Entah sejak kapan Marina berdiri di teras rumah dengan memakai tudung kepala berwarna merah itu. Penampilannya seperti orang misterius yang ingin membunuh seseorang di dalam rumah besar. Marina mendekati Lusie yang baru saja akan keluar dengan Anea.
“Ada perlu apa kau datang ke rumahku?”
Marina membuka tudungnya. “Maaf, aku tidak berniat lancang Lusie. Aku hanya … kali ini aku hanya ingin bertemu dengan Anea.”
“Tidak bisa.”
Marina menyentuh dadanya. Seakan-akan ia terkejut dengan sikap Lusie barusan. Wanita itu membalikkan tubuh dan hendak pergi. Namun tangan Hero tiba-tiba datang mencegah Marina. Lusie sedikit syok dengan keberanian Hero menunjukkan sikap pembelaan kepada kekasihnya di depan Anea.
“Aku akan mengantarmu.” Hero melirik Lusie sinis. “Elios akan menjadi pelayan utamamu sejak sekarang. Kau akan diantar olehnya.”
Deg.
Lusie hanya diam ketika Anea digendong Hero dan membawa serta Marina ke dalam Bugatti Chiron miliknya. Mungkin Anea tidak memahami situasi yang terjadi, sehingga ia hanya diam dan menatap Lusie yang berdiri seorang diri dengan seragam dan tas ranselnya.
“Nona Lusie, kita harus segera berangkat juga.”
Elios sudah mengganti bajunya dengan jas hitam dan kemeja putih. Dia tampak seperti pengawal pribadi bagi Lusie. Elios membawanya masuk ke dalam mobil. Dia tidak banyak bicara selama mengantarkan Lusie. Hanya sesekali memandang dengan iba majikannya yang masih muda.
Bagi Lusie pernikahannya memang sudah dirancang tanpa kehendak darinya. Setiap perlakuan Hero yang perhatian dan lembut hanyalah bagian dari skenario terburuk. Hero hanya memperkeruh perasaan Lusie. Dia yang awalnya menganggumi Hero, berubah menjadi seseorang yang benar-benar ingin mencintai dan dicintai olehnya.
“Nona Lusie, apakah Anda ingin mendengarkan sebuah lagu?
“Tidak.”
Elios mengangguk patuh. Rupanya Lusie membawa pikirannya sejauh itu. Dia bahkan sengaja membuka jendela dan meletakkan kepalanya di jendela yang terbuka. Lusie menikmati sentuhan angin yang menerbangkan rambutnya.
“Nona Lusie, bukan maksud saya untuk lancang. Namun tindakan Anda ini sangat berbahaya, tolong tutup jendelanya dan duduk dengan tenang.”
Lusie melirik Elios. Lelaki pirang itu tidak tahu ya, rasanya dicampakkan? Lusie mengikuti perkataan Elios. Sayangnya pada perintah kedua Lusie menolak. Dia bahkan melepas sabuk pengaman dan berpindah tempat ke kursi depan.
Elios yang ketakutan dengan tindakan gegabah Lusie terpaksa menepikan mobil.
“Nona Lusie, Anda tidak boleh berbuat seperti ini.”
Lusie yang sudah duduk di samping Elios mengerucutkan bibir. “Dari tadi kau memanggilku dengan nama nona-nona terus! Aku ini bukan dari keluarga kerajaan, Elios!”
“Tapi Anda adalah majikan saya. Selain itu, tidak sepantasnya Anda duduk di samping saya. Jika tuan mengetahui, dia tidak akan tinggal diam, nona.”
Lusie menutupi matanya dengan lengan. Dia membaringkan tubuh dan berbicara sambil tertidur. “Kau ingat? Hero mengatakan jika saat ini kau adalah pelayan utamaku. Itu artinya, kau dalam kekuasaanku. Aku hanya bersikap seperti ini di depanmu saja. Aku akan menjaga sikap di depan Hero dan kau tidak perlu khawatir.”
“Tapi nona—“
“Kau tau, Elios? Aku sangat benci harus dicemooh penjaga gerbang yang melarangku masuk karena aku terlambat.”
“Saya akan membunuhnya jika nona ingin!”
Lusie lekas membuka mata. Ia menatap Elios yang memasang wajah serius. Astaga, ada apa dengan lelaki ini?
“Kau, bercanda?"
“Jika itu perintah dari nona, saya tidak mungkin berani menentangnya.”
Lusie menggeser duduknya sedikit lebih jauh dari Elios. “Yang terpenting untuk saat ini, antarkan saja aku tepat waktu.”
“Baik, nona Lusie.”
Hawa di dalam mobil benar-benar berubah menjadi dingin. Lusie bahkan sedikit lebih banyak mengawasi Elios yang tenang mengendarai mobil. Penyiksaan itu usai ketika mereka tiba di depan gerbang. Elios membuka pintu mobil untuk jalan keluar.
Sayangnya tidak ada pergerakan dari Lusie. Elios sedikit menundukkan kepala untuk menatap tuannya. Ia terkejut ketika melihat wajah Lusie yang pucat pasie. Jika seperti ini, Lusie lebih terlihat seperti porselen yang akan terbating ke lantai.
“Nona Lusie, apakah Anda sedang tidak enak badan?”
“Aku tidak apa-apa.” Lusie melirik Elios. ‘Dasar pembunuh dingin! Apakah sebab ini Hero mempekerjakan Elios untuk diriku?’
“Nona, orang-orang sedang melihat ke arah kita.”
‘Itu karena pakaianmu sangat mencolok, tahu!’ Lusie membatin. 'Memangnya siapa juga sih yang akan meminta seorang asisten pribadi dengan penampilan rapi seperti ini?! Elios lebih cocok membantu Hero dalam hal administrasi ketimbang sebagai tameng. Ck! Dasar beruang kutub itu!'
“Nona Lusie, jika Anda benar-benar tidak bisa pergi tidak apa. Saya akan memastikan nona baik-baik saja dan saya akan melaporkan keadaan nona kepada tuan.”
“Tidak perlu!”
Lusie melangkahkan kaki dan keluar dari mobil. Ya ampun! Benar apa yang dikatakan Elios. Banyak orang yang sedang memandang ke arahnya. Apakah hal ini masih terkait dengan video itu? Lusie menggeleng. Ia menatap Elios yang tingginya hampir mensejajari tinggi Hero. Huh! Mereka ini dulu makannya tiang listrik ya?! Kenapa bisa sangat tinggi, sih?!
“Nona Lusie benar baik-baik saja?”
“Tentu saja! Kau tidak lihat aku yang segar bugar ini?” Lusie melompat-lompat dan membuat Elios sedikit khawatir.
“Tolong berhati-hati, nona Lusie. Tuan tidak akan senang jika Anda terluka.”
“Huh, peduli apa dia kepadaku?”
Jika diingat-ingat, sikap Hero pagi ini sangat kejam! Dia membawa Marina satu mobil dengan Anea. Apakah dia berencana mendekatkan anaknya dengan kekasihnya itu?
“Hei, Lusie!!!”
“Falery?”
Lusie memukul kepalanya. Dia lupa jika semalam Farel mengatakan bahwa Falery akan pergi ke rumahnya. Namun Lusie pergi dan justru tertidur seharian dan terbangun saat malam hari. Apakah Falery akan menghabisinya sekarang?
“Kau akhirnya datang juga! Kasihan Farel, tahu! Dia harus menanggung tuduhan mesum gara-gara sikapmu itu!”
Falery menarik kepala Lusie. Dia gemas dan membuat Lusie hampir tercekik. Tiba-tiba saja Elios menarik tangan Falery dan membuatnya terkunci. Falery memekik kesakitan karena Elios memang menganggap Falery seseorang yang akan menyakiti Lusie.
“Elios, lepaskan temanku!"
“Tapi nona, dia hampir membunuh nona.”
Falery menjatuhkan rahang begitu pula dengan Lusie. Apakah Elios tidak pernah bermain-main seperti mereka? Ini sangat berlebihan!
“Lepaskan saja dia, Elios!”
“Baik, nona.”
Falery baru tersadar jika seseorang yang mengunci pergerakannya barusan seorang pria dewasa yang tinggi dan dan punya mata coklat yang terang. Dia justru hampir oleng ketika Elios menatapnya datar.
“Kau bisa pergi sekarang.”
“Baik, nona. Jaga diri nona baik-baik. Saya akan menjemput nona Lusie."
Kericuhan pun terjadi sepanjang proses belajar setelah Falery bertemu dengan Elios. Falery terus-terusan mempertanyakan Elios. Dia yang biasanya acuh pada lelaki mendadak bertindak layaknya perempuan yang sedang dimabuk cinta. Lusie tidak tahu apa jadinya jika Falery mengetahui jika dirinya adalah gadis yang sudah bersuami. Ah, tidak bukan itu! Apa tanggapan Falery nantinya saat mengetahui jika Hero adalah suaminya?
“Dia kenapa?” tanya Farel. Saat ini mereka menghabiskan waktu dengan duduk di atas atap sekolah.
“Sedang jatuh cinta.”
“Apa?!” Tuh, kan. Reaksi Farel saja sampai terkejut seperti itu. “Siapa lelakinya?! Kenapa dia tidak pernah bercerita padaku?!”
“Wah, wah. Jangan-jangan kau cemburu pada Falery, ya?”
“Jangan asal bicara!” Farel meneguk air mineral yang ia bawa dari kantin. “Selama ini aku dan Falery kan sangat dekat. Tapi dia tidak pernah bercerita apapun tentang urusan cinta.”
