Share

Bab 6: Kembali ke Mansion

Penulis: Anprar
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-07 17:50:42

Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain.

"Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali.

"Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.

Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah.

"Kau ingin langsung beristirahat atau berkeliling dulu?" tanya Rafi, yang telah menyetir mobil itu sepanjang perjalanan.

"Berkeliling," jawab Damian tegas. "Aku perlu melihat... perubahan apa saja yang terjadi."

Kirana membungkuk sopan. "Saya telah menyiapkan kamar Tuan dan makan siang akan siap dalam satu jam."

Mereka melangkah memasuki foyer mansion yang luas. Langkah Damian terhenti di ambang pintu. Interiornya berbeda—sangat berbeda dari yang ia ingat. Tiga tahun lalu, desain interiornya didominasi gaya modern industrial dengan palet warna gelap—hitam, abu-abu, dan sentuhan metal. Sekarang, ruangan itu terasa lebih hangat dengan kombinasi modern minimalis dan sentuhan tradisional Indonesia. Palet warna lebih cerah, dengan banyak elemen kayu natural dan tanaman hijau.

"Kita merenovasi sekitar dua tahun lalu," jelas Rafi melihat ekspresi terkejut Damian. "Kau bilang ingin rumah yang lebih terasa seperti... rumah, bukan kantor kedua."

Damian mengamati lukisan besar berukuran 2x3 meter yang mendominasi dinding utama. Lukisan pemandangan gunung berawan dengan cahaya matahari menyusup di antara celah-celahnya—menenangkan namun penuh kekuatan.

"Itu karya pertamaku yang kau beli," kata Eliza pelan. "Sebelum kita resmi bersama. Kau melihatnya di pameranku dan langsung menawar harga tiga kali lipat dari yang kupasang, hanya agar tidak ada yang bisa membelinya duluan."

Damian tidak menjawab, hanya menatap lukisan itu lebih lama. Ada sesuatu yang familiar yang tak bisa ia jelaskan. 

Mereka melanjutkan tur ke ruang keluarga, di mana perubahan semakin terlihat. Ruangan yang dulu nyaris tidak pernah digunakan karena Damian menghabiskan waktunya di kantor atau ruang kerja, kini tampak sering ditinggali. Ada selimut lembut di sofa, beberapa novel dan majalah seni di meja kopi, dan koleksi foto berbingkai di rak—foto Damian dan Eliza di berbagai lokasi.

"Kau mulai menghabiskan akhir pekan di rumah," kata Rafi, seolah membaca pikiran Damian. "Tidak lagi tinggal di kantor berhari-hari seperti dulu."

Mereka bergerak ke ruang makan dan dapur yang juga mengalami perubahan signifikan. Dapur yang sebelumnya jarang digunakan selain oleh staf, kini terlihat lebih hidup.

"Kau mulai memasak lagi," kata Eliza, sedikit tersenyum. "Hobi yang kau tinggalkan saat orangtuamu meninggal. Kita sering memasak bersama di akhir pekan."

Damian mengernyit. Ibunya yang mengajarinya memasak saat remaja, dan setelah kematian orangtuanya, ia berhenti melakukannya karena terlalu menyakitkan. Bagaimana mungkin ia kembali pada kebiasaan itu?

Tur berlanjut ke lantai dua, dimana kamar tidur utama terletak. Ruangan itu luas dan didominasi jendela besar yang menghadap taman belakang. Tempat tidur king size dengan linen putih tampak rapi sempurna. Namun, bukti kehadiran Eliza terlihat jelas—beberapa buku di meja samping tempat tidur, sejumlah peralatan makeup di meja rias, dan pakaian wanita di pintu lemari yang sedikit terbuka.

"Aku akan memindahkan barang-barangku ke guest house," kata Eliza cepat, menyadari ketidaknyamanan Damian. "Aku hanya belum sempat membereskannya."

"Ya, tolong," jawab Damian, lebih ketus dari yang ia inginkan. 

Rafi berdeham, berusaha mencairkan ketegangan. "Mungkin cukup untuk hari ini? Kau butuh istirahat, Dam."

"Satu tempat lagi," Damian bersikeras. "Ruang kerjaku."

Ruang kerja Damian berada di ujung koridor lantai dua. Tangannya sedikit gemetar saat memutar kenop pintu, berharap setidaknya ruangan ini tetap sama—tempat pribadinya, ruang di mana ia merasa paling nyaman.

Kekecewaannya langsung terlihat saat pintu terbuka. Ruangan itu juga berbeda. Masih ada meja kerja dan rak buku yang ia kenali, tapi penataannya berubah. Meja kerja menghadap jendela alih-alih dinding, rak buku lebih terorganisir, dan ada sofa nyaman di sudut ruangan. Dinding yang dulu polos kini dihiasi beberapa lukisan kecil bergaya abstrak.

"Aku menyarankan perubahan tata letak agar kau bisa melihat keluar saat bekerja," jelas Eliza hati-hati. "Kau bilang itu membantumu berpikir lebih jernih."

Damian mengelilingi ruangan, menyentuh permukaan meja kerjanya—setidaknya ini masih meja yang sama, hanya posisinya yang berbeda. Matanya tertumbuk pada foto di meja—dirinya dan Eliza di suatu pantai, tersenyum lebar ke kamera. Ia tampak sangat bahagia, ekspresi yang bahkan ia sendiri jarang lihat di cermin selama bertahun-tahun.

"Kurasa itu cukup untuk hari ini," kata Damian akhirnya, kelelahan fisik dan emosional mulai terasa. "Aku ingin istirahat."

"Tentu," Eliza mengangguk. "Aku akan membereskan barang-barangku dulu, lalu pindah ke guest house."

Saat Eliza dan Rafi meninggalkan ruangan, Damian merosot ke kursinya, menutup mata. Kepalanya berdenyut dengan informasi dan kesan baru. Ini memang rumahnya—secara fisik, secara legal—tapi terasa seperti milik versi dirinya yang lain, Damian yang tidak ia kenal.

Dari jendela ruang kerjanya, ia bisa melihat sebagian taman belakang yang juga telah berubah. Dan di ujung taman, terdapat bangunan kecil bergaya studio dengan dinding kaca yang tidak ia ingat pernah membangunnya.

Studio lukis. Pasti itu studio Eliza.

Damian meraih ponsel barunya—ponsel lamanya hancur dalam kecelakaan—dan mengirim pesan pada Rafi: "Siapkan file lengkap tentang proyek HomeSense dan semua perkembangan perusahaan 3 tahun terakhir. Aku perlu mengingat segalanya secepat mungkin."

Ia hendak meninggalkan ruang kerja ketika matanya kembali tertumbuk pada lukisan pemandangan gunung yang dilihatnya di ruang depan tadi. Lukisan Eliza yang pertama ia beli. Entah mengapa ia terdorong untuk melihatnya lagi.

Damian melangkah ke ruang depan, menatap lukisan besar itu dengan seksama. Ada sesuatu tentang lukisan itu yang membuatnya terusik. Sapuan kuas di bagian awan, cara cahaya matahari menerobos celah gunung—terlalu familiar. Ia melangkah mendekat, mengamati detail tekstur cat.

Tiba-tiba, kepalanya berdenyut hebat. Serpihan gambar melintas di benaknya—tangannya sendiri memegang kuas, melukis langit serupa di atas kanvas, dengan Eliza berdiri di belakangnya, mengarahkan tangannya dengan lembut. Tawa Eliza terdengar jernih di telinganya, sensasi tangannya di atas tangan Damian terasa nyata.

Napas Damian tercekat. Ia mencengkeram tepi sofa untuk menyeimbangkan tubuhnya.

Ia tidak pernah melukis. Tidak dalam ingatannya.

Di guest house, Eliza duduk di tepi tempat tidur, mengusap air mata yang akhirnya bisa ia keluarkan setelah menahan diri sepanjang hari. Ia menggenggam liontin matahari di lehernya—hadiah pertama dari Damian—dan berbisik pada dirinya sendiri, "Dia akan mengingatnya lagi. Harus."

Sementara itu, Damian masih terpaku di depan lukisan, jantungnya berdegup kencang. 

"Apa lagi yang telah kulupakan?" bisiknya pada diri sendiri, genggamannya pada sofa menguat hingga buku-buku jarinya memutih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 46: Rahasia Farmasi

    Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 45: Album "Kisah Kita"

    Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 44: Menemukan Cincin

    Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 43: Mimpi Malam Hari

    "Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 42: Kilasan Pertama

    Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih

  • CEO Amnesia Mencari Cinta Yang Hilang   Bab 41: Makan Malam dengan Vianna

    Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status