Share

Bab 2-Perjodohan Membuatku Bersamamu

***

"Ja, piala kamu kenapa nggak dimasukin tas aja? Nanti kalo jatuh, gimana?"

"Nggak akan jatuh, Lang. Lagian, Senja pegang pialanya bener kok. Dan, sampai rumah Senja mau langsung kasih kabar bahagia ini ke ibu. Pasti, ibu bakalan kasih hadiah buat Senja, karena udah menang lomba lagi," ujar Senja dengan senyuman sumringah.

"Besok-besok biarin aku yang menang diperlombaan, jangan kamu terus yang dapat piala. Aku juga mau, Ja," kata Langit sambil terus mengayuh sepedanya di tengah jalanan yang sepi.

"Iya, Lang. Senja, juga bingung mau taruh piala ini di mana, karena semua lemari di kamar Senja itu udah penuh sama piala kejuaraan. Kalo perlu, Senja kasih beberapa piala ke Langit. Mau?"

"Ja, piala-piala itu adalah bukti dari semua bakat dan kepintaran kamu. Dan, piala itu juga menjadi hasil dari usaha-usaha kamu selama ini. Jadi, aku nggak mau menerima piala kamu. Aku mau dapat piala, dengan hasil jerih payahku sendiri," tolak Langit secara halus.

"Yaudah kalo gitu, mulai besok Langit harus lebih tingkatkan lagi belajarnya. Dan, ya, Langit harus banyak membaca biar wawasan Langit itu luas kaya Senja."

"Setiap hari aku ini selalu membaca," timpal Langit.

"Membaca apa?" tanya Senja, dengan melingkarkan tangannya di leher Langit.

"Membaca pikiran kamu," jawabnya melirik mata Senja yang berkilau.

"Langit, itu dukun, ya?"

"Iya, dukun yang kalo dibutuhkan saat Senja lagi menangis." Langit, semakin mengayuh sepedanya begitu cepat. Sehingga, Senja lebih mengeratkan pegangannya.

Langit, selalu punya cara. Dia, nggak pernah kehabisan satu cara pun untuk nggak menghibur Senja. Dan, setiap Senja memandang Langit. Itu seperti, Senja sedang melihat keindahan alam yang begitu indah. Senja, mau terus ada didekat Langit. Karena setiap Senja terluka, pasti ada Langit yang selalu mengobati luka itu, batin Senja meletakkan dagunya di atas bahu Langit.

"Ja, udah sampai rumah." Langit menekan rem sepedanya, membuat Senja mengalihkan pandangannya dari Langit.

Senja turun dari sepeda itu. "Makasih, Langit."

Langit tersenyum simpul, lantas telapak tangannya yang lunak mengelus puncak rambut Senja. "Sama-sama."

Senja melambaikan tangannya kepada Langit, ia bergegas membuka gerbang rumahnya dan masuk. Langit tetap di tempat, memandang punggung Senja yang melangkah ke rumahnya. Lantas, Langit mengayuh sepedanya kembali, ketika Senja sudah benar-benar masuk ke dalam rumah.

Namun, langkah Senja terhenti di depan ambang pintu. Ketika sebuah percakapan antara dua orang, terdengar oleh Senja. Bola mata cokelat itu, mencoba untuk menahan cairan bening di dalamnya supaya tidak terjatuh.

"Senja, itu anak yang pintar. Dia punya banyak mimpi, karena itu senja selalu mengikuti perlombaan yang ada di sekolah. Senja, satu-satunya anak perempuan yang mandiri di dalam keluarga ini."

"Bagaimana, kalo kita jodohkan anak-anak kita?"

"Perjodohan?!

Setelah mendengar itu, Senja melanjutkan langkahnya kembali. Ia memotong pembicaraan antara Mawar dengan kedua orang paruh baya di hadapannya.

"Senja, nggak setuju!" tegasnya.

"Senja, duduk dulu. Kita bisa bicarakan ini semua sama-sama, ya."

"Nggak, Bu! Senja, nggak mau ada perjodohan!" Senja merengut, ia menghentakan kaki memasuki kamarnya.

Senja membuang piala serta tas ranselnya ke atas tempat tidur. "Memang satu mimpi Senja itu, menikah. Tapi, nggak dengan perjodohan. Dan, masih banyak mimpi Senja yang harus terwujud, sebelum Senja menikah." Akhirnya, cairan bening yang lama terbendung pun terjatuh juga, membanjiri pipi tirus itu.

