Joandra tahu Utami adalah musuh yang dibungkus dalam wujud malaikat. Putri dari seorang penjahat, pewaris dosa besar yang tidak bisa dia maafkan. Tapi di atas ranjang dinginnya, Utami menjadi satu-satunya yang bisa membuatnya terbakar. IG author: zizarageoveldy
Lihat lebih banyakTubuh bergelimang peluh itu saling melepas setelah tadi sama-sama memagut. Selanjutnya yang terdengar adalah desah napas yang terengah-engah bersama sensasi luar biasa yang mengantar ke surga dunia.
“Capek?”
“Sedikit,” pelan suara Utami saat Joandra bertanya sekaligus mengecup dahinya.
Joandra tersenyum kemudian merengkuh wanita yang beberapa tahun ini dipacarinya agar berbaring di atas lengannya. Sementara tangannya yang lain menjangkau buku favoritnya—Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie—yang tergeletak di atas nakas. Buku itu sudah lusuh. Beberapa halamannya juga menguning. Terdapat beberapa lipatan di beberapa lembar untuk menandakan poin-poin penting. Sembari mendekap Utami, Joandra membuka halaman terakhir yang dibacanya lalu meneruskan bacaannya.
Utami hanya bisa memandang dalam diam tingkah kekasihnya. Entah sudah berapa puluh kali Joandra menamatkan buku tersebut, tapi lelaki itu tidak pernah bosan. Setelah membaca keseluruhan isi buku itu sampai selesai maka Joandra akan mengulangnya dari halaman pertama.
“Apa sih bagusnya? Nggak bosan apa baca buku ini terus? Emang ceritanya bakal berubah ya kalau dibaca berulang-ulang?” Utami berujar pelan namun sampai dengan baik ke telinga Joandra.
“Anak Fekon nggak bakal ngerti, sana baca novel aja.”
“Ihhhh …” Utami mendelik mendengar ledekan kekasihnya.
Joandra tertawa. Dikecupnya kepala sang kekasih dengan perasaan sayang sebelum melanjutkan bacaannya.
Utami menyerah. Jemari lentik dengan kuku berwarna burgundy-nya mengusap-usap dada Joandra. Bukan dada yang bidang dan berbulu lebat, namun Utami menemukan kenyamanan setiap kali berada dalam pelukan hangat dada lelaki itu.
“Jo …”
“Hm.” Joandra menyahut dengan gumaman tanpa mengalihkan atensi dari buku yang dibacanya.
“Papi nanyain kamu.”
“Terus?”
“Papi nawarin kamu kerja jadi lawyer pribadinya.” Utami menatap Joandra, menanti tanggapan pria itu.
Kekasihnya tidak menjawab. Malah tampak semakin berkonsentrasi pada bacaannya.
“Jo …” Utami mengelus dada Joandra sedikit kuat yang mengisyaratkan bahwa dirinya sangat butuh jawaban.
Terdengar embusan napas laki-laki itu yang dilepas dengan panjang. Lalu Joandra menyingkirkan Sang Demonstran dari hadapannya.
“Aku nggak bisa, Ta.” Dia memberi jawaban.
“Tapi kenapa? Justru aku pikir dengan bekerja menjadi pengacara Papi adalah hal yang bagus untuk karir kamu, nggak stuck disitu-situ aja. Bukan hanya dari segi finansial, tapi namamu juga bakalan naik,” bujuk Utami gregetan.
Joandra tersenyum kecut. Sebagai pengacara kecil dia memang belum memiliki nama. Hidupnya juga tidak sesejahtera para pengacara yang terkenal itu. Alih-alih akan kerja di firma hukum besar, dia justru mengabdi di sebuah LBH.
Ini adalah tawaran kesekian dari orang tua Utami. Namun jawaban Joandra tetap sama. Dia tidak akan pernah bekerja untuk mertuanya, karena dirinya dan pria itu sangat bertentangan secara prinsip.
Menarik pelan lengannya yang Utami jadikan sebagai bantal, Joandra membawa tubuh tanpa busananya turun dari tempat tidur.
