Share

Pengakuan

Bagian 3

Pengakuan

Ada sebuah meja makan yang kira-kira muat menampung empat orang untuk duduk. Om Andi duduk di kursi utama, persis seperti di sinetron atau film. Aku sendiri masih bingung ingin duduk di mana. Lelaki berusia 60 tahun itu berdiri dan ia menyeret kursi di sisinya untukku. Terpaksa aku ambil tawaran ini agar sopan.

“Semua Om masak sendiri. Maaf, hanya ada makanan kampung, beras juga tidak selembut dan wangi seperti di kota.” Dia bermaksud ingin menuangkan sesendok nasi padaku. Namun, aku berusaha mencegah dan sempat tangan kami bersentuhan. Om Andi minta maaf padaku.

Aku mengisi nasi di piring seng khas seperti waktu aku kecil dahulu. Perlengkapan di atas piring juga barang-barang lama yang tergolong antik. Lalu aku menawarkan mengisi nasi untuk calon mertuaku, dan dia mengiyakan saja.

“Sayur bening kangkung, ikan tongkol disambal dan telor dadar. Juga ini namanya rama-rama, binatang laut yang tinggal di tanah busut. Mungkin bagi Nora sangat asing, tapi masih bisa dimakan,” ucap Om Andi.

Aku melihat hidangan yang antara dikatakan udang bukan, kepiting juga bukan, benar-benar asing sekali.

Aku mengambil hidangan yang katanya rama-rama. Ada cangkang tipis dan ada daging seperti kepiting di dalamnya. Aku tarik dan coba, wah rasanya enak sekali, seperti memakan olahan sea food buatan professional.

Om Andi menggeser satu mangkuk besar rama-rama untukku. Aku selingi dengan makan nasi supaya cepat kenyang. Dari speed boat tadi sebenarnya aku sudah lapar, tapi ingat pesan Om katanya jangan makan sembarangan.

Selesai sudah kami makan dan aku baru sadar di rumah sebesar ini kami hanya berdua saja. Ya, rumah seperti istana zaman dahulu luasnya. Tidak ada pembantu, atau cucu? Oh iya, Bang Angga saja sudah meninggal. Anton masih dinas. Bagaimana caranya Om Andi dapat cucu.

“Tidak usah, istirahat saja Nora, biar Om yang kemas semua sendiri.” Dia melihatku mulai membersihkan piring di meja makan.

“Nggak usah, Om, biar Indah aja. Om bisa duduk atau merokok dulu.” Aku bilang begitu karena Bang Angga habis makan pasti merokok.

“Om tidak pernah merokok.” Ucapannya membuatku terdiam sesaat. Lalu aku membawa semua peralatan makan yang kotor ke dapur sesuai petunjuk pemilik rumah.

Di sini tidak ada tempat cuci piring. Hanya tempat basahan saja dengan baskom dan mangkok plastik biasa. Air juga ditampung dalam wadah ember bekas cat. Tekstur air yang ada di dalam ember warnanya agak kekuningan. Aku harus menggunakan air cukup banyak agar sabun cuci piring berbusa. Tapi ajaibnya, bekas minyak cepat kesat terkena air kuning ini.

Selesai cuci piring, aku ingin pamitan pada Om Andi yang masih duduk di meja makan. Beliau membaca buku tebal dengan tulisan Arab tanpa harokat, hebatnya lagi tanpa menggunakan kaca mata. Padahal aku yang baru 27 tahun saja sudah menggunakan kaca mata di kantor.

“Nora, duduk di sini, Om ingin bicara,” katanya tanpa berpaling dari kitab sedikit pun.

Lekas aku duduk di tempat tadi. Dia berdehem sejenak lalu melipat kertas di dalam buku kemudian menutupnya. Padahal lampu di ruang makan agak remang-remang. Mata Om Andi yang sama dengan sorot penglihatan Bang Angga, tidak berair sama sekali.

“Iya, Om mau tanya apa?” tanyaku basa-basi.