“Itu karena kau sangat playboy! Pasti Falery jenuh setiap hari mendengarkan ceritamu tentang gadis-gadis yang setiap hari mengirimimu coklat dan kue.”
“Heh, kau ini apa-apaan?! Aku tidak pernah bercerita tentang gadis-gadis itu. Meskipun aku memiliki banyak kekasih, tapi aku tak akan pernah menceritakannya pada kalian.”
Lusie menarik pipi Farel. Lelaki itu membulatkan mata ketika Lusie tiba-tiba mengecup pipinya. Suasana tiba-tiba terasa canggung bagi Farel. Dia membuang muka ke arah Falery yang masih senyum-senyum sambil memandang ke arah langit.
“Ternyata gosip playboy tentangmu itu bohongan ya?”
Farel berdehem. Dia menarik hidung Lusie dan menbuat gadis itu merengek kesakitan. “Kau ini apa-apaan! Kenapa menciumku tiba-tiba?!”
“Aku hanya ingin membuktikan kalau kau ini playboy atau tidak!”
“Memangnya dengan berbuat seperti itu akan membuatmu tahu?"
“Tentu saja. Jika gosip itu benar, kau akan bertindak agresif untuk membalasku.”
Farel terdiam. Suara lenguhan panjangan terdengar dari bibirnya.
“Meskipun seperti itu, kau harus ingat. Aku ini laki-laki dan seorang lelaki tidak akan merusak perempuan yang dia sayangi.”
Lusie menatap Farel dengan pandangan berkaca-kaca. Tentu saja Farel menjadi merinding melihat tingkah Lusie yang sangat absurd hari ini.
“Kau ini kenapa, sih?!”
“Farel, kau benar-benar menyayangiku ternyata. Huwaaa, akhirnya aku beneran punya kakak cowo!”
Ya, hanya sebatas itu saja perasaan Lusie untuk Farel. Mau bagaimana pun, mereka akan sulit bersama. Farel mengusap rambut Lusie dan membiarkannya menatap wajahnya. Farel tahu, fisik seseorang tidak benar-benar menjamin kesungguhan perasaan sejati untuk sama-sama terkoneksi dengan kita.
***
Hari ini Hero mendapatkan jatah libur. Selesai mengantarkan Anea ia pergi bersama Marina ke sebuah gedung besar yang terletak di pusat kota. Marina menutupi wajahnya dengan masker dan topi. Sedangkan Hero hanya memakai masker saja untuk menutupi identitas.
Mereka masuk ke dalam gedung pertunjukan teater klasik. Disana Hero duduk bersama Marina di kursi VIP. Seseorang tidak akan melihat mereka dengan reservasi yang sudah di pesan Hero.
“Seharusnya kau tadi mengajak Anea berbicara.” Hero membuka majalah. Dia tidak terlalu suka dengan teater. Sebab ini hanya janjinya untuk mengganti kesalahannya tempo hari. Marina pernah menjadi bagian dari seni tersebut. Sudah sejak tiga tahun ia pergi semenjak memasuki dunia modelling.
“Untuk apa? Anak itu sangat dingin padaku. Bukankah kau yang membentuknya seperti itu? Kau selalu melarang kami bertemu.”
“Aku hanya ingin melindunginya.”
Marina menarik dagu Hero. Ia menutup majalah Hero dan mendekatkan wajahnya kepada pria dengan mata berwarna biru safir itu. Hero menarik leher Marina. Ketika mereka lebih dekat, seorang pelayan masuk dan meletakkan minuman dan beberapa hidangan ke atas meja.
Usai pelayan itu pergi, Marina menegak habis minumannya.“Mengganggu saja!”
“Jangan salah paham, Marina. Aku hanya membersihkan rambut di belakangmu yang tersangkut sampah kecil.”
Hero menunjukkan serpihan tisu yang nampak sangat kecil. Melihat itu, Marina mencebikknya pelan.
“Sampai kapan kau menahannya, Hero? Bahkan laki-laki di luar sana berlomba-lomba untuk mendapatkanku. Bagaimana denganmu?”
“Pergilah jika kau mau. Aku tidak akan menahannya."
“Apakah Lullaby datang kembali?”
Deg. Hero menutup majalah. “Aku sudah membayar hutangku. Jika kau bertanya lagi, aku mungkin tidak akan ragu untuk pergi.”
Marina tersenyum sinis. “Rupanya benar, jalang kecil itu sudah menggodamu kembali.”
Hero membanting majalahnya ke atas meja. Marina hanya tertawa kecut ketika Hero pergi dari dalam ruangan dan meninggalkannya seorang diri. Marina mengingat bagaimana seorang Hero untuk kali pertama meninggalkannya hanya karena seorang gadis yang punya senyum seperti apel yang dibelah dengan pisau tajam.
“Jadi, Lullaby itu masih ada di tubuh Lusie? Hm, sangat menarik! Apa tujuannya kali ini?”Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem