Sejak hari itu, Rey menjadi pelanggan tetap toko buku Nirwana. Setiap sore, mobil mewah berhenti di depan toko kecil itu mengundang tatapan heran dari warga sekitar.
Tak banyak yang tahu siapa dia. Pria muda berjas, tampan, tapi selalu datang sendirian dan pulang hanya dengan satu atau dua buku sederhana. Bukan buku bisnis. Bukan jurnal ekonomi. Tapi novel-novel lama, puisi, dan bahkan cerita rakyat. Dan yang lebih mengejutkan: ia selalu membeli langsung dari tangan Alya “Mas Rey beli lagi?” tanya Alya sambil tersenyum kaku, hari itu. Rey mengangguk sambil memilih buku di rak puisi. “Alya suka puisi?” tanyanya tiba-tiba. Alya terdiam sejenak. “Suka. Tapi saya lebih suka baca diam-diam daripada ditanya.” Rey tertawa kecil. “Bagus. Aku juga suka diam-diam… datang ke sini.” Alya mengerutkan kening, tapi tak membalas. Ada sesuatu dari cara Rey bicara yang membuat jantungnya berdebar tak karuan—meski ia masih mengira pria ini hanya seorang pemuda kaya yang suka baca. Yang mengejutkan, bukan hanya Rey yang datang. Setelah dua minggu, toko buku itu mendadak lebih ramai. Entah dari mana datangnya, tapi banyak anak muda berdatangan, mencari buku yang katanya “lagi viral di media sosial.” Beberapa di antaranya bahkan pura-pura tanya harga hanya untuk bisa ngobrol dengan Alya. “Eh, kamu kenal tuh cowok yang suka beli buku puisi? Ganteng banget, ya,” bisik seorang gadis ke temannya. Bu Mira sampai geleng-geleng kepala. “Alya, kamu bawa berkah, ya. Sejak kamu di sini, toko rame. Tuh, lihat, banyak yang mampir cuma buat nanya kamu kerja jam berapa.” Alya hanya tertawa canggung. “Saya kerja biasa aja, Bu…” Tapi kenyataan berkata lain. Dalam sebulan, penjualan naik dua kali lipat. Pelanggan bertambah. Rey masih datang setiap dua atau tiga hari sekali, dan setiap kehadirannya selalu berakhir dengan senyum kecil yang menggantung di bibir Alya Minggu berikutnya, saat toko mulai sepi menjelang malam, Bu Mira memanggil Alya ke belakang. “Nak, Bu Mira nggak enak kalau terus-terusan begini. Kamu kerja bagus, jujur, sopan, dan pelanggan senang. Jadi mulai bulan depan, gaji kamu Ibu naikkan jadi dua juta.” Alya membelalakkan mata. “Bu… serius?” Bu Mira tersenyum. “Serius. Jangan dilihat dari angka ya, tapi lihat dari usahamu. Kamu layak dapat itu.” Alya menunduk, mata berkaca-kaca. Ia memeluk Bu Mira sebentar. “Terima kasih, Bu. Saya akan kerja lebih giat.” Tapi dalam hati kecilnya, ia tahu: semua ini bukan hanya karena kerja keras. Ada seseorang yang diam-diam membawa pengaruh besar dalam hidupnya. Seseorang yang datang dengan puisi dan tatapan lembut. Seseorang yang seharusnya jauh dari dunianya.Tapi kenapa makin dekat? Toko buku sore itu lebih ramai dari biasanya. Di pojok baca, dua orang duduk santai sambil bercanda—Boby dan Reny, teman Alya sejak SMA. Mereka sedang membaca buku sambil sesekali menggoda Alya yang sedang merapikan rak. “Alya, kamu masih suka baca buku cinta-cintaan?” goda Boby sambil tertawa. Alya melirik sambil tersenyum. “Daripada baca buku politik yang bikin pusing.” Reny ikut tertawa. “Alya itu, dari dulu kalau baca novel bisa sampai nangis-nangis. Ingat nggak, Bob?” “Masih! Waktu SMA, dia nangis gara-gara tokohnya mati. Aku sampai bingung harus hibur gimana.” Alya memukul lengan Boby pelan. “Sssst! Jangan malu-maluin aku dong!” Tawa ketiganya mengisi ruangan—hangat dan sederhana. Namun dari pintu toko, Rey berdiri terdiam. Matanya tajam memperhatikan Alya yang tertawa begitu lepas, begitu hangat… tapi untuk pria lain. Tangannya menggenggam buku yang baru saja ia ambil dari rak, tapi pikirannya jauh melayang. Ia berjalan perlahan ke meja kasir. Alya langsung menoleh. “Mas Rey! Mau beli buku lagi? Eh, ini teman-temanku. Kenalin, Boby sama Reny.” Rey mengangguk singkat. “Hai.” Boby menatap Rey sekilas. “Wah, sering banget ya ke sini? Sampai Alya hapal.” Rey tersenyum tipis. “Bukunya menarik.” Alya tertawa kecil. “Padahal Mas Rey selalu ambil buku puisi, lho.” “Karena puisinya sederhana… seperti seseorang,” jawab Rey tanpa sadar, matanya tak lepas dari Alya. Alya terdiam sejenak. Lalu ia cepat-cepat membungkus buku dan menyerahkan pada Rey. “Ini, bukunya.” “Terima kasih,” ucap Rey, lalu berbalik dan keluar dari toko. Tapi di luar, saat duduk kembali di mobilnya, Rey memandangi buku itu tanpa membuka plastiknya. “Siapa dia?” gumamnya pelan. “Pacarnya? Atau sekadar teman?” Ia menyandarkan kepala ke jendela, menatap langit yang mulai berwarna jingga. Hatinya tidak tenang. Perasaan asing menyelinap di dadanya. “Aku bukan siapa-siapa... tapi kenapa aku cemburu?” Sementara itu, di dalam toko, Reny mencolek bahu Alya. “Cowok itu siapa sih? Ganteng banget. Pacar kamu, ya?” Alya tertawa kecil. “Bukan... cuma pelanggan tetap.” “Tapi cara dia mandang kamu barusan… kayak bukan pelanggan biasa, Ly,” ucap Boby dengan nada serius. Alya menunduk. Entah kenapa, pipinya mulai memanas. “Mas Rey itu aneh. Datang beli buku, tapi... rasanya seperti sedang mencari sesuatu. Atau seseorang.” Dan di luar toko kecil itu, seseorang bernama Rey masih bergulat dengan hatinya sendiri—yang mulai lelah menyangkal. Pagi itu, langit cerah sempurna. Jalanan mulai ramai oleh kendaraan dan langkah kaki yang tergesa. Di sebuah toko buku kecil di pinggir kota, Alya membuka pintu dengan senyum biasa. Tangannya merapikan rak, pikirannya tenang, dan harinya seperti hari-hari lainnya. Namun semua berubah saat sebuah mobil hitam mengilap berhenti di depan toko. Dari dalam, Rey turun dengan setelan jas biru tua yang sangat pas di tubuhnya. Dasi abu-abu gelap, sepatu hitam mengkilap, dan rambut yang tertata rapi membuat penampilannya seperti keluar dari majalah mode pria. Langkah Rey tenang dan penuh percaya diri saat masuk ke toko. Alya yang sedang menyusun buku langsung mendongak. Jantungnya berdebar setengah detik. "Mas Rey…" ucapnya pelan, menyembunyikan kegugupan. "Mau cari buku lagi?" Rey tersenyum. "Iya. Katanya ada buku yang lagi viral? Tentang... healing dan hidup tenang?" Alya mengangguk. "Ada, Mas. Ini baru datang pagi tadi." Ia berjalan ke rak dan menyerahkan sebuah buku dengan sampul biru lembut. "Judulnya Merawat Luka dengan Kata-Kata." Rey mengambilnya dan membolak-balik halaman. Tapi sebenarnya, matanya lebih sering mencuri pandang ke arah Alya daripada ke isi buku. Saat itu, Reny dan dua teman perempuan Alya yang baru datang ke toko langsung heboh berbisik. “Siapa tuh, Ly? Ganteng banget! Kaya banget juga, kayaknya…” “Iya! Wangi parfumnya aja udah beda kelas!” Reny mencolek bahu Alya dan berbisik, “Jangan bilang itu pacar kamu.” Alya hanya tersenyum kecil. “Bukan. Itu pelanggan tetap. Namanya Mas Rey.” Teman-temannya langsung saling pandang penuh kekaguman. Rey yang mendengar bisikan-bisikan itu hanya tersenyum kecil, lalu melirik Alya. “Banyak yang suka kamu, ya,” katanya ringan. Alya sedikit kikuk. “Mereka cuma bercanda, Mas.” “Tapi aku tidak.” Ucapan itu membuat suasana sejenak hening. Alya menunduk, pura-pura sibuk dengan kertas pembungkus buku. Setelah Rey pergi, suasana toko langsung pecah dengan tawa dan godaan dari teman-temannya. “Alya, serius deh, itu cowok kayak dari dunia lain. Bukan level kita!” “Dia itu kayak pangeran. Tapi... pangerannya kayaknya suka kamu deh.” Alya hanya menggeleng kecil, matanya masih terpaku pada pintu tempat Rey baru saja keluar. “Tampan juga Mas Rey,” gumamnya pelan. “Tapi apalah daya… aku cuma gadis biasa.” Ia menghembuskan napas panjang. Dalam hatinya, ia sadar: perbedaan dunia mereka terlalu jauh. Ia bahkan tak berani membayangkan lebih dari sekadar ‘pelanggan tetap.’ Namun, jauh di sudut hatinya yang paling dalam, ada getaran kecil yang mulai tumbuh pelan, tapi nyata.Dua hari sebelum pesta besar sesama CEO, Rey mengirim pesan kepada Alya.“Alya, aku ada undangan pesta CEO besar. Aku ingin kamu ikut bersamaku. Aku akan kirim sopir untuk menjemputmu nanti malam.”Alya membaca pesan itu berulang kali, hatinya campur aduk. Ia bingung, bagaimana harus menyiapkan diri? Pakaian apa yang pantas dipakai ke pesta mewah seperti itu? Pikirannya langsung melayang ke lemari kecilnya yang berisi baju-baju sederhana.Malam itu, Alya pulang ke rumah dan duduk di ruang tamu bersama ibunya. Ia menceritakan undangan pesta dari Rey dan kebingungannya soal gaun.Ibu Alya tersenyum lembut lalu membuka lemari tua. “Ini, Nak. Dulu ibu pakai baju ini saat pergi ke pesta. Mungkin sekarang sudah tidak seindah dulu, tapi masih layak dipakai. Baju ini mahal, hadiah dari almarhum ayahmu waktu masih hidup.”Alya terkejut sekaligus tersentuh. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan gaun itu dari plastik pelindung. Gaun berwarna biru tua dengan aksen renda halus dan payet kecil berkilau
Pagi itu, suasana kantor HDR seperti biasa—ramai namun tertib. Alya yang sudah berniat kuat untuk bertahan, kini mulai bekerja dengan lebih fokus. Ia tidak ingin mengecewakan Rey. Dan diam-diam, ia pun ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia memang layak berada di sana.Sampai akhirnya, saat baru saja selesai merapikan dokumen, Mbak Dita menghampiri dengan senyum khasnya.“Alya, Pak Rey manggil kamu ke ruang meeting lantai tiga. Ada proyek baru katanya.”Alya menelan ludah. “Aku?”“Iya, kamu. Katanya penting.”Dengan langkah yang agak gugup, Alya menuju ruangan meeting. Sesampainya di sana, Rey sudah duduk, ditemani dua manajer senior dan beberapa karyawan lainnya. Ketika Alya masuk, mata Rey langsung menangkap kehadirannya. Tatapan itu… seperti biasa, hangat dan menusuk kalbu.“Silakan duduk, Alya,” ucap Rey tenang.Alya duduk, menunduk sopan. Ia masih sulit menatap pria itu terlalu lama. Apalagi hari ini Rey memakai jas abu muda dengan dasi gelap yang membuat ketampanannya semak
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak Alya resmi menjadi staf administrasi di HDR Corp. Tugas-tugas yang diberikan kepadanya memang ringan, namun setiap kali dia berhasil menyelesaikannya, senyum puas selalu tersungging di wajahnya.Namun, hari ini berbeda.Sejak pagi, suasana kantor terasa aneh. Alya merasa banyak mata memperhatikannya—bukan tatapan biasa, melainkan tatapan yang menyelidik, seolah ia menyimpan rahasia besar. Di lorong, bisik-bisik terdengar pelan namun cukup jelas.> “Itu dia, si anak baru yang katanya dekat sama Pak Rey.”> “Kemarin makan siang bareng CEO loh... di pantry lagi!”> “Cantik sih, tapi masa iya? CEO kita tuh pilihannya nggak main-main biasanya.”Alya menunduk. Telapak tangannya dingin. Ia pura-pura sibuk di depan layar monitor. Tapi hatinya bergemuruh.Ia tahu Rey sosok yang sangat dikagumi. Setiap langkah Rey selalu diperhatikan. Bahkan pilihan dasinya bisa dibahas satu divisi. Maka ketika Rey terlihat akrab dengannya—seorang gadis biasa—wajar bila kant
Setelah seharian bekerja dan... bertemu kembali dengan Alya ,si gadis toko buku yang kini resmi jadi karyawan kantornya, Rey merasa dadanya penuh rasa aneh yang sulit dijelaskan.Ia menaruh jasnya ke sandaran kursi, melepas dasi, lalu duduk di tepi ranjang.Wajah polos Alya muncul begitu saja di benaknya. Terbayang ekspresi kaget Alya saat menyadari siapa dirinya, lalu kalimat yang keluar dari mulut gadis itu dengan cepat dan bawel:“Ini Rey, kan ya? Kan yang suka beli buku itu ya?”Rey tertawa kecil. Tawanya pelan, tapi tulus. Tak pernah sebelumnya seorang wanita bisa membuatnya tertawa seperti ini, bahkan setelah seharian bekerja keras.“Lucu banget…” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.Kemudian ia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.Namun setelah tertawa, Rey terdiam. Ia meraih bantal, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, lalu menatap kosong ke arah jendela.“Rey…” bisiknya pada diri sendiri, “…kamu gila, kah?”Ia mengusap wajahnya.“Gara-gara gadis bawel polos itu, k
Pagi itu, sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Alya saat ponselnya berdering. Dengan jantung berdebar, ia meraih ponsel di atas meja kecilnya. “Hallo… selamat pagi. Ini dari HRD R Corporation. Kami ingin mengundang Alya untuk wawancara kerja besok pukul 10 pagi,” suara lembut dari seberang telepon membuat mata Alya membelalak. “A-apa? Saya… saya dipanggil?” tanyanya gugup, nyaris tak percaya. “Benar. Silakan hadir tepat waktu, ya.” “Baik! Terima kasih banyak!” Setelah panggilan itu berakhir, Alya menatap langit-langit kamarnya dengan bibir yang perlahan-lahan tersenyum. Ia langsung memeluk ibunya dengan semangat. “Bu! Alhamdulillah, Alya dipanggil wawancara!” Ibunya tersenyum penuh haru dan mencium kening Alya. “Doa ibu selalu bersamamu, Nak.” Alya bersujud syukur terhadap Tuhannya dengan hati senang bahagia dan berkata " terima kasih ya Allah " Keesokan harinya, dengan pakaian paling rapi yang ia miliki, Alya berjalan menuju halte. Di tengah jalan, panas mulai
Sudah dua hari sejak Alya menyerahkan lamaran kerja ke gedung megah itu. Hari-harinya diisi dengan menatap layar ponsel, menunggu panggilan. Setiap notifikasi membuat jantungnya berdegup lebih cepat namun selalu berakhir kecewa. Di malam hari, Alya duduk di samping ibunya, memandangi langit-langit kamar yang sederhana. Tangannya menggenggam tasbih kecil pemberian almarhum ayahnya. Dengan suara lirih, ia berdoa, “Ya Allah… jika memang bukan di sana rezekiku, tolong beri aku petunjuk ke tempat lain. Aku hanya ingin bantu Ibu…” Sementara itu, di lantai 17 gedung R Corporation, HRD tengah menyeleksi ratusan lamaran. Salah satu staf, Mbak Dita, membuka berkas milik Alya dan mengernyit pelan. “Ini gadis cantik bngets, tapi pengalaman kayak minim sekali, sepertinya nggak cocok untuk jadi resepsionis perusahaan besar seperti ini,” gumamnya. Ia lalu meletakkan map itu di tumpukan pending review. Pagi harinya, Alya menerima telepon singkat Alya sudah merasa senang dengan harapan dan keyak