Pagi itu, Alya duduk di depan warung kecil milik Bu Aminah, tetangganya yang suka berbagi kabar-kabar pekerjaan di sekitar kampung. Tangannya menggenggam secarik kertas tulisan tangan rapi dari Bu Aminah yang tadi pagi datang membawa kabar.
Toko Buku Nirwana Mencari Pegawai Jam kerja: 09.00–17.00 Gaji: Rp 1.800.000/bulan Alamat: Jl. Anggrek No. 7 Alya menatap angka di kertas itu cukup lama. 1 juta delapan ratus ribu. Angka itu menggantung di pikirannya, seperti pertanyaan besar yang belum punya jawaban. "Alya, kamu gimana? Kayaknya lumayan ya kerja di toko buku. Adem, nggak terlalu capek," kata Bu Aminah sambil menata keripik di toplesnya. Alya mengangguk pelan. "Iya, Bu… tapi aku masih mikir. Buat bayar listrik, makan, obat Ibu, dan transport… cukup nggak ya segitu?" Bu Aminah terdiam. Perempuan tua itu paham. Gaji segitu, di kota sebesar ini, sama saja seperti merangkak hidup-hidup. Tapi Alya tak punya banyak pilihan. Sudah seminggu ia menyebar lamaran ke minimarket, kafe, rumah makan, bahkan jadi kasir warnet. Tak ada kabar. Dan ini satu-satunya pintu yang terbuka. Ia menatap rumah kecilnya. Ibu sedang tidur siang di dalam, masih lemah akibat batuk yang belum sembuh total. Biaya ke dokter sudah tak terjangkau sejak dua bulan terakhir. Alya menggenggam kertas itu lebih erat. Ia ingin pekerjaan yang bisa memberinya harapan, bukan sekadar bertahan. Tapi apakah harapan bisa dibeli dengan 1 juta 800 ribu? Sore itu, ia berdiri di depan toko buku kecil yang terletak di pojok jalan. Dari luar, toko itu tampak tenang dan bersih. Tumpukan buku ditata rapi di etalase kaca. Ada aroma kertas dan kayu yang entah kenapa menenangkan. Seorang ibu berumur sekitar 50 tahun keluar dari dalam toko. “Kamu Alya, ya?” “Iya, Bu. Saya datang soal lowongan.” Ibu itu tersenyum hangat. “Kita nggak bisa bayar besar, tapi kamu boleh baca buku sepuasnya, Dan toko ini sepi, cocok buat orang yang suka tenang.” Alya tersenyum kecil. “Saya belum yakin, Bu. Tapi boleh saya pikir-pikir dulu malam ini?” “Tentu,” jawab wanita itu ramah. “Besok pagi datang saja kalau kamu memutuskan ambil pekerjaan ini. Belum ada pelamar lain.” Malamnya, Alya duduk di dekat jendela kamarnya, memandangi langit gelap tanpa bintang. Di tangannya, ada dua lembar roti tawar dan segelas teh manis makan malamnya bersama Ibu. “Yakin kamu mau kerja di sana, Nak?” tanya ibunya pelan, suaranya masih serak. Alya tersenyum, menatap ibunya penuh kasih. “Aku belum tahu, Bu… Tapi mungkin itu awal yang baik.” Dalam diam, Alya tahu: uang itu belum cukup. Tapi harapan, kadang datang dari tempat paling sederhana. Dan siapa sangka, dari toko buku kecil itulah, takdirnya perlahan akan menuntunnya kembali kepada Rey—lelaki yang kini sedang duduk di balik kaca mobil mewahnya, memandang jendela toko yang sama… tanpa tahu, bahwa gadis yang terus mengganggu pikirannya ada di dalamnya. Malam mulai turun. Angin lembut berhembus dari jendela kayu yang sudah mulai lapuk. Di dalam rumah sederhana itu, Alya duduk bersila di atas lantai beralas tikar, tepat di samping ranjang kecil tempat ibunya berbaring. Ibunya baru saja selesai minum obat batuk yang dibelinya dengan sisa uang terakhir hasil menjual kerudung bekas. Alya menatap wajah lelah itu dengan hati yang bergemuruh. “Bu…” katanya pelan, hampir seperti berbisik. “Tadi Alya ditawari kerja jaga toko buku.” Sang ibu membuka mata. Senyumnya lemah, tapi tulus. “Alhamdulillah. Kerja yang jujur dan tenang, ya?” Alya menggigit bibir bawahnya. Ia ingin ikut bahagia, tapi pikirannya terlalu bising. “Gajinya satu juta delapan ratus ribu, Bu. Gimana… cukup nggak buat hidup kita?” Ibu terdiam sejenak. Pandangannya jauh menembus dinding kayu rumah mereka yang tipis. “Cukup nggak cukup, Nak… ya tetap harus dicoba dulu,” ucapnya lembut. “Ibu tahu kamu lelah, Tapi kerja halal itu berkah. Lagipula, kamu suka baca buku, kan?” Alya menunduk. Air matanya nyaris jatuh. Bukan karena sedih, tapi karena jawaban ibunya yang sederhana justru menyentuh hatinya paling dalam. “Tapi kalau nanti nggak cukup, kita makan apa, Bu?” suaranya pecah. “Alya takut… takut gagal, takut nggak bisa bahagiain Ibu…” Sang ibu meraih tangan Alya, menggenggamnya erat dengan tangan yang mulai keriput. “Kamu sudah bahagiain Ibu sejak kamu lahir,” bisiknya. “Jangan takut kekurangan, Nak. Takutlah kalau kita menyerah.” Alya memejamkan mata. Ada perasaan hangat yang perlahan tumbuh di dadanya. Malam itu, ia tak lagi memikirkan jumlah. Ia memikirkan langkah. Dan esok pagi, Alya tahu, ia akan kembali ke toko buku kecil itu bukan karena gajinya cukup, tapi karena dia ingin menjadi cukup… untuk ibunya. Pagi itu langit berwarna abu-abu pucat. Udara masih dingin, tapi ada kehangatan dalam langkah Alya yang ringan menuju toko buku Nirwana. Rambutnya dikepang rapi, wajahnya polos tanpa riasan, dan ia mengenakan kemeja putih sederhana serta celana hitam yang sedikit longgar. Ia membawa tas kain lusuh yang berisi buku catatan kecil dan botol air. “Bismillah,” bisiknya sebelum mendorong pintu kaca yang mengeluarkan bunyi lonceng kecil. “Selamat pagi,” sapa Bu Mira, pemilik toko. “Kamu datang tepat waktu. Mulai hari ini, kamu penjaga toko Nirwana.” Alya tersenyum, hatinya bergetar pelan. Ini bukan pekerjaan impian, tapi ini awal yang nyata. Toko buku itu tidak besar, hanya terdiri dari lima rak utama, satu meja kasir, dan pojok baca dengan dua kursi kayu. Buku-buku dijual mulai dari novel bekas, buku pelajaran, hingga majalah lawas. Pelanggan yang datang bisa dihitung jari. Seorang ibu mencari buku resep, dua anak SMA menanyakan komik lama, dan seorang mahasiswa membeli buku psikologi dengan harga diskon. Alya dengan sabar membantu mereka. Ia belajar dari Bu Mira cara mencatat penjualan, menata rak, dan bahkan merekatkan kembali buku-buku yang rusak. Sore menjelang, sinar matahari masuk melalui jendela besar toko, mengenai wajah Alya yang sedang membaca novel bekas sambil menunggu pembeli. Untuk pertama kalinya sejak lama, hatinya terasa damai. Sementara itu, di sisi lain kota, Rey duduk di kursi belakang mobil mewahnya, dikelilingi kesibukan dunia bisnis yang tak pernah tidur. “Rey, meeting jam tiga dibatalkan, kamu mau langsung ke proyek hotel?” tanya Davin. Rey memijat pelipisnya. “Nggak. Bawa aku jalan sebentar. Kemana saja, asal bukan gedung tinggi.” Davin menatap sahabatnya dari spion. “Oke. Jalan sore, gaya si CEO galau.” Mobil mereka berbelok melewati jalanan padat. Tak lama kemudian, Rey menunjuk ke kiri. “Berhenti sebentar. Gue mau turun.” Davin mengerutkan dahi. “Di sini? Ini jalan toko-toko kecil.” Tapi Rey sudah membuka pintu. Saat lonceng toko buku berbunyi, Alya sedang menata rak novel remaja. Ia tidak menoleh langsung. “Selamat sore. Silakan lihat-lihat.” Langkah sepatu kulit itu mendekat perlahan. Rey berdiri beberapa langkah dari meja kasir, matanya tertumbuk pada sosok gadis yang selama ini tak bisa ia lupakan dengan kemeja sederhana dan senyum lelah namun hangat,Degup jantungnya seketika tak karuan. Alya mendongak. Tatapannya bertemu dengan mata pria itu. Ia terdiam, Rey pun demikian. Satu detik. Dua. Tiga. Sebuah keheningan panjang seolah menggantung di antara rak-rak buku tua. “Kamu… kerja di sini?” suara Rey terdengar pelan, tak seperti biasanya,Alya mengangguk, gugup. “Iya… ini hari pertama saya.” Mereka saling menatap. Tak ada musik pesta. Tak ada gaun mewah. Hanya mereka, di tengah aroma kertas dan cahaya senja. Dan di saat itu, Rey tahu, tak ada tawa dari wanita sosialita manapun yang bisa menyaingi damai dalam tatapan gadis sederhana ini.Dua hari sebelum pesta besar sesama CEO, Rey mengirim pesan kepada Alya.“Alya, aku ada undangan pesta CEO besar. Aku ingin kamu ikut bersamaku. Aku akan kirim sopir untuk menjemputmu nanti malam.”Alya membaca pesan itu berulang kali, hatinya campur aduk. Ia bingung, bagaimana harus menyiapkan diri? Pakaian apa yang pantas dipakai ke pesta mewah seperti itu? Pikirannya langsung melayang ke lemari kecilnya yang berisi baju-baju sederhana.Malam itu, Alya pulang ke rumah dan duduk di ruang tamu bersama ibunya. Ia menceritakan undangan pesta dari Rey dan kebingungannya soal gaun.Ibu Alya tersenyum lembut lalu membuka lemari tua. “Ini, Nak. Dulu ibu pakai baju ini saat pergi ke pesta. Mungkin sekarang sudah tidak seindah dulu, tapi masih layak dipakai. Baju ini mahal, hadiah dari almarhum ayahmu waktu masih hidup.”Alya terkejut sekaligus tersentuh. Dengan hati-hati, ia mengeluarkan gaun itu dari plastik pelindung. Gaun berwarna biru tua dengan aksen renda halus dan payet kecil berkilau
Pagi itu, suasana kantor HDR seperti biasa—ramai namun tertib. Alya yang sudah berniat kuat untuk bertahan, kini mulai bekerja dengan lebih fokus. Ia tidak ingin mengecewakan Rey. Dan diam-diam, ia pun ingin membuktikan pada semua orang bahwa ia memang layak berada di sana.Sampai akhirnya, saat baru saja selesai merapikan dokumen, Mbak Dita menghampiri dengan senyum khasnya.“Alya, Pak Rey manggil kamu ke ruang meeting lantai tiga. Ada proyek baru katanya.”Alya menelan ludah. “Aku?”“Iya, kamu. Katanya penting.”Dengan langkah yang agak gugup, Alya menuju ruangan meeting. Sesampainya di sana, Rey sudah duduk, ditemani dua manajer senior dan beberapa karyawan lainnya. Ketika Alya masuk, mata Rey langsung menangkap kehadirannya. Tatapan itu… seperti biasa, hangat dan menusuk kalbu.“Silakan duduk, Alya,” ucap Rey tenang.Alya duduk, menunduk sopan. Ia masih sulit menatap pria itu terlalu lama. Apalagi hari ini Rey memakai jas abu muda dengan dasi gelap yang membuat ketampanannya semak
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak Alya resmi menjadi staf administrasi di HDR Corp. Tugas-tugas yang diberikan kepadanya memang ringan, namun setiap kali dia berhasil menyelesaikannya, senyum puas selalu tersungging di wajahnya.Namun, hari ini berbeda.Sejak pagi, suasana kantor terasa aneh. Alya merasa banyak mata memperhatikannya—bukan tatapan biasa, melainkan tatapan yang menyelidik, seolah ia menyimpan rahasia besar. Di lorong, bisik-bisik terdengar pelan namun cukup jelas.> “Itu dia, si anak baru yang katanya dekat sama Pak Rey.”> “Kemarin makan siang bareng CEO loh... di pantry lagi!”> “Cantik sih, tapi masa iya? CEO kita tuh pilihannya nggak main-main biasanya.”Alya menunduk. Telapak tangannya dingin. Ia pura-pura sibuk di depan layar monitor. Tapi hatinya bergemuruh.Ia tahu Rey sosok yang sangat dikagumi. Setiap langkah Rey selalu diperhatikan. Bahkan pilihan dasinya bisa dibahas satu divisi. Maka ketika Rey terlihat akrab dengannya—seorang gadis biasa—wajar bila kant
Setelah seharian bekerja dan... bertemu kembali dengan Alya ,si gadis toko buku yang kini resmi jadi karyawan kantornya, Rey merasa dadanya penuh rasa aneh yang sulit dijelaskan.Ia menaruh jasnya ke sandaran kursi, melepas dasi, lalu duduk di tepi ranjang.Wajah polos Alya muncul begitu saja di benaknya. Terbayang ekspresi kaget Alya saat menyadari siapa dirinya, lalu kalimat yang keluar dari mulut gadis itu dengan cepat dan bawel:“Ini Rey, kan ya? Kan yang suka beli buku itu ya?”Rey tertawa kecil. Tawanya pelan, tapi tulus. Tak pernah sebelumnya seorang wanita bisa membuatnya tertawa seperti ini, bahkan setelah seharian bekerja keras.“Lucu banget…” gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.Kemudian ia tertawa lagi, kali ini lebih lepas.Namun setelah tertawa, Rey terdiam. Ia meraih bantal, menyandarkan punggung ke kepala ranjang, lalu menatap kosong ke arah jendela.“Rey…” bisiknya pada diri sendiri, “…kamu gila, kah?”Ia mengusap wajahnya.“Gara-gara gadis bawel polos itu, k
Pagi itu, sinar matahari baru saja menembus jendela kamar Alya saat ponselnya berdering. Dengan jantung berdebar, ia meraih ponsel di atas meja kecilnya. “Hallo… selamat pagi. Ini dari HRD R Corporation. Kami ingin mengundang Alya untuk wawancara kerja besok pukul 10 pagi,” suara lembut dari seberang telepon membuat mata Alya membelalak. “A-apa? Saya… saya dipanggil?” tanyanya gugup, nyaris tak percaya. “Benar. Silakan hadir tepat waktu, ya.” “Baik! Terima kasih banyak!” Setelah panggilan itu berakhir, Alya menatap langit-langit kamarnya dengan bibir yang perlahan-lahan tersenyum. Ia langsung memeluk ibunya dengan semangat. “Bu! Alhamdulillah, Alya dipanggil wawancara!” Ibunya tersenyum penuh haru dan mencium kening Alya. “Doa ibu selalu bersamamu, Nak.” Alya bersujud syukur terhadap Tuhannya dengan hati senang bahagia dan berkata " terima kasih ya Allah " Keesokan harinya, dengan pakaian paling rapi yang ia miliki, Alya berjalan menuju halte. Di tengah jalan, panas mulai
Sudah dua hari sejak Alya menyerahkan lamaran kerja ke gedung megah itu. Hari-harinya diisi dengan menatap layar ponsel, menunggu panggilan. Setiap notifikasi membuat jantungnya berdegup lebih cepat namun selalu berakhir kecewa. Di malam hari, Alya duduk di samping ibunya, memandangi langit-langit kamar yang sederhana. Tangannya menggenggam tasbih kecil pemberian almarhum ayahnya. Dengan suara lirih, ia berdoa, “Ya Allah… jika memang bukan di sana rezekiku, tolong beri aku petunjuk ke tempat lain. Aku hanya ingin bantu Ibu…” Sementara itu, di lantai 17 gedung R Corporation, HRD tengah menyeleksi ratusan lamaran. Salah satu staf, Mbak Dita, membuka berkas milik Alya dan mengernyit pelan. “Ini gadis cantik bngets, tapi pengalaman kayak minim sekali, sepertinya nggak cocok untuk jadi resepsionis perusahaan besar seperti ini,” gumamnya. Ia lalu meletakkan map itu di tumpukan pending review. Pagi harinya, Alya menerima telepon singkat Alya sudah merasa senang dengan harapan dan keyak