“Oh, iya, tadi kamu bilang takut. Takut apa?” tanya Om lagi. “Takut hantu, Om. Yang ada di lantai dua kamar paling pertama. Dia ada di dalam cermin rambutnya acak-acakan, dia suruh Indah pergi dari sini,” jawabku sambil membuka bungkusan kue bolu. Aku potong pakai pisau dapur. Tak lupa aku berikan beberapa potong buat Om Andi. Sepertinya kami akan bercerita banyak. “Terus kenapa kamu tidak pergi setelah disuruh sama dia?” Benar, kan, dia menaggapi cerita soal hantu di atas. “Om pelihara hantu, ya? Apa jangan-jangan hantu kepala terbang itu peliharaan Om, terus yang masuk ke kamar Indah, terus dia …” Aku terpaksa berhenti. Malu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamarku. Karena aku tidak menolak sama sekali. Justru aku menahan agar tubuh itu tidak hengkang dari pelukanku. “Terus apa? Kenapa berhenti.” Om Andi meminum air putih usai menghabiskan sepotong bolu. “Terus Indah bangun, makhluknya berniat jahat membunuh Indah.” “Oh, kirain berniat yang lain.” Senyumannya begitu je
Aku ikut ke mana Om Andi pergi. Tentu saja setelah menggunakan baju yang pantas seperti katanya. Sepertinya aku cari mati saja. Sudahlah di desa ini tidak kenal dengan siapa-siapa selain calon mertuaku. Ikutan pula sok ramah bukan main. Hasilnya aku dipandang oleh ibu-ibu di sini. Bahkan ada anak kecil yang melihat sambil menunjukku. Kemudian mereka bisik-bisik. Duh, kalau sudah seperti ini ingin rasanya aku cari di mana Om Andi, tapi tidak mungkin. Dia tadi sedang sibuk membantu pengurusan jenazah temannya. Aneh sekali kalau dipikir-pikir. Tiba-tiba saja meninggal. Padahal tadi malam saat berkunjung teman Om Andi masih baik walau batuk-batuk.Satu jam kemudian akhirnya calon mertua menyambangiku. Dia terlihat berpeluh di bawah terik matahari, dan aku sempat pangling melihatnya. Astagah, isi kepalaku di tengah orang ramai kenapa harus seperti ini? “Nora, sebaiknya kamu pulang sendirian. Tidak baik kamu di sini lama-lama. Pihak keluarga teman Om tidak suka dengan kamu.” Perkataan Om
Aku bangun di pagi hari dengan agak lesu. Sosok misterius itu tak lagi mendatangi kamarku. Ya, sudahlah mungkin dia iseng saja padaku. Aku yang terlalu memainkan perasaan. Padahal wajahnya saja tidak aku lihat. Aku bangkit dari pembaringan dan membersihkan diri di kamar mandi. Rumah terasa sepi, Om Andi sepertinya tidak ada di rumah. Tidak aku dengar suara berisik dari tadi sama sekali. Selesai mandi tiba-tiba saja calon mertuaku datang. Dia masuk menerobos dari pintu depan. Ada yang aneh dari diri Om Andi. “Om, itu kenapa lehernya berdarah.” Ih, aku ngeri melihatnya. Masak, sih, tidak terasa sakit sama sekali. Lekas aku ke kamar dan memberikannya tissue.“Oh, ini tidak apa-apa, Nora. Bukan darah, Om.” Iya, bener, Om Andi membersihkan dengan tissue, tapi bekas goresan atau gorokan pisau gitu, tidak ada sama sekali. Terus, darahnya berasal dari mana? “Jadi darah siapa, Om?” “Om tadi ke kebun pagi-pagi. Ketemu ular, jadi Om bunuh, mungkin darah binatang itu. Kamu tumben pakai baju
Iya juga, ya. Dulu aku pernah bertanya kenapa Bang Angga tidak ke kampung duluan bilang sama orang tua untuk mengurus pernikahan. Kata Bang Angga itu urusan gampang. Ayahnya pasti setuju. “Maaf, Ayah, saya sibuk dinas.” “Ingin rasanya Ayah bilang kalian anak durhaka. Tapi … kalian tetap anak Ayah. Kapan pesta pernikahannya. Maaf, Ayah tidak akan bisa datang.” Wow, sepertinya Om Andi merasa tidak dihargai sekali. “Ehm, tiga bulan lagi Ayah,” jawab Anton. “Sudah kamu ajak tidur anak orang?” “Ayah!” Suara Anton langsung meninggi. “Tinggal jawab saja apa susahnya.” “Saya bukan seperti Ay—” “Sabar, Anton, sabar, bukan begini caranya bicara dengan orang tua.” Tukang ojeg yang kemarin kelihatan melerai perdebatan ayah dan anak. “Belum, Ayah, saya menjaganya dengan baik.” Anton, kelihatan sekali dia berusaha meredam amarahnya. “Abang, tak baik bertanya aib orang, Bang. Walau memang benar mereka pernah, tapi bukan harus ditanya terang-terangan begini.” Hmm, tukang ojeg kemarin meman
Malam ini malam terakhirku di rumah Om Andi. Setelahnya aku tidak akan datang lagi ke mari. Karena apa? Selain karena tidak ada hubungan kekerabatan sama sekali. Desa ini juga sangat jauh, bisa pegal-pegal aku kalau sering bolak-balik. Sekalipun alasan Idul Fitri, rasanya tidak masuk akal. Tiba-tiba saja aku memikirkan nasib Om Andi yang akan aku tinggal sendirian di sini. Sudahlah Bang Angga meninggal, Anton dinas jauh dan aku rasa tidak akan ada ceritanya menetap di sini. Apalagi namanya polisi, kadang pindah dinas sana sini bisa sampai lupa dengan kampung sendiri.Om Andi sendirian di masa tua, tanpa istri, tanpa anak, tanpa cucu. Kasihannya. Ah, tapi lebih kasihan diriku. Sudah sering dapat nafkah lahir dan batin dari Bang Angga, lalu kehilangan secara mendadak. Jujur saja aku tidak siap, tapi namanya mati siapa yang tahu, bukan? Mungkin Om Andi sedang memikirkan saranku untuk menikah lagi. Agar ada yang merawatnya ketika sakit. Dipikir-pikir lagi fisik Om Andi sangat kuat, ya?
