Eric tak pernah meminta banyak hal pada Lusie. Ia hanya ingin Lusie menjalani hidupnya dengan benar. Seperti sekolah tepat waktu, tidak pulang terlambat, dan pergi dengan orang yang mau menjaganya.
Hari ini Eric meminta sesuatu yang besar. Meskipun Lusie sangat menyukai Hero, tetapi menikah bukan lah suatu hal yang ia inginkan. Lusie bahkan tidak tahu apakah ia hanya suka atau kagum saja. Hero tidak banya berbicara. Sesekali ia hanya melirik Lusie lalu membuang muka. Semua itu terjadi terlalu singkat. Lusie tidak bisa mengelak, bahkan jika ia bisa. Eric terlalu lemah untuk ia bantah.Seminggu setelah itu acara pernikah dibuka secara privat. Hanya beberapa keluarga besar saja yang datang. Minus Isabella sebab ia masih mengadakan tur luar negeri. Tentu saja jika ia sempat ia tak akan datang. Media akan berdatangan dan membuka kehidupan Isabella yang sesungguhnya.Lusie masih diperbolehkan sekolah dengan berbagai diskusi panjang yang harus ia lewati. Tak ada satu pun temannya yang tahu, termasuk Farel dan Falery. Hanya beberapa petinggi sekolah saja yang datang. Mereka hadir karena orangtua Hero yang berpengaruh dalam donasi di sekolah.Hero dengan jas hitam dan dasi putih menggandeng Lusie. Mereka berdiri di atas kursi megah usai mengucap ikrar sakral. Di hadapan para hadirin, Hero telah meresmikah Lusie sebagai istri sahnya.Lusie menatap Eric dari kejauhan. Ayahnya memakai kursi roda dengan bantuan alat infus. Lusie berterimakasih pada Tuhan karena di hari pernikahnnya ia masih melihat Eric disana.Pesta sederhana itu rampung di tengah malam. Lusie amat kelelahan setelah melewati berbagai rangkaian cara. Ia menyikap dahinya yang berkeringat. Entah berapa kali jepretan foto diambil. Lusie melenguhkan napas.Lelah yang menerpa dirinya membuat Lusie langsung berbaring ke atas ranjang. Ia belum membersihkan diri. Gaun emasnya tersibak memenuhi kasur. Bahkan beberapa kelopak bunga mawar menyingkir dengan sendirinya.Krak. Ceklek. Pintu terbuka kemudian tertutup. Seseorang sudah menguncinya. Lusie tahu siapa yang datang dan ia berpura-pura menutup mata. “Jika kau ingin tidur disini, setidaknya bersihkan dirimu.”Lusie. “…”“Apakah aku perlu memandikan istriku di malam pertama?”“Heh! Jangan coba-coba, ya!”Hero mencebik. “Kau pikir aku serius? Dasar jorok!”Lusie menggembungkan pipi. Belum pernah dalam hidupnya seseorang mengomentari dengan nada sedingin itu. Hero berjalan ke arah kamar mandi. Lusie masih berbaring di atas kasur dan segera bangun.Lusie membuka pintu kamar mandi karena ia kesal dengan umpatan Hero. Namun, ia justru melihat sesuatu yang belum pernah ia lihat dalam hidup. Lusie berteriak keras, begitu pula dengan Hero. Lusie menutup wajahnya. “Aaaaaa, sialan! Kenapa kau tidak memakai bajumu bodoh!”“Dasar kurang ajar! Beraninya kau masuk tanpa seizinku!”“Seharusnya kau mengunci pintu kamar mandi ini!”Hero sadar jika ini adalah kamarnya. Ia sengaja tidak memasang kunci karena selama ini hanya ia yang ada di dalam ruangan itu. Kini Hero mengutuk keras dirinya karena tidak terlalu memperhatikan setiap sudut di kamar.Hero mendorong Lusie pergi. Tangan Hero mengarah ke bahu Lusie. Namun karena keadaan lantai yang licin Hero justru tergelincir dan menarik Lusie ke dalam bak mandi bersamanya.Lusie merasakan sesuatu yang basah mengecup bibirnya. Ia terperangah ketika membuka mata. Hero dengan matanya yang sayu tengah menyentuh Lusie. Tangan Hero mengukung tubuh Lusie dalam bak mandi.“He-hero.”“Diamlah, Lus.”Hero membuka gaun Lusie dengan perlahan. Sontak tangan Lusie segera menutup area dadanya.“Kau harus ingat jika aku ini masih sekolah!”“Tapi kau sudah menjadi istriku."Lusie bergetar ketika nada suara Hero berubah menjadi dalam. Apakah dengan masuknya Lusie dengan keadaan seperti ini sudah membuat Hero berubah? Lusie hendak pergi, tetapi Hero kembali menarik tangannya.“Aku tidak akan melewatkan malam ini.”Lusie terperangah ketika Hero membuka paksa gaunnya dan menyiram Lusie dengan air hangat dari shower. Hero membawa Lusie ke atas ranjang dengan keadaan telanjang. Keduanya bergemul di tengah malam. Meskipun Lusie awalnya menolak, tetapi ia menikmati setiap sentuhan Hero di dalam dirinya.Lusie menahan napas ketika Hero benar-benar menanamkan kehidupan di dalam dirinya. Ia tersenyum lega melihat Hero menjatuhkan dirinya di atas dada Lusie. Malam ini, Hero benar-benar memiliki Lusie seutuhnya.***Lusie berlari di tengah gurun. Ia terjatuh dan memandang ke arah kerumunan dengan wajah penuh kemenangan yang tengah menatapnya remeh. Mereka menuding-nuding Lusie dan sesekali menarik rambut Lusie.“Wanita pelacur selamanya akan menjadi pelacur!”“Dasar wanita desa rendahan!”“Matilah kau bangkai sialan!”Lusie menarik napasnya dalam. Ia membuka mata dengan napas yang terdengar tak teratur. Lusie melirik sekeliling. Ini hanya sebuah mimpi. Ya, mimpi yang sama setiap ia mengalami mimpi buruk. Namun, seingat Lusie kejadian dengan Hero semalam sangat nyata. Ia menoleh ke samping, tak ada Hero di sebelahnya. Lusie menyibak selimut. Ia merona merah ketika melihat bercak darah dan dirinya yang tak berhelai benang satu pun.Lusie manarik piyama putih dan menutupi dirinya yang telanjang. Lusie mengernyit ketika menemui sebuah kertas dengan pita merah ada di atas meja. Lusie hendak membuka kertas itu.Lusie berjalan ke arah balkon. Barangkali Hero sedang mandi dan akan canggung rasanya ketika ia bertemu dan menatap wajah Hero setelah adegan panas semalam. Lusie merasa terkalahkan dengan pesona Hero.Sayangku, Hero Terimakasih sudah rela menikahi gadis itu. Selamanya, aku akan tetap mencintaimu dalam keadaan apapun. Kau telah membuat keputusan yang tepat dengan kakek tua yang menyedihkan itu, Hero. Semoga kau menikmati hadiahku. Terimakasih untuk segalanya. Aku ingin kau selalu ingat akan cinta kita.Salam manisku, Marina SolvertLusie menjatuhkan surat itu. Ia menutup mulutnya—membayangkan jika semalam ia hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan tuannya. Lusie berlari ke arah kamar mandi. Ia tak menemui Hero di sana. Lusie bergegas mengganti baju dan segera turun ke bawah.Lusie menemui Anea yang sedang sarapan pagi seorang diri dengan boneka beruang coklat di sebelah. Ia mendekati Anea dan bergabung di meja makan.“Kemana semua orang, sayang?”