Share

Jatah bulanan

Author: Rianievy
last update Last Updated: 2022-04-26 10:11:16

Imelda sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, suami yang dicintainya, semakin hari, justru semakin lebih ada bersama Winola. Wanita itu kehamilannya semakin besar, Imelda memendam kegalauan hatinya seorang diri. Menepati janji kepada suami juga Winola untuk tak bercerita kepada keluarga besar suaminya, pun, demi menjaga hati dua anaknya-- Dewa dan Ardan, yang semakin merasa ada yang aneh dengan sikap Rizal.

Bulan ke delapan, kehamilan Winola semakin menambah daftar panjang kekesalan Imelda, karena Rizal akhirnya bicara jika keluarga besar 'sahabatnya' itu, meminta dirinya untuk lebih sering berada di sana. Imel tak habis pikir, kok ada, keluarga perempuan yang mendesak hal itu sementara mereka, tau Rizal sudah beristri dan memiliki dua anak.

Rasa penasaran Imel kembali memuncak. Ia menatap Rizal yang sedang memasukkan pakaian milik pria itu ke dalam satu koper besar.

"Jadi, kamu turuti kemauan mereka?"

Tangan Rizal berhenti melipat pakaian, ia menatap istrinya sejenak. "Mel..., keluarga mereka baik, mereka dulu sempat menolongku dari kesusahan, dan aku lakuin ini cuma untuk membalas kebaikan mereka," jawabnya. Jujurkah Rizal? Ya, benar. Imelda tau, dulu, keluarga Winola pernah membantu Rizal saat ditimpa kesusahan, ayah Rizal sakit, dan pria itu meminjam uang untuk pengobatan, belum lagi, memang keluarga Winola juga membantu memasukkan lamaran kerja Bima-- suami adik kandung Rizal, bekerja di tempat ayah Winola yang menjadi pimpinan  di sana.

Hutang budi kok sampai segininya? Itulah yang ada di benak Imel.

"Berarti, keluarga Winola pamrih, ya? Bahkan nggak lihat hati aku dan dua anak kita." Raut wajah Imel berubah sendu. Rizal diam, ia duduk mendekat. Menghela napas sambil meraih jemari tangan wanita yang ia cintai itu.

"Aku udah bilang, Mel... ini hanya formalitas, aku akan ceraikan dia setelah anak itu lahir. Satu bulan lagi." Tangannya berpindah merangkul bahu istrinya, ia membawa Imel ke dalam dekapannya. "Ada manusia dengan sifat seperti ini, berkata ikhlas, tapi, di saat terdesak, melupakaan hal itu dan mengungkit masa lalu. Aku tau ini hal terbodoh, tolong ampuni aku, Mel," lirihnya.

"Kamu cinta dia, Mas?" Suara Imel terdengar pelan, ia menenggelamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu.

"Nggak, Mel. Nggak," lalu ia mengurai pelukan, menangkup wajah Imel, diusapnya pelan lalu mengecupi setiap inci wajah cantik yang beberapa bulan ini tampak sendu. "Kamu cintanya aku, sampai kapan pun," ucap Rizal seraya tersenyum.

Pintu kamar terbuka, tampak Ardan masuk sambil membawa buku tugas sekolahnya. Namun, kedua mata bocah 9 tahun itu menatap ke koper besar yang ada di samping ayahnya.

"Ayah mau dinas keluar kota lagi?" Ardan berjalan pelan mendekat. Rizal mengangguk.

"Satu minggu. Ayah nanti pulang bawa oleh-oleh buat kal--"

"Nggak usah, Yah." Suara Dewa terdengar di depan pintu, lalu menarik tangan Ardan. "Sini, kerjain PRnya sama Abang aja." Begitu ketus nada bicara Dewa. Rizal menatap si sulung yang begitu kesal, Imel beranjak, menggiring putranya kembali duduk di ruang TV.

"Bang, jangan gitu ngomong sama Ayah, nggak sopan. Ibu nggak suka," tegur Imel lembut.

"Ck. Bu. Ayah mau dinas ke mana lagi. Ibu lupa? Bulan lalu, di ulang tahun Abang, Ayah nggak pulang, kan? Dinas juga."

Hati Imel merasa nyeri, memang benar, saat itu, bertepatan dengan acara 7 bulan kehamilan Winola, yang akhirnya, Imel merayakan ulang tahun Dewa dengan makan di restoran steak, bertiga saja. Ia berkali-kali membesarkan hati putranya itu walau hatinya sendiri begitu sakit dan sedih. Imel tak bisa menyanggah, Dewa yang genap 11 tahun, sudah bisa melihat keanehan hal itu, Ayahnya yang memang jarang di rumah.

***

Bulan ke sembilan. Winola melahirkan, dan bisa ditebak, Rizal tak ada di rumah. Kala itu, Dewa sakit, Imel membawa Dewa ke dokter setelah demam selama dua hari. Ardan juga ikut, ke mana pun Imel pergi, ia pasti membawa dua anaknya, tak pernah tidak. Ia juga semakin mandiri dengan melakukan banyak hal semenjak Rizal membagi waktu dengan wanita itu.

Ardan yang sedang memainkan mainan robot di tangannya, mendadak diam saat pandangannya menatap ke arah lobi rumah sakit. Ia menyikut tangan Dewa, lalu berbisik. "Bang, itu, Ayah kita, kan?"

Dewa yang baru saja cek darah karena Imel takut anaknya DBD atau tipus, mendongakkan kepala walau terasa pusing. Kedua matanya menyipit. Ia merangkul bahu Ardan. Mencoba mengarahkan posisi duduk adiknya sedikit miring ke arahnya. "Bukan, mirip doang. Ayah, kan, di kantor jam segini. Tuh, masih jam delapan pagi." tunjuk Dewa mencoba mengalihkan perhatian adiknya.

Rizal, berjalan bersama Winola yang menggendong bayinya, tampak saling melempar senyum. Dewa tau itu ayahnya, namun ia memilih diam dengan pikiran yang mengukir di dalam otaknya 'Ayah sama siapa?'

Imelda datang, duduk di sebelah dua putranya, memberi tau jika Dewa sakit gejala tipus, tak perlu di opname, cukup istirahat di rumah selama satu minggu. "Ibu tebus obat dulu, ya, kalian tunggu di sini sebentar." Kedua anaknya mengangguk. Imelnya berjalan ke meja farmasi, setelah memberikan resep dan mengetahui berapa biayanya, uang yang dibawa Imel kurang dua ratus ribu, ia lupa membawa ATM, akhirnya, ia tak bisa menebus obat walau separuh resep. "Saya ke sini lagi siang bisa, kan, Mbak, ATM saya ketinggalan," ucapnya.

"Bisa, Bu, nanti bilang aja, ambil obat atas nama putra Ibu," ujar petugas. Imel mengangguk. Ia buru-buru menghampiri dua putranya. Lalu mengajak ke arah parkiran mobil. Dewa lemas, juga mual. Imelda yang panik, akhirnya melajukan mobilnya dengan cepat ke arah rumah. Di dalam hati ia berdoa supaya diperjalanan lancar tak ada kendala.

Tiba di rumah, Dewa muntah-muntah, Imel menelpon Rizal sambil meminta Ardan membantu mengambilkan baju ganti kakaknya yang terkena muntahan. "Mas, angkat telponnya," lirih Imel. Sayangnya, hal itu percuma. Imel meletakkan ponsel. Ia fokus menyeka tubuh Dewa dengan air hangat di kamar mandi.

Terdengar suara notifikasi pesan singkat masuk dari ponselnya. Ia segera meraih, membaca isinya dengan cepat.

Rizal : "Mel, aku minta maaf. Uang bulanan kamu dan anak-anak, berkurang sementara, ya, Winola melahirkan, uangku dipakai untuk biaya lahiran dia."

Deg. Imel menatap layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Cepat ia mengerjapkan mata, menghalau air mata yang segera tumpah, mengabaikan hal itu dan kembali mengurus Dewa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jadi istri itu tegas dan pintar dikit. jgn gampang dibodohi
goodnovel comment avatar
Bu Iim
banyak typo.....salah trus ngetik nama pemeran
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kebahagiaan Sesungguhnya

    "Mas Rizal, anak-anak kenapa nggak ada yang telepon kita? Tumben banget hampir satu minggu nggak kasih kabar. Araska juga, katanya mau pulang kemarin, sampai hari ini mana? Koper-koper aja yang ada." Imel menggerutu sendiri, ia dan Rizal tengah asik menonton acara TV setelah pulang membeli sarapan bubur ayam di tempat langganan. "Lagi sibuk semua kali, Mel, udah biar aja. Kamu nggak masak buat makan siang?" Rizal meletakkan ponsel miliknya yang sedari tadi ia gunakan untuk membalas pesan singkat teman-teman warga komplek. "Nggak, biar Bibi aja yang masak. Aku kepikiran anak-anak, mana Ardan dan Sahila juga nggak kirim foto Reno sama Bima. Aku kangen cucu-cucu ku juga, Mas ...." Imel tampak kesal, bahkan sedikit menghentakkan kaki ke lantai. "Kok kamu kayak anak kecil gini? Udah tua sayang, uban mu mulai banyak," goda Rizal yang membuat Imel makin kesal. Mendadak muncul Gadis dari arah depan rumah, ia datang bersama Dewa. "Ayah ... Ibu ...," sapa Gadis. "Hai sayang!" teria

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Awet muda

    Imelda duduk di teras rumah, menatap area depan hingga garasi yang sudah di renovasi menjadi lebih lebar sehingga muat 3 mobil terparkir, karena Rizal memang membeli rumah sebelah kanannya yang sudah lama kosong. "Kenapa kamu bengong?" Rizal memeluk Imelda begitu hangat. Pelukan itu membuat Imel tersenyum lalu menoleh ke samping kanan. Wajah keriput Rizal bahkan tak melunturkan bagaimana Imelda mencintai pria itu begitu luar biasa. "Lagi mikir sisa usia kita, mau lakuin apa. Aku juga mikir, apa anak-anak bisa lepas dari kita dan hidup dengan baik." Helaan napas Rizal menerpa pipi kanan Imelda. "Jangan seperti ini mikirnya, nggak boleh, Mel." Rizal melepaskan pelukan, kemudian berpindah duduk di sebelah istrinya. Ia meraih jemari lembut wanita yang tetap cantik, digenggam erat. "Anak-anak sudah masuk di fase kehidupan yang baru, ada di posisi kita dulu. Kamu nggak bisa khawatir kayak gini. Kita ... cukup perhatikan, biarkan mereka berkreasi dengan rumah tangga mereka, kita nggak bis

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Curhatan lelaki

    Peresmian restoran masakan Indonesia milik Ardan dan Sahila berjalan begitu meriah. Araska bertepuk tangan sambil bersorak ke arah dua kakaknya, hal itu membuat seseorang yang setia berdiri di sebelahnya melirik jengah. Sahila melihat hal itu, sebagai seorang kakak, ia tak mau adiknya mencintai seseorang yang salah. Sahila mendampingi Ardan menjamu tamu undangan yang diantaranya banyak pejabat juga pengusaha sukses kenalan Praset. Dua kakak Sahila juga datang bersama keluarganya, hanya satu kakak lelakinya yang tinggal di London dan tidak bisa pulang ke Thailand. "Mas Ardan, aku ke Araska dulu, ya," pamitnya sambil mengecup pipi Ardan yang kala itu memakai kemeja putih pres body, celana panjang warna krem juga kacamata yang kini setia bertengger di hidung bangirnya. Sama seperti Araska yang memang berkacamata. "Hai, aku kira kamu jadi pulang ke Singapura semalam?" sapa dan sindir Sahila kepada perempuan yang tampak tak nyaman berada di sana. Araska melihat itu, tetapi seolah tertut

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Kedatangan Araska

    "Yakin mau di sini?" Sahila memeluk pinggang Ardan yang merangkul bahunya. "Yakin. Kita bisa mulai semua dari sini, hidup sederhana dan yang penting selalu bersama-sama." Ia mengecup pelipis Sahila. Mereka menatap ke ruko yang di sewa untuk membuka restoran masakan khas Indonesia. Ardan banting setir, menjadi pengusaha restorannya sendiri, dan Sahila mengatur kinerja harian. Keduanya memutuskan akan menetap di sana, merantau di negara yang tak asing bagi Sahila. Lingkungannya juga baik, tak jauh beda dengan di tanah air. "Mana bisa sederhana, kamu nggak lihat di belakang kita? Baru juga kita mau persiapan buka resto ini, mereka udah stand by." Sahila menoleh ke belakang, terlihat beberapa ajudan dari Praset berjaga di sekitar resto. "Kamu bilang sama Papi, jangan berlebihan. Anak-anak juga kasihan jadinya, La," bisiknya. "Iya, nanti aku bilang. Ngomong-ngomong, Reno sama Bima ke mana?" Wanita itu celingukan, mencari keberadaan dua putranya yang sejak beberapa waktu lalu tak tampak

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Melepas Rindu

    Kaki Sahila melangkah pelan setelah turun dari mobil SUV mewah milik keluarganya yang berhenti di depan rumah tempat tinggalnya. Tangannya terus menggandeng erat jemari Ardan, Bima berada di gendongan Praset, sedangkan Reno sudah membuka pagar rumah yang terbuat dari kayu bercat putih. Halaman yang cukup luas dengan rerumputan yang tertata apik hasil kerja keras Ardan yang memang mau melakukannya sendiri, membuat senyum Sahila merekah. Di teras depan, Rizal, Imel, Dewa beserta istri dan kedua anaknya menyambut dengan wajah penuh bahagia. Kedua tangan Imel ia rentangkan, betapa bersyukur bisa melihat Sahila kembali dalam keadaan sehat. "Ibu," sapa Sahila dengan derai air mata. "Sayang," peluk Imel. "Jangan nangis, Ibu nggak mau ada air mata kesedihan lagi dikeluarga kita selain air mata bahagia," lanjutnya. Sahila mengulur pelukan, mengangguk, lalu berpindah memeluk Rizal. Di dalam rumah, orang suruhan Praset sudah menyiapkan hidangan yang pasti Sahila suka. Jadilah acara sederh

  • CELASEMARA (Haruskah aku melepaskanmu?)   Permintaan kembali

    Gaun putih yang dikenakan terasa cocok dan tidak membuat langkah Sahila kesusahan. Justru ia begitu anggun melangkah. Ardan dan Reno menatap sambil mengukir senyuman, di lengan Ardan juga, ada Bima yang menatap ke arah ibunya yang berjalan mendekat. "Aku kangen kamu, La," ucap Ardan lalu terpejam karena Sahila mengecup lembut pipi suaminya, tanpa suara membalas kalimat itu, hanya saja tangan Sahila membelai wajah Ardan yang masih terus terpejam. "Mama," panggil Reno dengan air mata yang jatuh. Air mata bahagia tepatnya. Sahila bergeser, berlutut menyetarakan tinggi tubuh dengan anaknya. "Reno kangen," lirihnya lalu memeluk leher Sahila. Tangan wanita itu mengusap lembut punggung Reno. Tak lama, Sahila berdiri, kembali berhadapan dengan Ardan. Bima menatap Sahila, digendongnya bayi yang bahkan belum genap enam bulan. Dipeluk hangat hingga diciumi gemas putra yang selama hampir sembilan bulan ada di dalam kandungannya. "Ayo kita masuk ke dalam, La," ajak Ardan. Sahila tersenyum, me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status