"Senja, itu berharga. Dia sempurna, karena ada Langit yang selalu menjadi tempatnya bermuara. Senja, itu indah saat warna Langit membaur bersama warna jingga yang merona. Senja dan Langit, akan terus bersatu meski badai dan hujan menghapus warna Senja dan Langit, hanya dalam satu waktu."

"Senja, sayang sama Langit." Foto dalam pigura, didekap hangat oleh Senja.

Tok! Tok!

"Senja, Sayang. Tolong dengarkan Ibu dulu, ya, kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh tentang ini," ujar Mawar--ibu kandung Senja.

"Senja, nggak mau," lirih Senja di balik pintu.

"Iya, kamu keluar dulu dari kamar. Kita bisa bicarakan ini semua secara baik-baik, karena Ibu punya alasan untuk semua ini."

"Ibu, Senja, nggak butuh alasan apa pun."

"Kalo kamu nggak mau dengarkan Ibu, maka kamu juga harus siap kehilangan Ibu!" gertak Mawar.

Senja menghapus air matanya kasar, ia meletakkan pigura itu di atas meja. Kemudian, membuka pintu kamarnya. "Kenapa Ibu ngomong kaya gitu? Ibu tahu 'kan, Senja itu nggak suka kalo Ibu ngomong kaya gitu," ujar Senja menatap nanar bola mata Mawar, yang juga sudah berkaca-kaca.

"Senja, udah cukup kehilangan bapak. Dan, Senja nggak mau kehilangan ibu juga," lanjut Senja membuat Mawar memeluknya.

"Senja, maafin Ibu, ya. Karena Ibu terpaksa, melakukan perjodohan ini," ucap Mawar menangis dalam pelukan Senja.

"Senja, kamu harus tahu kalo semua yang Ibu lakukan itu, menyangkut hidup kamu. Dan, Ibu mau kamu bahagia," lanjutnya.

"Kebahagiaan Senja, cuman satu. Yaitu, Ibu. Senja bahagia, kalo Ibu juga bahagia. Jadi, Senja nggak butuh kebahagiaan lain lagi."

Mawar melepaskan pelukannya, ia menangkup kedua pipi Senja dan menghapus air matanya. "Kamu bahagia kalo Ibu bahagia 'kan? Kalo gitu, terima perjodohan ini biar Ibu bahagia."

Senja mendengus lemas, meneteskan air matanya lagi. "Bu, apa harus dengan perjodohan ini ... biar Ibu bahagia?"

Mawar mengangguk. "Iya, Sayang."

"Apa Ibu nggak bahagia, dengan itu ...." Jari telunjuk Senja mengarah pada piala yang tergeletak di atas tempat tidurnya.

Mawar semakin menangis sejadinya, ia membungkam mulutnya dengan tangan. "Ibu, nggak bahagia dengan semua penghargaan yang ada di lemari-lemari ini?" tanya Senja memundurkan langkahnya, mendekat ke sebuah lemari kaca berukuran besar.

"Bu, ini semua buat Ibu. Biar Ibu bahagia, dan Senja juga ikut bahagia. Tapi, Ibu masih mencari kebahagiaan Ibu yang lain? Dengan cara, menjodohkan Senja sama laki-laki yang sama sekali Senja nggak tahu dia siapa," tambah Senja.

"Senja, maafin, Ibu."

"Senja, merasa gagal. Karena ternyata, Ibu masih kurang bahagia. Dan, selama ini usaha Senja sia-sia untuk mendapatkan semua piala-piala ini biar Ibu bahagia."

"Ibu, bahagia ... sangat bahagia, melihat piala-piala yang selalu kamu dapatkan setiap ikut perlombaan. Dan, Ibu bersyukur karena kamu tumbuh menjadi anak yang pintar dan berprestasi."

"Tapi, setelah semuanya Senja dapatkan. Ibu, mau menghancurkannya?"

Mawar menggelengkan kepala, ia mendekati Senja dan memeluknya lagi. "Senja, kamu perlu tahu. Perjodohan ini, salah satu wasiat dari bapak kamu," lirih Mawar.

"Sebelum bapak nggak ada, dia nggak pernah bilang tentang wasiatnya ke Senja, Bu."

"Karena bapak nggak mau kamu sedih, dan bapak juga nggak mau wasiat ini menambah beban pikiran kamu, Sayang. Jadi, bapak hanya menyampaikan ini ke Ibu, tanpa kamu tahu."

