Kami pulang berdua, belum tahu akan menginap ke mana. Tapi waktu diajak ke hotel, aku iyain aja semua kata Om Andi. Lagian di kos sendirian, sepi banget rasanya. “Kalau kamu mau pindah saja ke hotel selama Om ada di sini, bagaimana?” tawarnya padaku. Aku lihat mata supir taksi melirik dari spion. Mungkin pikirannya kami ini sugar daddy dan babby. Agak sedikit mirip memang. “Emang rencana Om, berapa lama di sini? Biaya sehari tinggal di hotel itu mahal loh, Om.” Iya, aku pikir-pikir kok Om Andi kayak golongan sultan dari Arab sana. Padahal rumah di kampungnya kayu, motor butut, mobil nggak ada. “Satu minggu saja, tidak lama lagi Om akan pulang.” Mendengar perkataannya aku langsung melepaskan tangan Om Andi. Satu minggu sudah berjalan tiga hari, berarti empat hari lagi donk. “Kenapa nggak sebulan aja, Om. Uang, Om, kan banyak?”“Kalau kamu mau, ikut Om saja ke kampung dan tinggalkan semua yang ada di kota. Semuanya termasuk orang tua kamu.” Degh! Hatiku memanas mendengarnya. Supi
Aku sudah kembali bekerja. Pertanyaan Om Andi tadi malam nggak aku jawab sama sekali. Aku inginnya ikut, tapi aku juga punya tanggung jawab di sini. “Tumben, mukanya kusut gitu. Pasti tadi malam nggak dapat jatah dari sesekakek itu, kan?” Masih seperti biasa, Kimmi mewarnai hari-hariku dengan kejulidannya. “Nggak, kok, emang lagi pengen diem aja. Ayok, rapat entar lagi mulai.” Aku membereskan semua berkas yang harus dibawa untuk presentasi. Di sini aku duduk, di tempat biasanya. Dulu, di kursi barisan depan, Bang Angga akan duduk di sana. Iya, perusahaan kami bekerja memang beda, tapi ada kerja sama hingga intensitas bertemu semakin sering dan kami berakhir satu ranjang bersama. Sekarang ada orang lain di sana. Laki-laki juga, mungkin pengganti Bang Angga. Aku perhatikan, eh, dia juga ternyata menatap ke arahku. Lalu aku menundukkan pandangan. Aku nggak mau nanti Om Andi marah besar. “Cieh, mulai lihat-lihatan. Laku amat jadi janda kembang,” bisik Kimmi di sebelahku. “Janda apan
“Jadi, bagaimana? Ikut atau tidak?” tanya Om Andi ketika aku baru sampai. Dia menyodorkan barang-barang kesukaan perempuan padaku. Kami tidak bertemu di kamar. Tepatnya di restaurant di dalam hotel. Dalam sebuah ruangan khusus pula, katanya Om Andi ingin bebas merokok. Jujur aku belum memikirkan jawabaannya. Perhatianku tertuju pada tas dan sepatu yang sesuai dengan seleraku. Dari mana beliau tahu? Bertanya saja tidak pernah. “Nora, Om tanya sama kamu.” Dia mengembuskan asap rokoknya ke udara. “Indah, belum bisa ambil keputusan, Om.” Aku meminum soft drink yang baru dipesan. Eh sebentar, ini bukan minuman ringan, ada sedikit kandungan alkohol di dalamnya. Ya, udahlah minum aja daripada sungkan nolak. “Cobalah mulai berpikir. Tiga hari lagi, waktu tidak akan terasa lama berjalan.” “Emang nggak bisa kalau Om nggak usah pergi?” “Kalau kamu mau ikut, Om, tinggalkan semua yang ada di kota dan hiduplah di kampung berdua saja dengan Om, dengan anak-anak kita maksudnya sekalian.” “Ma
Aku nggak kembali ke kosan, selama tiga hari tersisa waktu bersama Om Andi. Beneran dia serius mau pulang. Selama waktu yang tersisa, aku sama dia jalan-jalan, makan, ke tempat hiburan sepulang jam kerja. “Memang berapa gaji kamu di sana, Om bisa ganti,” katanya. “Bukan masalah gaji aja, Om, tapi ada hal lain.” “Ya, terserah kamu, kalau memang tidak mau ikut Om tidak bisa memaksa.” Om Andi memasukkan baju-bajunya ke koper. “Mungkin kita memang selamanya hanya jadi calon mertua dan menantu.” Dia menutup kopernya setelah semua baju masuk. “Kecuali Om kasih kepastian, kalau Om akan nikahin Indah sebelum ke kampung, udah itu aja. Indah butuh uang, tapi lebih butuh kepastian sebenernya.” Aku menjawab. Ini buat jaga-jaga andaikata aku ikut ke kampung, eh, tiba-tiba dia menikahi perempuan lain. Ya, walau aku yang udah ditiduri sama dia, tapi kalau ada istri sah, tetap saja aku yang salah. “Fungsi menikah menurut kamu apa?” tanyanya sambil duduk di sebelah koper. “Untuk ibadah.” Jawaba
Detik demi detik waktu berlalu membawaku dari pagi sampai akhirnya menuju jam makan siang. Aku sibuk sekali, maksudku, aku menyibukkan diri. Baru satu hari aku ditinggal Om Andi, tapi aku mulai kepikiran. Aku cek handphone, balasan pesan dariku nggak ada. Susahnya menjalin hubungan sama orang tua, nggak ada WA nggak ada messengger, apalagi facebook dan twitter. Ditelpon juga nggak nyambung. “Indah, makan yuk, katanya ditraktir, tuh, sama Pak Hengki. Dari tadi dia lihatin kamu terus, loh.” Kimmi mulai mencolekku yang terus memikirkan Om Andi. Ck, ganggu aja. “Dia, kan, udah punya istri, sih, ngapain cari aku, emang aku pelakor?” Aku menutup sheet kerja di excel dan mulai mengemas handphone serta dompet. Soal makan siang aku masih bisa beli sendiri, kok. “Ya, sama sesekakek itu emangnya apa?” Kimmi mengikutiku. Aku memutuskan nggak mau bergabung dengan rombongan Pak Hengki, biarin deh mau dibilang sombong. “Om Andi kan duda, hati istri mana yang aku sakiti. Aduh capek aku klarifik
Panggilan kami terputus begitu saja. Paling juga karena sinyal yang jelek. Om Andi sudah selamat sampai di rumah sejak kemarin dan dia beritahu aku baru hari ini. Luar biasa. Ya, beginilah menjalin hubungan dengan orang tua, banyak makan hatinya. Di dalam kamar kosan aku terus merenung tentang peringatan dari Tante Nora, udah dua kali. Yang pertama saat di rumah suaminya, lalu terjadilah malam nista yang sudah sering kami ulangi. Kalau sampai dua kali artinya Om Andi beneran bukan orang baik? Terus aku ini emangnya baik? Halah, jelas sekali aku murahan kata beliau. Malam ini aku tak bisa tidur, selain memikirkan dia yang kata Kimmi sudah memelet aku. Diri ini juga mengerjakan presentase buat besok di kantor Pak Hengki. Untung aku perginya sama satu tim, kalau sendirian malas banget. Malam semakin larut ketika aku merapikan pekerjaan. Saat aku menoleh ke kiri, rasa-rasanya aku melihat Silvi. Nggak, please, dia udah mati, tolong jangan menghantuiku lagi. Tapi akhirnya hilang juga. A
Aku ingin pergi, tapi Pak Hengki menggenggam dua tangan dan menahanku di dinding. Sialan. Tapi tepat waktu pula aku muntah di bajunya. Keluar semua isi perutku. “Nggap apa-apa, ini sensasi namanya.” Dia ingin membersihkan bibirku, tapi aku menolak. Aku ingin menjerit tapi nggak bisa. Aku nggak mau disentuh sama si Hengki gila. Aku nggak cinta sama dia. Aku nggak tahu kenapa pintu yang dikunci dari dalam, kok, bisa-bisanya terbuka. Kimmi ada di depan pintu. Pak Hengki menjauh. Aku lihat dia merapikan baju dan celananya yang tadi hampir dia turunkan. “Ditungguin dari tadi, Indah. Lama amat ke toiletnya, ternyata nongkrong di sini, cepetan, kita masih ada kerjaan,” ucap Kimmi. Aku lekas meraih tangannya. “Pusing banget kepalaku, antar aku ke kantor, ya, aku mau istirahat di sana. Gila. Pak Hengki bener-bener kelewatan.” Aku merebahkan kepala di bahu Kimmi. Dia memang lebih tinggi daripada aku dan selalu bisa diandalkan. Kami kembali pakai bus kota soalnya tumben taksi lama banget. Ak
Aku tak peduli dengan supir taksi yang meregang nyawa karena dicekik kuntilanak, hantu, genderuwo atau sejenisnya. Aku terus saja berjalan hingga berjumpa dengan ojek motor online. Kupikir kalau di tempat terbuka mereka tak akan berani mengganggu. “Bang, bisa antar nggak ke kosan, nggak usah pakai order aplikasi dulu, saya bayar lebih.” Aku menunjukkan pecahan uang 100k padanya. Tanpa banyak basa basi bang ojek langsung setuju. Sebelum benar-benar sampai di kosan aku memintanya singgah ke minimarket sebentar. Aku perlu minuman dingin dan buah-buahan segar untuk mendinginkan kepalaku. Aku borong belanja bahkan sebagian aku berikan pada bang ojek, lumayan untuk menyenangkan hatinya. Sampai di kos aku merasa tenang walau kesepian. Akhir-akhir ini ada saja kejadian yang membuat leherku nyaris keram. Entah kenapa sejak ditinggal Om Andi ke kampung halamannya semua ini terjadi. Padahal aku nggak pernah jahat sama dia. “Kenapa, ya?” tanyaku pada bayangan diri di depan cermin. “Kamu pela