Malam ini malam terakhirku di rumah Om Andi. Setelahnya aku tidak akan datang lagi ke mari. Karena apa? Selain karena tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali. Desa ini juga sangat jauh, bisa pegal-pegal aku kalau sering bolak-balik. Sekalipun alasan Idul Fitri, rasanya tidak masuk akal. Tiba-tiba saja aku memikirkan nasib Om Andi yang akan aku tinggal sendirian di sini. Sudahlah Bang Angga meninggal, Anton dinas jauh dan aku rasa tidak akan ada ceritanya menetap di sini. Apalagi namanya polisi, kadang pindah dinas sana sini bisa sampai lupa dengan kampung sendiri.Om Andi sendirian di masa tua, tanpa istri, tanpa anak, tanpa cucu. Kasihannya. Ah, tapi lebih kasihan diriku. Sudah sering dapat nafkah lahir dan batin dari Bang Angga, lalu kehilangan secara mendadak. Jujur saja aku tidak siap, tapi namanya mati siapa yang tahu, bukan? Mungkin Om Andi sedang memikirkan saranku untuk menikah lagi. Agar ada yang merawatnya ketika sakit. Dipikir-pikir lagi fisik Om Andi sangat kuat, ya?
“Abang kenapa?” tanyaku padanya. Baru aku sadar, sosok Tante Nora yang menyeramkan hilang, begitu juga dengan kuburan yang menenggelamkan tubuhku tadi. “Abang kangen sama Indah. Abang kesepian di dalam kuburan.” “Abang nggak kepikiran bawa Indah ke kuburan, kan?” Logikaku seperti mati suri di dalam pelukannya. Ya, sebegitu melenakannya hubungan kami dulu. “Nggak, kalau bisa di sini kenapa harus di dalam kuburan?” “Bang, please ini di tengah hutan.” Aku melepaskan pelukan Bang Angga. “Apa bedanya, tidak ada sama sekali.” Dia menatapku sangat dalam. Sorot mata yang dulu sangat lembut itu kemudian berubah menjadi sangat obsessif. Seperti Bang Angga dengan versi yang berbeda. Aku terlena, jelas sekali dengan tatapan sedemikian rupa. Aku hanya bisa diam saja ketika Bang Angga melakukan hal yang sama padaku lagi untuk yang entah keberapa kalinya. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda. Jauh lebih liar dan sanggup menuntaskan dahagaku akan sentuhan dari seorang lelaki berkali-kali lipa
Aku masuk ke dalam speed boat tak lama begitu sampai di pelabuhan. Kapal kecil ini berangkat tak lama setelahnya. Aku melihat ke luar, oh si pengecut itu datang juga menggunakan motor. Tapi aku enggan melihatnya. Om Andi terus aku perhatikan masih menatap kepergianku entah sampai kapan. Hal itu bukan urusanku. Aku jijik dengannya. Bisa-bisanya dia mendatangiku tadi malam. Rasanya aku ingin menyikat tubuhku dengan sikat kawat, agar semua jejak tentangnya hilang. Perjalanan yang aku tempuh akan cukup panjang. Penumpang masih sepi di dalam speed. Aku bertemu dengan abang-abang yang mengajakku ngobrol saat sampai di desa. Dia menyapaku sejenak.“Besok-besok jangan pergi ke tempat tu lagi, yee. Tak elok, tak bagus untuk anak muda,” katanya. Penasaran aku pun cari tahu. “Kenapa, Bang?” “Dulu waktu abang kecik-kecil ada cerite di sane ade hantu polong yang buat desa tu tak aman. Lepas tu senyap, lepas tu die datang lagi. Sejak Pak Haji Yunus meninggal, dah gelap desa tu, dah. Tak ade cah
“Tolonglah, Indah, kalau ke kantor aku males banget ada bunganya. Kalau sama kamu, kan, nggak,” rengeknya lagi. “Kali ini nggak bisa, Vi, uangku juga habis buat ongkos bolak-balik sama makan di desa.” Aku berbohong, biar sajalah. Aku lanjut menarik baju, eh, ini punya Tante Nora, kenapa bisa aku bawa ya? Aku keluarkan semuanya dan detik itu juga aku serta Silvi terbelalak. Ada tumpukan uang merah yang berjatuhan. Aku hitung ada satu, dua, tiga, empat, lima. Gila aja lima puluh juta. Ini uang siapa? “Tuh, ada uangnya, Indah. Aku pinjam dikit aja, loh, pleease, Indah, gajian aku balikin, suer,” desak Silvi lagi. Terus perutnya berbunyi keroncongan. Inilah aku yang gampang kasihan dengan orang. Ya sudah dari tumpukan uang lima puluh juta itu aku tarik saja satu juta dan berikan padanya. Silvi sangat senang bahkan mencium tanganku. “Eh, Indah. Kalau kamu kesepian sama susah habis ditinggal Bang Angga, nanti aku kenalin deh sama cowok lain. Aku ngerti, kok, kalian udah ngapain aja.” S
Mayat Selvi sudah dievakuasi oleh pihak kepolisian untuk selanjutnya divisum dan dicari penyebab kematiannya. Tentu saja aku diminta keterangan karena jelas sekali aku orang terakhir yang dia ajak bicara sebelum meregang nyawa. Aku menjawab ala kadarnya saja. Selvi bilang tumbal, aku katakan sama persis tanpa ditambah dan dikurangi lagi. “Mbak Indah mungkin tahu kalau Mbak Selvi ada ikut ritual atau sekte tertentu?” tanya polisi padaku. “Soal itu saya nggak tahu, Pak.” Itu saja jawabanku, tidak mengada-ngada. Ih, ngeri juga kalau Selvi jadi ikut ritual sesat. Sudah tahu hidup banyak dosa malah nambah-nambahin dosa lagi. Kamar Selvi akhirnya diberi garis kuning kepolisian. Aku masuk ke kamar dan melihat tumpukan uang pemberian Om Andi yang masih sisa 49 juta. Tidak tahu akan aku apakan. Ya sudah biarkan saja tersimpan di sana. Uang pribadiku bahkan uang sisa tabunganku dengan Bang Angga masih ada sampai sekarang. Untuk beberapa hari ke depan, minggu, bulan, bahkan mungkin tahun, ra
“Abang nggak ngerti cara berpikir Indah ini bagaimana? Nikah sirri nggak mau, tapi zinah mau. Kamu pernah berpikir nggak, berapa banyak dosa yang kita buat, Indah? Nggak mau berhenti? Apa kamu nggak ingat mati?” “Halah, Bang, serius amat mikirnya. Santai kenapa, sih. Indah di sini nggak ke mana-mana. Selalu siap kapan pun Abang mau. Dosa, kan, bisa tobat nanti, pas udah tua. Atau deket-deket kita nikah.” Seperti biasa rayuanku selalu berhasil meluluhkan hatinya. Kami melewati hari-hari sebagai pacar dari hari menjadi minggu, bulan, dan tahun. Seperti pengakuanku pada Om Andi, kalau tidak seminggu tiga kali, ya dua kali. Yang jelas kami tidak pernah absen soal kebersamaan. Justru semakin sering bersama semakin besar rasa cintaku padanya. Begitu juga Bang Angga. Dia pernah bilang sangat takut meninggalkanku. Entah takut apa aku tidak tahu. “Sudah terlalu lama, Indah, sudah masuk lima tahun kita pacaran. Kita menikah, ya, keuangan Abang sudah stabil,” ucapnya ketika ulang tahunku. “O
Tiga minggu sudah aku di sini, sejak kembali dari rumah Om Andi. Dia tidak pernah lagi menghubungiku termasuk juga mengirimkan pesan. Aku tidak punya tempat berbagi cerita sejak ditinggal Bang Angga. Hidupku benar-benar kesepian. Berkali-kali aku memandang ponsel, berharap beliau menghubungiku. Aku tahu ini gila, tapi apa daya, rasa yang datang tanpa bisa dicegah sama sekali. Mungkin ini tabu, tapi bukankah aku dan Bang Angga tidak sempat menikah. Bahkan aku dan Om Andi pernah … ya begitulah. Artinya memang benar yang dikatakan calon mertuaku. Aku seperti pelacur, hanya saja aku mengambil pelanggan tetap dan tak mau berpindah-pindah. “Lucu juga, ya, jalan hidup kita kalau dipikir-pikir.” Aku istirahat siang di kantin bersama Kimmi. Kami makan nasi ramas dengan lauk sampai tiga macam tapi sedikit nasi. “Ya, gitu, deh, namanya hidup ini pilihan, tergantung kita mau ambil yang mana, semua ada pertanggung jawaban.” Kimmi—temanku, kadang-kadang dia bijak, kadang juga kesurupan. Beda ka
“Nora.” Suara yang sudah lama nggak aku denger. Ya, nggak lama juga, sih, menyebut namaku dengan penuh ketegasan. Aku menoleh dan melihatnya ada di luar kos-kosanku. Lekas aku menyambutnya. Iya, dia bukan orang lain. Dia adalah calon mertua yang aku sayangi dan kami sudah melampaui batas serta tidur bersama layaknya suami istri. Gila. Udahlah, nggak usah dibilang berkali-kali. “Om,” jawabku sambil tersenyum lebar. Ingin aku memeluknya, tapi di sini terlalu banyak orang. “Apa kabar kamu?” tanyanya sambil mengembuskan asap rokok. Aslinya aku tidak suka lelaki merokok, tapi apa mau dikata. Sudah telanjur terbuai. Ya sudah terima saja semuanya.“Indah baik, Om. Om sendiri gimana? Kok, bisa sampai di sini?” Aku memainkan tangan saking gugupnya. “Memangnya kenapa? Tidak boleh? Atau ada yang marah kalau Om mengunjungi kamu?”“Nggak, kok, Om. Nggak sama sekali. Cuman, kan, katanya kemarin lebih suka mendekam di kampung. Terus tiba-tiba aja ke sini. Ya, Indah kaget.”“Tapi senang, Om ke