Gerbang besar mansion Lesmana terbuka perlahan, menyambut kedatangan Range Rover hitam yang membawa Damian pulang. Di balik kaca gelap, Damian menatap bangunan bergaya modern minimalis yang sudah tiga tahun tidak ia ingat. Bentuk fisik mansionnya tetap sama seperti dalam ingatannya, tapi entah kenapa terasa seperti milik orang lain.
"Selamat datang kembali, Tuan," sambut Kirana, kepala pelayan berusia lima puluhan yang telah mengabdi pada keluarga Lesmana selama lebih dari dua dekade. Wajahnya yang teduh memancarkan kegembiraan tulus melihat Damian kembali.
"Terima kasih, Kirana," Damian mengangguk, berusaha tersenyum. Setidaknya wanita ini masih sama seperti yang ia ingat—tidak ada perubahan signifikan selain beberapa kerutan baru dan rambut yang lebih banyak beruban.
Eliza berjalan beberapa langkah di belakang Damian, memberikan ruang sembari mengawasi dengan cemas. Dia tahu betapa sulitnya situasi ini—kembali ke rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah.
"Kau ingin langsung beristirahat atau berkeliling dulu?" tanya Rafi, yang telah menyetir mobil itu sepanjang perjalanan.
"Berkeliling," jawab Damian tegas. "Aku perlu melihat... perubahan apa saja yang terjadi."
Kirana membungkuk sopan. "Saya telah menyiapkan kamar Tuan dan makan siang akan siap dalam satu jam."
Mereka melangkah memasuki foyer mansion yang luas. Langkah Damian terhenti di ambang pintu. Interiornya berbeda—sangat berbeda dari yang ia ingat. Tiga tahun lalu, desain interiornya didominasi gaya modern industrial dengan palet warna gelap—hitam, abu-abu, dan sentuhan metal. Sekarang, ruangan itu terasa lebih hangat dengan kombinasi modern minimalis dan sentuhan tradisional Indonesia. Palet warna lebih cerah, dengan banyak elemen kayu natural dan tanaman hijau.
"Kita merenovasi sekitar dua tahun lalu," jelas Rafi melihat ekspresi terkejut Damian. "Kau bilang ingin rumah yang lebih terasa seperti... rumah, bukan kantor kedua."
Damian mengamati lukisan besar berukuran 2x3 meter yang mendominasi dinding utama. Lukisan pemandangan gunung berawan dengan cahaya matahari menyusup di antara celah-celahnya—menenangkan namun penuh kekuatan.
"Itu karya pertamaku yang kau beli," kata Eliza pelan. "Sebelum kita resmi bersama. Kau melihatnya di pameranku dan langsung menawar harga tiga kali lipat dari yang kupasang, hanya agar tidak ada yang bisa membelinya duluan."
Damian tidak menjawab, hanya menatap lukisan itu lebih lama. Ada sesuatu yang familiar yang tak bisa ia jelaskan.
Mereka melanjutkan tur ke ruang keluarga, di mana perubahan semakin terlihat. Ruangan yang dulu nyaris tidak pernah digunakan karena Damian menghabiskan waktunya di kantor atau ruang kerja, kini tampak sering ditinggali. Ada selimut lembut di sofa, beberapa novel dan majalah seni di meja kopi, dan koleksi foto berbingkai di rak—foto Damian dan Eliza di berbagai lokasi.
"Kau mulai menghabiskan akhir pekan di rumah," kata Rafi, seolah membaca pikiran Damian. "Tidak lagi tinggal di kantor berhari-hari seperti dulu."
Mereka bergerak ke ruang makan dan dapur yang juga mengalami perubahan signifikan. Dapur yang sebelumnya jarang digunakan selain oleh staf, kini terlihat lebih hidup.
"Kau mulai memasak lagi," kata Eliza, sedikit tersenyum. "Hobi yang kau tinggalkan saat orangtuamu meninggal. Kita sering memasak bersama di akhir pekan."