"Dan orang tua dari laki-laki yang mau dijodohkan sama kamu, itu teman baiknya bapak dulu. Jadi, Ibu sedikit lebih tenang untuk menjalankan wasiat dari bapak ini," imbuh Mawar, melepaskan pelukannya.

"Meskipun, mereka teman baiknya bapak. Tapi, tetap aja, Bu."

"Kamu nggak mau lihat Ibu bahagia? Dan, kamu mau bapak kecewa di atas sana? Karena anak semata wayangnya, nggak bisa menuruti perintah bapak yang terakhir kalinya."

Senja mengambil napas dalam, bola matanya berlarian ke segala arah. "Senja, butuh waktu." Senja melangkah ke arah tempat tidurnya.

"Senja, alasan yang kedua itu karena bapak punya hutang banyak ke mereka. Jadi, dengan menutup hutang-hutang bapak, kamu harus menikahi anaknya itu."

"Kenapa hutang bapak harus ditutup dengan cara kaya gini? Hutang itu harusnya dibayar dengan uang, bukan dengan orang," bantah Senja terduduk lepas di tepi tempat tidur.

"Senja! Dari mana kita bisa membayar semua hutang-hutang bapak? Sementara, ekonomi kita itu naik-turun setiap harinya, buat makan aja susah. Ibu, harus bekerja sebagai pembantu di rumah tetangga, hanya untuk menunjang kehidupan dan sekolah kamu."

"Bu, Senja sekolah itu pakai beasiswa. Dan, Ibu jangan pernah mengeluh soal pembayaran sekolah Senja," sanggah Senja.

"Iya, Ibu beruntung karena punya anak perempuan satu-satunya yang pintar. Jadi, Ibu nggak harus repot-repot membayar sekolah kamu."

"Penghasilan Ibu bekerja di rumah tetangga, bisa dikumpulin buat bayar semua hutang bapak 'kan?"

"Senja, kamu harus tahu. Hutang bapak itu nggak sedikit, dulu dia terpaksa berhutang ke teman baiknya itu hanya untuk membangun usahanya. Tapi, ternyata usaha bapak bangkrut dan bapak jatuh sakit. Selama bapak sakit, bapak nggak bisa mencari pekerjaannya lagi untuk membayar semua hutangnya itu."

"Berapa hutang bapak ke mereka?"

"Seratus Juta."

Senja terperanjat, ia bangkit dari duduknya. "Seratus Juta, Bu?" Mawar mengangguk, ketika Senja bertanya demikian.

"Selama ini bapak menutupi semuanya dari Senja, bahkan bapak nggak pernah bilang kalo dia punya hutang sebesar ini."

"Jadi, Senja. Kamu harus bisa mengerti, kamu harus bisa paham kenapa bapak mewasiatkan perjodohan ini. Bapak, nggak mau kita terus dikejar-kejar dengan hutangnya."

"Seratus Juta, Senja, janji akan membayar hutang bapak itu," ucap Senja memandang Mawar serius.

Mawar menggeleng, ia meraih kedua tangan Senja dan menggenggamnya erat. "Nggak, kamu nggak akan bisa membayarnya pakai uang. Tapi, kamu bisa membayar semua hutang bapak dengan menerima perjodohan ini."

"Mimpi Senja itu memang menikah, tapi dengan laki-laki baik yang Senja cintai. Jadi, Senja menolak perjodohan ini, Bu."

"Senja, kamu membantah Ibu?!"

"Senja, nggak membantah, Ibu. Senja, cuman membantah perjodohan ini."

"Itu sama aja Senja, pokoknya kamu harus menjalankan perjodohan ini. Kalo kamu nggak mau kehilangan Ibu." Mawar berbanjak pergi dari ruang kamar Senja.

"Bu, kalo Senja harus memilih. Senja nggak mau kehilangan Ibu, lebih baik Senja kehilangan laki-laki yang Senja cinta, daripada harus kehilangan Ibu," lirih Senja menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, dan menumpu dagunya menggunakan bantal.

Drett!

Getaran dari sebuah ponsel cukup terasa, layar ponsel Senja pun menyala. "Langit." Senja menangkap tulisan itu, lantas menerima panggilannya.

"Hallo." Senja menghapus jejak air mata disudut matanya.

