Share

Chapter 7. Hari Yang Melelahkan

Hening menyelimuti perjalanan Liu dan Jisung. Liu diam karena hatinya masih kesal dengan keadaan, sedangkan Jisung diam karena tak tahu harus berbuat apa. Mereka sama-sama melihat ke luar jendela dan memanjakan mata dengan lampu-lampu kota.

“Maaf, destinasi kita kemana, Tuan?” tanya Sekretaris Choi yang kebingungan.

“Diamond residence,” jawab Jisung singkat.

Liu meneguk ludahnya sendiri saat tempat yang disebutkan Jung Jisung adalah apartemennya dan sang ibu. Untuk sesaat ia lupa bahwa lelaki di sampingnya itu sudah mengecek semua latar belakangnya, termasuk tempat tinggal tentunya.

“Baik.”

Sesampainya di tempat tujuan, Liu langsung keluar begitu mobil itu berhenti, tak berniat untuk berpamitan atau sekadar berbasa-basi. Ia langsung berjalan menjauh tanpa repot-repot menengok ke belakang.

Tepat saat Sekretaris Choi menyalakan mesin mobilnya kembali, Jung Jisung tiba-tiba kembali keluar dari mobilnya, menyisakan heran yang tergambar jelas di wajah Sekretaris Choi.

“Tunggu!” sergah Jung Jisung yang berjarak lima kaki dari Liu. Perempuan itu seketika menghentikan langkah kakinya yang masih tak beralas.

“Kenapa lagi?” tanyanya ketus saat berbalik.

Entah kenapa, otak Jisung macet seketika.

“Aku tidak tahu di mana letak salahku, dan aku tidak tahu apa itu kata maaf,” ucap Jisung dingin.

Kalimat Jisung terdengar seperti candaan di telinga Liu, padahal lelaki itu sedang memasang wajah serius sekali.

“Kamu bercanda? Maaf Tuan Jung Jisung yang terhormat, aku lelah sekali hari ini, bercandanya besok saja,” gerutu Liu.

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang membuatmu marah, karena Shin Minseo? Aku hanya tidak mengerti,” timpal Jisung lagi, membuat Liu membisu di tempatnya.

“Benar, apa yang membuatku marah? Karena Shin Minseo adalah pacar calon suamiku? Atau karena kesal dengan diriku sendiri yang bukan siapa-siapa? Apa karena aku kalah setelah membandingkan diri dengan perempuan itu? Atau aku ini kenapa?” batin Liu yang kembali menyalahkan dirinya sendiri.

“Ekhm.” Jisung berdehem untuk menyadarkan Liu dari lamunannya.

“Sudahlah, lupakan. Tidak sepenuhnya salahmu juga, memang aku yang selalu tidak beruntung saja,” pungkas Liu.

“Jadi, aku tidak perlu meminta maaf?”

“Kenapa kamu terus-terusan membahas kata maaf? Aneh sekali, cepat pulang sana,” protes Liu.

“Karena aku tidak tahu cara melakukannya,” gumam Jisung sambil berbalik dan kembali masuk ke mobilnya.

“Lelucon macam apa ini? Siapa gerangan yang tak pernah meminta maaf di usia setua itu?” gerutu Liu tepat ketika mobil itu mulai melaju.

“Sekretaris Choi,” panggil Jisung.

“Iya, Tuan?”

“Cara meminta maaf itu… bagaimana?”

---

“Aw… perih,” rintih Liu saat mengoleskan obat merah ke beberapa luka lecet di kakinya.

Sekarang dia menyesal sudah menuruti egonya beberapa saat lalu. Tapi begitulah wanita saat harga dirinya terluka sedikit saja, tak mau menuruti logika.

“Lain kali, kalau mau membenci Jung Jisung, benci orangnya saja. Jangan merugikan diri sendiri, oke?” ujar Liu menasehati dirinya sendiri.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas lewat, sebentar lagi tengah malam dan Liu bahkan belum memakan apapun dari sore.

“Semua karena Jung Jisung.”

Liu membuka kulkasnya, hampir tak ada apapun kecuali satu botol air mineral dan dua kaleng soju. Tentu saja ia memilih soju.

Pikirannya menerawang bebas sambil meneguk satu kaleng pertama sampai habis. Ia kembali sibuk berselancar di internet dan membaca artikel tentang Jung Jisung maupun Shin Minseo. Entah sudah berapa puluh artikel yang sudah ia selesaikan.

“Wah, dia benar-benar seperti malaikat,” gumam Liu.

Namun ada satu hal janggal yang Liu sadari, yaitu tak ada satupun foto kedua sejoli itu saat bersama. Foto-foto yang media jadikan bahan hanyalah foto Jisung dan Minseo dari agenda lain, tak ada foto berdua.

Liu penasaran, tapi ia menebak semua itu karena sifat Jung Jisung yang ingin semuanya super private untuknya. Ia pun kembali teringat pertemuan pertamanya dengan Jung Jisung yang bahkan menyewa seluruh gedung restoran hanya untuk bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu.

“Mungkin memang begitu cara orang kaya hidup, aku mana tahu?”

Saat tangannya sibuk mengulir artikel, ponselnya tiba-tiba bergetar, menampilkan nama Rumah Sakit Yang, tempat sang ibu dirawat. Buru-buru Liu mengangkat panggilan masuk itu, meneleponnya tengah malam tentu bukan untuk member kabar baik, piker Liu.

“Iya? Ibu saya kenapa, Suster?” cecar Liu.

“Ibu Kim Hyesu kembali kritis, malam ini mungkin akan cukup berat untuknya,” ujar perawat dari seberang telepon.

“Baik, saya akan ke sana” pungkas Liu tanpa bertanya lebih jauh lagi.

---

Liu berjalan sedikit terseok menuju kamar sang ibu, entah kenapa, perutnya terasa panas dan mual sejak dalam perjalanan.

“Apakah saya sudah boleh menengoknya?” tanya Liu usai seorang suster keluar dari ruang ICU eksklusif itu.

“Silakan, tapi pasien baru saja sedikit stabil dan belum sepenuhnya melewati masa kritis. Saya akan mendampingi, sepuluh menit saja, Saudara Liu,” jelas si perawat.

Liu hanya mengangguk menanggapi penjelasan singkat dari suster, ia sibuk menahan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk mata.

Liu pun mendekat ke ranjang ibunya, ia perhatikan lamat-lamat wajah ibunya yang terlelap. Suara ventilator dan alat-alat medis lain di sekeliling ibunya terdengar mencekam di telinga Liu.

“Ternyata ibu benar-benar menua, kapan semua kerutan di wajah ibu ini muncul? Aku bahkan tidak menyadarinya,” gumam Liu.

Seringkali ia benci pada ibunya yang mendikte satu-satu pilihan hidupnya, tapi bagaimanapun juga, ia sangat menyayangi sang ibu. Di dunia seluas ini, hanya ibunyalah yang ia punya.

Air mata Liu jatuh lagi, ia berusaha menahan isakannya karena ada suster yang menemaninya.

“Ibu anda harus benar-benar berjuang malam ini dan melewati masa kritisnya. Kami sarankan anda untuk tetap tinggal,” ujar suster itu.

Liu mengangguk dan menyeka air matanya. Ia memajukan dirinya satu langkah untuk meraih tangan sang ibu, lalu mencium keningnya sebelum pergi.

Perempuan itu kembali duduk di kursi lorong ruang tunggu. Malam itu entah kenapa terasa seratus kali lebih dingin dari biasanya, tapi daripada dingin, perih di hati Liu lebih mengusiknya.

Kakinya terasa linu, efek berjalan jauh dari rumah Jung Jisung baru ia rasakan, Liu sedikit menyesalinya sekarang.

Liu benar-benar lelah, ia hampir saja terlelap sebelum rasa sakit yang amat sangat di perut membangunkannya.

“Arrggh…” erang Liu sambil meremat perutnya.

Otaknya kini sudah memaki diri sendiri yang melewatkan makan sejak pagi. Hari itu ia sudah bekerja keras dengan berkas-berkas kasusnya, lalu mengurus kontrak pernikahannya dengan Jung Jisung, lalu menyiksa diri sendiri dengan berjalan berkilo-kilo tanpa alas kaki, dan diakhiri dengan minum dua kaleng soju saat perut kosong.

“Bodoh, ini namanya misi bunuh diri,” racaunya dalam hati memaki diri sendiri.

Perempuan itu kini sudah jatuh terduduk di lantai, masih dengan meremat perutnya sambil terpejam. Ia lemah sekali, hampir tak ada tenaga untuk sekadar berteriak saja.

Rasa sakit itu tak tertahankan, sampai ia pun hampir kehilangan kesadarannya dan jatuh tersungkur ke lantai. Namun bukan dinginnya lantai keras yang ia rasakan, melainkan kehangatan. Sebuah tangan besar yang hangat terasa di pipinya.

“Kim Liu…!” Suara itu adalah hal terakhir yang Liu dengar sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya.

“Ji…” rintih Liu terakhir kali.

----

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status