Share

Om Andi

Bagian 2

Om Andi

Selesai sudah drama menaiki bus yang minta ampun bercampur aduk baunya jadi satu. Sekarang aku sedang menunggu kedatangan speed boat. Iya, satu-satunya alat transportasi menuju kampung Bang Angga. Tiga puluh menit kemudian para penumpang diminta turun satu demi satu sesuai nomor kursi penumpang.

Aku duduk di sebelah ibu-ibu menggunakan jilbab dan membawa anak kecil. Speed mulai berjalan. Kupikir akan mabok laut ternyata tidak. Nakhkoda berhasil membawa speed sesuai debur air yang terkena angin. Aroma yang tercium di hidungku antara lautan dan sungai.

“Mau ke mana, Dek?” tanya ibu di sebelahku sembari menawarkan sebungkus roti. Teringat dengan pesan Om Andi agar tidak menerima sembarang makanan. Namun, aku takut ibu ini tersinggung. Aku ambil dan pegang saja entah kapan dimakan.

“Mau ke Pulau Sagu, Bu.”

“Ngapain?” tanyanya lagi dengan alis hampir menyatu. Sepertinya dia tahu desa itu.

“Ya, itu mengunjungi calon mertua saya, Bu.” Terpaksa aku berbohong. Aku malas menceritakan semuanya detail pada orang yang baru dikenal.

“Ya, gimana, ya, Dek. Saran Ibu, lebih baik kamu balik hari aja. Speed ini, kan berhenti terakhir di Pulau Sagu. Sambil loading penumpang, ada sekitar mungkin satu jam. Nah, selesai kamu berkunjung pulang aja, Dek, pulang. Itu saran Ibu, sepertinya kamu orang kota. Kelihatan dari gayanya.” Ibu ini menatap outfitku yang pakai baju kaus panjang agak press body dan celana jeans. Sedangkan rata-rata perempuan di dalam speed pakai jilbab.

“Kenapa, Bu?” Aku semakin penasaran.

“Ada hantu polong di sana. Serem banget, dusun-dusun di Pulau Sagu juga belum semua kena bantuan pemerintah. Soalnya orang-orang di sana masih suka hidup apa adanya.”

“Hah, hantu polong. Apaan itu, Bu?” Aduh, kok, aku makin serem sama kampung Bang Angga.

“Hantu kepala yang terbang dengan isi perutnya. Makan darah segar.”

Halah, zaman sudah tik tok begini merajalela, masih juga percaya sama yang beginian. Namun, demi menjaga perasaan ibu di depanku, ya, aku iyakan saja apa katanya.

Dua jam speed boat berjalan. Satu demi satu desa di perairan mulai disinggahi. Ibu di sebelahku akhirnya sampai juga. Dari dalam speed aku melihat ada pelabuhan dari kayu-kayu keras dan tinggi. Sebelum pergi ibu yang aku tidak ketahui siapa namanya kembali mengingatkanku.

“Kalau ada orang meninggal baru 40 hari kamu jangan keluar rumah malam-malam, ya, Nak. Bahaya, tapi baiknya kamu pulang hari aja. Soalnya speed boat ke Pulau Sagu, kan, lama.” Demi menghargai nasehat ibu ini aku mengucapkan terima kasih.

Jujur, aku nggak percaya di zaman modern seperti ini ada hantu-hantu yang begini, begitu, dan masih aja membuat masyarakat ketakutan. Please, hantu itu datang kalau kita ketakutan. Buktinya selama ngekos sendiri aku tidak pernah ketemu sama salah satu dari mereka.

Ya sudah aku lanjut melihat pemandangan sekitar yang isinya perairan saja. Satu demi satu penumpang kembali ke desa mereka. Lalu hanya tinggal aku sendirian, dengan dua kru dan satu nakhkoda. Salah satu awak speed boat mendekatiku.

“Awak mau ke Pulau Sagu?” tanya Abang berkulit hitam dan berwajah keras padaku.

“Iya, Bang.”

“Balik hari apa nginap?”

“Balik, eh, nginap, Bang.”

“Yakin?” Alisnya bertaut seperti ibu tadi.

“Iya, Bang.”

“Soalnya kami ni empat hari lagi baru ke Pulau Sagu, dah tak ade penumpang lagi. Baik-baik kat Pulau Sagu, ye. Jangan asal cakap dengan orang, jangan asal nak terime makanan. Lagi elok kalau adik ni duduk je kat dalam rumah. Paham cakap Abang, Kan?” Duh bahasanya agak sulit aku mengerti.

“Iya, Bang, terima kasih.” Daripada dia lama-lama di depanku.

Tak lama setelah itu speed boat mendekat di sebuah pelabuhan. Dengan jelas aku lihat di sebuah papan kayu sederhana, bertuliskan ‘Selamat Datang di Desa Pulau Sagu’. Hanya aku yang turun, itu juga speed boat bersiap untuk kembali.

“Bang, nggak tunggu penumpang?” Entah kenapa aku nekat bertanya.

“Tak ade yang nak pegi, hati-hati, ye, Dik. Kalau Adik nak balik hari, Abang tunggu satu jam lagilah, paling lambat.”

“Tak payah, budak ni calon mantu aku. Die tinggal kat sini, agak-agak empat hari.” Suara seorang laki-laki membuatku menoleh. Setelah mendengar kata-kata dalam bahasa yang agak sulit aku mengerti, speed boat pun pergi.

“Om Andi?” Aku mencoba menerka-nerka, katanya tadi yang mengatakan aku calon mantu, tapi aku heran mengapa ada kata budak. Ini, kan, udah zaman modern.

“Indah Nora Diana,” ucapnya padaku.

Aku mengangguk, itu memang nama lengkapku. Namun, ada keanehan yang aku tangkap. Kalau ini Om Andi yang berusia 60 tahun seperti kata Bang Angga. Lalu kenapa perawakannya masih gagah sekali?

“Budak artinya anak kecil, jangan salah paham, ya. Om bawa motor, karena di sini tidak akan ada mobil kamu jumpa seperti di kota tempat kamu tinggal. Barang-barang biar Om bawa di depan, kamu duduk di belakang. Pernah naik motor?” Dia melirik dan mengambil tas baju yang aku bawa.

Sekilas aku menatap matanya. Persis sama seperti sorot mata Bang Angga. Kemudian aku tersadar memandangnya sedikit lama.

Aku mengikuti langkah kaki Om Andi. Dia menuju sepeda motor Yamaha keluaran tahun lama. Setelah menempatkan tasku di depan, calon mertuaku mengengkol motor sampai hidup. Lalu aku dimintanya untuk duduk.

“Nggak ada helm, Om?” Aku sudah biasa memakainya.

“Di sini tidak ada polisi. Hanya babinsa, itu pun jauh, Nora.” Eh, kenapa Om Andi memanggilku dengan nama tengah.

“Nama saya Indah, Om, biasa dipanggil Indah.” Aku berbicara agak keras karena suara motor ini menggangu pendengaranku.

“Saya tahu. Itu panggilan Angga sama kamu. Saya lebih suka memanggil dengan kata Nora. Terlihat lebih cantik dan anggun seperti bangsawan kerajaan Melayu zaman dahulu.” Oh, romantis sekali Om Andi.

Bang Angga saja tidak pernah memujiku seperti ini. Eh, astaga, kenapa denganku? Aku nggak boleh salah tujuan. Aku ingin ke makam beliau yang hampir menikahiku.

Agak terjal jalan yang hanya pengerasan dan belum diaspal di Desa Sagu. Aku melihat rumah-rumah kayu di atas, apa, sih, namanya, aku tidak terlalu paham. Mungkin sungai atau laut. Juga pohon-pohon yang batangnya sangat kokoh tumbuh di dekat perairan bertanah lunak.

Agak lama perjalanan kami, karena Om Andi membawa motor tidak bisa cepat. Ya, aku maklum karena jalannya sendiri tidak terlalu bagus. Setiap kali berpapasan dengan warga desa yang sangat sunyi ini. Mereka seperti agak lain menatapku. Apa mungkin karena pengaruh gayaku yang terlalu kota.

“Nora, hari sudah sore, sebentar lagi maghrib. Om sarankan besok saja ke kuburan Angga. Karena di sini kalau malam sangat gelap, beda dengan di kota.” Om Andi membelokkan motor ke arah yang kiri dan kanannya pepohonan.

“Eh, iya, Om, gimana bagusnya aja.” Aku agak tidak familiar dengan panggilan Nora.

“Ini semua kebun saya, Nora. Pohon karet sekian hektar. Dulunya harga getah sangat primadona, tapi sekarang sudah anjlok. Saya juga punya kebun sagu dan beberapa kebun lainnya. Rencana akan saya wariskan pada Angga dan Anton. Tapi apa daya Angga meninggal lebih duluan daripada saya.” Sepertinya Om Andi tahu kebingunganku.