“Abang kenapa?” tanyaku padanya. Baru aku sadar, sosok Tante Nora yang menyeramkan hilang, begitu juga dengan kuburan yang menenggelamkan tubuhku tadi. “Abang kangen sama Indah. Abang kesepian di dalam kuburan.” “Abang nggak kepikiran bawa Indah ke kuburan, kan?” Logikaku seperti mati suri di dalam pelukannya. Ya, sebegitu melenakannya hubungan kami dulu. “Nggak, kalau bisa di sini kenapa harus di dalam kuburan?” “Bang, please ini di tengah hutan.” Aku melepaskan pelukan Bang Angga. “Apa bedanya, tidak ada sama sekali.” Dia menatapku sangat dalam. Sorot mata yang dulu sangat lembut itu kemudian berubah menjadi sangat obsessif. Seperti Bang Angga dengan versi yang berbeda. Aku terlena, jelas sekali dengan tatapan sedemikian rupa. Aku hanya bisa diam saja ketika Bang Angga melakukan hal yang sama padaku lagi untuk yang entah keberapa kalinya. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda. Jauh lebih liar dan sanggup menuntaskan dahagaku akan sentuhan dari seorang lelaki berkali-kali lipa
Aku masuk ke dalam speed boat tak lama begitu sampai di pelabuhan. Kapal kecil ini berangkat tak lama setelahnya. Aku melihat ke luar, oh si pengecut itu datang juga menggunakan motor. Tapi aku enggan melihatnya. Om Andi terus aku perhatikan masih menatap kepergianku entah sampai kapan. Hal itu bukan urusanku. Aku jijik dengannya. Bisa-bisanya dia mendatangiku tadi malam. Rasanya aku ingin menyikat tubuhku dengan sikat kawat, agar semua jejak tentangnya hilang. Perjalanan yang aku tempuh akan cukup panjang. Penumpang masih sepi di dalam speed. Aku bertemu dengan abang-abang yang mengajakku ngobrol saat sampai di desa. Dia menyapaku sejenak.“Besok-besok jangan pergi ke tempat tu lagi, yee. Tak elok, tak bagus untuk anak muda,” katanya. Penasaran aku pun cari tahu. “Kenapa, Bang?” “Dulu waktu abang kecik-kecil ada cerite di sane ade hantu polong yang buat desa tu tak aman. Lepas tu senyap, lepas tu die datang lagi. Sejak Pak Haji Yunus meninggal, dah gelap desa tu, dah. Tak ade cah
“Tolonglah, Indah, kalau ke kantor aku males banget ada bunganya. Kalau sama kamu, kan, nggak,” rengeknya lagi. “Kali ini nggak bisa, Vi, uangku juga habis buat ongkos bolak-balik sama makan di desa.” Aku berbohong, biar sajalah. Aku lanjut menarik baju, eh, ini punya Tante Nora, kenapa bisa aku bawa ya? Aku keluarkan semuanya dan detik itu juga aku serta Silvi terbelalak. Ada tumpukan uang merah yang berjatuhan. Aku hitung ada satu, dua, tiga, empat, lima. Gila aja lima puluh juta. Ini uang siapa? “Tuh, ada uangnya, Indah. Aku pinjam dikit aja, loh, pleease, Indah, gajian aku balikin, suer,” desak Silvi lagi. Terus perutnya berbunyi keroncongan. Inilah aku yang gampang kasihan dengan orang. Ya sudah dari tumpukan uang lima puluh juta itu aku tarik saja satu juta dan berikan padanya. Silvi sangat senang bahkan mencium tanganku. “Eh, Indah. Kalau kamu kesepian sama susah habis ditinggal Bang Angga, nanti aku kenalin deh sama cowok lain. Aku ngerti, kok, kalian udah ngapain aja.” S