Utami memerhatikan Joandra masuk ke kamar mandi, lalu tak lama setelahnya terdengar kecipak air dari dalam sana. Utami hanya bisa menghela napas. Dia tidak mengerti pada prinsip kekasihnya yang sepertinya begitu betah hidup susah.
Selang sepuluh menit kemudian Joandra keluar dari kamar mandi. Tubuhnya hanya dipagari selembar handuk putih yang menggantung rendah di pinggulnya sehingga Utami dengan jelas melihat V-line lelaki itu.
Sexy. Utami menyanjung dalam hati.
“Ta, aku mau ke kantor sebentar.” Joandra memberi tahu setelah mengambil setelan kemeja dan celana formal dari dalam lemari.
“Udah sore begini?” Utami memprotes. Tadi setelah makan siang berdua mereka melanjutkan dengan seks singkat. Utami masih ingin menghabiskan waktu bersama Joandra. Namun, lelaki itu malah ingin pergi.
“Baru jam tiga, Ta.” Joandra melirik arlojinya yang baru saja dikenakan.
“Aku tunggu di sini sampai kamu pulang,” putus Utami.
“Tapi aku belum tahu bakal pulang jam berapa. Mungkin sampai malam.”
Utami memberengut. Bibir sensualnya mengerucut. Dan itu membuat Joandra gemas.
Joandra mendekat, duduk di pinggir tempat tidur, lalu memberi kekasihnya ciuman lembut.
“Besok kamu kan masih bisa ke sini.” Lelaki itu membujuk.“Besok ya lain lagi, Jo. Lagian besok kayaknya aku bakalan sibuk banget. Ada beberapa endorse yang harus kutangani.
“Lusa kalau begitu.”
“lh, kamu!”
Joandra hanya tersenyum saat kekasihnya itu menyingkap selimut lalu turun dari tempat tidur. Jakunnya bergerak-gerak menyaksikan tubuh polos Utami saat gadis itu membawa langkah ke kamar mandi.
Tanpa terasa sudah lebih enam tahun mereka bersama. Dan sejauh ini keduanya bahagia meski realita kehidupan tidaklah seindah cinta mereka.
**
Hari itu puluhan demonstran menyuarakan aksinya di depan kantor PT. Cipta Dinamika. Mereka menuntut keadilan atas sejumlah karyawan yang dipecat namun tidak dibayar pesangonnya.
Sementara di dalam gedung, Joandra yang bertindak sebagai advokat dari LBH Justicia mewakili para demonstran tersebut menagih hak mereka.
“Maaf, Pak Joandra, lebih baik Bapak pergi. Percuma Bapak di sini karena tidak ada gunanya. Perusahaan ini sudah collapse, jadi sangat tidak mungkin memenuhi tuntutan para mantan karyawan,” kata salah seorang perwakilan PT tersebut yang menemui Joandra.
“Kalau begitu izinkan saya bertemu dengan pemilik perusahaan ini.” Lelaki berkulit sawo matang itu bersikukuh untuk bertahan. Dia tidak akan mundur sebelum berhasil. Dia yakin orang penting itu ada di dalam sana.
“Perusahaan ini sudah dijual, Pak. Bapak tidak akan bisa minta apa-apa,” dalih sang perwakilan.
Joandra menyipit membaca gestur lawan bicaranya. Bisa saja pria berambut cepak dengan trend alis terpotong itu berbohong padanya. Jangan sebut namanya Joandra jika dia akan menyerah begitu saja.
“Kalau begitu saya ingin bertemu dengan pembeli perusahaan ini. Dia pasti ada di dalam. Saya harap anda tidak mempersulit. Percaya pada saya, orang-orang di luar sana belum akan berhenti sebelum mendapatkan haknya. Besok dan besoknya lagi mereka masih akan datang. Anda sendiri yang susah. Jadi lebih baik pertemukan saya dengan owner baru perusahaan ini.”
Perwakilan perusahaan akhirnya menyerah. Dia meminta Joandra menunggu sebentar. Selang lima menit pria itu muncul lagi dengan pria berkemeja batik. Pria berkemeja batik membawa Joandra ke lantai dua menggunakan lift. Setelah keluar dari lift pria berkemeja batik menyerahkan Joandra pada dua lelaki berbadan tegap berseragam navy pekat yang dari pakaiannya Joandra pikir adalah bodyguard.
Sungguh sangat panjang birokrasi untuk bertemu pemilik baru perusahaan tersebut.
Sang bodyguard memindai Joandra dengan metal detector. Setelah dinyatakan aman, Joandra disuruh masuk.
Daun pintu lalu terbuka. Ruangan tempat Joandra memijakkan kakinya begitu luas dan sangat dingin. Lima meter dari tempatnya berdiri Joandra melihat seorang pria sedang duduk di kursi direktur dengan tangan bersedekap di dada. Segaris senyum membingkai bibirnya.
“Selamat datang, calon menantu. Silakan duduk,” ucap pria itu mengejutkan Joandra.
Bersambung~
Tiga pasang mata yang lain serentak memandang ke arah pintu menyaksikan aksi Utami. Di saat itulah Joandra menyadari bahwa kedatangannya tidak tepat waktu.“Aku mengganggu?” tanya Joandra setelah Utami berdiri tepat di hadapannya.Kekasihnya itu menggelengkan kepala.“Tadi dua kali aku cari kamu ke butik tapi kata Febi kamu nggak masuk, katanya kamu sakit kepala. Makanya aku ke sini. Masih sakit kepala?”“Udah agak mendingan,” jawab Utami. Dia berbohong karena nyatanya kepalanya bertambah sakit saat ini setelah mengetahui rencana papinya.“Tami, kenapa Joandra nggak disuruh masuk?” Terdengar suara Maudy menyela obrolan mereka.Utami terdiam dan hanya bisa memandangi wajah Joandra. Utami tidak ingin Joandra masuk lalu duduk bersama orang tuanya. Dia tidak ingin Joandra mendapat sikap kasar dari orang tuanya. Dia tidak mau Joandra tersinggung.Tidak mendapat respon dari Utami, Maudy langsung berdiri lalu menghampiri keduanya yang masih berdiri di sisi pintu.“Jo, ayo masuk, kenapa berdi
Utami terbangun dan mendapati hari sudah gelap. Entah berapa lama dirinya tertidur.Tadi siang setelah menangis sepuasnya karena kesal, Utami ketiduran. Sambil menggeliatkan badan dijangkaunya ponsel di nakas. Tadi Utami sengaja mematikannya agar Joandra tidak bisa menghubungi.Apa yang dilakukan Joandra saat ini? Apa lelaki itu tidak merasa bersalah lalu mencoba menghubungi Utami?Ragu sejenak, Utami memutuskan untuk membiarkan ponselnya tetap mati. Kalau Joandra merasa bersalah dia pasti akan mencari Utami ke mana pun.Setelah mandi Utami turun ke lantai utama. Perutnya keroncongan. Dia ingin makan sekarang."Papi mana, Bi?" tanyanya pada pembantu yang sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah itu."Ada di ruang tamu, Non. Sama Ibu juga.""Lagi ada tamu?""Betul, Non. Tadi tidak sengaja Bibi lihat saat mengantar minum. Orangnya cakep, masih muda. Sebelas dua belas sama pacarnya Non." Sang ART bertutur dengan muka penuh binar."Siapa dia, Bi?" tanya Utami penasaran."Bibi juga tidak tah
Utami menahan air matanya agar tidak tumpah. Jalan raya di hadapannya tampak buram. Bulir-bulir bening berdesakan di pelupuknya dan siap jatuh kapan saja. Menyakitkan mengetahui Joandra lebih memilih pekerjaan dan prinsip yang dipertahankan sampai mati ketimbang Utami yang jelas-jelas adalah wanita yang dicintainya. Utami merasa kalah. Ia pikir selama ini dirinya adalah prioritas bagi Joandra. Tapi apa buktinya?Tadi saat Utami bergegas meninggalkan Joandra, laki-laki itu memang mengejarnya sambil memanggil namanya. Namun Utami yang terlanjur kecewa menggas mobilnya sekencang mungkin meninggalkan kantor Joandra. Kantor yang tidak layak disebut sebagai kantor. Tempat tersebut lebih cocok disebut sebagai gudang, ruangan tua tidak berguna atau apa pun yang menyimbolkan bahwa tempat tersebut sangat tidak tepat dijadikan sebagai tempat beraktivitas. Kecil, sempit dan pengap. Beberapa bagian dindingnya bahkan sudah terkelupas.Utami tidak mengerti pada kekasihnya itu. Di saat dia bisa menda
