Share

Part 6. Kejutan!

Sesuai arahan Sada, aku pergi ke alamat yang dia kirim pada siang hari ini. Ternyata dia mengirim aku ke salah satu restoran terbaik di kota ini, yang seumur hidup aku tak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Delizio, adalah salah satu restoran bintang lima yang sering kali dikunjungi atau di-review oleh artis maupun foodvloger ternama. Tampilan luarnya saja sudah menjanjikan kemewahan, kenikmatan, dan tentu saja kemahalan untuk kantongku yang tidak pernah sehat ini.

Akan bekerja sebagai apa aku disini? Tukang cuci piring kah? Atau tukang bersih-bersih?

Aku mematut tampilan diriku di depan jendela restoran ini yang sangat berkilau dan bebas debu. Jika dilihat dari penampilanku, diterima sebagai petugas bersih-bersih saja rasanya sudah sangat bersyukur.

Omong-omong dari mana Sada punya link untuk memasukkan aku ke restoran ini ya? Memang siapa Juna Juna itu? Sedekat apa mereka? Kalau aku benar-benar bisa diterima disini karena rekomendasi Sada, berarti dia bukan orang main-main.

Seorang penjaga keamanan menghampiri aku yang masih sibuk berkaca "maaf mbak, ada keperluan apa disini?" Tanyanya.

"Saya nyari yang namnya Juna pak, dia kerja disini."

"Pak Juna sibuk mbak kalau jam-jam segini. Memang sebelumnya sudah ada janji?"

Aku menggeleng, "tapi dua hari lalu saya disuruh sama Sadajiwa kesini.”

Seperti teringat sesuatu, bapak ini berseru "oh mbak namanya Kanaya ya? Saya baru inget kemaren Pak Sada udah pesan sama saya.”

"Iya, bener pak."

"Tunggu ya mbak, saya hubungi yang di dalam dulu.”

Setelah bapak ini mengubungi seseorang dan terlibat percakapan singkat, aku diantarkan kesebuah ruangan dan diminta untuk menunggu Juna disana. Ruangan ini terlihat sangat rapih dengan sofa empuk dan sebuah kursi kerja yang terlihat nyaman. Di depannya terdapat sebuah meja dengan satu set komputer lengkap. Sepertinya ruangan kerja yang punya restoran ini. Dibagian sebelah kanan dari tempatku duduk ada sebuah pintu yang tertutup rapat, tampaknya mengarah ke suatu ruangan pribadi. Secara keseluruhan tempat ini sangat nyaman, sampai-sampai aku takut akan ketiduran disini nanti.

"Mbak tunggu disini sebentar ya, bentar lagi mungkin Pak Juna istirahat.”

"Iya, makasih ya pak.”

Aku harap orang bernama Juna itu tidak lama. Kalau aku harus menunggu beberapa jam disini, aku takut si Juna itu menemukan aku yang sudah bergelung nyaman diatas sofa empuk ini.

Saat sedang berjuang mati-matian melawan kantuk, pintu ruangan terbuka. Seketika aku dapat menghidu aroma manis khas cake memenuhi ruangan ini. Aroma makanan memang tak pernah gagal membuat aku memproduksi air liur berlebih, terutama aroma manis dari bahan-bahan cake yang tercampur sempurna.

Seseorang melewatiku sambil meletakkan apron di punngung sofa, lalu duduk tepat di depanku.

"Lho, Naya?"

Aku tahu dunia ini sempit, tapi bertemu dengan orang yang sama dalam waktu dua hari berturut-turut merupakan sesuatu yang sangat kebetulan buatku. "Mas Mahen?"

"Astaga, ternyata beneran kamu," ujar Mas Mahen, dia tampak sedikit takjub. "Waktu Pak Sada bilang dia merekomendasi seseorang bernama Kanaya, saya sempat mengira itu kamu, tapi rasanya kemungkinan itu sangat kecil. Now look what I find here."

Aku menggaruk tengkuk dengan canggung, belum bisa mencerna situasi sebenarnya. "Sebenarnya saya disuruh menemui orang yang bernama Juna."

"Orang itu adalah saya."

Aku mengerjap tak mengerti, "jadi..."

"Nama saya Juna Mahendra."

Aku melogo. Yakinlah wajahku yang jelek ini pasti bertambah jeleknya berkali-kali lipat.

