Album foto itu terbuka di pangkuan Damian, halaman pertamanya menampilkan foto yang membuat dadanya terasa sesak. Dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, tempat yang selama ini jadi favoritnya untuk menikmati espresso sebelum meeting pagi. Dalam foto itu, mereka duduk di sudut jendela, Damian tertawa lepas—ekspresi yang jarang ia tunjukkan di depan umum—sementara Eliza menyandarkan kepalanya di bahu Damian, tersenyum ke arah kamera.
"Ini diambil sekitar dua bulan setelah kita bertemu," Eliza menjelaskan dengan suara tenang. "Rafi yang memotretnya. Kau selalu menyebut ini sebagai 'bukti bahwa kecelakaan bisa berubah menjadi keajaiban.'"
"Kecelakaan?" tanya Damian, masih menatap foto tersebut dengan dahi berkerut.
"Pertemuan kita," Eliza tersenyum kecil. "Aku menumpahkan kopi ke kemeja putihmu. Kemeja Brioni yang kau bilang adalah favoritmu."
Rafi tertawa pelan. "Kau marah besar, Dam. Tapi kemudian Eliza menawarkan untuk membayar biaya dry cleaning dan mengajakmu minum kopi sebagai permintaan maaf."
Damian membalik halaman, menemukan lebih banyak foto: mereka di pantai Anyer, di villa Bandung, di pesta ulang tahun LTI, dan berbagai momen lain yang tidak bisa ia ingat sama sekali.
"Bagaimana dengan bukti lainnya?" tanya Damian, suaranya terdengar kering.
Eliza mengangguk dan mengambil folder dari tasnya. "Ini adalah sertifikat pertunangan kita, ditandatangani pada 14 November 2022 di Restoran Altitude. Dan ini adalah dokumen pembelian cincin pertunangan dari Tiffany & Co., juga dengan tanda tanganmu."
Damian memeriksa dokumen-dokumen tersebut dengan teliti. Itu memang tanda tangannya, tidak diragukan lagi.
"Aku juga membawa ini," kata Eliza, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. "Jam tangan pemberian ayahmu. Kau memberikannya padaku untuk disimpan ketika harus di-service bulan lalu."
Damian menerima kotak tersebut dengan tangan sedikit gemetar. Di dalamnya terdapat jam tangan Patek Philippe Calatrava yang memang diwariskan ayahnya. Jam itu memiliki ukiran kecil di bagian belakangnya: "Untuk putraku, waktu adalah satu-satunya aset yang tak bisa dibeli kembali."
"Bagaimana..." Damian menelan ludah, "bagaimana mungkin jam ini ada padamu?"
"Kau mempercayakannya padaku untuk dibawa ke service reguler," jawab Eliza lembut. "Kau tidak pernah membiarkan orang lain menyentuhnya, bahkan Rafi. Tapi kau memberikannya padaku."
"Ada satu hal lagi," lanjut Eliza, mengeluarkan sebuah ponsel. "Ini ponselmu yang lama, sebelum kau mengupgrade tiga bulan lalu. Kau selalu menyimpan backup perangkat lamamu."
Eliza menyalakan ponsel itu dan membukanya dengan sidik jari Damian. Dia menunjukkan galeri foto, pesan teks, dan email—ratusan bukti interaksi mereka selama hampir tiga tahun.
"Aku percaya bahwa kita memang memiliki hubungan," Damian akhirnya berkata. "Bukti-buktinya terlalu kuat untuk dibantah. Tapi aku tetap tidak mengingatmu, Eliza. Dan aku tidak tahu apakah aku bisa merasakan hal yang sama seperti dulu."
Eliza mengangguk. "Aku mengerti. Aku tidak meminta lebih dari pengakuan itu untuk saat ini."
"Dr. Adrian," Damian berpaling, "apa langkah selanjutnya?"
"Paparan bertahap pada lingkungan yang familiar," jawab Dr. Adrian. "Tapi tidak terburu-buru. Kita perlu memastikan kondisi fisikmu juga pulih sepenuhnya."
"Aku ingin kembali ke kantorku," kata Damian tegas. "LTI membutuhkanku."
"Damian," Dr. Adrian memperingatkan, "kau baru saja sadar dari koma dua hari yang lalu."
"Aku setuju dengan Dr. Adrian," tambah Eliza hati-hati. "Mungkin sebaiknya kau pulih dulu di mansion. Aku bisa tinggal di guest house jika itu membuatmu lebih nyaman."