“Opa dan Oma sudah pergi. Apakah Papa tidak memberitahukannya pada Mama?”Darah Lusie berdesir ketika Anea memanggilnya dengan sebutan Mama. Ia mengelus rambut Anea dan tersenyum. “Bagaimana dengan Papa?”“Papa pergi dengan tante Marina.”Deg! Lusie kini ingat siapa Marina. Segera Lusie mencoba menelpon Hero. Satu kali telponnya tidak diangkat. Untuk kedua kalinya, Hero mematikan telpon Lusie. Darah Lusie seakan menjadi mendidih. “Apakah Marina sering datang kemari?”“Tidak juga. Anea belum pernah bertemu dengannya. Karena papa selalu melarang kami untuk bertemu.”Lusie bergerak gelisah. Ia meninggalkan Anea dengan roti selai kacang dan boneka beruang coklat. Lusie berjalan ke arah teras dengan gaun putih dan rambut yang terurai. Seharusnya pagi ini ia masih harus berangkat ke sekolah. Masih ada waktu, tetapi Lusie ingin bertemu dengan Hero lebih dulu.Bram. Mobil putih dengan sentuhan klasik masuk ke dalam pekarangan. Lusie melemaskan tangannya yang kaku. Ia menunggu seseorang keluar dari mobil itu. Seorang lelaki, dengan seragam putih dan topi khas pilot.Dia Hero Louis. Ia berjalan santai dengan kacamata hitam menuju ke arah Lusie. Tak ingin lama menunggu, Lusie bergegas menghampiri Hero sambil menunjukkan surat dengan pita merah. Hero tidak bereaksi apapun.“Katakan apa yang dimaksud di dalam surat ini, Hero!”Hero melepas kacamata hitamnya. Matanya yang hitam dengan alis tebal menukik tajam. “Kau pikir aku rela menikahi gadis bodoh dan ceroboh sepertimu?”Lusie menjatuhkan bahunya.“Dengar Lusie, orangtuaku selalu menuntut ibu untu Anea. Sementara kekasihku seorang model yang tidak bisa kunikahi sekarang karena profesinya. Kemudian, ayahmu memohon-mohon agar aku menikahimu. Ku pikir, semua kebenaran ini bisa kau terima dengan mudah.”“Apa?! Lantas, apa yang kau lakukan semalam denganku, brengsek!”“Aku pria dewasa yang sudah memiliki anak dan kau gadis muda yang masih sangat lugu. Awalnya aku pikir aku tak mungkin tergoda dengan tubuhmu. Namun kau datang menyerahkan diri. Bagaimana aku bisa menolak?”Lusie menahan gemuruh di dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, lantas memeluk Hero dengan erat. Lusie meletakkan kepalanya di dada Hero. Ada suara degup jantung yang kencang berdetak.“Jika kau tidak mencintaiku, setidaknya perlakukan aku dan keluargaku dengan baik.”Lusie mengendurkan tangan. Ia tersenyum simpul, menarik tangan Hero ke dalam rumah. Anea berlari menerjang kaki Lusie. Ia sudah memakai seragam sekolah. Kecantikan Anea benar-benar membuat Lusie gemas.Ketika Lusie sibuk membawa Anea ke dalam kamar, Hero termenung di tempat. Ia tidak tahu mengapa Lusie tidak melanjutkan amarahnya. Ia bertindak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.“Hero, aku akan menyusul setelah bersiap dengan seragamku.”Suara Lusie bergema. Ia turun sepuluh menit kemudian dengan seragam sekolah bersama Anea yang dituntun. Lusie duduk di sebelah Hero yang masih belum menyentuh makanannya.“Mama, hari ini papa harus bekerja lagi, ya?”Lusie menyelipkan rambut Anea. “Ehm, sepertinya. Tidak apa, kan ada mama di rumah.”