CALON MERTUAKU

CALON MERTUAKU

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-09-12
Oleh:  Rosa RasyidinTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
7 Peringkat. 7 Ulasan-ulasan
108Bab
5.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

"Om, jangan pergi!" "Kalau memang kamu ingin hidup dengan, Om. Tinggalkan semua yang ada di kota." Kupikir setelah aku menyerahkan segalanya, hubungan kami akan semakin mudah. Ternyata tidak. Aku menyesal.

Lihat lebih banyak

Bab 1

Meninggalnya Calon Suamiku

Bagian 1

Meninggalnya Calon Suamiku

“Apa? Bang Angga meninggal!” Aku berdiri di depan meja kerja dengan kaki gemetar. Kabar yang sangat tidak bisa aku percaya. Namun, apa ada orang yang main-main memberikan kabar kematian tentang seseorang.

“Nggak mungkin. Empat hari yang lalu kami masih saling telepon.” Aku duduk di lantai, mengabaikan rasa malu dan mulai ditatap oleh rekan-rekan kerjaku.

Air mataku mengalir deras. Rencana pernikaha kami nggak lama lagi akan digelar. Satu bulan kemudian dan Bang Angga ke kampung untuk meminta restu ayahnya supaya acara berjalan lancar.

Suara di seberang sana menandakan bahwa yang terjadi memang sudah terjadi. Aku menangis sesenggukan. Beberapa temanku datang mencoba menenangkan. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Semua persiapan, ini dan itu sudah disiapkan. Bahkan sudah hampir habis tabungan kami untuk acara pernikahan. Akan tetapi, semuanya terkalahkan oleh takdir. Aku pun tak kuat lagi, lalu tiba-tiba semua terasa gelap.

***

“In, kamu nggak apa-apa?” tanya temanku ketika sudah lima menit aku membuka mata. Aku ada di ruang kesehatan, tempat para karyawan sakit beristirahat.

“Nggak apa-apa. Aku cuman syok berat.” Aku menjawab sambil melihat ke arah cincin tunangan kami. Aku masih tidak percaya dengan kepergian Bang Angga.

“Indah, aku pulang duluan, ya, entar lagi dijemput sama suami.” Teman yang menjagaku dari tadi undur diri. Aku mempersilakan.

Dijemput suami, harusnya kata-kata itu bisa aku ucapkan setelah hubungan kami sah. Harusnya aku bisa menjadikan Bang Angga sebenar-benarnya tempat bersandar ketika lelah dan sedang banyak masalah.

Harusnya lagi aku bisa mencegah Bang Angga untuk tidak usah pulang kampung segala. Tempatnya terpencil dan jauh. Kata orang calon pengantin kalau pergi itu darahnya manis, dan bisa jadi ada kecelakaan di jalan. Lalu benar terjadi akhirnya, kareka aku terlalu sering memikirkan mitos itu.

Aku meraih ponselku di dalam tas. Jam di handphone menunjukkan waktu hampir maghrib. Biasanya Bang Angga sudah menjemputku di depan kantor. Aku sudah kehilangan momen itu selama beberapa hari dan sekarang aku akan kehilangan selama-lamanya.

Jangan dipikir aku tidak menangis. Aku menangis dan tisu sudah hampir habis satu bungkus. Hanya saja aku tidak mau memperlihatkan pada orang lain. Menjelang isya aku baru beranjak pulang dari kantor.

“Eh, calon pengantin. Tumben sendirian.” Sapa salah satu satpam melihat aku jalan kaki.

Calon pengantin? Tepatnya aku batal nikah. Aku sedang malas menjelaskan pada siapa-siapa. Aku hanya tersenyum saja, lalu menunggu angkot untuk pulang ke kos-kosan.

Sampai di dalam ruangan dengan hanya aku sendiri saja tanpa ada teman, aku langsung merebahkan diri di ranjang. Rasanya lelah luar biasa sekali. Sudah pekerjaan menumpuk, kabar buruk pula yang membuat tubuhku seperti tak bertulang.

Aku memandang fotoku bersama Bang Angga. Juga sample undangan pernikahan yang sudah jadi. Tertulis di sana Angga Pramudya dan Indah Nora Diana. Nama kami berdua yang telah berkomitmen selama hampir lima tahun. Dimulai sejak Bang Angga merantau ke kota.