"Bagaimana dengan pengaturan transisi?" tanya Rafi. "Aku bisa terus menangani operasional LTI sementara Damian memulihkan diri."
"Itu ide yang baik," setuju Dr. Adrian.
Saat mengumpulkan dokumen-dokumennya, kalung berliontin matahari kecil di leher Eliza menarik perhatian Damian.
"Kalung itu," kata Damian tiba-tiba, "sepertinya familiar."
Eliza berhenti bergerak, matanya melebar. "Ini hadiah ulang tahunku yang pertama darimu. Kau bilang aku seperti matahari yang menerangi hidupmu."
Damian menatap kalung itu dengan intens, namun kemudian menggeleng frustasi. "Aku hampir... tapi kemudian hilang lagi."
"Itu pertanda baik," kata Dr. Adrian menyemangati. "Bersabarlah dengan dirimu sendiri."
Ketika Eliza dan Rafi keluar lebih dulu, Dr. Adrian tinggal sejenak dengan Damian.
"Ada satu hal yang masih menggangguku," kata Dr. Adrian pelan. "Hasil tes darahmu menunjukkan adanya zat yang tidak biasa. Intuisiku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan kecelakaan ini."
Kalimat Dr. Adrian terputus ketika seorang perawat masuk memanggil untuk konsultasi darurat. Setelah Dr. Adrian pergi, Damian memejamkan mata, mencoba memproses semua informasi.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka lagi.
"Selamat siang, Tuan Lesmana. Senang melihat Anda sudah sadar."
Damian membuka mata. Seorang wanita anggun dengan blazer navy sempurna berdiri di ambang pintu.
"Siapa Anda?" tanya Damian.
"Vianna Darmawan, asisten eksekutif Anda," wanita itu menjawab dengan senyum profesional. "Saya datang segera setelah mendengar Anda sudah sadar."
"Asisten eksekutif? Tapi Rafi tidak menyebutkan apapun tentangmu."
"Tentu saja. Dalam situasi seperti ini, prioritas utama adalah keluarga dan teman dekat," jawab Vianna lancar.
"Bagaimana kau bisa masuk ke sini?" tanya Damian, semakin waspada.
"Saya memiliki akses sebagai kontak darurat kedua dalam dokumen perusahaan," jawab Vianna.
Sebelum Damian bisa merespons, Rafi kembali masuk.
"Dam, aku meninggalkan—" Kalimat Rafi terhenti saat melihat Vianna. Ekspresinya berubah drastis. "Vianna? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Saya baru saja memperkenalkan diri pada Tuan Lesmana. Sebagai asisten eksekutifnya—"
"Asisten eksekutif?" potong Rafi tajam. "Dam, Vianna bukan asistenmu. Dia dipecat satu bulan sebelum kecelakaanmu karena ketahuan menjual informasi perusahaan ke kompetitor."
Vianna tetap tersenyum, tapi matanya berkilat. "Sepertinya ada kesalahpahaman di sini."
"Tidak ada kesalahpahaman," balas Rafi tegas. "Kau dipecat karena ketahuan melakukan spionase industri." Rafi mengambil ponselnya. "Aku akan memanggil keamanan."
Vianna menatap Damian dengan kesedihan yang tampak palsu. "Saya mengerti situasinya kompleks saat ini. Mungkin kita bisa mendiskusikan ini lagi saat Anda sudah lebih pulih, Tuan Lesmana."
Vianna berjalan keluar dengan anggun, meninggalkan ketegangan di ruangan itu.
"Siapa dia sebenarnya, Rafi?" tanya Damian.
"Salah satu kesalahan terbesar dalam rekrutmen. Mantan model yang beralih ke dunia eksekutif. Kau memecatnya sebulan sebelum kecelakaan karena dia ketahuan menjual rahasia pengembangan HomeSense 3.0 ke kompetitor."
"Rafi," kata Damian dengan suara rendah, "aku ingin kau melakukan dua hal segera. Pertama, tingkatkan keamanan di sekitarku dan Eliza. Kedua, aku ingin investigasi menyeluruh tentang Vianna—di mana dia berada saat kecelakaan terjadi, dan apa yang dia lakukan sejak saat itu."
Rafi mengangguk serius. "Berhati-hatilah, Dam. Aku punya firasat buruk tentang semua ini."
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan