Share

Bab 4

SMA Nusantara menutup gerbangnya pukul tujuh pagi. Lusie membungkuk lelah sebab ia telah berlari dari busway selama lima menit demi mengejar bapak satpam yang terlalu bersemangat menarik gerbang sekolah. 

“Lus.”

Lusie menyelipkan poninya ke samping. Ia menyengir ketika Farel menenteng tas ransel di bahu samping.

“Kau hampir terlambat pagi ini.”

“Sebab itu aku berlari.”

“Kau tidak pernah jera bangun siang.”

“Berisik!”

Lusie menjulurkan lidah. Sontak saja Farel memukul telah bibir Lusie dengan telapak tangan. Mata Lusie menutup rapat menahan sakit. Farel tergugup, ia kira ia telah menyakiti Lusie terlalu jauh. 

“Biarkan saja dia.”

Falery menyusul dan ikut menambahi. Ia menggandeng tangan Farel sambil sesekali menoleh ke belakang.

“Hei, kalian!!!”

Lusie berteriak dengan tangan yang mengacung ke udara. Falery segera berlari dengan berpegangan pada tangan Farel. Mereka menghindari kejaran Lusie yang seperti singa betina yang tengah mengamuk.

Brak! Ketika berbelok Lusie tak sengaja menabrak seseorang. Ia menyentuh kulitnya, merasakan nyeri yang cukup pedih. Lusie tersentak ketika melihat badan besar yang sedang menatapnya tajam. Astaga! Itu ibu Murie!

Mengapa Lusie harus bertemu dengan ibu kejam itu di pagi hari? Awalan hari yang cukup menyebalkan. Ibu Murie berkacak pinggang, mungkin saja ia sudah tahu harus dengan hukuman apa ia memberi pelajaran pada Lusie.

“Maaf, ibu.”

“Bagus sekali! Hari ini kau meminta maaf setelah melemparkan sepatu murahan itu semalam?!”

Lusie jengah. Kenapa sepatunya harus dilibatkan? Toh, kemarin ia sudah berurusan dengan pihak kepolisian dan mereka sudah menganggap masalah ini selesai. Sepertinya ibu Murie tidak akan menyerah begitu saja untuk membuat Lusie hidup di neraka dunia.

“Ikut saya!”

“Ta-tapi, bu.”

“IKUT SAYA!”

“Baik, bu.”

Lusie mengekor. Namun, di tengah jalan seseorang menengahi mereka. Lusie dibawa ke punggung belakang orang itu. Lusie terperangan ketika menatap bahu lebar yang memiliki tubuh tegap di depannya. Agaknya, Lusie mengenali sosok itu.

“Tuan Hero? Ada perlu apa Anda disini?”

“Membawa Lusie. Pagi ini, ayahnya sedang dirawat di rumah sakit. Ia berpesan untuk membawa Lusie pulang.”

Lusie sontak menarik jas Hero. “Ayah?!”

Ibu Murie mengganti air mukanya yang garang menjadi tenang. Ia melirik Lusie yang kini nampak gelisah dengan memutar jarinya bergantian. 

“Baiklah, saya akan menyampaikan izin itu pada wali kelas Lusie.”

“Terimakasih.”

“Sama-sama, tuan Hero.”

Hero berbalik menghadap Lusie. Tangannya yang besar menggandeng Lusie pergi. Seluruh perhatian mengarah pada mereka. Beberapa sengaja mengambil gambar dan mengunggahnya ke sosial media. Komentar mulai berdatangan. Mereka mempertanyakan kehadiran Hero yang tiba-tiba membawa Lusie pergi.

Sementara itu, Farel dan Falery menatap dari jauh. Mereka belum tahu apa yang sedang terjadi. Karena Lusie tak pernah berbicara jika ia memiliki hubungan dengan Hero. Falery merasa terkhianati. Selama ini ia mengidolakan Hero, tetapi Lusie tak pernah berbicara apapun tentang hubungan intimnya dengan Kapten tersebut.

Farel hanya menatap dengan wajah sedikit muram. Ia mengepalkan tangan ketika melihat tangan Lusie dan Hero yang saling bertaut. Ada gemuruh yang menjalar di dadanya. Seperti gas yang disulut api. 

Lusie sendiri hanya pasrah ketika Hero memasukkannya ke dalam mobil. Mereka mengendarai mobil dan meninggalkan aula sekolah. Lusie belum pernah setakut ini. Hero menyetir sambil sesekali melirik Lusie yang gamang.

“Apakah ayah baik-baik saja?”

Hero menggeleng. “Tidak tahu, pagi ini aku melihatnya pingsan di depan rumah. Kakakmu sudah pergi ke Rusia petang tadi, bukan? Sebab itu aku segera memanggil ambulan dan menjemputmu pulang. Kita akan tahu keadaannya setelah bertemu dokter.”

Lusie menangkup wajahnya dengan tangah. Oh Tuhan, semoga ayahnya baik-baik saja. Lusie tidak mengetahui sejauh apa sakit yang selama ini diderita ayahnya. 

Hero hendak mengelus punggung Lusie yang bergerak naik turun menahan tangis. Namun tangan Hero hanya mengambang di udara. Hanya butuh beberapa senti saja untuk melakukan sentuhan. Namun Hero  menarik tangannya kembali dan fokus menyetir.

***

Hero membuka pintu untuk Lusie usai mereka tiba di rumah sakit. Lusie bergegas berlari menuju ruang ICU tempat Eric dirawat. Lusie meletakkan tangannya di jendela kaca sebab ia dilarang masuk. 

Eric terbaring di atas ranjang dengan selang infus dan alat bantu pernapasan. Lusie merasa de javu. Ini adalah pemandangan yang sama seperti sepuluh tahu yang lalu. Saat ia masih terlalu kecil untuk memahami jika keadaan ibunya sedang tidak baik-baik saja.

Lusie sangat berharap jika Tuhan berbaik hati memberikan pertolongan untuh Eric. Ia adalah satu-satunya keluarga yang Lusie miliki selain Isabella. Tak ada orang lain yang sudi berbicara dan mendengarkan cerita Lusie selain ayahnya.

Ketika orang lain memandang Lusie sebagai anak pelacur rendahan, ayahnya berdiri tegap membawa muka garang agar mereka berhenti menjelekkan dan menyakiti Lusie. Ada banyak hal yang belum bisa Lusie berikan pada Eric. Kini, ia berharap jika Tuhan masih memberikan Eric umur yang panjang.

“Keluarga dari tuan Agatha?”

“Ya, itu saya suster!”

“Silakan masuk, dokter ingin bertemu dengan Anda.”

“Baik, Sus.”

Lusie mengekori suster masuk ke dalam ruang. Sementara itu Hero menatap Lusie dengan iba. Ia tidak tahu jika gadis ceriwis yang ceplas-ceplos itu bisa tampak sangan lemah sekarang. Ia jadi ingat dengan Anea. Apakah Anea akan melakukan hal yang sama ketika ia jatuh sakit?

Di sisi lain, Lusie tengah berhadapan dengan dokter yang menangani Eric. 

“Anda Lusie Agatha?”

“Benar, dok.”

“Seperti yang diceritakan tuan Eric, Anda sangat cantik dan manis. Pasti banyak orang-orang yang menyukai Anda.”

Tidak seperti itu. Lusie hanya membalas dengan senyuman. Sejak kecil tak ada yang mau berteman dengan anak wanita perebut istri orang. Ia selalu dikucilkan dan dianggap sebagai peri hitam yang jahat.

“Apakah itu berarti ayah sudah sering ke rumah sakit?”

“Ya, seperti itu. Ayah Anda memiliki riwayat penyakit jantung yang sudah sangat kronis. Satu-satunya jalan adalah cangkok jantung. Namun itu bukan hal yang mudah. Saya yakin tuan Eric tak memiliki masalah keuangan. Hanya saja sangat sulit mencari jantung yang bisa didonorkan. Jika berjumpa, belum tentu cocok. Sebab itu ia tidak ingin lagi mencari. Tuan Eric ingin berbicara dengan Anda setelah saya memberi tahu kondisinya.”

Lusie mengusap ujung matanya. Selama ini ia terlalu kurang ajar mengabaikan seruan Eric. Lihatlah? Lelaki tua yang tampak garang itu ternyata memendam sesuatu yang sangat besar. Lusie tergugu hingga bahunya bergerak naik turun.

Lusie berjalan pasrah ketika suster membawanya kepada Eric. Disana, Hero ikut membantu dan mendudukkan Lusie di samping Eric. Dengan wajah yang sayu, Eric mengenggam tangan Lusie.

“Anakku, Lusie. Ketika dunia menganggapmu sebagai kesalahan, bukan berarti kau diam dan menangis di sudut ruang. Bukan salahmu lahir di dunia, sayang. Kau berhak bahagia dengan hidupmu. Selamanya aku akan selalu mencintaimu sebagai ayahmu.”

“Ayah, berbicaralah seperti biasa. Ini bukan dirimu yang biasanya menganggapku sebagai tawanan dan tahanan.”

Eric tertawa renyah. Suara tawa itu justru menyayat hati Lusie. Sebab Lusie tahu, tidak selamanya tawa itu akan selalu ia dengar.

“Mungkin jatah hidup ayah tidak akan lama.”

“Ayah, apa yang kau bicarakan!”

“Lusie, kakakmu Isabella selalu mencintaimu dengan cara yang sulit kau pahami. Ia wanita yang mandiri, jadi aku tak perlu terlalu khawatir tentang hidupnya. Namun denganmu, aku ingin agar kau dijaga oleh seseorang sebelum aku pergi.”

“Ayah ….”

“Lusie, menikahlah. Aku menerima Hero sebagai calon suamimu. Aku harap, engkau mau menerima permintaan terakhirku ini.”

“Ayah!”

“Ya, Lusie. Engkau dan Hero, aku merestui kalian.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status