Mas Mahen tertawa melihat ekspresiku yang memang sudah tidak bisa dikondisikan. "Saya biasanya memperkenalkan diri dengan nama panggilan akrab saya. Tapi disni, saya biasa dipanggil dengan nama depan."

"Jadi Mas Mahen yang bakal merekrut saya?"

"Yap, betul sekali."

Oh aku harus memanggilnya dengan formal mulai dari sekarang. Aku membersihkan kerongkongan dan memberanikan diri untuk bertanya, "maaf pak, jadi kalau saya diterima bekerja disini, saya akan bekerja di bagian apa?"

Mas Mahen, oh atau Pak Mahen mengibaskan tangannya, "jangan terlalu kaku, jadi aneh kedengarannya. Nanti kalau udah di kitchen aja baru kamu panggil saya chef. Chef loh bukan bapak."

Aku mengangguk.

"Nanti kamu bakal kerja sama saya," lanjut Mas Mahen. "Saya kebetulan memegang bagian pastry di restoran ini. Kami kekurangan anggota di bagian decorateur."

Ah aku sangat buta mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kue. Sepertinya Sada salah merekomendasikan orang.

"Tapi saya nggak punya pengalaman apa-apa dalam bekerja di bidang pastry pak, eh mas."

Mas Mahen mengangguk-angguk, "saya sudah duga sih. Pak Sada nggak mungkin mikirin hal-hal seperti itu, yang dia tau ya saya harus mewawancara kamu."

Melihat dari cara Mas Mahen menyebut Sada, sepertinya pria arab KW itu punya posisi yang penting disini.

"Pak Sada itu..."

"Dia yang punya restoran ini. Kamu nggak tau?"

Demi Tuhan, setelah ini mungkin aku tak punya nyali lagi untuk menatap wajah Sada. Mungkin aku tak akan mampu mengata-ngatai dia lagi. Jika benar aku diterima bekerja disini, dia akan menjadi bos dari bosku sekaligus pemilik tempat aku tinggal. Sekali menjentikkan jari, dia bisa menamatkan hidupku, sampai ke akar-akarnya. Tapi hei, jangan salahkan aku sepenuhnya. Sifat menyebalkannya membuat aku selalu menguarkan aura negatif setiap berinteraksi dengannya. Lagipula siapa yang akan menyangka jika pria dengan tampilan urakan itu adalah pemilik restoran yang sungguh elegan ini? Sada benar-benar mengajarkan aku untuk tidak menilai orang dari penampilan luarnya saja.

Aku tidak tahu ini anugerah atau malapetaka. Entah apa yang sudah aku lakukan sampai aku mengenal orang sehebat dia. Di satu sisi aku merasa beruntung karena aku merasa mengenal orang dalam yang akan menyelamatkan hidupku. Disisi lain aku merasakan firasat bahwa cepat atau lambat hidupku akan didominasi oleh Sada, orang yang sampai saat ini kurasa masih banyak menyimpan sisi misterius. Aku tidak tahu apa yang bisa dia perbuat dalam hidupku nanti.

"Dari reaksi kamu yang sampai termenung seperti ini, sepertinya Pak Sada tidak memberi tau kamu apa-apa."

Aku menggeleng lemah.

"Yah tidak masalah. Dia memang seperti itu. Tapi walaupun kamu direkomendasikan langsung oleh si big boss, saya harus melihat sejauh mana kamu bisa belajar dalam menghias pastry yang akan kita sajikan."

"Semacam ujian keterampilan?"

"Bukan sepenuhnya ujian. Nanti saya akan mengajarkan kamu cara mendekor, dan saya akan lihat sejauh mana kamu bisa menangkap penjelasan saya dan mengaplikasikannya."

Kali ini aku mengangguk dengan semangat, "kapan saya bisa belajar, mas?"

"Resto ini tutup jam sepuluh. Kalau pengunjung tidak terlalu banyak dan persediaan pastry dirasa cukup, kita bisa mulai belajar jam delapan nanti. Nanti saya akan hubungi kamu jika saya sudah luang dan kita bisa mulai belajar."

"Baik mas."

"Untuk sekarang kamu bisa pulang dulu. Tunggu saja kabar dari saya."

"Siap mas. Kalau gitu saya permisi. Terima kasih untuk waktunya."

Setelah itu aku meninggalkan Delizio dengan harapan besar Mas Mahen akan memberiku kabar baik sore atau malam nanti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status