Setelah selesai buang air kecil, aku bercermin untuk melihat penampilanku. Ewh aku sangat terganggu melihat minyak di wajahku ini.
Aku menghidupkan air kran dan membasuh wajah dan memoles liptint kembali. Setidaknya ini akan sedikit membantu penampilanku agar tak terlihat terlalu lusuh.
"Mbak, majikannya baik banget ya."
Aku menoleh ke kiri, melihat ke arah seorang perempuan remaja yang aku perkirakan baru lulus SMA. Dia terseyum ramah padaku.
"Maksudnya gimana?" Tanyaku tak paham.
"Aku lihat mbak tadi makan sama majikan mbak. Aku kesini juga sama majikan aku, dia artis, tapi baik banget. Asik ya mbak punya majikan baik, ditraktir makan yang enak-enak terus."
"Hah?"
"Sesekali coba ikut majikannya perawatan deh mbak. Aku udah dua kali dibawa ke salon, jadinya wajah aku jadi lebih bersih dan sehat gini. Walaupun kita nggak cantik dan nggak putih, tapi kalau wajah terawat jadi lebih mendingan. Terus coba upgrade penampilan mbak, siapa tau dilirik jadi artis."
"Tapi aku bukan-"
"Duh aku udah kelamaan disini. Aku duluan ya mbak, semangat!"
Setelah mengatakan itu, gadis tanggung yang bermimpi jadi artis itu meninggalkan aku yang masih mencoba mencerna ucapannya.
Aku kembali lagi ke cermin dan melihat penampilanku. Baju kaus lusuh dan celana jeans yang sudah mulai pudar, dilengkapi sepasang sepatu kets usang yang sudah menemaniku sejak awal masuk kuliah. Yah, gadis itu benar. Aku terlihat seperti pembantu. Apalagi jika disandingkan dengan Ranti.
Perkataan gadis tadi membuat aku meragukan tentang pekerjaan yang ditawarkan Sada. Apa dia menawarkan pekerjaan sebagai pembantu juga? Atau dia menawarkan pekerjaan dengan syarat utama berpenampilan menarik?
Huh, kenapa sih mencari pekerjaan harus sesulit ini?
-£-
Seekor makhluk kecil menarik perhatianku saat akan memasuki mobil Ranti. Dia terlihat sangat kelaparan. Lihat saja badannya yang kurus itu.
Aku menghampirinya dan mengeluarkan makanan kucing yang selalu aku bawa kemana-mana.
"Hei kamu pasti lapar. Ini, makan yang banyak."
Kucing kecil berwarna abu-abu itu makan dengan sangat lahap. Kasihan, pasti dia kesulitan mencari makan sampai badannya jadi sekurus ini.
"Ya ampun Key, aku tungguin di mobil dari tadi ternyata malah nongkrong disini."
"Sabar dong. Aku kasih makan dia dulu."
"Masih lama nggak? Aku tadi dapat telfon penting dari Mbak Mayang"
"Kamu buru-buru?"
"Iya nih, ada urusan mendadak."
"Yaudah kamu pergi aja. Nanti aku pulang naik ojol."
"Nggak apa-apa nih?"
"Iya."
"Tapi kan kamu pergi sama aku. Aku nggak enak dong ninggalin kamu gitu aja."
Aku menghela nafas lelah, "nggak usah lebay deh. Sana pergi."
Ranti mengangguk lalu memelukku sebentar, "hati-hati ya. Jangan sampai diculik."
"Iya iya."
Setelah Ranti pergi, aku aku bergegas ke menimarket sebrang untuk membeli air mineral. Anak kucing ini pasti juga kehausan.
"Tunggu disini ya, jangan kemana-mana."
Sampai di minimarket aku bergegas menuju rak minuman. Setelah mengambil air mineral, aku menuju ke kulkas minuman dan mulai mencari sesuatu untuk meredakan haus di sore yang masih terik ini.
"Ambil minuman isotonik aja. Akhir-akhir ini banyak orang yang gampang dehidrasi." Ujar suara yang berasal dari balik punggungku.
Aku berbalik dan melihat pria tampan yang sedang tersenyum ramah. Aku melihat sekeliling. Kiri, kanan, atas, bawah. Tidak ada siapapun kecuali aku dan dia. Itu artinya dia bicara denganku kan?
"Hai, kita ketemu lagi," sambungnya.
Aku mengerjap tak percaya. Apa aku sudah mati? Apa dia jelmaan sosok malaikat? Memang kapan aku pernah bertemu orang setampan ini?
"Ya?" Saking bingung dan gugupnya aku hanya mampu mengeluarkan kata itu.
"Kayaknya kamu lupa sama saya." Ucapnya sambil mengangguk-angguk, "wajar sih, soalnya waktu itu kamu fokus banget ke kucingnya. Bukan ke saya."
"Maksudnya?"
"Sekitar sebulan yang lalu, kamu pernah berhentiin mobil di tengah jalan karena mobil itu hampir nabrak kucing. Ingat?"