“Dan ada teddy juga!”Anea memamerkan boneka beruangan coklat miliknya kepada Lusie. Hero mencebik melihat Lusie yang mudah beradaptasi. Ia menyentuh rotinya, tetapi urung ia makan setelah ponselnya berdering. Nama Mariana terpampang jelas disana.Slap. Lusie merebut ponsel Hero dan berbicara dengan Mariana.“Maaf, suamiku sedang sibuk dengan keluarganya. Jika kau ada perlu, silakan datang ke rumah dan mari bertemu.”Tit. Lusie meletakkan ponsel Hero dan kembali bermain dengan Anea. Hero menatap Lusie, bukan sebuah tatapan tajam yang hendak menerkam. Melainkan sesuatu yang belum pernah ia rasakan semenjak ia duduk di bangku SMA tempo dulu dan mendapatkan Anea sebagai gadis kecilnya yang polos. Tatapan keraguan diantara benci dan menerima kehadiran sosok baru dalam hidupnya.Perban putih melilit tangan kanan Lusie. Ia membiarkan perawat perempuan yang nampak masih muda itu mengurus luka. Tangannya terlihat cekatan dan tidak membutuhkan waktu lama untuk mengganti.“Bukankah tadi itu kapten Hero?” Perawat itu membuka suara. Ia menyiapkan beberapa pil. Menyerahkan kepada Lusie dengan segelas air. “Sudah sangat lama aku tidak melihat artikel dan iklan tentangnya.”“Ya, dia suamiku.”Perawat dengan rambut yang digelung itu terdiam sejenak. Kemudian mengambil kembali gelas dan piring kecil tempat pil. Lusie baru saja menelan tiga buah pil itu dengan cepat.“Saya sangat iri, Anda beruntung bisa menikahi suami romantis seperti kapten. Selain itu, ia juga bertanggung jawab dan sangat setia. Saya menyaksikan sendiri, jika tiga hari selama Anda tertidur, kapten Hero terjaga di samping Anda.”“Apa dia … tidak tidur sampai sekarang ini?”“Soal itu, saya
Tiga hari sudah terlewati. Hero menunggu dengan cemas di samping ranjang besar. Menempatkan Lusie di ruang VIP agar perempuan itu mendapatkan perawatan yang lebih baik. Ia embiarkan Lerry dan beberapa perawat yang mendampingi memeriksa keadaan Lusie. Tadinya rumah sakit sangat riuh karena teriakan Hero. Ia memanggil Lerry di sepanjang lorong dengan suara kencang hingga membuat pasien disana tidak nyaman.Lerry melepas stetoskop. Ia membiarkannya menggantung di leher. Hero sudah menantikan jawaban baik. Ia juga dapat melihat mata Lusie yang sudah terbuka. Meskipun belum ada suara, tetapi itu lebih baik daripada melihatnya terpejam seperti mayat.“Lullaby sudah pergi?”Lerry menghelas napas. “Jika bukan suami dari Lusie, kau mungkin sudah kuusir dari sini. Seharusnya kau menanyakan keadaan istrimu terlebih dahulu.”“Lalu bagaimana? Bukankah dia baik-baik saja?”“Lebih rumit dari yang ku kira. Temui aku setela
Hero duduk di kursi tunggu. Sudah dua jam berlalu semenjak Lusie dibawa ke rumah sakit. Ia sempat membuat Lerry syok. Namun tak berlangsung lama karena Lerry harus segera menanganinya. Kesadaran Lullaby hilang usai ia memberikan pertanyaan terakhir yang belum sempat Hero jawab.Seharusnya Hero senang akan hal ini. Bukankah ini yang ia harapkan? Menghilangkan perempuan itu dari hadapannya? Lullaby adalah alasan ia terjebak di pernikahan tanpa cinta ini. Sementara Lusie hanyalah wanita biasa yang tak sejajar dengan usia dan karirnya. Bagaimana bisa ada rasa untuk mempertahankan mereka?“Hero.”“Lerry?”Dokter muda itu duduk di sebelah Hero. Ia datang bersama para perawat yang sudah berlalu.“Lusie baik-baik saja, bukan?!”Lerry mengangguk. “Masa kritisnya sudah terlewat. Itu juga berkat kau yang membawanya tepat waktu.”“Kapan ia akan sadar?”“Mungkin esok pa
Bagi Hero Lusie mungkin sudah menjadi seseorang yang tak sengaja mengambil bagian dari hidupnya. Awalnya ia mengira gadis 18 tahun yang saat itu mengidolakannya akan menjadi perempuan yang akan sudi untuk memenuhi kenginan dari ayahnya. Sehingga Hero hanya menjalani hubungan tersebut tanpa arti yang berarti.Hingga ada hal yang sulit ia mengerti dengan berbagai alasan yang terangkai dalam kepala. Untuk apa ia menarik Lusie dari kerangkang lelaki lain yang ingin memberi sepilin perhatian dari mereka? Tanpa sadar Hero bahkan menjauhi Lusie untuk sebuah ketidakpastian yang ia miliki.Perasaan bingung mengendap dalam hati. Ia menepuk kepala berulang kali dan menatap dirinya dalam pantulan cermin. Mata biru itu menatap tajam dengan bulu mata lentik yang kontras dengan alis tebalnya. Lagi-lagi bayangan itu menghampiri dirinya. Seperti sebuah sapaan yang tak pernah bosan untuk datang.“Kamu tidak makan?”“Hero?”Hero melangkah masu
Ujian berakhir pada pukul dua siang. Sama seperti siswa lainnya Lusie ikut mengambil tas dan berangsur pulang melewati kerumunan siswa yang masih berbincang membahas soal ujian. Tidak Lusie sangka bahwa ujian terakhir di hari sekolah itu akan menjadi ujian pertama dalam pertemanannya.Tak ada Falery yang mengganggunya saat pulang. Bahkan Farel tak menyapa sedikit pun meskipun mereka berada dalam kelas yang sama. Ini mengingatkan Lusie saat awal ia masuk sekolah formal di masa kecil. Tak ada yang mau mendekatinya karena takut akan dipukul Lusie.Sejak itu Lusie takut untuk berangkat ke sekolah. Bukan sebab dijauhi, tetapi pada faktanya ia lebih takut pada dirinya sendiri yang membawa ancaman untuk orang lain. Lusie menyadari setiap ia berkelahi satu diantara temannya akan berakhir di rumah sakit. Tak ada yang tahu darimana mereka berakhir seperti itu. Sebab Lusie tak pernah mengakui bahwa ia menyiksa temannya.Masa sulit itu kini sudah terlewat. Lusie mencoba unt
Langit menggelap—membawa gulungan awan hitam. Dari sana rintik hujan mulai berjatuhan. Bertemu dan menyapa bumi. Gemericiknya memecah keheningan. Mengetuk-ngetuk atap, pohon, juga bus yang melintas.Di tengah rintik hujan itu Hero tersadar. Bahwa bayangan Lusie hanyalah ilusi yang tak sengaja muncul di kepalanya. Nyatanya, itu hanyalah seorang anak SMA biasa yang menumpang duduk di sebelah.Hero memasang wajah dingin seperti tak mau disentuh dan diganggu oleh siapa pun. Ia menatap jendela, yang perlahan juga ikut terguyur air hujan. Meninggalkan bekas embun dan mengaburkan pandangan.Bus berhenti di halte kawasan A. Hero turun bergatian dengan para penumpang lainnya. Sementara itu, ia lupa membawa payung. Hero sengaja berjalan tanpa payung dan menikmati sentuhan rintik hujan.Entah kapan terakhir kali ia berjalan di bawah hujan seperti ini. Sejak SMA Hero sudah sulit untuk menemukan kebahagiannya. Fakta bahwa ia jarang bermain seperti anak biasa mem