Semua impian kami kini sudah terkubur dalam-dalam. Kemudian, aku teringat dengan sesuatu hal. Aku belum bertanya pada yang memberi kabar. Apa sebab kematian calon suamiku. Aku mencoba mendial nomor tadi siang, tapi di luar jangkauan. Baru ingat aku, Bang Angga pernah bilang kalau desanya sangat terpencil dan sinyal hanya ada di siang hari.

Aku mengubur sejenak rasa ingin tahuku. Besok pagi saja aku hubungi yang tadi memberikan kabar. Karena Bang Angga pergi dalam keadaan sehat dan tidak menunjukkan tanda-tanda andaikata dia menderita depresi atau semacam perasan tertekan.

Malam ini aku tidur dengan ragam perasaan yang bercampur aduk. Sedih karena ditinggalkan calon suami dan penasaran dengan apa sebab kematiannya.

***

Pagi hari aku masih pergi ke kantor seperti biasa, dengan mata sembab habis menangis semalaman. Terlalu banyak kenangan di antara kami yang harus dikubur begitu saja. Terlalu mendadak berita kematian Bang Angga.

“Halo,” ucapku pada yang mengabarkanku kemarin. Suara agak putus-putus dan seperti ada angin lewat.

“Iya, Om, saya mau tanya apa sebab kemat—” Yah, panggilan terputus.

Aku ulang lagi tapi tidak tersambung. Aku coba kirim pesan biasa saja, karena aku takut kalau kirim wa susah sinyal. Aku menanyakan siapa pemilik nomor handphone ini dan apa sebab kematian Bang Angga. Cukup lama aku menunggu balasan, dari pagi sampai siang baru ada yang menjawab.

[Saya Andi, ayah Angga. Anak saya meninggal tanpa sebab dalam tidurnya, dan hari ini akan dimakamkan. Terima kasih, semoga kamu bahagia bersama lelaki lain. Mohon maaf kalau Angga ada berbuat salah, dan jika Angga ada meninggalkan hutang kamu boleh tagih sama saya.] Begitu pesan yang dikirim.

Andi Pramudya, nama yang juga tertera dalam undangan kami. Sedangkan mama calon suamiku sudah sejak Bang Angga kecil meninggal. Katanya lagi ayahnya tidak menikah sejak ditinggal istrinya. Begitu kisah singkat keluarga Bang Angga.

Ada satu orang adik laki-laki dan jadi polisi. Dia ditempatkan di kota yang berbeda dengan kami. Bang Angga tidak terlalu terbuka soal keluarganya. Dia cenderung menghindar kalau aku tanyakan ini dan itu. Katanya ada luka masa lalu yang belum sembuh.

Selesai makan siang aku memutuskan untuk menghadap HRD. Aku ingin meminta dan mengambil jatah cuti yang seharusnya aku gunakan setelah menikah untuk keperluan bulan madu. Cukup lama juga, mungkin sekitar dua belas hari.

“Mau ke mana, Indah? Yang saya dengar dari gosip di kantor, pernikahanmu batal karena calon suamimu meninggal,” tanya staff HRD padaku.

“Saya mau ke kampung calon, Pak. Saya mau ziarah kuburan untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya.”

“Sepenting itukah, Indah? Kita ada deadline loh, yang harus dikejar.”

“Saya janji tiga hari ini jatah kerjaan saya akan saya selesaikan.” Aku berusaha meyakinkan para staff.

Tidak etis rasanya sudah lima tahun pacaran terus aku menghilang begitu saja tanpa pamit pada makam Bang Angga juga pada calon mertuaku. Setidaknya ada basa basi sedikit.

“Okey, nanti kamu tunggu kabar, ya. Dan kamu bisa selesaikan pekerjaan kamu dimulai dari sekarang. Saya nggak peduli mau ada lembur atau nggak. Itu sudah konsekuensi dari kamu.” Staff HRD memberikan angin segar tentang cutiku.

Sebelum aku mengerjakan semua tumpukan kejar tayang yang harus diselesaikan. Aku sempatkan mengirim pesan pada Om Andi sebelum hari sore dan sinyal akan semakin sulit.

[Om, saya boleh ke kampung untuk ziarah makam Bang Angga?] Aku langsung to the point saja. Lama sekali balasan aku dapatkan, sekitar 30 menit kemudian.

[Silakan, saya tidak pernah melarang. Saya ingatkan tempat ini benar-benar terpencil dan tidak seperti yang kamu bayangkan. Lebih baik bawa baju tebal, soal makanan tidak usah dipikirkan.] Balasan dari calon mertuaku.

[Baik, Om Andi, terima kasih. Saya akan datang mungkin empat hari lagi.]

Selesai sudah kami bertukar pesan dan tidak ada lagi jawaban dari Om Andi. Empat hari, iya, bisa saja. Mengingat perjalanan ke kampung Bang Angga harus pakai bus dulu selama delapan jam. Lalu harus menyeberang menggunakan speed boat selama empat jam lamanya. Bang Angga pernah menunjukkan rutenya padaku dan aku catat di dalam buku. Siapa tahu perlu. Nyatanya memang berguna.

Tiga hari lamanya aku mengerjakan semua tumpukan pekerjaanku, dengan hati kacau, mata sembab dan kurang makan. Ya, maklum tidak ada yang memberi perhatian lagi padaku. Aku seperti kehilangan separuh napasku.

Memasuki hari keempat, aku sudah berada di terminal bus dengan satu koper kecil baju saja. Lalu aku melihat ponselku. Ada pesan masuk berasal dari Om Andi.

[Kalau memang jadi kemari, hati-hati di jalan. Jangan ladeni orang tidak dikenal bicara, dan jangan terima makanan dari orang asing. Sampai di pelabuhan nanti saya yang akan jemput kamu.] Om Andi yang lebih dahulu mengirim pesan padaku.

[Terima kasih, Om.] Jawabanku singkat saja.

Kernet bus mulai meminta penumpang untuk naik. Aku duduk di dekat jendela, sambil melihat pemandangan yang kiri dan kanan yang isinya hutan lebat dan tanpa rumah sama sekali. Iseng-iseng aku buka ponsel.

Aku melihat foto Bang Angga saat dia baru dilepaskan ke kota oleh Om Andi. Terlihat kedua pria dalam foto ini tinggi badannya sama. Wajah juga mirip. Lalu dari pantulan kaca aku seperti melihat wajah Bang Angga. Refleks aku menoleh ke kursi sebelah, dan tidak ada siapa-siapa selain penumpang lain.

Yang tadi itu beneran Bang Angga? Atau hanya halusinasiku saja karena terlampau rindu? Jangan takut, Bang, Indah akan ke makam untuk mengujungi Abang. Indah janji nggak akan merepotkan ayah Abang, karena pasti beliau sudah tua juga. Usia juga sudah 60 tahun.

Aku memejamkan mata sejenak, ingin tidur. Lagi wajah Bang Angga seperti melintas dalam penglihatan. Wajahnya pucat dan sendu dan dia memintaku untuk kembali. Ada apa ini?

Bersambung …

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Azzurra
Bagus kak. baca kilat.
2024-06-24 20:50:52
0
user avatar
Muhammad Faishal N
Bagus kak. bikin penasaran.
2024-06-17 20:52:14
0
user avatar
mackadamia_
kelar baca marathon^^ ending yg pas takaran menurutku. terima kasih untuk cerita yg membuat penasaran dengan judul dan isi yg tidak disangka-sangka.
2023-10-24 16:38:23
1
user avatar
MayGrau
Sungguh di luar dugaan ceritanya. Terima kasih sudah menulis dengan runut.
2023-10-20 21:27:12
1
user avatar
jinchan
akhirnya ketemu cerita yg beda dari yg lain, kadang bosan dengan cerita itu2 saja, lanjut thor.. ceritanya indonesia banget dah
2023-07-17 19:42:31
1
user avatar
Adny Ummi
seruuuuuu. lanjooottt, Thoorr
2023-05-27 13:22:05
1
user avatar
Ani Maryani
kuereeeen ceritanya Thor
2023-05-26 23:19:16
1
108 Bab
Meninggalnya Calon Suamiku
Bagian 1Meninggalnya Calon Suamiku “Apa? Bang Angga meninggal!” Aku berdiri di depan meja kerja dengan kaki gemetar. Kabar yang sangat tidak bisa aku percaya. Namun, apa ada orang yang main-main memberikan kabar kematian tentang seseorang. “Nggak mungkin. Empat hari yang lalu kami masih saling telepon.” Aku duduk di lantai, mengabaikan rasa malu dan mulai ditatap oleh rekan-rekan kerjaku. Air mataku mengalir deras. Rencana pernikaha kami nggak lama lagi akan digelar. Satu bulan kemudian dan Bang Angga ke kampung untuk meminta restu ayahnya supaya acara berjalan lancar. Suara di seberang sana menandakan bahwa yang terjadi memang sudah terjadi. Aku menangis sesenggukan. Beberapa temanku datang mencoba menenangkan. Aku sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Semua persiapan, ini dan itu sudah disiapkan. Bahkan sudah hampir habis tabungan kami untuk acara pernikahan. Akan tetapi, semuanya terkalahkan oleh takdir. Aku pun tak kuat lagi, lalu tiba-tiba semua terasa gelap. *** “In, ka
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-02
Baca selengkapnya
Om Andi
Bagian 2 Om Andi Selesai sudah drama menaiki bus yang minta ampun bercampur aduk baunya jadi satu. Sekarang aku sedang menunggu kedatangan speed boat. Iya, satu-satunya alat transportasi menuju kampung Bang Angga. Tiga puluh menit kemudian para penumpang diminta turun satu demi satu sesuai nomor kursi penumpang. Aku duduk di sebelah ibu-ibu menggunakan jilbab dan membawa anak kecil. Speed mulai berjalan. Kupikir akan mabok laut ternyata tidak. Nakhkoda berhasil membawa speed sesuai debur air yang terkena angin. Aroma yang tercium di hidungku antara lautan dan sungai. “Mau ke mana, Dek?” tanya ibu di sebelahku sembari menawarkan sebungkus roti. Teringat dengan pesan Om Andi agar tidak menerima sembarang makanan. Namun, aku takut ibu ini tersinggung. Aku ambil dan pegang saja entah kapan dimakan. “Mau ke Pulau Sagu, Bu.” “Ngapain?” tanyanya lagi dengan alis hampir menyatu. Sepertinya dia tahu desa itu. “Ya, itu mengunjungi calon mertua saya, Bu.” Terpaksa aku berbohong. Aku malas
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-02
Baca selengkapnya
Pengakuan
Bagian 3 PengakuanAda sebuah meja makan yang kira-kira muat menampung empat orang untuk duduk. Om Andi duduk di kursi utama, persis seperti di sinetron atau film. Aku sendiri masih bingung ingin duduk di mana. Lelaki berusia 60 tahun itu berdiri dan ia menyeret kursi di sisinya untukku. Terpaksa aku ambil tawaran ini agar sopan. “Semua Om masak sendiri. Maaf, hanya ada makanan kampung, beras juga tidak selembut dan wangi seperti di kota.” Dia bermaksud ingin menuangkan sesendok nasi padaku. Namun, aku berusaha mencegah dan sempat tangan kami bersentuhan. Om Andi minta maaf padaku. Aku mengisi nasi di piring seng khas seperti waktu aku kecil dahulu. Perlengkapan di atas piring juga barang-barang lama yang tergolong antik. Lalu aku menawarkan mengisi nasi untuk calon mertuaku, dan dia mengiyakan saja. “Sayur bening kangkung, ikan tongkol disambal dan telor dadar. Juga ini namanya rama-rama, binatang laut yang tinggal di tanah busut. Mungkin bagi Nora sangat asing, tapi masih bisa d
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-02
Baca selengkapnya
Ke Kuburan
Bagian 4 Ke Kuburan Aku terbangun ketika merasakan ada yang hangat di dahiku. Refleks hal pertama yang aku cari yaitu ponselku. Ternyata hari sudah menunjukkan jam tujuh pagi. Aku bolos lagi shalat Shubuh. Ah, betapa diri ini terlalu main-main dengan ibadah. Kapan seriusnya? Eh, bukannya tadi malam Om Andi ke kamarku, ya? Terus kenapa dahiku dikompres? Aku berusaha mengingat-ingat kejadian tadi malam. Oh, iya, aku didatangi oleh Bang Angga. Atau mungkin lebih tepatnya lagi sosoknya. Karena Bang Angga, kan, sudah meninggal. Aku beranjak karena merasa tubuhku sudah baik-baik saja. Apa artinya tadi malam Om Andi menjagaku? Duh, gawat kalau begini. Bisa-bisa timbul fitnah luar biasa antara calon menantu dan mertua. Lekas aku ke luar kamar dan berjalan ke dapur. “Sudah bangun, sudah enakan badannya?” tanya Om tiba-tiba dan membuat jantungku hampir copot. “Iya, udah Om. Ehm, btw, makasih, Om.”“Makasih untuk?” Dia menatapku sambil memegang mangkok kaca yang mengepulkan asap beraroma
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-03-02
Baca selengkapnya
Peringatan Angga 1
Bagian 5 Peringatan Angga Aku ingin membuka mata, tapi seperti tak mau. Seolah-olah ada yang merasakan bibirku dengan sangat lembut dan aku mulai terlena. Namun, suara-suara asing yang ada terdengar membuatku bangun. Aku terkejut ketika tertidur di bawah pohon besar. Bukankah tadi aku ingin ke kuburan Bang Angga. Lalu kenapa aku malah duduk di dekat sini. Kemudian, Om Andi mana? Apa bersama orang-orang yang berkerumun itu. Satu lagi, ciuman tadi apa hanya mimpi? Tapi terlalu nyata dan membuatku tak bisa melawan. “Nora, masih pusing kepalanya?” Aku terkejut ketika disapa Om Andi dari belakang pohon. Kupikir dia ada bersama orang-orang itu. Dia memberiku segelas air putih. Dari tadi aku mencarinya. “Emang, Indah tadi kenapa, Om?” “Katamu tadi pusing. Ya sudah, Om suruh saja istirahat di sini.” “Oh, gitu, ya udah sekarang kita ke kuburan Bang Angga, yuk.” “Itu, lagi diperbaiki sama warga,” tunjuk Om ke arah sana. “Kenapa, Om?” Aku penasaran. “Ada yang menggali kuburan anak, Om.
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-02
Baca selengkapnya
Peringatan Angga 2
“Gayungnya nggak ada, Om.” Aku dari tadi mencari.“Pakai tangan, Nora,” katanya. “Nggak biasa, Om.” Ya aku mana tahu yang seperti itu. Biasanya tinggal beli air minum dalam kemasan. Calon mertuaku mencuci tangan terlebih dahulu. Lalu dia mengambil air dengan dua tangannya. “Buka mulut kamu,” perintahnya dan aku ikut saja. Air terasa segar membasahi tenggorokanku. Tak sengaja aku mengigit ujung jemari Om Andi.“Maaf, Om, nggak sengaja.” Serius aku tidak berbohong. Beliau hanya bilang hmmm saja. Semoga Om Andi tidak salah paham. Aku mengikuti saja langkah kaki Om Andi. Terkadang aku dibantu berjalan olehnya kalau sepatu boot sudah terlalu tebal jejaknya. Kadang juga aku jalan sendiri. Jauh sekali perjalanan dari kuburan sampai ke rumah. Aku sampai ngos-ngosan di dalam kamar. Aku ke dapur untuk menghilangkan dahaga yang belum tuntas. Air yang sangat dingin, agak-agak manis dan seperti membuatku tak ingin berhenti meneguknya. Rasanya persis seperti bibir yang menciumku tadi di bawah p
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-02
Baca selengkapnya
Detak Jantung 1
Bagian 6 Detak JantungAku yang sudah telanjur lemas hanya bisa diam ketika Om Andi mengangkat diriku dan dibawa turun ke lantai satu rumahnya. Aku dibawa masuk ke kamarku, kemudian di baringkan di ranjang kapuk. Baju tidurku tersingkap. Sayangnya aku sedang tak berdaya. Calon mertuaku menutupi bagian tubuhku yang terbuka dengan selimut. Wajahnya jadi aku lihat serba salah. “Kamu sedang apa di lantai dua?” tanya lelaki berambut pendek ketika telah menutupi tubuhku dengan selimut. Aku berusaha membuka mulut, sayangnya gagal. “Di sini petugas puskemas jauh, dia ada di seberang pulau. Datang jam sembilan pagi pulang jam tiga sore. Paling juga besok baru bisa Om bawa ke sini,” katanya sambil memalingkan wajah. Apa yang salah denganku? Aku ingin berbicara pada Om Andi bahwa aku baik-baik saja. Namun, karena aku masih syok berat atas kedatangan Bang Angga, jadilah tanganku hanya memegang lengan calon mertuaku saja. Dia menoleh dan melihat ke wajahku. Maksudku ingin mengatakan aku baik-b
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-03
Baca selengkapnya
Detak Jantung 2
Orang pertama yang wajib aku curigai adalah Om Andi. Aku mengetuk pintu kamarnya. Tidak dibuka, aku ketuk lagi, masih juga tidak ada jawaban. Lalu pintu kamar terbuka begitu saja. Dengan jantung yang berdegup kencang aku berjalan memasuki kabar beliau. Kelambu sebagai alat pengusir nyamuk sudah turun. Lalu aku lihat di dalam sana ada yang berbaring sangat lelap. Iya, itu Om Andi. Dia tidur tidak memakai baju, sangat nyenyak sekali. Tidak masuk akal rasanya kalau tadi dia berbuat tidak baik di kamarku lalu tiba-tiba saja sudah ke kamar sendiri. Aku saja yang terlalu suud’zon. “Nora, kamu kenapa di sini?” Gawat, tiba-tiba saja Om Andi bangun. Aduh, ketahuan aku. Bisa-bisa dituduh mencuri nanti.“Nggak, Om, tadi ada tikus masuk ke kamar, jadi Indah kejar ternyata nggak ada. Maaf, ya, Om.” Lekas aku keluar daripada disangka wanita murahan. Walau memang iya, tapi aku bukan pelacur yang menjajakan tubuhku pada banyak pria. Hanya dengan Bang Angga saja. Satu lelaki dari pertama kali sampa
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-03
Baca selengkapnya
Wewangian Memabukkan 1
Aku masih berbaring di atas ranjang kapuk ini, dengan dia. Iya, dia yang sama sekali tidak aku lihat wajahnya karena berada dalam kegelapan. Bahkan bau tubuhnya saja tidak ada. Aku mulai kesal padanya, karena dia tidak melakukan hal yang lebih jauh. Bahkan bajuku saja masih melekat tanpa tersingkap sama sekali. Terasa ada keraguan, aku tahu itu. Lebih anehnya lagi aku. Anggap saja aku pengemis cinta, bukan cinta, tepatnya penghamba kenikmatan semu. Kenapa semu? Karena yang aku lakukan adalah dosa lagi. Isi kepalaku antara ingin menyudahi lebih dahulu atau biarkan saja dia menguasai diri ini. Atau biarkan saja dia berbuat sesuka hati. Bodoh sekali aku jadi orang. Harusnya aku punya harga diri, tapi aku terlihat murahan sekali. Dia mengembuskan napas hangat dan menerpa wajahku. Dia ingin beranjak, aku menahannya. Aku memeluk dia sangat erat, ingin mencari tahu bentuk tubuh siapa ini. Lagi-lagi aku bersikap konyol. Lelaki yang pernah aku peluk erat hanya Bang Angga saja dan orangnya su
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-04
Baca selengkapnya
Wewangian Memabukkan 2
“Dulu, waktu mendiang Nora Syafitri masih hidup, dia punya cita-cita ingin punya rumah tingkat dua dengan kayu paling mahal. Di tingkat dua nanti ada empat kamar. Supaya anak-anak kami kalau pulang kampung membawa istri dan anak-anaknya tidak bingung lagi tidur di mana.” Again dia bercerita tanpa aku minta. “Om, Indah nggak nanya loh?” “Kalau tidak bertanya, terus kenapa ada di lantai dua kemarin malam?” “Kepo aja, emang nggak boleh?” “Om nggak tahu ada semua bahasa anak muda, Nora. Jadi pakai istilah biasa-biasa saja.” “Cuma ingin tahu, Om.” Aku ingin membuka satu pintu kamar yang tertutup. Lekas Om Andi memegang telapak tanganku. “Tidak semua yang kamu ingin tahu, harus dicari tahu. Ingat kamu tamu di sini.” “Iya, tahu, Om, besok juga Indah bakalan pulang.” “Sudah pesan tiket speed boat?” tanyanya lagi. “Belum. Nggak tahu mau pesan sama siapa.” “Ya sudah, biar Om yang urus semua. Kamu sedang tidak ada kerjaan, bukan? Tolong masak di dapur, sudah Om belikan bahan. Jangan bi
last updateTerakhir Diperbarui : 2023-05-04
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status