Tahun berganti, tepatnya, sudah hampir dua tahun hal itu terlewati, Rizal dan Winola menikah resmi dan sah baik secara agama juga negara. Rizal mencoba berlaku adil, walau hatinya perih setiap saat karena membuat kecewa Imel. Rizal akan seminggu bersama Winola, lalu tiga minggu bersama Imelda, yang tak mau mencampuri atau ikut menentukan, terserah Rizal. Kala itu, Rizal sudah lima hari bersama Winola yang sedang kerepotan mengurus dua anak, Sahila dan Araska, putranya hasil hubungan 'tak sengaja' dengan Rizal. Dewa pulang sekolah, segera berganti baju untuk bergabung bersama Imel yang sibuk membuat isi Hampers kue kering pesanan banyak orang. ABG itu tak banyak bicara atau bertanya tentang keanehan sikap Rizal beberapa bulan ini yang, terlihat rutin karena pembagian waktu bersama dua istrinya. "Bu, ini diantar ke mana?" tanya Dewa sembari duduk bersila, ia memasukan kartu ucapan ke amplop berwarna biru muda yang nanti di letakkan di atas kotak Hampers. "Ke kantor teman Ibu, eh iya,
"Pokoknya, selama Ibu kerja, kalian pulang ke rumah Oma, ya, pulang kerja Ibu jemput. Mobil kita udah laku, sementara kita pakai taksi atau ojol, ya," lanjut Imel. Dewa dan Ardan yang duduk berjajar di atas ranjang kamar mereka hanya bisa menganggukkan kepala.Imel menerima tawaran Kara, sepulang dari mengantar Hampers, ia segera menyiapkan Curriculum Vitae juga surat lamaran kerja untuk posisi staf keuangan. Kebetulan, bosnya adalah Kara, takdir mengarahkan ia bertemu rekan lama yang paham kondisinya, padahal, tak sengaja mereka bertemu, saat Imel membagi makanan untuk jamaah masjid di kompleknya. Kara saat itu menemani suaminya salat jumat, dan di sanalah semua dimulai.Kara yang paham, tak mau mengorek lebih dalam cerita Imel, itu ranah rumah tangga temannya, hanya saja, ia prihatin dan heran, Imel memilih bertahan bukannya menceraikan Rizal, saat tau alasan Imel karena anak-anak, hati Kara terenyuh. Kebetulan memang salah satu stafnya ada yang mengundurkan diri karena mau melahirk
"Aku nggak izinin kamu kerja!" bentak Rizal. Kali ini Imel melawan, ia melepaskan cengkraman tangan suaminya itu yang berusaha menahan Imel. Imel menatap tajam, telunjuknya menunjuk ke wajah suaminya. Ia bergumam pelan, supaya suaranya tak terdengar anak-anak. "Di-am," ucap imel kesal. Ia lalu mengatur napasnya, jemputan sekolah kedua anaknya sudah tiba."Bang Dewa, Ardan, pamit Ayah dulu, ya," ujar Imelda yang membuat anak-anaknya melongo karena ibunya berpenampilan beda."Ibu cantik banget, Bang!" pekik Ardan yang direspon tawa renyah sang putra sulung. Imelda mengantarkan dua anaknya ke luar rumah, jemputan Ardan sudah datang, sedangkan Dewa berangkat bersama temannya yang kebetulan, satu arah jadi Dewa bisa nebeng. Imel melambaikan tangan, Rizal berdiri di ambang pintu. Saat sudah dipastikan dua kendaraan roda empat itu menjauh, Imel kembali ke dalam rumah untuk memesan ojek online dengan ponselnya. Rizal terus berbicara jika ia melarang Imel bekerja, kali ini Imel tak akan diam.
Imel menjemput Dewa dan Ardan di rumah ibu mertuanya, wanita berusia enam puluh lima tahun itu tampak bahagia saat tau Imel bekerja lagi, karena baginya tak masalah istri bekerja selama tak melupakan tugas utama di rumah, tapi... berhubung rumah tangga Imel dan Rizal tak baik-baik saja, ibu mertua Imel hanya fokus pada kebahagiaan dua cucunya itu."Mel, Ibu masak semur, makan ya, Ibu udah siapin untuk dibawa ke rumah, tinggal dipanasin untuk kamu dan anak-anak makan," ujar ibu mertuanya yang bahkan mengambilkan Imel nasi ke atas piring."Bu... jangan repot-repot, Imel bisa ambil sendiri, Bu," tukasnya dengan hati sungkan."Nggak papa, sini makan, Ibu temenin, Ardan sama Dewa di atas, lagi kerjain tugas didampingi Tata," sambung ibu."Lho, Tata udah pulang ngajar, Bu? Nggak ke bimbel?" Imel duduk, disusul ibu."Bimbelnya libur hari ini. Eh, iya Ibu mau tanya, Rizal pulang ke rumah, nggak?"Gerakan tangan Imel terhenti saat hendak mengambil semur daging di atas mangkuk saji. "Pulang, Bu
Hati Rizal remuk, seminggu susah ia di rumahnya bersama Imelda, selama itu pula kedua anaknya semakin menjaga jarak dengannya. Rizal drop, kesehatannya menurun saking stresnya. Ia memiliki kelemahan terbesar hidupnya, ya apalagi jika bukan kedua anaknya.Imelda sedang di kantor saat Rizal memberi kabar jika ia di klinik, tubuhnya panas tinggi dan ia akan pulang ke rumah, bukan ke tempat Winola. Imel hanya bisa menghela napas, ia tak mau izin bekerja, biarlah Rizal mengobati dirinya sendiri. Tega tak tega memang, Imel harus melakukan hal itu kepada suaminya.Dewa mengirim pesan singkat, memberi tau jika ia akan ikut latihan marching band di sekolahnya sehingga nanti langsung pulang ke rumah bukan ke rumah omanya, ia sudah membawa kunci cadangan. Imel hanya membalas 'Ok' lalu kembali fokus bekerja.Sementara itu, setelah menjalani pemeriksaan dokter, Rizal segera pulang ke rumah. Tubuhnya masih demam tinggi, wajahnya juga pucat, ia merebahkan diri di sofa ruang TV setelah minum obat, m
"Winola nggak cariin kamu?" tanya Imel saat ia sedang bersiap berangkat kerja. Dewa dan Ardan sudah berangkat sekolah, Imel izin berangkat siang karena harus memastikan Rizal sudah sarapan dan minum obat."Bisa ‘kan, Mel, jangan sebut atau bahas dia?" Rizal tampak tak suka Imel membahas Winola, pun, ia masih demam juga pusing walau tak separah semalam. Imel tersenyum tipis lalu menatap suaminya yang masih berbaring di ranjang.“Kenapa? Nggak kasihan sama istri kamu lainnya itu? Kamu malah ada di rumah ini. Rugi juga, ‘kan, nggak bisa ngapa-ngapain istri yang ini.” tunjuk Imel pada dirinya sendiri. “Mel, udah… kepalaku pusing, jangan bikin aku makin pusing karena sindiran kamu ini. Aku salah banget sama kamu, aku tau. Cukup Mel,” lirih Rizal. Kembali Imel tersenyum sinis. “Pernikahan kita itu nggak jelas kalau kamu mau tau, Mas Rizal. Oh, atau kamu udah tau tapi coba untuk buang jauh-jauh pikiran itu.” Rizal membuang pandangan, tak menyahut apa pun juga. “Kenapa? Nggak bisa jawab?
Indy dan suaminya duduk berhadapan dengan pria yang dari penampilannya, memang menunjukkan kekuasaan dirinya di negara gajah putih itu. Ia pengusaha besar, memiliki istri juga tiga orang anak yang sudah dewasa, bahkan dua anaknya bersekolah di Milan. Pria berusia empat puluh tiga tahun itu didampingi dua orang lainnya.Sahila dipangku opa, menatap lekat ke laki-laki dengan mata abu-abu yang sama dengannya karena Prasert memang tak murni orang Thailand, ia blasteran. Prasert, ia tiba di Jakarta empat jam lalu, segera menuju ke rumah kedua orang tua Winola dengan mobil mewah yang ditungganginya.Ia berbicara dengan bahasa inggris, Indy dan suaminya bisa berkomunikasi walau terselip sesekali bahasa Thailand. Tujuan Prasert untuk meminta izin kepada Indy untuk membawa Sahila ke negaranya. Ia akan bertanggung jawab terhadap putrinya dari hubungan terlarang dengan Winola. Indy penasaran, sebenarnya apa yang terjadi dengan Prasert dan putrinya, apa memang hal itu tak sengaja atau ulah Winola
Suara tawa itu terdengar begitu penuh bahagia, tanpa beban. Imel, Dewa dan Ardan menempati apartemen sederhana yang disewa dengan harga dua juta perbulan. Atas bantuan Kara, apartemen dua kamar itu, bisa di sewa karena Kara sedikit menjelaskan kepada temannya sebagai pemilik properti, niat baik bertemu orang baik, hasilnya pun baik juga. Masalahnya, pemilik properti meminta Imel membayar untuk biaya sewa setahun penuh, ia tak punya uang, lagi-lagi, Kara meminjamkan uangnya, Imel nanti membayar dengan cara Kara memotong gajinya. Bagi Kara tak masalah jika mau dibayar dibawah nilai dua juta, melihat Imel bahagia setelah berpisah dengan Rizal saja, ia lega luar biasa. Namun, Imel tak ingin. Ia malu jika menerima tawaran itu dari Kara."Ibu, Abang tidur di depan tivi aja, ya, ini sofa bed kan, Bu?" tanya Dewa."Yakin, Bang?" Imel menatap putranya dengan tangan belepotan adonan roti yang dibikin untuk cemilan anaknya."Yakin, Bu. Ardan aja yang tidur di kamar." Dewa lalu mencoba membuka so