Share

Part 5. Lucky 2

Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini.

Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh.

"Mbak, majikannya baik banget ya."

Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku.

"Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham.

"Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus."

"Hah?"

"Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgrade penampilan mbak, siapa tau dilirik jadi artis."

"Tapi aku bukan-"

"Duh aku udah kelamaan disini. Aku duluan ya mbak, semangat!"

Setelah mengatakan itu, gadis tanggung yang bermimpi jadi artis itu meninggalkan aku yang masih mencoba mencerna ucapannya.

Aku kembali lagi ke cermin dan melihat penampilanku. Baju kaus lusuh dan celana jeans yang sudah mulai pudar, dilengkapi sepasang sepatu kets usang yang sudah menemaniku sejak awal masuk kuliah. Yah, gadis itu benar. Aku terlihat seperti pembantu. Apalagi jika disandingkan dengan Ranti.

Perkataan gadis tadi membuat aku meragukan tentang pekerjaan yang ditawarkan Sada. Apa dia menawarkan pekerjaan sebagai pembantu juga? Atau dia menawarkan pekerjaan dengan syarat utama berpenampilan menarik?

Huh, kenapa sih mencari pekerjaan harus sesulit ini?

-£-

Seekor makhluk kecil menarik perhatianku saat akan memasuki mobil Ranti. Dia terlihat sangat kelaparan. Lihat saja badannya yang kurus itu.

Aku menghampirinya dan mengeluarkan makanan kucing yang selalu aku bawa kemana-mana.

"Hei kamu pasti lapar. Ini, makan yang banyak."

Kucing kecil berwarna abu-abu itu makan dengan sangat lahap. Kasihan, pasti dia kesulitan mencari makan sampai badannya jadi sekurus ini.

"Ya ampun Key, aku tungguin di mobil dari tadi ternyata malah nongkrong disini."

"Sabar dong. Aku kasih makan dia dulu."

"Masih lama nggak? Aku tadi dapat telfon penting dari Mbak Mayang"

"Kamu buru-buru?"

"Iya nih, ada urusan mendadak."

"Yaudah kamu pergi aja. Nanti aku pulang naik ojol."

"Nggak apa-apa nih?"

"Iya."

"Tapi kan kamu pergi sama aku. Aku nggak enak dong ninggalin kamu gitu aja."

Aku menghela nafas lelah, "nggak usah lebay deh. Sana pergi."

Ranti mengangguk lalu memelukku sebentar, "hati-hati ya. Jangan sampai diculik."

"Iya iya."

Setelah Ranti pergi, aku aku bergegas ke menimarket sebrang untuk membeli air mineral. Anak kucing ini pasti juga kehausan.

"Tunggu disini ya, jangan kemana-mana."

Sampai di minimarket aku bergegas menuju rak minuman. Setelah mengambil air mineral, aku menuju ke kulkas minuman dan mulai mencari sesuatu untuk meredakan haus di sore yang masih terik ini.

"Ambil minuman isotonik aja. Akhir-akhir ini banyak orang yang gampang dehidrasi." Ujar suara yang berasal dari balik punggungku.

Aku berbalik dan melihat pria tampan yang sedang tersenyum ramah. Aku melihat sekeliling. Kiri, kanan, atas, bawah. Tidak ada siapapun kecuali aku dan dia. Itu artinya dia bicara denganku kan?

"Hai, kita ketemu lagi," sambungnya.

Aku mengerjap tak percaya. Apa aku sudah mati? Apa dia jelmaan sosok malaikat? Memang kapan aku pernah bertemu orang setampan ini?

"Ya?" Saking bingung dan gugupnya aku hanya mampu mengeluarkan kata itu.

"Kayaknya kamu lupa sama saya." Ucapnya sambil mengangguk-angguk, "wajar sih, soalnya waktu itu kamu fokus banget ke kucingnya. Bukan ke saya."

"Maksudnya?"

"Sekitar sebulan yang lalu, kamu pernah berhentiin mobil di tengah jalan karena mobil itu hampir nabrak kucing. Ingat?"

Aku mencoba mengingat hal yang dia ceritakan. Maklum, otakku yang menua sebelum waktunya ini memang mudah sekali melupakan kejadian-kejadian tertentu.

"Ah itu, iya saya ingat."

"Pengemudinya adalah saya. Saya masih ingat banget kamu marah-marah dan bilang saya harus pakai kaca mata biar nggak hampir nabrak lagi."

"Astaga, saya ngomong gitu?" Bagaimana bisa aku marah-marah pada pria yang terlihat sangat baik hati ini?

Pria itu terkekeh dan mengangguk "setelah itu kamu pergi, sambil lari untuk bawa kucing itu ke vet terdekat. Kamu tau? Habis itu saya benar-benar pergi ke dokter mata untuk periksa."

Aku menutup mulut, tidak percaya ada manusia yang benar-benar ambil hati atas ucapanku. Biasanya suaraku tak pernah didengar. Bahkan tidak ada yang peduli dengan kehadiranku. Bagaimana bisa manusia ini melakukan ucapan spontaku yang sangat tidak bermutu itu?

"Ya ampun mas, saya benar-benar minta maaf. Harusnya mas nggak usah dengerin omongan saya waktu itu. Saya kalau panik emang suka ngomong asal ceplos. Maaf banget ya, mas."

"Nggak apa-apa," ucapnya sambil mengibaskan tangan.

Pria tampan ini lalu membuka kulkas, mengambil dua minuman isotonik dan membawanya ke kasir, "kamu ada yang mau dibeli lagi?"

Aku menggeleng. Dia mengambil air mineral dari tangaku lalu meletakkan di sebelah minuman kami.

Aku mengulurkan uang untuk membayar belanjaku, namun segera dihentikan oleh pria yang sampai saat ini belum memperkenalkan dirinya. "Biar saya yang bayar," ucapnya.

"Nggak usah mas, biar saya aja."

"Anggap saja ini permintaan maaf, oke?"

"Harusnya saya yang minta maaf."

Setelah perdebatan alot tentang siapa yang harus membayar dan disaksikan oleh kasir minimarket yang mulai jengah, akhirnya aku mengalah dan membiarkan si baik hati yang membayar.

"Saya Mahen"

Akhirnya si tampan ini memperkenalkan diri juga! Bukannya tak tahu diri dengan tidak mengajak kenalan lebih dulu, aku hanya takut pria ini hanya seorang super ramah yang hobi menyapa setiap orang yang ditemuinya. Akan sangat memalukan jika ternyata dia tidak berniat berkenalan denganku.

Aku tadinya sudah bersiap untuk menyebrang, tapi kembali membalikkan badan dan menjabat uluran tangannya, "saya Naya."

"Kamu tinggal di sekitar sini?"

Aku menggeleng, "tadi makan di restoran depan"

"Sendiri?"

"Awalnya dengan teman, tapi dia udah pulang duluan."

"Oh gitu."

Aku mengangguk. "Kalau gitu saya duluan ya, mas. Makasih sekali lagi untuk minumannya."

Setelah melihat dia mengangguk aku bergegas menyebrang jalan, sebelum lampunya berubah menjadi hijau.

Sepertinya aku harus mengenang hari ini sebagai salah satu hari keberuntunganku, karena pertama aku dapat makan gratis dan yang kedua aku bertemu dengan pria tampan yang sangat ramah dan baik hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status