Yang membuatku sedikit bingung. Penampilan Om Andi ini sangat apa, ya, tidak menunjukkan kalau dia orang tua. Gaya lebih matang dan dewasa. Ada sosok yang bisa mengayomi seperti bosku di kantor. Tata bahasanya juga aku tidak yakin kalau Om Andi ini orang desa banget. Dia tahu Kerajaan Melayu. Apa jangan-jangan dia keturunan raja?

“Ini gubug kami. Tempat saya membangun usaha kecil-kecilan yang tidak seberapa.” Om Andi memberhentikan motor di sebuah rumah kayu tingkat dua sangat besar, dan dibagian bawah seperti ada kolong yang sangat besar. “Ini namanya rumah panggung.”Om Andi mengangkat barang-barangku.

Gila, ini, sih, bukan gubug. Besar sekali. Kayunya juga masih kokoh serta tercium aroma cat yang masih segar. Warna cokelat terang mendominasi sekeliling rumah. Aku hanya bisa ber wow saja. Kalau di kota membangun rumah sebesar ini bisa habis milyaran. Om Andi suka merendah. Katanya tadi usaha kecil-kecilan. Tapi kenapa Bang Angga tidak pernah cerita kalau rumahnya besar, ya?

“Ini kamar kamu, Nora. Dulunya ini kamar Angga. Silakan tempati dan anggap saja rumah sendiri. Kamar mandi di dekat dapur. Dapur ada di belakang. Kamar saya sendiri sebelum dapur.” Om Andi lelaki berusia 60 tahun tapi terlihat tegap menatapku sejenak. Kemudian aku mengerjap dan mengucapkan terima kasih.

Aku berbaring di kasur kapuk dengan sprei bunga-bunga hijau khas zaman dulu. Kamar ini asri. Di dekat lemari aku melihat ada foto mereka berempat. Om Andi dengan istrinya, lalu Bang Angga dan Anton. Foto yang sudah sangat lama, terlihat kusamnya. Istri Om Andi juga sudah tiada puluhan tahun silam.

Berarti Om Andi menduda sekian lama? Hebat, juga, ya? Katanya laki-laki itu kalau istrinya meninggal sebelah matanya menangis, sebelahnya lagi mencari calon istri baru. Tanah kuburan masih basah juga sudah menikah lagi. Lama-lama mataku terasa berat dan aku tidak sadar apa-apa lagi.

Aku terbangun ketika suara hujan begitu deras dan petir menyambar memekakkan telinga. Jendela kayu di kamar Bang Angga terbanting dan membuatku semakin kaget. Kamar sangat gelap dan aku tidak tahu di mana letaknya sakelar lampu.

Aku hidupkan flash pada ponsel dan mulai melangkah menutup jendela. Pada saat gelap gulita seperti ini aku teringat dengan hantu polong. Ah, tidak mungkin. Om Andi kelihatannya baik, pasti dia tidak diganggu hantu.

Aku berusaha menarik jendela kayu yang sangat berat karena terkena air. Kemudian aku seperti melihat sebuah benda terbang melesat tiba-tiba begitu saja di depan mataku. Duh, kakiku mulai terasa dingin. Tolong, aku ke sini hanya ingin silaturahmi dan ziarah saja.

Suara ketukan pintu membuatku kaget. Untung saja itu suara Om Andi. Aku lekas membuka pintu kamar.

“Listrik di rumah ini memang ala kadarnya, Nora.” Om Andi menghidupkan lampu yang sinarnya remang-remang.

“Makasih, Om.”

“Ayo kita makan. Om sudah masak makan malam saat kamu tidur tadi.” Duh sepertinya kedatanganku merepotkan lelaki berusia 60 tahun ini. Aku pun keluar. Om Andi izin memasuki kamar putranya dan dia begitu mudah menutup jendela.

“Lain kali jangan biarkan jendela terbuka kalau sudah senja, Nora.” Dia melewatiku dan berjalan di depan.

“Om, apa karena hantu polong ya? Indah dikasih tahu gitu.” Aku mencoba akrab dengannya.

“Bukan hantu polong yang harus kamu takutkan. Tapi, manusia yang lebih mengerikan daripada hantu. Manusia kalau sudah terjerat nafsu bisa berbuat apa saja.” Om Andi menjawab dengan senyuman khas setelah menoleh ke belakang.

Sesaat jantungku berdetak sedikit keras. Astaga perasaan seperti apa ini. Aku harus membersihkan isi kepalaku.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status