Hai teman-teman pembaca, jangan lupa, mampir membaca karya terbaru saya berjudul : Hamil anak siapa? Terima kasih karena sudah membaca CELASEMARA sampai di bab ini, matur nuwun sanget.
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
"Luar kota? Berapa lama?" tanya Imelda saat melihat suaminya merapikan beberapa pakaian ke dalam tas koper berukuran kecil yang biasa dipakai Rizal jika dinas selama tiga hari."Kali ini seminggu, Mel, nanti aku tinggalin uang tambahan untuk belanja sama jajan anak-anak, ya." Ia mengusap kepala Imelda lalu mengecupnya. Imelda tak tahan. Ia meraih jemari tangan Rizal, digenggam erat. Rizal menatap heran, hingga Imelda mendadak tersenyum."Kamu habis dari dokter kandungan? Antar perempuan yang namanya Wanda? Siapa dia, Mas?" Imelda tersenyum, terus seperti itu. Rizal diam. Air wajahnya mendadak berubah pucat, tangannya bergetar pelan di dalam genggaman Imelda, bahkan terasa berkeringat."Siapa dia? Kamu punya perempuan lain selain aku?" tatap Imel masih terus tersenyum. Rizal diam, kedua matanya mendadak mengembun, hi
Rizal masih menutupi, maka Imelda yang akan mencari tau semuanya. Winola yang bernama asli Wanda Sarasvati, merupakan sahabat Rizal, mereka memang begitu dekat, hingga kuliah satu jurusan, namun berpisah setelah Winola – panggilan kesayangan dari keluarga wanita itu – bekerja di perusahaan besar negara lain. Rizal berusia 34 tahun, sedangkan Imelda 33 tahun dengan dua anak laki-laki berusia 10 dan 9 tahun. Pernikahan Imelda dan Rizal sangat bahagia, bagaimana seorang Rizal mencintai istrinya itu, tapi, ia juga tak tega dengan sahabatnya itu. "Jangan sekarang, Mel..." cegah Rizal saat istrinya ngotot mau bertemu Winola. Tangan Rizal di tepis Imelda begitu kuat. Ia berbalik badan. Menatap penuh amarah juga tanda tanya besar mengapa Winola tega menjadi duri dalam daging rumah tangganya. Imelda menerima? Belum. Ia mau mendengar jawaban yang masuk diakal.
Layaknya rumah tangga yang tak ada masalah berarti, Imelda dan Rizal kembali menjalani kehidupan normal. Anak-anak tidak ada yang curiga dengan cerita ayahnya yang memiliki istri lain. Feeling seorang istri tak pernah salah, ia meraih ponsel Rizal, mengecek pesan singkat sampai ke email juga. Jarinya terus mengusap layar benda pipih itu, dan benar, sejak beberapa hari lalu banyak pesan singkat dan telepon masuk yang tak Rizal baca juga jawab panggilan itu dari Winola. Imel membaca semua pesan masuk dari Winola, menanyakan kapan ke rumah, sampai, pesan semalam, Imel di rumah sakit, ia terpeleset dan jatuh.Lalu, ada pesan lain yang menunjukkan ia di kamar rawat. Pun, tak lupa Winola menulis pesan di bawah foto yang dikirim
Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper be