Share

Bab 5: Kecurigaan Awal

Author: Anprar
last update Last Updated: 2025-03-06 10:23:50

Laboratorium rumah sakit hampir kosong pada pukul 11 malam ini. Hanya Dr. Adrian Wijaya yang masih membungkuk di atas mikroskop, jemarinya dengan teliti menggeser slide berisi sampel darah Damian. Kantong mata menghiasi wajahnya yang lelah, tapi tatapannya penuh konsentrasi. Ini adalah hari ketiga sejak Damian Lesmana sadar dari koma, dan sesuatu dalam hasil tesnya terus mengganggu Dr. Adrian.

"Lagi-lagi menjadi dokter detektif, Adrian?"

Dr. Maya Suryadi, kepala departemen neurologi, tersenyum dari ambang pintu. Wanita berusia lima puluhan itu dikenal sebagai salah satu ahli neurologi terbaik di Asia Tenggara.

"Ada sesuatu yang salah pada sampel darah Damian," jawab Adrian tanpa mengalihkan tatapannya dari mikroskop. "Lihat ini."

Dr. Maya mendekat, mengambil alih mikroskop. "Hmm. Sel darah merah dengan struktur membran yang tidak normal. Kau yakin ini bukan karena reaksi obat-obatan yang kita berikan selama dia koma?"

"Positif. Aku sudah memeriksa semua obat dalam protokol perawatannya, tidak ada yang akan menyebabkan perubahan struktur seperti ini." Adrian menggeser beberapa hasil tes ke arah Dr. Maya. "Dan lihat hasil toksikologi ini. Ada senyawa asing yang tidak teridentifikasi sistem."

Dr. Maya mengamati grafik dengan dahi berkerut. "Ini memang aneh. Mungkin kita perlu mengirim sampel ke laboratorium pusat di Singapura untuk analisis lebih lanjut."

"Sudah kulakukan," jawab Adrian, membuka laptop dan menunjukkan email yang telah ia kirim. "Dan ada satu hal lagi yang menggangguku." Dia membuka file digital scan otak Damian. "Lihat pola kerusakan di hippocampus ini. Terlalu... terkonsentrasi, terlalu spesifik untuk trauma benturan biasa."

"Hmm, kau benar," Dr. Maya mengamati scan dengan seksama. "Kerusakan akibat benturan biasanya lebih tersebar. Ini seperti... area tertentu ditargetkan secara spesifik."

"Persis," Adrian mengangguk. "Dan semakin aku pelajari, semakin aku percaya ada hubungan antara senyawa asing dalam darahnya dan pola kerusakan ini."

"Kau mencurigai... neurotoksin?" Dr. Maya menatap Adrian dengan alis terangkat.

"Aku masih belum bisa memastikan, tapi itu hipotesis yang paling masuk akal." Adrian menarik napas panjang. "Damian Lesmana bukan pasien biasa, Maya. Dia CEO perusahaan teknologi multi-miliar yang memiliki banyak pesaing dan mungkin musuh."

"Dan kau mencurigai sabotase?" Dr. Maya menurunkan suaranya, meski laboratorium kosong.

"Wanita mencurigakan muncul di ruangannya kemarin. Vianna Darmawan, mengaku sebagai asisten eksekutifnya. Tapi wakil direktur perusahaan Damian mengungkapkan bahwa wanita itu sebenarnya telah dipecat sebulan sebelum kecelakaan karena spionase industri."

Dr. Maya mendudukkan diri di kursi, mencerna informasi ini. "Adrian, ini tuduhan serius. Kau bicara tentang percobaan pembunuhan."

"Atau setidaknya sabotase yang bertujuan menghapus ingatan spesifik." Adrian menatap koleganya dengan serius. "Kecelakaan pesawat itu mungkin hanya kedok."

"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"

"Menunggu hasil analisis dari Singapura, sambil terus memonitor pemulihan Damian. Aku ingin melihat apakah ada pola dalam memori yang kembali dan yang tetap hilang."