"Gimana, Ja? Kamu dikasih hadiah apa sama Ibu? Hum, biar aku tebak. Pasti buku diary lagi 'kan? Nggak mungkin kalo boneka, karena kamu itu lebih suka sama buku daripada boneka, Ja." Suara Langit dari telepon, telah membuat Senja kembali tersenyum.

"Langit," panggil Senja pelan.

"Iya, Ja?"

"Buku diary Senja yang warna cokelat, halamannya udah habis. Langit, mau beliin Senja buku diary lagi nggak?"

"Loh, bukannya kamu baru dapat buku diary dari ibu? Hadiah karena kamu udah menang juara satu, di olimpiade sains 'kan?"

"Ibu, nggak kasih hadiah apa-apa."

"Nggak mungkin, Ja. Setiap kamu pulang ke rumah bawa piala, pasti ibu kamu tanya mau dibelikan hadiah apa. Terus, kamu selalu jawab buku diary."

"Iya, Langit. Tapi, hari ini ibu nggak tanya itu dan dia nggak kasih buku diary buat hadiah Senja."

"Gakpapa, mungkin ibu lagi nggak punya uang buat beli hadiahnya. Kalo gitu, biar aku yang belikan hadiahnya."

"Langit, nggak lagi bercanda 'kan?" tanya Senja bangkit dari posisi tidurnya.

"Aku ke rumah kamu sekarang, siap-siap, ya."

"Mau beli buku diary 'kan?"

"Iya, Ja. Kita beli buku diary."

Kedua sudut bibir Senja pun terangkat, Senja tersenyum lagi. "Hati-hati dijalan, Langitnya Senja!"

Senja langsung menutup panggilan itu, secara sepihak. Lalu, berlari ke arah lemari pakaian untuk memilih baju. "Senja, harus kelihatan baik-baik aja di depan Langit. Senja, nggak mau Langit sedih karena mendengar perjodohan ini."

Sepasang baju dan celana yang berwarna cokelat susu, Senja pilih untuk dikenakannya sore hari ini. Tidak lupa, ia pun mengoles sedikit wajahnya dengan bedak dan lipstik, supaya matanya yang bengkak dan bibirnya yang pucat tidak terlihat.

"Senja."

Tuk! Tuk! Assalamualaikum.

"Pasti itu, Langit."

Buru-buru Senja berjingkrak keluar dari kamarnya, ia berlari ke arah pintu tanpa peduli jika masih ada tamu di sana. "Senja, siapa yang datang?" tanya Mawar, tampaknya masih berbincang dengan kedua orang paruh baya itu.

"Langit, Bu."

Tanpa ragu, Senja membuka pintunya. Menampakkan seseorang yang tengah Senja tunggu-tunggu, Langit Septian Dirgantara tersenyum manis kepada Senja. Dengan hoodie hitam, dan celana jeans hitam yang menjadi ciri khasnya.

"Langit, suka banget pakai hitam-hitam kaya gini," kritik Senja.

"Kamu tahu sendiri, kalo aku ini suka warna hitam," katanya.

"Bu, saya sama Senja mau pamit pergi." Langit memasuki rumah, meraih tangan Mawar.

"Ke mana?" tanya Mawar dengan nada sinis.

"Ke toko buku, katanya Senja mau beli buku diary lagi."

"Senja, buku diary kamu itu udah banyak. Jadi, buat apa kamu beli lagi? Boros uangnya, lebih baik ditabung buat masa depan kamu," omel Mawar menatap Senja tajam.

"Maaf, Bu. Saya yang mau belikan Senja buku diary, jadi Senja nggak akan mengeluarkan uang sedikit pun."

"Lagian, setiap uang yang Senja dapatkan karena menang lomba. Itu selalu Senja tabung, untuk masa depan Senja sama laki-laki yang Senja cinta." Perkataan Senja lolos membuat Langit, bahkan Mawar dan kedua orang paruh baya itu memandangnya intens.

"Yaudah, ayo kita pergi sekarang. Takut hujan, soalnya udah mendung," lanjut Senja langsung menarik tangan Langit, tanpa berpamitan dahulu dengan Mawar.

"Itu tadi ibu kamu lagi ada tamu?" tanya Langit ketika sudah keluar dari gerbang rumah, bersama Senja.

"Iya."

"Tamu jauh, ya? Soalnya kalo keluarga kamu, pasti aku kenal."

"Senja, nggak tahu. Dan, Senja nggak kenal."

"Yaudah ayo naik," ajak Langit.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status