Damian mengernyit. Ibunya yang mengajarinya memasak saat remaja, dan setelah kematian orangtuanya, ia berhenti melakukannya karena terlalu menyakitkan. Bagaimana mungkin ia kembali pada kebiasaan itu?
Tur berlanjut ke lantai dua, dimana kamar tidur utama terletak. Ruangan itu luas dan didominasi jendela besar yang menghadap taman belakang. Tempat tidur king size dengan linen putih tampak rapi sempurna. Namun, bukti kehadiran Eliza terlihat jelas—beberapa buku di meja samping tempat tidur, sejumlah peralatan makeup di meja rias, dan pakaian wanita di pintu lemari yang sedikit terbuka.
"Aku akan memindahkan barang-barangku ke guest house," kata Eliza cepat, menyadari ketidaknyamanan Damian. "Aku hanya belum sempat membereskannya."
"Ya, tolong," jawab Damian, lebih ketus dari yang ia inginkan.
Rafi berdeham, berusaha mencairkan ketegangan. "Mungkin cukup untuk hari ini? Kau butuh istirahat, Dam."
"Satu tempat lagi," Damian bersikeras. "Ruang kerjaku."
Ruang kerja Damian berada di ujung koridor lantai dua. Tangannya sedikit gemetar saat memutar kenop pintu, berharap setidaknya ruangan ini tetap sama—tempat pribadinya, ruang di mana ia merasa paling nyaman.
Kekecewaannya langsung terlihat saat pintu terbuka. Ruangan itu juga berbeda. Masih ada meja kerja dan rak buku yang ia kenali, tapi penataannya berubah. Meja kerja menghadap jendela alih-alih dinding, rak buku lebih terorganisir, dan ada sofa nyaman di sudut ruangan. Dinding yang dulu polos kini dihiasi beberapa lukisan kecil bergaya abstrak.
"Aku menyarankan perubahan tata letak agar kau bisa melihat keluar saat bekerja," jelas Eliza hati-hati. "Kau bilang itu membantumu berpikir lebih jernih."
Damian mengelilingi ruangan, menyentuh permukaan meja kerjanya—setidaknya ini masih meja yang sama, hanya posisinya yang berbeda. Matanya tertumbuk pada foto di meja—dirinya dan Eliza di suatu pantai, tersenyum lebar ke kamera. Ia tampak sangat bahagia, ekspresi yang bahkan ia sendiri jarang lihat di cermin selama bertahun-tahun.
"Kurasa itu cukup untuk hari ini," kata Damian akhirnya, kelelahan fisik dan emosional mulai terasa. "Aku ingin istirahat."
"Tentu," Eliza mengangguk. "Aku akan membereskan barang-barangku dulu, lalu pindah ke guest house."
Saat Eliza dan Rafi meninggalkan ruangan, Damian merosot ke kursinya, menutup mata. Kepalanya berdenyut dengan informasi dan kesan baru. Ini memang rumahnya—secara fisik, secara legal—tapi terasa seperti milik versi dirinya yang lain, Damian yang tidak ia kenal.
Dari jendela ruang kerjanya, ia bisa melihat sebagian taman belakang yang juga telah berubah. Dan di ujung taman, terdapat bangunan kecil bergaya studio dengan dinding kaca yang tidak ia ingat pernah membangunnya.
Studio lukis. Pasti itu studio Eliza.
Damian meraih ponsel barunya—ponsel lamanya hancur dalam kecelakaan—dan mengirim pesan pada Rafi: "Siapkan file lengkap tentang proyek HomeSense dan semua perkembangan perusahaan 3 tahun terakhir. Aku perlu mengingat segalanya secepat mungkin."
Ia hendak meninggalkan ruang kerja ketika matanya kembali tertumbuk pada lukisan pemandangan gunung yang dilihatnya di ruang depan tadi. Lukisan Eliza yang pertama ia beli. Entah mengapa ia terdorong untuk melihatnya lagi.
Damian melangkah ke ruang depan, menatap lukisan besar itu dengan seksama. Ada sesuatu tentang lukisan itu yang membuatnya terusik. Sapuan kuas di bagian awan, cara cahaya matahari menerobos celah gunung—terlalu familiar. Ia melangkah mendekat, mengamati detail tekstur cat.
Tiba-tiba, kepalanya berdenyut hebat. Serpihan gambar melintas di benaknya—tangannya sendiri memegang kuas, melukis langit serupa di atas kanvas, dengan Eliza berdiri di belakangnya, mengarahkan tangannya dengan lembut. Tawa Eliza terdengar jernih di telinganya, sensasi tangannya di atas tangan Damian terasa nyata.
Napas Damian tercekat. Ia mencengkeram tepi sofa untuk menyeimbangkan tubuhnya.
Ia tidak pernah melukis. Tidak dalam ingatannya.
Di guest house, Eliza duduk di tepi tempat tidur, mengusap air mata yang akhirnya bisa ia keluarkan setelah menahan diri sepanjang hari. Ia menggenggam liontin matahari di lehernya—hadiah pertama dari Damian—dan berbisik pada dirinya sendiri, "Dia akan mengingatnya lagi. Harus."
Sementara itu, Damian masih terpaku di depan lukisan, jantungnya berdegup kencang.
"Apa lagi yang telah kulupakan?" bisiknya pada diri sendiri, genggamannya pada sofa menguat hingga buku-buku jarinya memutih.
Fajar baru saja menyingsing ketika Damian terbangun dengan napas terengah. Mimpi yang sama—serpihan memori tentang dirinya melukis, tangan Eliza menuntun tangannya. Kepalanya masih berdenyut, efek samping dari kilasan ingatan semalam.Ia menyibakkan selimut dan berjalan ke jendela. Dari kamarnya di lantai dua, ia bisa melihat guest house di kejauhan. Lampu di sana sudah menyala, menandakan Eliza sudah bangun. Pandangannya beralih ke bangunan kecil dengan dinding kaca di ujung taman—studio lukis yang kemarin menarik perhatiannya. Ia melihat sosok Eliza berjalan dari guest house menuju studio, membawa sesuatu yang tampak seperti termos.Sejak bangun, pikiran Damian terus kembali pada kilasan ingatan semalam. Ia tak pernah melukis. Namun kenapa ia bisa mengingat sensasi kuas di tangannya dengan begitu jelas? Tekstur cat, aroma turpentin, tawa lembut Eliza di telinganya... Sensasi-sensasi itu terasa nyata, meski ia yakin tak pernah mengalaminya.
Suara denting pecahan kaca memecah keheningan studio. Damian berdiri dengan napas memburu, tangan kanannya masih terkepal setelah menghantam bingkai lukisan di dinding. Serpihan kaca berserakan di lantai kayu, memantulkan cahaya pagi yang masuk melalui jendela tinggi studio."Semua ini bohong!" teriaknya, suaranya bergema di ruangan yang sekarang terasa terlalu sempit untuk menampung amarahnya.Eliza mundur perlahan, matanya melebar menyaksikan Damian yang baru saja menghancurkan salah satu lukisan favorit mereka—pemandangan danau dengan dua siluet berpelukan di atas perahu kecil."Damian, kumohon..." bisiknya, suaranya bergetar.Tapi Damian tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, ia memilih untuk tidak mendengar. Pandangannya kini beralih ke lukisan "Memori yang Hilang" yang telah ia robek. Dengan langkah berat, ia mendekati tumpukan kanvas lain yang tersandar di dinding."Aku bukan kegelapan!" Damian mencengkeram tepi kanvas berikutnya. "Dan kau...