Jujur saja situasi yang hanya berdua ini membuatku sedikit kikuk. Kalau di kota besar hal demikian sudah biasa sekali. Bahkan aku sudah sering satu ruangan dengan manager, bos. Dengan Bang Angga juga pernah, termasuk dalam hal …

“Maafkan, Om, tapi hal ini perlu dipertanyakan. Walau Angga sudah tutup mata. Om ingin memastikan.” Ucapan calon mertuaku membuat diri ini waswas dan menelan air liur. Jantungku jadi bertalu-talu.

“Apa ada yang salah dengan kami berdua, Om?”

“Pasti ada yang salah kalau sudah lima tahun pacaran dan lama sekali menuju pernikahan. Bilang sama Om, hubungan kalian sudah sejauh mana?” Tatapan mata Om Andi melucuti keberanianku untuk jujur. Ya, jelas sekali sangat jauh aku dengan Bang Angga.

“Kenapa diam?” tanyanya lagi. Apa aku harus terbuka soal semuanya?

“Ehm, ap-apa harus Indah cerita semuanya, Om?” Aku serius gugup sampai terbata-bata. Apa Bang Angga sudah cerita kalau kami melakukan apa saja selama berduaan. Baik di puncak, kontrakan, atau kos-kosanku.

“Harus, siapa tahu Om punya pewaris.” Dia membuka kitab lagi. “Walau sebenarnya dalam agama kita, anak di luar nikah tidak akan mendapatkan warisan … tapi, ha ha.” Om Andi tertawa sekilas. Apanya yang lucu, ya?

“Tapi apa, Om?”

“Om saja tidak pernah menjalankan ajaran agama dengan baik. Maka warisan sebanyak ini asalkan anak itu darah keluarga kami, dia punya hak penuh atas semua kebun-kebun Om.”

Sejenak kami berdua diam, hingga gerimis turun lagi dan aku masih belum mau buka mulut. Ah, tapi apa penting untuk jujur. Bukannya pertanyaan jebakan tadi sudah berhasil membuat Om mengetahui semau aib kami.

“Apa susahnya jujur, Nora.” Telapak tangan Om Andi tiba-tiba memegang tanganku. Jujur aku kaget dan mencoba melepaskan diri, tetapi pegangannya cukup kuat hingga aku bingung harus apa.

“Kalau kamu tidak jujur tidak akan Om lepaskan.” Dia menatap mataku. Jantungku semakin berdetak tidak keruan.

“I-iya, Om. Indah sama Bang Angga sudah sampai pada ya, Om, paham gimana anak muda tanpa pengawasan orang tua di kota besar.” Akhirnya genggaman tangan Om Angga lepas. Beliau menarik napas sejenak. Mungkin kecewa.

“Om tidak menyangka, padahal Angga rajin sholat di rumah. Ternyata, tergoda perempuan juga. Apa mungkin itu penyebabnya dia buru-buru menikah, persiapan sangat singkat. Seharusnya Om bisa adakan pesta adat tujuh hari tujuh malam.”

“Nggak buru-buru, Om. Kami persiapan sudah sejak tiga bulan, kok.”

“Dalam tiga bulan itu, kalian bermaksiat terus, bukan?” Lagi-lagi pertanyaan yang sudah tidak perlu aku jawab lagi.

“Iya, Om, tapi Indah minum pil KB, jadi sampai sekarang nggak ada jejak dari Bang Angga.”

“Sayang sekali,” kata Om Andi.

“Maaf, Om, tapi kami masih terikat kontrak kerja.” Dia tertawa mendengar jawabanku.

“Lucu kalian berdua ini. Terikat kontrak dengan manusia takut, dengan Allah tidak takut. Sholat terus maksiat jalan. Luar biasa!” Lelaki dengan rambut pendek seperti tentara ini bertepuk tangan. Aduh, aku jadi malu. Ingin rasanya aku pulang ke kota, tapi mau pakai apa?

“Maaf, Om.” Aku menundukkan kepala.

“Tidak perlu minta maaf dengan Om. Semua sudah terjadi. Setidaknya kalian lebih baik daripada Om. Om sendiri tidak pernah sholat, mungkin tiang agama sudah lama roboh.”

“Hah, yang bener, Om, sejak kapan?” Refleks mulutku nanyain. Kalau aku sendiri, sholat kapan ingat saja.

“Lupa, tepatnya dimulai puluhan tahun lalu sejak istri Om meninggal.” Oh, aku paham, semacam perasaan kecewa.