Dengan cepat Joandra memandang ke arah pintu. Bibirnya melengkung memberi senyum. Ditinggalkannya tempat duduk lantas berjalan menyongsong kekasihnya itu."Kok nggak bilang kalau mau ke sini?" Joandra mengecup pipi Utami dengan perasaan sayang. Iya, Joandra memang sesayang itu pada Utami. Hanya Utami yang bertahan lama di hatinya. Bukan karena siapa dan apa yang dimiliki gadis itu. Tapi karena Joandra mencintainya dengan tulus.Namun kali ini reaksi yang didapatkannya tidak seperti biasa. Tidak ada senyum ceria atau kecupan balasan."Gimana mau bilang, dari tadi aku telfon kamu tapi nggak direspon."Joandra spontan meraba saku celananya dengan kedua tangan namun tidak merasakan ada ponselnya di dalam sana. Lelaki itu lantas berjalan menuju meja lalu mencari ponsel di dalam ransel. Benda itu ditemukan dalam keadaan silent. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Utami."Sorry, Ta, sorry, ternyata tadi hpku silent." Joandra mengangkat benda tersebut lantas menunjukkan pada Utami.Utami m
Dengan refleks Utami mengangkat kepala mendengar nama kekasihnya disebut. “Apa, Pi? Joandra?” “Apa ucapan Papi kurang jelas? Pacar kamu itu melaporkan perusahaan kita. Dia ingin menghancurkan Papi!” beritahu papinya menggebu-gebu. “Nggak mungkin Jo mau menghancurkan Papi. Itu sangat nggak masuk akal,” bantah Utami menyangkal. Dia yakin sekali jika kekasihnya tidak akan melakukan hal konyol tersebut. “Kenapa tidak mungkin? Nyatanya itu terjadi. Dia menuntut perasaan kita agar nama Papi tercoreng, reputasi Papi rusak. Lalu setelahnya apa? Dia tertawa melihat Papi hancur!” Utami menggeleng-gelengkan kepala, tidak sependapat dengan pikiran sang ayah. “Aku nggak yakin kalau itu Jo, Pi. Apa untungnya Jo melaporkan Papi? Jo masih waras. Dia nggak akan mungkin melakukan hal konyol begitu.” Utami terus bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Utami sadar betul dan tahu kekasihnya itu sampai ke akar-akar. Namun, Joandra tidak mungkin berlawanan dengan orang tuanya kan? Joandra tidak akan sen
Utami baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua. Dia bermaksud pergi ke butik lalu beraktivitas seperti biasa. Suasana rumah sangat sepi kala gadis itu melintasi bagian demi bagian. Rumah itu memang selalu sepi. Selain dirinya adalah anak tunggal, kedua orang tuanya juga sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing. Papinya dengan perusahaan yang beranak pinak. Sedangkan maminya dengan usaha franchise makanan yang semakin berkembang dengan pesat.“Iya, Feb, aku masih di rumah, kamu cek stok dulu, nanti kita bicarain.” Utami menjepit ponsel di antara telinga dan pundaknya sembari terus melangkahkan kaki.“Tami! Nggak sarapan dulu?”Utami memandang ke sumber suara. Ternyata maminya ada di ruang makan. Dia yang barusan memanggil Utami.Bukan hanya maminya, namun papinya juga ada di sana. Utami yang tadinya berniat untuk sarapan di butik mengurungkan niat tersebut lalu membelokkan langkah menuju meja makan.“Aku pikir Mami masih di Bandung. Kapan nyampe, Mi?” Utami tanyakan semba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen