Winola putar otak, ia malas membahas dan menanyakan kepada Rizal perkara uang yang seharusnya, menjadi jatah Winola dan anak-anak. Jika ia tak mengalihkan pikirannya tentang Rizal, bisa-bisa semua kacau, anak-anak juga akan kena dampaknya. Itu yang ia jaga begitu hati-hati.
Rizal pulang, setelah dua minggu semenjak Winola melahirkan, ia selalu di rumah wanita itu. Kedua mata Rizal terbelalak, saat ia melihat keadaan ruang TV rumahnya banyak loyang, dan adonan kue kering. Di dapur, terlihat Imel sedang mengeluarkan loyang dari dalam oven besar milik istrinya yang lama tak ia pakai semenjak lebaran tahun lalu. Biasanya, Imel akan membuat kue khas lebaran sendiri, ia memiliki keahlian akan hal itu.
"Mel, kamu tumben bikin nastar dan sagu keju sekarang?" Rizal membawa sepatunya ke arah rak di dekat dapur, lalu menjajarkan dengan sepatu anaknya di sana. Ia segera mencuci tangan lalu memeluk istrinya dari belakang yang ia rindukan itu. Imel diam dengan perlakuan Rizal itu, tangannya sibuk memindahkan nastar yang sudah matang ke loyang lain untuk didinginkan sebelum masuk ke toples.
"Anak-anak mana?" Rizal masih memeluk erat Imel yang masih sibuk sendiri.
"Di bawa Bima dan Astrid ke mal, di ajak makan sama beli buku bacaan," jawab Imel yang melepaskan pelukan suaminya karena ia harus memasukan 4 loyang adonan lainnya ke dalam oven.
"Tumben pulang? Winola nggak butuh kamu?" liriknya sejenak sebelum menutup pintu oven.
"Jangan gitu bilangnya, Mel. Aku capek kalau kamu tetap masih belum bisa terima hal ini," keluh Rizal. Imel menatap suaminya sambil terkekeh sinis.
Keduanya sudah duduk di kursi meja makan saling berhadapan. "Mas, aku mau tanya. Kamu, waktu nikah sama dia, izin aku nggak?" tatap Imel, Rizal diam. "Nggak, kan?" Kekehnya sinis. Ia menunduk sejenak, lalu menatap suaminya lagi. "Aku bisa aja laporin kamu dan dia ke polisi, karena kamu sudah menikah diam-diam di belakangku, tanpa seizinku. Ancamannya nggak main-main, Mas, lima tahun penjara dan pernikahan kalian cacat hukum." Imel melotot. Ia meremas jemarinya, seolah mengumpulkan kekuatan sebelum lanjut bicara.
"Tapi apa... kamu lihat, kan, aku memilih menerima, mengikhlaskan hal ini. Di poligami kamu, berbagi suamiku dengan dia, berbagi waktu, perhatian, bahkan uang karena dia! Dan kamu masih bilang aku nggak terima?! Luar biasa kamu, Mas." Imelda menitikan air mata, ia cepat menghapusnya dengan punggung tangan.
"Demi anak-anak, aku lakuin ini, harus ikhlas, kamu pikir, Dewa dan Ardan nggak bertanya-tanya? Mereka tanyain kamu. Ayah mana, Bu, Ayah sibuk banget kerjanya? Ibu kenapa jualan kue lagi? Sekolah kita mahal bayarnya, ya, Bu?" Air mata Imelda tak bisa terbendung. Ia terisak. Rizal membungkam mulutnya dengan telapak tangannya. Kedua matanya juga berkaca-kaca.
"Aku nggak mau nuntut apa pun ke kamu. Aku menepati janjiku tidak membeberkan hal ini ke keluarga kamu, kan? Dan kamu tanya, kenapa aku bikin kue lagi?" Imel tertawa miris. "Tiga bulan jatah bulananku berkurang semenjak dia melahirkan! Apa tanggung jawab menafkahi juga kamu yang tanggung, Mas!? Bagus. Berarti memang kamu serius berpoligami. Mencoba adil. Dan..., apa urusan ranjang juga kamu lakukan sama dia?! Iya, Mas Rizal! Jawab!" Imelda menangis histeris sambil menutup wajahnya dengan dua telapak tangan. Begitu pilu. Rizal beranjak, memeluk istrinya itu sambil mencium lama pipi Imel.
"Nggak, Mel, kami nggak tidur bareng," jawab Rizal yang juga berlinang air mata. Imel melepaskan kasar pelukan Rizal. Ia beranjak cepat, memutar badan berdiri berhadapan dengan suaminya itu.
"Yakin? Aku tau kamu, Mas, kebutuhanmu akan hal itu nggak akan bisa dibendung bahkan untuk tiga hari. Jangan bohong kamu sama aku. Masa nifas dia juga udah lewat." tatap Imel lekat. Rizal mendekat, ia justru membungkam bibir istrinya dengan bibirnya, ia ingin memberikan jawaban dengan tindakan, ia tau, sudah mengabaikan Imel walau kebutuhan biologisnya memang hanya ia lakukan dengan Imel saat ia pulang ke rumah.
Tangan Imel mendorong dada suaminya. Ia menggeleng pelan. "Mau apa?" Imel tampak angkuh.
"Kamu," jawab Rizal yang langsung kembali melakukan hal itu. Imel terus mengelak, ia tak ingin melakukannya. Terakhir ia melayani Rizal, dua minggu lalu saat suaminya pulang sebentar dan pergi lagi.
"Imel! Cuma sama kamu aku lakuin ini, nggak sama dia! Kamu kenapa nggak percaya ucapanku! Kamu terus meragukan dan tidak yakin. Tolong, Mel, jangan semakin membuatku bersalah ke kamu dan anak-anak," lirih Rizal. Imel terisak, tubuhnya merosot ke lantai dapur. Rizal merengkuh istrinya, memeluknya erat, membiarkan Imel meluapkan emosi karena dirinya.
***
3 bulan kemudian.
Imel menatap ke arah bayi yang sudah berusia tiga bulan itu dengan begitu terenyuh, bayi perempuan itu diberi nama Sahila, dan Rizal yang memilih nama itu.
"Terima kasih kadonya, Mel, jadi merepotkan kamu," ujar Winola saat Imel berkunjung ke rumah itu bersama Rizal. Pun, kebetulan, ada orang tua Winola di sana. Tepat, ini saatnya membahas.
"Jadi, saya sudah memberi waktu tiga bulan setelah Sahila lahir, kapan kalian cerai? Poligami ini harus berakhir. Saya terima tapi tidak sampai saat ini." Imel menatap Winola lekat. Kedua orang tua Winola tampak terkejut.
"Ce-rai?" lirih ibu Winola.
"Ya. Saya sudah bersabar dengan semua ini hampir satu tahun. Saya sudah menutupi hal ini dari dua anak saya dan keluarga besar Mas Rizal, juga keluarga saya. Saya rasa sudah cukup.
Pernikahan kalian cacat hukum karena saya tidak tau dan mengizinkan pernikahan terjadi. Saya bisa lapor polisi, tapi, saya memilih memusyawarahkan hal ini dan menerima sampai detik ini, karena saya tidak mau membuat malu kalian. Sudah cukup, Mas Rizal dan saya berkorban untuk kesalahan Winola. Tidak akan lagi saya biarkan suami say--"
"Aku cinta Rizal, Mel, aku mencintai suamimu, sahabatku sendiri, maaf..." Air mata Winola luruh. Sahila diambil alih ayah wanita itu. "Aku cinta kamu, Zal, aku butuh kamu..., maafkan aku," lanjutnya masih dengan isakan. Imel diam, pandangannya berkabut, lalu ia menatap suaminya yang hanya bisa terdunduk sambil menekan kedua matanya dengan jemari tangan.
"Lihat, kan, Mas, ucapanku terbukti, itulah hati wanita. Dan kamu, apa keputusan kamu Mas Rizal?" Imel melontarkan pertanyaan itu ke Rizal yang menatapnya nanar.
"Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria
Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis
Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut
"Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak
Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh
Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me