“Om, kalau gitu Indah permisi dulu, mau sholat Isya.” Perkataanku membuat Om Andi tersenyum.

“Satu lagi, Nora, berapa hari sekali kalian berduaan di dalam kamar?” Mulai terlalu dalam Om Andi menggali semuanya.

“Ehm, paling nggak seminggu dua kali, Om.” Dengan malu aku menjawab sambil menggaruk kepala.

“Ya sudah. Om yakin kamu akan kesulitan setelah ini. Om sarankan kamu cepat menikah dengan orang lain dan jangan berbuat dosa besar lagi. Kita tidak pernah tahu akan mati kapan.” Om Andi beranjak membawa kitab dan memasuki kamarnya.

Aku sendiri memberanikan diri ke kamar mandi yang sinar lampunya lebih terang sinar flash ponselku.

Aku masuk ke kamar Bang Angga. Aku pakai mukena dan bentang sajadah. Eh, aku lupa kiblatnya di mana. Terpaksa aku mengetuk pintu kamar Om Andi. Beliau keluar kamar. Astaga, tidak pakai baju atasan, padahal hari dingin karena hujan.

“Kenapa?” tanya Om Andi. Aku jadi melihat isi kamarnya sekilas. Seperti gaya orang zaman dahulu.

“Itu namanya kelambu, anti nyamuk. Di kamar kamu tinggal hidupkan obat nyamuk saja, Nora.” Jawaban atas pertanyaan yang belum aku ajukan membuatku menatap pada mata Om Andi.

“Oh, iya, Om, kiblat sebelah mana, ya?”

“Om sendiri lupa karena sudah lama tidak sholat. Tapi sepertinya Andi membelakangi lemari baju. Ada lagi yang mau ditanyakan?” Aku hanya menggeleng saja.

Kemudian aku beranjak meninggalkan depan kamar Om Andi. Ish, aku lancang sekali tadi memandang isi kamarnya. Jujur saja aku suka dengan desain masa lalu yang di saat sekarang sangat estetik.

Aku menunaikan sholat Isya, tak khusuk, alias memang tidak pernah khusuk sama sekali. Isi kepalaku bergantian antara Bang Angga dan Om Andi. Terutama ketika beliau shirtless. Jujur saja perempuan mana yang tidak terpana, di usia 60 tahun masih menjaga bentuk tubuh.

Aku berdiri setelah sujud. Parahnya aku lupa ini raka’at ke berapa. Dua atau tiga, ya? Aku jadi diam sambil pikiranku ke sana kemari. Ah, aku ulang saja sholatnya. Terserah mau diterima atau tidak. Toh, selama ini aku juga sudah berbuat dosa besar.

Ketika aku sujud raka’at terakhir. Aku mendengar derit pintu kamarku bergeser dan membuat gigiku ngilu. Aku duduk paling akhir. Dalam remang-remang lampu aku melihat bayangan laki-laki berjalan perlahan ke arahku. Aku fokus menyelesaikan bacaan tahiyat.

Lalu aku salam ke arah kanan agak ke belakang sedikit. Tidak ada siapa-siapa di belakang. Lanjut aku salam ke arah kiri. Dan aku terkejut hingga terjengkang dari tempat sholat. Bang Angga ada di belakangku. Dia memandangku dengan wajah pucat dan berlinang air mata.

“Pergi, Bang, pergi, Abang sudah mati.” Aku mundur sampai menabrak dinding kayu rumah ini.

“Indah, pergi, pergi, pergiiiiiiii!” Jerit Bang Angga hingga memekakkan telingaku. Aku pun ikut-ikutan menjerit.

“Pergi!” Lagi Bang Angga berteriak sambil memukul-mukul lemari sampai pintunya terbuka. “Lariiii!”

Kemudian suara itu menghilang. Jantungku berdetak sangat kencang dengan napas naik turun dan mulai berkeringat dingin.

“Nora, Nora, kamu kenapa?” Om Andi datang menghampiriku yang menutup telinga dengan dua tangan. Mungkin calon mertuaku mendengar suara jeritanku yang sangat kuat.

“Ta-ta-tadi, ada Bang Angga.” Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi. Sekujur tubuhku terasa lemas.

Bersambung …

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status