Share

Chapter 6. Kekasih Calon Suami

Liu sedang menunggu Jung Jisung dan pengacaranya menyelesaikan dokumen. Ia masih duduk di sofa dengan perasaan campur aduk. Pikirannya melayang teringat pengakuan Jisung yang ternyata sudah memiliki kekasih, sesuatu yang benar-benar tidak ia duga.

“Tunggu, aku kan bisa cari tahu,” gumam Liu yang langsung meraih ponselnya.

Ia baru teringat ucapan Doyeon bahwa Jisung adalah BTSnya dunia industri yang rajin masuk portal berita. Dan benar saja, hanya dengan mengetikkan satu kata kunci yaitu “Jung Jisung”, ratusan headline artikel berita tentang lelaki itu langsung muncul memenuhi laman pencarian.

Liu meneguk ludahnya, “Jadi benar dia se-terkenal ini?” ucapnya keheranan dengan mulut menganga.

“APA?!” pekik Liu spontan saat membaca artikel teratas, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan sambil melihat sekeliling.

“Perempuan itu adalah Shin Minseo? Selebgram cantik dan sultan kaya raya yang diidolakan Dayeon?” ujar Liu yang kini setengah berbisik pada dirinya sendiri.

Memorinya memutar saat-saat Dayeon tak henti-hentinya memamerkan idolanya, Shin Minseo, yang selalu menjadi panutan hidupnya.

Shin Minseo adalah putri tunggal dari CEO perusahaan penyiaran Baro TV, Shin Baro. Baro TV adalah perusahaan penyiaran nomor satu, Shin Baro bahkan termasuk ke dalam salah satu dari sepuluh orang terkaya di Korea.

Perempuan itu tak hanya bergelimang harta, tapi juga berparas cantik dan rupawan. Ia juga memiliki followers ribuan di semua akun sosial medianya, ketenarannya sudah sebelas dua belas dengan artis atau idol.

“Kata Dayeon, Shin Minseo adalah kiblatnya saat menyangkut fashion ataupun makeup. Ternyata dia memang secantik dan semodis ini,” gumam Liu saat melihat foto sosok Minseo untuk pertama kali.

Mulut Liu terbuka semakin lebar bersamaan dengan jemarinya yang semakin mengulir ke layar ponselnya. Sampai sebuah bahasan tentang hubungan Shin Minseo dan Jung Jisung menghntikan gerakan tangannya.

“Siapa sangka, Tuan Muda Jung Jisung yang dielu-elukan banyak kaum wanita muda ternyata sudah menautkan hatinya pada gadis cantik favorit para remaja, Shin Minseo si Malaikat.” Begitulah sepenggal kalimat dari berita yang Liu baca.

“Si Malaikat? Arrrghhh….” erang Liu yang langsung membanting ponselnya ke sofa.

Otaknya kini dipenuhi tanda tanya besar, tentang kenapa Jung Jisung justru menyetujui perjodohan itu dan memilihnya. Tingkat keinsecurean Liu sontak naik drastis usai melihat Shin Minseo yang bisa dikatakan memiliki semua hal yang tak ia punya.

Terbayang di otak Liu scenario tentang bagaimana fotonya beredar di internet yang kolom komentarnya penuh dengan ujaran kebencian dari fans Minseo dan Jisung. Ia pening hanya dengan memikirkannya saja, memikirkan pacar calon suaminya.

Ah, konyol memang, tapi perempuan itu memang pacar calon suaminya. Miris sekali.

“Kenapa?” sahut sebuah suara tiba-tiba, membuyarkan lamunan Liu seketika.

Jung Jisung kembali masuk dan mendudukkan diri di depan Liu, ditemani Sekretaris Choi yang berdiri di dekatnya.

“Apanya yang kenapa?” Liu balik bertanya dengan nada kesal.

“Kamu menghela nafas panjang sekali, ada masalah dengan kontraknya?” tanya Jisung.

“Dasar lelaki tidak peka, menurutmu reaksi apa yang kamu harapkan setelah memberi tahu calon istrimu bahwa kamu memiliki pacar? Aku yang berteriak kegirangan? Tentu tidak, bukan? Konyol sekali,” sindir Liu.

“Ah, karena itu. Aku hanya tidak peduli,” jawab Jisung dingin.

“Apa? Dia sama sekali tidak peduli dengan perasaanku? Atau memang aku saja yang berlebihan?” batin Liu yang mulai mempertanyakan perasaannya, ia mulai mengasihani dirinya sendiri.

Ucapan Jung Jisung benar-benar menusuknya, hatinya terasa sakit.

Tanpa membalas ucapan Jisung, Liu segera bangkit dan berjalan cepat menuju pintu. Entah kenapa, perasaannya tiba-tiba hancur karena merasa terjebak situasi yang tak memberinya pilihan. Semua terjadi begitu cepat, sampai-sampai otak Liu kesulitan mencerna.

“Mau kemana?” tanya Jisung tanpa beranjak.

“Pulang,” sahut Liu ketus.

Pintu itu terbanting cukup kencang sampai lukisan emas di sisi dindingnya bergetar.

“Aku… salah apa, Sekretaris Choi?” tanya Jisung dengan polos sambil menggaruk rambutnya.

Jisung yang jenius pun sebenarnya hanyalah lelaki bodoh yang tak tahu cara berdamai dengan wanita. Bukan karena tak pandai, hanya saja ia tak pernah melakukannya.

“Saya akan mengejarnya, Tuan,” ucap Sekretaris Choi.

“Tidak perlu,” cegah Jisung sebelum Sekretaris Choi sempat melangkahkan kakinya.

“Dia tidak akan pernah bisa pergi dari sini, dia akan kembali,” lanjutnya.

Benar, mereka kini tengah berada di rumah khusus Jung Jisung yang berada jauh dari kota, sekitar tiga puluh menit perjalanan dengan mobil untuk mencapai jalan raya besar. Rumah itu didesain khusus untuk sang empunya bersantai dengan buku-bukunya untuk belajar.

Ya, Jisung menghabiskan waktu healingnya dengan belajar, sungguh bertolak belakang dengan Liu yang melepas stressnya dengan pesta soju.

Rumah itu bahkan tak ada di navigasi dan peta manapun, hanya Jung Jisung dan orang-orangnya saja yang bisa mengunjunginya. Karena itu, ia yakin Liu akan kembali setelah sadar ia sedang berada di tempat yang asing, apalagi hari sudah sangat gelap.

Lima belas menit sepeninggalan Liu, Jisung akhirnya beranjak dari duduknya.

“Ayo menjemputnya,” ujar Jisung kemudian, ia bahkan sudah membayangkan Liu sedang duduk di teras rumahnya dan memandangnya dengan tatapan kesal.

Lelaki itu keluar dengan Sekretaris Choi yang mengekor di belakangnya. Namun begitu sampai di teras rumah, perempuan itu tak ada di sana.

“Kemana dia?” gumam Jisung.

“Saya akan mencarinya di taman, Tuan,” ucap Sekretaris Choi yang langsung berjalan cepat menuju taman yang berhias lampu-lampu cantik.

Rumah itu memiliki taman kecil di sampingnya, penuh bunga bermekaran saat musim semi. Namun Sekretaris Choi kembali dengan tergesa, tanpa siapapun mengekor di belakangnya.

“Tidak ada, Tuan. Sepertinya Nona Liu benar-benar pergi,” ujarnya kemudian.

“Apa? Ah, menyusahkan sekali.” Jisung yang tak menduganya hanya bisa kesal, ada perasaan aneh di benaknya, tapi ia buta untuk menerjemahkannya.

“Kita pergi sekarang,” perintah Jisung.

Sekretaris Choi pun melajukan mobilnya dengan kencang, mata mereka menatap jauh ke depan, menunggu-nunggu sosok di kejauhan sana terlihat diantara kegelapan.

Benar saja, tak ada sepuluh menit perjalanan, sosok perempuan terlihat susah payah berjalan dengan menunduk di sisi jalan temaram lampu jalan.

Sekretaris Choi pun memberhentikan mobilnya di samping Liu. Saat ia akan keluar, Tuannya di belakang sudah terlebih dahulu mendahuluinya, membuatnya mengernyitkan dahi karena keheranan. Jung Jisung tak pernah mau terlibat hal kekanakan yang menyusahkan seperti itu sebelumnya, benar-benar bukan Jung Jisung sekali.

“Kenapa? Lanjut saja perjalanannya, aku bisa pulang sendiri,” ucap Liu dengan wajah yang kelelahan.

Jisung seketika memindai perempuan itu dari atas hingga bawah tanpa sadar. Atensinya teralihkan pada kaki telanjang Liu.

Liu terlihat menenteng stilettonya dan berjalan tanpa alas kaki. Melihat itu, lagi-lagi ada perasaan aneh di benak Jisung. Rasa bersalah? Entahlah, Jisung tak bisa mengartikannya.

“Masuk mobil,” ucap Jisung dingin.

Namun Liu justru berjalan melewatinya, Jisung dengan sigap meraih pergelangan tangan Liu yang menenteng sepatunya.

“Lepas!” seru Liu.

“Masuk!” perintah Jisung tak terbantahkan.

“Bahkan tak ada maaf satupun yang keluar dari mulutmu, baiklah,” sindir Liu yang akhirnya masuk ke dalam mobil dengan raut wajah kesal.

Jisung menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, “Maaf? Kenapa aku harus minta maaf?” tanya Jisung pada dirinya sendiri yang belum pernah mengucap kata maaf pada siapapun selama dua puluh delapan tahun hidupnya.

----

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status