Dr. Maya tampak ragu. "Kau perlu sangat berhati-hati, Adrian. Jika dugaanmu benar, siapapun yang berada di balik ini adalah orang dengan sumber daya dan koneksi yang luar biasa. Neurotoksin yang bisa menarget area memori spesifik? Itu teknologi tingkat militer atau intelijen."

"Aku tahu," Adrian mengangguk serius. "Itulah mengapa aku hanya membicarakan ini denganmu."

Setelah Dr. Maya pergi, Adrian kembali memeriksa hasil tes darah Damian. Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari nomor tak dikenal:

"Berhenti menggali. Demi kebaikanmu sendiri."

Jantung Adrian berdegup kencang. Ia cepat-cepat mengunci laboratorium dan menuju ke tempat parkir. Di sepanjang lorong rumah sakit yang sepi, ia tidak menyadari sosok yang mengawasinya dari kejauhan.

---

Keesokan paginya, Damian duduk di tepi tempat tidur rumah sakit, menunggu dokumen administrasi terakhir untuk kepulangannya. Rafi baru saja pergi untuk mengurus surat-surat, meninggalkan Damian bersama Eliza yang dengan tenang merapikan barang-barang pribadinya.

"Kau yakin sudah siap pulang?" tanya Eliza, melipat piyama rumah sakit Damian. "Dr. Adrian menyarankan observasi minimal lima hari, tapi kau baru di sini tiga hari."

"Aku bisa beristirahat dengan sama baiknya di mansion," jawab Damian tegas. "Dan di sana lebih aman."

Eliza mengangguk, tidak membantah. Dia telah belajar selama tiga tahun terakhir bahwa ketika Damian membuat keputusan dengan nada itu, sangat sedikit yang bisa mengubah pikirannya.

Pintu terbuka, dan Dr. Adrian masuk dengan map berisi dokumen. Wajahnya terlihat lelah, seperti orang yang tidak tidur semalaman.

"Damian," Dr. Adrian mengangguk. "Aku sudah menandatangani surat keluarmu, tapi dengan beberapa syarat yang harus kau patuhi."

"Aku akan memastikan dia mengikutinya," Eliza menjawab sebelum Damian bisa protes.

Dr. Adrian tersenyum tipis, sebelum ekspresinya kembali serius. "Aku perlu bicara denganmu secara privat, Damian."

Eliza mengangguk pengertian. "Aku akan membantu Rafi dengan administrasi." Dia keluar dari ruangan, meninggalkan Damian dan Dr. Adrian.

"Ada apa?" tanya Damian, menyadari keseriusan di wajah dokternya.

"Aku menghabiskan sepanjang malam menganalisis hasil scan otakmu," Dr. Adrian menurunkan suaranya. "Ada sesuatu yang sangat tidak biasa dengan pola kerusakan di hippocampus-mu, area yang bertanggung jawab untuk pembentukan memori."

"Tidak biasa bagaimana?"

"Kerusakan terlalu terkonsentrasi, terlalu... spesifik." Dr. Adrian ragu sejenak. "Damian, aku mulai mencurigai bahwa amnesiamu bukan semata-mata akibat trauma benturan."

Damian menegakkan punggungnya, tatapannya menajam. "Kau mencurigai ini disengaja?"

"Aku menemukan senyawa asing dalam sampel darahmu. Sudah kukirim ke Singapura untuk analisis lebih lanjut, tapi intuisiku mengatakan ini semacam neurotoksin."

Mata Damian menggelap. "Kau mencurigai seseorang meracuniku untuk menghapus ingatanku?"

"Aku tidak ingin membuat tuduhan tanpa bukti kuat," Dr. Adrian menjawab hati-hati. "Tapi setelah insiden dengan Vianna Darmawan kemarin, dan melihat hasil tes darahmu... ya, itu kemungkinan yang harus kita pertimbangkan."

"Dan apa pendapatmu tentang Eliza dalam semua ini?" tanya Damian, suaranya rendah.

"Aku telah mengamati interaksinya denganmu selama dua minggu kau koma, Damian. Kekhawatirannya, kesetiaannya, semua terlihat genuinely. Dan berdasarkan reaksi Rafi, mereka memang memiliki hubungan yang baik. Aku tidak melihat alasan untuk mencurigainya."

Damian mengangguk pelan, memproses informasi ini. "Bagaimana dengan keselamatanku sekarang? Jika ada yang berniat menyabotase hidupku, apakah mereka akan mencoba lagi?"

"Itulah sebabnya aku setuju kau pulang lebih cepat. Rumah sakit terlalu terbuka, terlalu banyak akses. Mansion-mu dengan sistem keamanan modern jauh lebih aman."

"Dan kau sendiri? Apakah kau dalam bahaya karena menyelidiki ini?"

Dr. Adrian tersenyum kecut. "Aku menerima pesan ancaman tadi malam."

"Apa?" Damian terlihat terkejut.

"Seseorang menyuruhku berhenti menggali, demi kebaikanku sendiri." Dr. Adrian mengangkat bahu, berusaha terlihat lebih tenang dari yang ia rasakan. "Tapi aku tidak akan berhenti, Damian. Kau pasienku, dan aku bertekad menemukan apa yang sebenarnya terjadi padamu."

Damian menatap dokternya dengan respek baru. "Terima kasih, Adrian. Pastikan kau juga meningkatkan keamananmu. Aku bisa mengirim beberapa orang—"

"Tidak perlu," potong Dr. Adrian. "Aku sudah mengambil langkah pencegahan. Dan perhatian berlebihan justru bisa menarik kecurigaan."

Pintu terbuka, dan Rafi masuk dengan ekspresi puas. "Semua dokumen sudah selesai. Kita bisa pergi sekarang, Dam."

Damian mengangguk, berdiri dari tempat tidur. Meskipun dokter mengizinkannya pulang, tubuhnya masih terasa lemah setelah dua minggu koma. Dr. Adrian menyerahkan resep obat dan jadwal kontrol.

"Ingat, istirahat total selama tiga hari pertama. Tidak ada aktivitas menegangkan, tidak ada bekerja, tidak ada stress." Dr. Adrian menatap Damian dengan tegas. "Aku serius, Damian."

"Aku mengerti," jawab Damian, meski dalam hati ia sudah merencanakan untuk memeriksa beberapa dokumen perusahaan segera setelah tiba di mansion.

Eliza kembali masuk, membawa jaket Damian. "Mobil sudah siap di depan. Kirana sudah menyiapkan kamarmu dan semua yang kau butuhkan di mansion."

"Kau akan tinggal di guest house?" tanya Damian, mengingat diskusi mereka sebelumnya.

"Ya, seperti yang kita sepakati." Eliza tersenyum kecil. "Aku ingin memberimu ruang, Damian. Tapi aku tetap dekat jika kau membutuhkanku."

Untuk pertama kalinya sejak sadar, Damian merasakan apresiasi tulus terhadap pengertian dan kesabaran wanita ini. Mungkin dia memang tidak mengingat hubungan mereka, tapi ia mulai melihat kualitas yang mungkin membuatnya jatuh cinta pada Eliza dulu.

Saat mereka meninggalkan rumah sakit, Damian tidak menyadari sepasang mata yang mengawasi dari kejauhan. Vianna Darmawan berdiri di seberang jalan, mengenakan kacamata hitam dan topi, berbicara pelan ke ponselnya.

"Target meninggalkan rumah sakit. Mereka menuju mansion sekarang."

"Sempurna," jawab suara pria dari ujung lain sambungan. "Kita ikuti rencana. Tapi kita perlu berhati-hati dengan Eliza. Dia lebih tangguh dari yang kuperkirakan."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 46: Rahasia Farmasi

    Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 45: Album "Kisah Kita"

    Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 44: Menemukan Cincin

    Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 43: Mimpi Malam Hari

    "Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 42: Kilasan Pertama

    Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 41: Makan Malam dengan Vianna

    Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status