Aku mencoba mengingat hal yang dia ceritakan. Maklum, otakku yang menua sebelum waktunya ini memang mudah sekali melupakan kejadian-kejadian tertentu.
"Ah itu, iya saya ingat."
"Pengemudinya adalah saya. Saya masih ingat banget kamu marah-marah dan bilang saya harus pakai kaca mata biar nggak hampir nabrak lagi."
"Astaga, saya ngomong gitu?" Bagaimana bisa aku marah-marah pada pria yang terlihat sangat baik hati ini?
Pria itu terkekeh dan mengangguk "setelah itu kamu pergi, sambil lari untuk bawa kucing itu ke vet terdekat. Kamu tau? Habis itu saya benar-benar pergi ke dokter mata untuk periksa."
Aku menutup mulut, tidak percaya ada manusia yang benar-benar ambil hati atas ucapanku. Biasanya suaraku tak pernah didengar. Bahkan tidak ada yang peduli dengan kehadiranku. Bagaimana bisa manusia ini melakukan ucapan spontaku yang sangat tidak bermutu itu?
"Ya ampun mas, saya benar-benar minta maaf. Harusnya mas nggak usah dengerin omongan saya waktu itu. Saya kalau panik emang suka ngomong asal ceplos. Maaf banget ya, mas."
"Nggak apa-apa," ucapnya sambil mengibaskan tangan.
Pria tampan ini lalu membuka kulkas, mengambil dua minuman isotonik dan membawanya ke kasir, "kamu ada yang mau dibeli lagi?"
Aku menggeleng. Dia mengambil air mineral dari tangaku lalu meletakkan di sebelah minuman kami.
Aku mengulurkan uang untuk membayar belanjaku, namun segera dihentikan oleh pria yang sampai saat ini belum memperkenalkan dirinya. "Biar saya yang bayar," ucapnya.
"Nggak usah mas, biar saya aja."
"Anggap saja ini permintaan maaf, oke?"
"Harusnya saya yang minta maaf."
Setelah perdebatan alot tentang siapa yang harus membayar dan disaksikan oleh kasir minimarket yang mulai jengah, akhirnya aku mengalah dan membiarkan si baik hati yang membayar.
"Saya Mahen"
Akhirnya si tampan ini memperkenalkan diri juga! Bukannya tak tahu diri dengan tidak mengajak kenalan lebih dulu, aku hanya takut pria ini hanya seorang super ramah yang hobi menyapa setiap orang yang ditemuinya. Akan sangat memalukan jika ternyata dia tidak berniat berkenalan denganku.
Aku tadinya sudah bersiap untuk menyebrang, tapi kembali membalikkan badan dan menjabat uluran tangannya, "saya Naya."
"Kamu tinggal di sekitar sini?"
Aku menggeleng, "tadi makan di restoran depan"
"Sendiri?"
"Awalnya dengan teman, tapi dia udah pulang duluan."
"Oh gitu."
Aku mengangguk. "Kalau gitu saya duluan ya, mas. Makasih sekali lagi untuk minumannya."
Setelah melihat dia mengangguk aku bergegas menyebrang jalan, sebelum lampunya berubah menjadi hijau.
Sepertinya aku harus mengenang hari ini sebagai salah satu hari keberuntunganku, karena pertama aku dapat makan gratis dan yang kedua aku bertemu dengan pria tampan yang sangat ramah dan baik hati.
Aku berangkat ke Delizio dengan kereta yang sepagi ini saja sudah penuh sesak dengan orang-orang yang masih harus berkegiatan di akhir pekan seperti aku ini. Sesaknya membuat tak nyaman, seperti kondisi hatiku saat ini. Kenapa ya? Setelah pulang dari apartment Sada aku merasakan sesuatu yang mengganjal, rasanya aku jadi tidak terlalu bersemangat untuk menjalani hari. Sekelebat ingatan di apartment Sada tadi kembali membayang. Sada kembali dari kamarnya dengan pakaian kasual yang biasa aku lihat, lalu menyuruhku metakkan Reo di atas pantry dapur. Ah iya, wanita cantik tadi juga sudah pergi setelah memakai pakaian yang lebih layak sembari menenteng clutch yang aku tahu harganya sangat fantastis. “Cantik banget. Kamu selalu dikelilingi perempuan-perempuan cantik, ya? Enak banget kalau kaya dan good looking.” Detik berikutnya aku tersadar apa yang aku ucapkan tampaknya telah menyinggung perasaan Sada. Dia menatapku
Kanaya Aku boleh numpang makanan di kulkasnya Reo nggak? Ternyata tak butuh waktu lama untuk Sada membalas pesanku. Kelihatannya dia sedang sangat santai. Arab KW Tinggal masukin aja ribet banget lo Pake nanya segala Wah, sepertinya Sada sedang kerasukan malaikat. Momen langka ini harus aku manfaatkan sebaik mungkin. Kanaya Okayyy. Terima kasiihh ^_^ Arab KW Besok-besok nggak usah tanya hal gak penting kek gini lagi lah Gue sibuk Paling males gue ditanyain hal-hal nggak penting gini Sekarang setannya sudah mengambil alih. Manusia satu ini benar-benar aneh bin ajaib, sangat sulit untuk ditebak. Sering kali aku berpikir mungkin Sada ini berkepribadian ganda karena mood-nya sering berubah-ubah dalam hitungan menit. Tersera
Salah satu bagian yang paling aku suka ketika bekerja di dapur pastry ini adalah saat indera penciumanku dipenuhi oleh aroma berbagai macam bahan yang meninggalkan kesan manis. Ini juga yang mendorongku untuk semangat berangkat bekerja setiap harinya. Rasanya aku bekerja sembari mempelajari banyak hal baru, seperti hari ini kami membuat menu baru yang belum pernah aku lihat sebelumnya, yaitu Danish pastry. Jika saja aku tidak ditugaskan sebagai helper di bagian dekorasi, pasti aku sudah berkeliling untuk melihat proses pembuatan bagian-bagian yang lain. “Nay, tolong ambilin blueberry, rasberry, sama apricot dong,” seru mbak Nana –senior bagian dekorasi – yang sedang sibuk dengan sesuatu. “Okay, mbak.” Aku berjalan menuju food storage dengan langkah semangat. Salah satu bagian yang paling aku suka dari dapur ini adalah bagian storage-nya. Disana tersedia sangat banyak bahan-bahan makanan dan minuman yang segar dengan kualitas terbaik.
Karena memang bodoh dan sudah terlanjur panik, aku memungut patahan statue di lantai dan mencoba merekatkannya kembali, yang sudah jelas-jelas tidak akan bisa. "Ya ampun, kok bisa jadi patah gitu sih?!" Hardik si pramuniaga yang berdiri di depanku. Dalam posisi jongkok, si bodoh Naya ini masih terus mencoba menyatukan statue yang patah itu. "Maaf mbak, tadi saya nggak sengaja nyenggol." "Makanya mbak, kalau nggak punya uang tuh nggak usah masuk ke sini. Nggak usah pegang-pegang kalau memang nggak mampu beli. Sekarang liat, jadi rusak gitu barangnya. Emang mbak bisa ganti?" "Iya mbak, maaf." Pelasku, masih memegang statue yang patah dengan tangan yang mulai bergetar dan dingin. Walaupun jongkok, tapi aku sadar beberapa pengunjung mulai memperhatikan kami. Rasanya malu sekali. Mataku juga mulai panas dan berair. Aku terkejut saat lengan atasku tiba-tiba ditarik hingga aku bangkit dari lantai. "Dia datan
Hari ini aku mendapat shift pagi, jadi seharusnya di waktu sore begini aku sudah bisa bersantai-santai di kos sambil mengerjakan beberapa proyek terjemah. Yap, seharusnya. Tapi kenyataan berkata lain. Pukul setengah lima sore, aku harus buru-buru mandi lalu berdesakan dengan orang-orang dalam angkutan umum hanya demi menemui the big boss Sada di sebuah pusat perbelanjaan. Aku tidak tahu kenapa dia selalu bisa mengacaukan rencana indahku di kos. Aku curiga dia memasang semacam alat penyadap untukku sehingga dia bisa tahu kapan waktu aku ingin bersantai, lalu dia bisa mengacaukan rencanaku dengan mudahnya. Sampai di pusat perbelanjaan yang dia maksud, aku mencari-cari toko tempat Sada menyuruhku menemuinya. Ini baru kedua kalinya aku masuk kesini, jadi tentu saja aku tidak hapal seluk beluk bangunan ini, yang mana pasti membuat aku kesulitan menemui Sada di tempat sebesar ini. Dari pada repot, lebih baik aku telfon saja dia. Baru didering pertama, pang
Setelah Ranti memergoki posisiku yang sangat tidak biasa –alias di atas perut Sada– pria itu pergi begitu saja dari kosku dengan seringai jahil di bibirnya yang tak pernah hilang bahkan sampai dia menutup pintu, meninggalkan aku bersama tatapan Ranti yang mengandung sejuta tanya dan tentu saja beragam spekulasi yang dia ciptakan sendiri. Aku tahu setelah ini aku akan memasuki tahap introgasi ala Ranti yang lebih ditail dan memusingkan dibandingkan ketika sesi tanya jawab saat sidang skripsi. “Langsung aja ya, Kay,” Ranti menarik nafas dramatis, welcome back our drama queen, “sejak kapan kamu punya simpanan singa arab begitu tapi nggak pernah kasih tau aku?” Pfftt Ranti dan pilihan katanya. Singa arab? Yah, kalau dipikir-pikir Sada memang bisa saja menjadi singa yang siap mencabik mangsanya jika dia benar-benar murka. Tidak salah sih, tapi tidak benar juga. “Pertama-tama, yang perlu kamu tahu adalah dia bukan simpananku,” terangku pada Ranti.