurul menuju mobil pak Ade. Sedikit kegaduhan yang ditimbulkan dari percakapan yang terjadi dan suara langkah orang-orang yang membawa Riana membuat beberapa pintu kamar di lantai 9 terbuka. Mengetahui teman sekelasnya terlihat pucat terjadi percakapan diantara penghuni kamar yang menyaksikan kejadian tersebut.

Pak Ade sudah standby di lobi utama  dengan Avanza silvernya, ia menyerahkan kunci dan STNK ke pak Fahmi dan memberitahukan ia akan menyusul karena harus berkoordinasi dengan panitia lainnya.

Pak Fahmi menyetir, Alif di sampingnya. Di bagian tengah ada Nurul yang memegangi Riana, dan di bagian belakang diisi oleh pak Firdaus. Setelah berpamitan dengan pak Ade, pak Fahmi langsung tancap gas, belum ada percakapan lagi semua nampak tegang. Avanza silver membelah angin menembus pekat malam, bersahutan dengan bising kota Jakarta yang belum tidur.

Sesekali Alif mencari sosok Nurul lewat pantulan spion tengah mobil, Nurul nampak siaga dan sigap memegangi Riana.

Suara ban mobil berdenyit lumayan keras di lobi utama rumah sakit, pak Fahmi yang awalnya tenang mulai ikut panik karena Nurul meminta untuk cepat sampai, badan Riana tiba-tiba panas dan nafasnya sesak.

Pak Firdaus langsung mengarahkan Riana ke IGD, ia lalu segera berkoordinasi dengan pak Ade. Pak Fahmi dan Nurul mendampingi Riana, sedangkan Alif menuju bagian administrasi.

Atas saran dari Nurul, dompet Riana kini dibawa oleh Alif, semua barang sudah dipastikan isinya. Data identitas Riana dibutuhkan untuk proses administrasi. Alif lumayan lama di bagian administrasi karena sedang dilakukan pengecekan riwayat kesehatan Riana.

“Pasien atas nama Riana Sari,” suara seorang ibu dibagian adminstrasi memecahkan lamunan Alif.

“Iya bu,” jawab Alif singkat.

“Bapak dengan siapanya pasien?”

“Saya temannya bu, ketua kelasnya. Kami sedang diklat.”

“Bapak maaf, apa keluarga pasien bisa dihubungi untuk kesini?”

“Maaf bu, untuk penanganan yang sekiranya bisa didahulukan apa bisa disegerkan? Kami sedang menghubungi pihak keluarganya.”

“Iya pak sedang kami upayakan, tapi ini ada hal yang sifatnya hanya bisa disampaikan ke pihak keluarga langsung?”

Suara derap kaki mendekat ke arah Alif.

“Kami sudah menghubungi keluarganya yang di Jakarta bu, apa ada lagi yang perlu kami ketahui?” suara pak Ade menghangatkan suasana.

Pak Ade langsung menangani keadaan, ada beberapa diskusi yang terjadi. Pak Ade datang bersama pak Firdaus, setelah bagian administrasi selesai Alif, pak Firdaus, dan pak Ade keluar untuk mencari angin.

Pak Firdaus mengeluarkan rokoknya, begitupun pak Ade. Asap putih mengepul, keteganganpun lenyap bersamaan dengan lenyapnya asap rokok didekap angin dan menyatu dengan pekatnya malam kota Jakarta Timur. Pak Fahmi datang membawa beberapa minuman dingin, ia yang sejak Alif keluar dari bagian administrasi tidak kelihatan rupanya sudah berinisiatif membeli minuman dan beberapa cemilan.

“Mas Alif nggak ngerokok,? tanya pak Ade.

“Nggak pak,” jawab Alif singkat.

“Okay teman-teman sekarang sudah jam dua pagi, karena besok kalian masih ada kegiatan  saya sarankan kalian langsung kembali untuk istirahat,” pak Ade membuka pembicaraan.

“Riana gimana pak?” tanya Alif.

“Tadi saya sudah telepon keluarganya yang di Jakarta, yang terhubung bibinya. Mungkin lima belas menitan lagi mereka sampai dan karena kondisi Riana harus pihak keluarganya yang langsung menangani, usaha kita cukup sampai disini,” pak Ade menambahkan.

“Kondisinya Riana sekarang sudah baikan belum pak?” Alif kembali bertanya.

“Nanti mas Alif coba tengok ya, tadi sih sudah tenang dibantu oksigen untuk bernafas. Ada Nurul di dalam lagi jagain,” jawab pak Fahmi.

Pak Fahmi menawarkan minuman yang ia beli ke Alif sementara pak Firdaus, pak Ade, dan pak Fahmi masih larut dalam hisapan rokok. Alif membuka plastik yang berisi minuman dari pak Fahmi. , lalu ia foto. Alif mengirimkan pesan W* ke Nurul.

----

/Mau yang mana?

----

//Aku air mineral aja deh.

----

Alif mengetuk pelan pintu kamar rawat Riana, ia masuk dan menyerahkan air ke Nurul. Alif melihat dengan seksama, Riana nampak tertidur. Ia lalu keluar dan duduk berjongkok.

“Jadi gimana?” suara Nurul pelan.

Alif kembali mencium parfum yang menurutnya segar dihirup. Hatinya tenang. Kepenatan dan rasa cemas yang sedari siang menggelayut di pikirannya perlahan hilang seketika, di lorong kamar tunggu pasien meski dengan berjongkok ternyata ada ketenangan tersendiri, tenang dalam arti yang berbeda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status