Matahari mulai condong ke barat ketika Eliza akhirnya meninggalkan studio. Setelah berjam-jam mengumpulkan serpihan lukisan dan merapikan kekacauan, wajahnya kini pucat dan kosong—seperti kanvas yang belum tersentuh kuas. Jejak air mata masih jelas terlihat, tapi ia sudah tidak mampu menangis lagi.Di tangannya tergenggam sebuah kotak kayu berukir, kotak yang biasa ia gunakan untuk menyimpan peralatan sketsanya yang paling berharga. Kini kotak itu berisi fragmen-fragmen lukisan yang bisa ia selamatkan—satu-satunya bukti fisik dari karya seninya yang telah hancur."Nona Eliza?" Kirana berdiri di pintu belakang mansion, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Tuan Damian mencari Anda."Eliza tersenyum lemah. "Dimana dia?""Di ruang kerjanya, dengan Tuan Rafi. Mereka sedang membahas sesuatu tentang perusahaan." Kirana mengamati keadaan Eliza dengan seksama. "Anda baik-baik saja, Nona? Mau saya buatkan teh?""Tidak perlu, Kirana. Terima kasih." Eliza mengg
Fajar belum sepenuhnya menyingsing ketika Eliza bangun dari tidur singkatnya. Lingkaran hitam di bawah matanya menunjukkan ia hampir tidak tidur semalaman. Dengan gerakan yang hampir otomatis, ia bersiap untuk hari yang ia tahu akan menjadi salah satu hari terberat dalam hidupnya.Meja kerjanya berantakan dengan sketsa desain yang belum selesai dan contoh font untuk proyek terbarunya—semua terlupakan di tengah kekacauan emosional. Dengan helaan napas berat, Eliza mengirim pesan singkat ke kliennya, meminta sedikit perpanjangan waktu. Biasanya ia tidak pernah terlambat menyelesaikan proyek, tapi kali ini situasinya berbeda.Kirana sudah aktif di dapur mansion ketika Eliza memasuki pintu belakang. Mata pelayan setia itu langsung menangkap ekspresi Eliza."Nona baik-baik saja?" tanyanya khawatir.Eliza mengangguk, mencoba tersenyum. "Apa Damian sudah bangun?""Belum, Nona. Masih sangat pagi," jawab Kirana, melirik jam dinding yang menunjukkan pu
Lalu lintas Jakarta siang itu terasa lebih padat dari biasanya. Dari jendela Mercedes hitam yang dikemudikan Rafi, Damian memandang ke luar dengan pikiran kosong. Cincin pertunangan Eliza aman tersimpan di laci meja kerjanya, tapi liontin matahari miliknya masih berada di saku Damian—sentuhan dingin logam yang entah kenapa memberikan ketenangan aneh."Kau yakin tentang ini, Dam?" tanya Rafi, memecah keheningan. "Bertemu Vianna di kantor?""Lebih baik di kantor," jawab Damian datar. "Tempat netral, banyak saksi."Rafi mengangguk setuju, tapi ekspresinya tetap cemas. "Aku sudah mengirimkan file-file tentang pemecatan Vianna ke emailmu. Mungkin sebaiknya kau membacanya sebelum bertemu dengannya.""Nanti," gumam Damian, tatapannya masih tertuju ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi surat Eliza, kata-kata yang begitu tulus hingga terasa seperti pisau yang mengiris. Bagaimana mungkin ia melupakan seseorang yang begitu berarti?Mobil berbelok masuk k
"Lantai 20 sampai 25 adalah pusat pengembangan teknologi kita," jelas Rafi saat mereka keluar dari lift. Damian mengikuti dengan dahi berkerut, mencoba menyerap semua informasi baru. "Di sinilah tim kita mengembangkan seluruh lini produk HomeSense.""HomeSense," ulang Damian, merasakan nama itu di lidahnya. Dalam ingatannya, HomeSense hanyalah proyek konsep—sistem otomasi rumah sederhana yang baru dalam tahap pengembangan awal. "Ceritakan lebih banyak tentang itu."Rafi mengarahkannya ke sebuah ruangan luas dengan dinding kaca—innovation center yang dipenuhi insinyur dan desainer yang bekerja di berbagai workstation."HomeSense adalah flagship product LTI sekarang," Rafi mulai menjelaskan. "Kita meluncurkan versi pertamanya dua setengah tahun lalu—sistem otomasi rumah dasar dengan kontrol suara dan aplikasi. Sukses besar, tapi HomeSense 2.0 yang benar-benar mengubah perusahaan."Mereka berhenti di depan sebuah ruangan yang dirancang seperti apartemen mode
Gedung LTI pagi itu dipenuhi atmosfer tegang. Berita tentang kembalinya Damian ke kantor menyebar cepat, menciptakan gelombang spekulasi di kalangan karyawan. Berbagai skenario beredar—mulai dari kekhawatiran akan restrukturisasi hingga harapan akan kepemimpinan baru yang lebih segar.Damian memasuki ruang rapat di lantai 40 dengan langkah tegap yang tidak mencerminkan kegugupan di dalamnya. Ruangan berukuran besar itu memiliki jendela dari lantai hingga langit-langit, memberikan pemandangan 360 derajat kota Jakarta. Meja rapat oval besar terbuat dari kayu jati solid, dikelilingi kursi kulit hitam yang hampir semuanya telah terisi."Selamat pagi," sapa Damian, mengambil tempat di kepala meja. Rafi duduk di sebelah kanannya, memberinya anggukan penuh dukungan."Damian!" Robert Chen, anggota dewan senior, adalah yang pertama menyapanya. "Senang melihatmu kembali. Bagaimana kesehatanmu?""Membaik, terima kasih," jawab Damian singkat, menghindari detail
Headline surat kabar bisnis Jakarta pagi itu bagaikan tamparan keras:"SAHAM LTI ANJLOK 15% SETELAH KONFIRMASI AMNESIA CEO DAMIAN LESMANA"Damian membaca artikel tersebut dengan dahi berkerut dalam. Menurut laporan, sumber internal LTI mengonfirmasi bahwa ia menderita amnesia retrograde yang menghapus ingatannya selama tiga tahun terakhir—tepat periode di mana perusahaan mengalami transformasi terbesar."Siapa yang membocorkan ini?" geram Damian, membanting koran ke meja ruang kerjanya. Rafi berdiri di depannya, ekspresinya sama geramnya."Kita sedang menyelidikinya," jawab Rafi. "Tapi kerusakan sudah terjadi. Pasar bereaksi panik. Investor khawatir tentang stabilitas kepemimpinan perusahaan."
Laboratorium GlobalPharm, 4 tahun lalu.Vianna Darmawan berdiri dengan punggung tegak di depan Direktur Penelitian, Dr. Hendrik Santoso. Ruangan kantor itu dingin, baik dari suhu AC maupun dari atmosfer pembicaraan yang sedang berlangsung. Cahaya dari jendela kaca besar menyorot wajah Vianna yang tenang, namun matanya menyimpan determinasi kuat."Jadi kau ingin pindah ke divisi eksekutif?" Dr. Hendrik mengangkat alisnya, menatap Vianna dengan skeptis. "Setelah semua investasi yang kami tanamkan untuk pelatihanmu di divisi neuropharmaceutical?""Dengan segala hormat, Dr. Hendrik," Vianna tersenyum profesional, merapikan blazernya, "bakatku lebih cocok di bidang manajemen dan pemasaran. Dua tahun di lab sudah cukup memberiku pemahaman tentang produk kita.""Kau adalah salah satu peneliti paling berbakat dalam tim MX series," Dr. Hendrik bersandar di kursinya, melepas kacamata. "Keputusan ini akan menghambat karirmu.""Atau justru mempercepa
Dengan tangan sedikit gemetar, Damian membawa album foto ke kamarnya. Ia mengunci pintu, tidak ingin terganggu oleh siapapun, bahkan Kirana. Duduk di tepi tempat tidur, ia menarik napas dalam sebelum membuka cover navy blue album tersebut.Halaman pertama menampilkan tulisan tangan yang rapi:"Untuk Damian, cinta dan sahabat terbaikku. Tiga tahun yang mengubah hidupku. Tiga tahun penuh tawa, air mata, dan cinta yang terus bertumbuh. Ini kisah kita, dan masih banyak halaman kosong untuk diisi bersama. Selamanya. — Eliza."Tanggal di sudut halaman menunjukkan bahwa album ini diberikan hanya dua minggu sebelum kecelakaannya.Damian membalik ke halaman berikutnya dan menemukan foto pertama—dirinya dan Eliza di Kafe Enigma, Eliza tampak malu dengan noda kopi di kemejanya, sementara Damian tertawa. Di bawahnya tertulis: "Pertemuan pertama. Noda kopi dan permintaan maaf yang mengubah segalanya."Halaman demi halaman berisi kenangan yang tidak bi
Kafe Enigma terletak di sudut jalan yang tenang di kawasan Kemang, jauh dari kantor-kantor di area bisnis Jakarta. Damian tiba lima belas menit lebih awal, memilih meja di sudut yang tersembunyi namun memberinya pandangan jelas ke pintu masuk dan jalan di luar.Ia telah mengambil beberapa langkah pencegahan—menggunakan taksi biasa alih-alih mobil pribadinya, mengenakan pakaian kasual dan topi, serta meninggalkan ponsel utamanya di rumah, hanya membawa ponsel cadangan yang baru diaktifkan.Tepat pukul 7, Eliza memasuki kafe. Meski Damian tidak sepenuhnya mengingatnya, ada perasaan familiar yang hangat saat melihatnya—rambut hitam panjang yang tergerai, mata cokelat yang ekspresif, dan postur yang anggun namun sedikit tegang. Dia mengenakan jeans dan kemeja putih sederhana, jauh berbeda dari gambaran "perempuan matre" yang dijelaskan Vianna."Damian," Eliza tersenyum ragu saat menghampiri mejanya. "Terima kasih sudah m
"Halo? Damian?" suara Eliza terdengar tidak percaya di ujung sambungan."Eliza," Damian menjawab, suaranya lebih lembut dari yang ia perkirakan. "Aku... aku perlu bicara denganmu.""Apa kau..." Eliza terdengar ragu, "...kau mengingatku?""Tidak sepenuhnya," jawab Damian jujur. "Tapi aku baru saja mengalami semacam kilasan ingatan. Tentang kita, berlari di bawah hujan."Jeda sejenak. "Menuju studio lukis," Eliza melanjutkan dengan suara bergetar. "Kau datang memperingatkanku tentang badai, dan aku terpeleset.""Kau ingat," gumam Damian, merasa aneh menemukan konfirmasi atas memori yang bahkan tidak sepenuhnya ia yakini nyata. "Eliza, apa yang sebenarnya terjadi? Antara kita, kecelakaanku, Vi
Hujan masih turun deras ketika mobil Damian memasuki pekarangan mansion. Meski Vianna menawarkan untuk menginap di mansionnya, Damian dengan halus menolak, beralasan perlu menyiapkan presentasi untuk besok pagi. Kenyataannya, ia membutuhkan ruang untuk berpikir tanpa pengaruh siapapun."Kita bertemu besok di kantor?" tanya Vianna, masih duduk di mobil."Tentu," jawab Damian. "Terima kasih untuk makan malamnya."Begitu mobil Vianna menghilang di balik gerbang, Damian merasakan kelegaan aneh. Ia berdiri sejenak di teras, memandangi taman yang basah oleh hujan."Tuan mau saya siapkan teh hangat?" tanya Kirana, kepala pelayan yang sudah melayani keluarga Lesmana selama dua dekade."Terima kasih
Restaurant Skye di lantai 56 sebuah gedung pencakar langit menawarkan pemandangan Jakarta yang memukau. Cahaya lampu kota berpendar di bawah, sementara langit malam masih diselimuti mendung. Damian Lesmana duduk di meja dekat jendela, berhadapan dengan Vianna Darmawan yang mengenakan gaun hitam elegan. Malam ini adalah makan malam perayaan keberhasilan penyelamatan saham LTI dari jatuh lebih dalam."Mengesankan bagaimana kau bisa meyakinkan para investor hanya dalam tiga hari," puji Vianna, mengangkat gelasnya. "Kurasa insting bisnismu tetap tajam meski ingatanmu tidak."Damian tersenyum tipis. "Sebuah perusahaan adalah seperti tubuh. Bahkan jika kau lupa namanya, kau masih bisa merasakan bagaimana ia bekerja."Mereka bersulang, namun Damian tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang menggan
DS Gallery berdiri megah di kawasan elit Menteng, menempati bangunan kolonial yang direstorasi dengan sempurna. Fasadnya putih dengan aksen hitam, jendela-jendela tinggi bergaya art deco, dan taman kecil terawat di bagian depan. Eliza berdiri di depan pintu kaca besar, mengamati detail arsitektur sambil mengumpulkan keberanian.Setelah perdebatan panjang dengan Nadira pagi tadi, Eliza akhirnya datang sendirian. Bukan untuk menerima tawaran—setidaknya itulah yang ia terus katakan pada dirinya sendiri—tapi untuk melihat dengan mata kepalanya sendiri."Kau benar-benar datang," suara Dani menyambutnya begitu ia melangkah ke dalam lobi. Pria itu mengenakan setelan abu-abu dengan dasi biru tua, terlihat jauh lebih dewasa dan sukses dari Dani yang Eliza kenal di masa kuliah."Aku penas
Eliza duduk meringkuk di tepi tempat tidur kamar tamu Nadira, mengenakan sweater abu-abu yang kebesaran. Di luar, hujan masih setia mengguyur Jakarta sejak tiga hari lalu. Ia menatap kosong pada portfolio yang terbuka di laptopnya—desain-desain yang dulu ia kerjakan dengan penuh semangat kini terasa tanpa makna."Masih belum ada inspirasi?" Nadira muncul di ambang pintu, membawa secangkir teh hangat.Eliza menggeleng lemah. "Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan desain yang paling sederhana. Pikiranku terus... kembali padanya."Nadira duduk di sampingnya, menyodorkan teh yang diterima Eliza dengan tangan sedikit gemetar. "Sudah coba menghubunginya lagi?""Nomornya sudah diblokir," jawab Eliza, tersenyum getir. "Atau mungkin diganti. Ent
Ponsel Eliza masih berdering. Pesan Dr. Adrian menampilkan peringatan jelas, tapi juga instruksi untuk bersikap normal. Dengan tangan sedikit gemetar, Eliza menggeser tombol hijau dan mengaktifkan speaker."Jangan tutup teleponnya!" suara Dani terdengar mendesak, seolah membaca keraguan Eliza.Eliza menatap Nadira dengan was-was, pesan Dr. Adrian masih terbuka di layar tablet di sampingnya. "Apa maumu, Dani?" tanyanya, berusaha terdengar dingin namun tidak mencurigakan."Aku tahu kau sedang kesulitan setelah... yang terjadi dengan Damian," suara Dani terdengar prihatin, hampir terlalu sempurna untuk menjadi tulus. "Aku hanya ingin membantu.""Membantuku?" Eliza tertawa getir, tidak perlu berpura-pura untuk bagian ini. "Seperti kau 'membantu