Waktu seolah membeku. Satu-satunya yang bergerak di dalam Kopi Senja yang gelap adalah berkas cahaya gemetar dari senter ponsel Elara, yang menari-nari di atas permukaan topeng giok yang mustahil itu. Udara terasa berat, sesak oleh keheningan yang memekakkan telinga, hanya dipecah oleh dua suara: detak jantung Elara yang berdebar liar di rongga dadanya dan napas Kian yang berat dan serak, seolah setiap tarikannya adalah sebuah perjuangan.
Jeritan yang sejak tadi tersangkut di tenggorokan Elara tak kunjung keluar. Kakinya terpaku di lantai, menolak perintah otaknya untuk berbalik dan lari. Lari ke mana? Pintu terkunci, dan di hadapannya berdiri sesuatu yang seharusnya hanya ada dalam mimpi buruk atau dongeng pengantar tidur neneknya. Dongeng tentang Jenderal bertopeng giok yang dikutuk karena kesombongannya. Tapi ini nyata. Kengerian ini nyata. Pria atau makhluk di hadapannya itu tersentak saat cahaya senter Elara menyapu wajahnya. Ia mengangkat lengan, melindungi topengnya seolah cahaya itu adalah asam yang membakar. "Matikan," sebuah suara berdesis dari baliknya. Suara itu bukan milik Kian Alvaro. Vokal CEO yang dalam dan jernih itu telah lenyap, digantikan oleh gema yang terdistorsi dan dingin, seolah disaring melalui lapisan batu yang tebal. Suara itu tidak wajar, tidak manusiawi. Tanpa berpikir, Elara menekan tombol di layar ponselnya. Kegelapan total menelan mereka. Kini, satu-satunya sumber cahaya adalah pendaran hijau pucat yang samar-samar terpancar dari topeng itu sendiri, dan kilat yang sesekali menyambar di luar, menerangi siluet mereka dalam sepersekian detik yang mengerikan. Dalam kegelapan, sosok Kian terasa sepuluh kali lebih mengancam. Pikiran Elara berpacu liar, mencoba mencari penjelasan logis. Lelucon? Mustahil. Siapa yang akan melakukan lelucon serumit dan semengerikan ini? Proyeksi hologram? Teknologi canggih? Tapi erangan kesakitan yang ia dengar tadi begitu nyata, begitu penuh penderitaan. Getaran tubuhnya saat menabrak pintu kaca bukanlah sebuah akting. Lalu, ingatannya kembali pada buku catatan usang milik neneknya yang tersimpan di laci kamarnya. Buku berisi sketsa-sketsa aneh dan cerita-cerita yang ia anggap sebagai fantasi seorang wanita tua. Salah satu sketsanya adalah gambar seorang pria dengan wajah yang tertutup topeng batu, persis seperti ini. Di bawahnya tertulis sebuah kalimat dengan aksara kuno: “Saat malam merenggut wajahnya, sang jiwa terpenjara di dalam giok.” Keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia harus keluar. Sekarang juga. Dengan gerakan lambat dan hati-hati, Elara mulai melangkah mundur, berusaha menuju pintu belakang di dekat dapur. Setiap langkahnya terasa begitu berat. Lantai kayu yang biasanya senyap kini berderit pelan di bawah sepatunya, suaranya terdengar memekakkan di tengah keheningan. Kriet. Satu langkah. Kriet. Dua langkah. Tiba-tiba, sebuah suara langkah lain yang berat dan mantap memotong jalannya. Sosok gelap Kian bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, bukan ke arahnya, melainkan ke arah tujuannya. Ia kini berdiri di antara Elara dan pintu dapur, sebuah siluet raksasa yang menghalangi satu-satunya jalan keluar. Pendaran hijau dari wajahnya memberikan bayangan yang menakutkan di dinding. "Kau tidak akan ke mana-mana," ujar suara terdistorsi itu lagi, lebih tegas kali ini. "Si-siapa kau?" bisik Elara, suaranya bergetar hebat. "Kau tahu siapa aku," jawabnya. "Pertanyaannya adalah, apa yang kau lihat?" Elara menelan ludah yang terasa pahit. Berbohong. Ia harus berbohong. "Listriknya padam. Aku tidak melihat apa-apa dengan jelas." Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Elara bisa merasakan tatapan tak terlihat dari balik topeng itu menilainya, menguliti setiap kebohongannya. "Cahaya sentermu cukup terang," balas Kian dingin. "Jangan berbohong padaku. Itu hanya akan membuat situasi ini menjadi lebih buruk." Tepat saat itu, seolah takdir sedang mempermainkan mereka, lampu-lampu di langit-langit kafe berkedip-kedip sebelum menyala kembali dengan terang. KLIK! Cahaya normal yang hangat kini memenuhi ruangan, membuat pemandangan di hadapan Elara menjadi semakin nyata dan absurd. Di bawah cahaya lampu, topeng giok itu tidak lagi terlihat seperti pendaran hantu. Ia terlihat padat, solid, dengan urat-urat hijau tua yang rumit menjalari permukaannya yang mulus. Benda itu menyatu sempurna dengan leher Kian, tanpa celah, tanpa sambungan. Seolah-olah kepalanya memang terbuat dari batu mulia itu. Melihat kengerian yang tak terselubung di wajah Elara, Kian tampak sedikit goyah. Ia mundur selangkah, postur tubuhnya bukan lagi ancaman, melainkan pertahanan. Ia terlihat seperti seseorang yang rahasia paling kelam dan memalukannya baru saja dipertontonkan di bawah lampu sorot. "Setiap orang punya harga, bukan?" Kian tiba-tiba berkata, nadanya berubah. Gema aneh dari suaranya sedikit berkurang, digantikan oleh nada bisnis yang dingin, meski masih terdengar ganjil. "Setiap keheningan bisa dibeli." Elara hanya bisa menatapnya, bingung. Kian sepertinya telah membuat sebuah keputusan. Ia berjalan ke mejanya, mengabaikan Elara sejenak, dan membuka koper kulit mahalnya yang tergeletak di kursi. Gerakannya masih kaku, tetapi kini lebih terkendali. "Kau Elara Wijaya," ujarnya, tanpa menoleh. "Usia dua puluh tiga tahun. Ayahmu meninggal tiga tahun lalu, meninggalkan hutang yang cukup besar. Ibumu menderita artritis kronis, biaya pengobatannya tidak murah. Adikmu, Laras, baru saja lulus SMA dan butuh biaya untuk masuk universitas. Kau bekerja di sini dan mengambil pekerjaan lepas menerjemahkan dokumen di malam hari untuk menutupi semuanya." Jantung Elara mencelos. Pria ini tahu segalanya. Ketakutan yang tadinya bersifat supernatural kini berubah menjadi ketakutan yang lebih nyata. Ketakutan akan kekuasaan. Pria ini bukan hanya monster bertopeng, ia adalah Kian Alvaro yang maha tahu, yang bisa menggali kehidupan pribadinya semudah membalikkan telapak tangan. "A-apa maumu?" tanyanya lirih. Kian berbalik, di tangannya kini ada sebuah map tebal berwarna hitam. Ia meletakkannya di atas konter di antara mereka, mendorongnya perlahan ke arah Elara. "Aku akan memberimu sebuah tawaran," katanya. "Sebuah perjanjian. Aku akan melunasi seluruh hutang ayahmu. Aku akan menanggung seluruh biaya pengobatan ibumu di rumah sakit terbaik sampai ia sembuh total. Aku akan memberikan beasiswa penuh untuk adikmu di universitas mana pun yang ia inginkan, di dalam atau luar negeri." Mata Elara terbelalak. Tawaran itu... mustahil. Itu adalah solusi untuk semua masalah yang membuatnya terjaga setiap malam. Itu adalah sebuah keajaiban. "Sebagai gantinya," lanjut Kian, dan di sinilah hawa dingin itu kembali, "kau, dan keheninganmu, adalah milikku." "Milikmu?" ulang Elara, tak mengerti. "Kau akan berhenti bekerja di sini. Mulai besok, kau adalah asisten pribadiku. Kau akan menandatangani perjanjian kerahasiaan seumur hidup. Kau akan selalu ada saat aku butuhkan, siang atau malam. Kau akan melihat hal-hal yang tidak seharusnya kau lihat, dan kau akan berpura-pura tidak pernah melihatnya. Kau akan menjadi bayanganku, penjaingat rahasiaku. Dan kau tidak akan pernah, sampai kau mati, menceritakan apa yang kau lihat malam ini kepada siapa pun." Dunia Elara seakan berputar. Ini adalah sebuah transaksi. Jiwanya, kebebasannya, ditukar dengan keamanan keluarganya. Sebuah sangkar emas yang paling mewah dan paling menakutkan. Ia menatap wajah bertopeng di hadapannya. Di balik kekosongan batu giok itu, untuk pertama kalinya, Elara tidak hanya melihat monster atau CEO yang kejam. Ia melihat keputusasaan. Pria ini, dengan segala kekuasaan dan kekayaannya, sama terperangkapnya seperti dirinya. Terpenjara di dalam kutukannya sendiri. Pilihannya jelas. Kembali ke kehidupannya yang penuh perjuangan sambil membawa rahasia mematikan yang bisa membuat ia dan keluarganya lenyap kapan saja, atau menerima tawaran ini dan menyerahkan hidupnya. Demi ibu dan adiknya, sebenarnya tidak ada pilihan sama sekali. Dengan tangan gemetar, Elara menarik map hitam itu ke arahnya. Ia membukanya. Halaman demi halaman berisi pasal-pasal hukum yang rumit, tetapi satu hal yang jelas: nominal yang tertera di sana sanggup mengubah hidup tujuh turunan keluarganya. "Aku..." bisiknya, "...aku setuju." Kata itu menggantung di udara, terasa begitu berat, seperti sebuah vonis. Kian mengeluarkan sebuah pulpen mewah dari saku jasnya. Pulpen berwarna perak yang tampak begitu kontras dengan suasana kafe yang sederhana. Ia meletakkannya di atas kontrak. "Tanda tangani," perintah suara dari balik topeng itu. Elara menatap pulpen itu, lalu ke wajah bertopeng Kian, dan terakhir ke kertas kontrak yang akan menyegel takdirnya. Tangannya yang gemetar terulur, meraih pulpen perak yang dingin itu. Ujungnya melayang sesaat di atas garis putus-putus di halaman terakhir, di bawah namanya yang sudah tercetak rapi. Ini adalah titik di mana tidak ada jalan untuk kembali. Dengan satu tarikan napas terakhir dari sisa-sisa kebebasannya, Elara menekan ujung pulpen itu ke atas kertas.Ruang meditasi di Perpustakaan Senja terasa seperti jantung dari sebuah badai yang akan datang. Di luar dinding-dindingnya yang sunyi, waktu terus berpacu menuju hari gerhana, dan dua kekuatan satu modern, satu mistis sedang memburu mereka. Namun di dalam sini, waktu seolah berhenti, menanti satu momen paling krusial. Keputusan telah dibuat. Pelatihan yang dipercepat telah usai. Malam ini, mereka tidak akan berlatih. Mereka akan bertaruh segalanya.Rama berdiri di hadapan mereka, jubahnya yang sederhana seolah menyerap cahaya temaram di ruangan itu. Ekspresinya khidmat. "Ingat," katanya, menatap Kian dengan tajam, matanya yang kuno seolah menembus langsung ke dalam jiwa pria itu. "Kau tidak datang sebagai penakluk yang menuntut rampasan perang. Kau datang sebagai seorang peziarah yang memohon sebuah nama suci. Tunjukkan rasa hormat, bukan pada monster yang kau takuti, tetapi pada entitas purba yang sama terlukanya denganmu. Buat ia mengerti bahwa kau membutuhkan namanya bukan untuk me
Harapan, Elara menyadari, adalah sebuah benda yang berat. Sehari sebelumnya, ia dan Kian berada di ambang keputusasaan. Kini, setelah mereka memiliki tujuan yang baru mempelajari Nama Kekuatan dari sang Tahanan Giok harapan itu terasa nyata, namun juga membawa serta beban tanggung jawab yang luar biasa.Keesokan paginya, Kian sudah siap untuk kembali menyelam. Energi gugup namun penuh tekad terpancar darinya. "Kita harus tahu namanya sekarang," ujarnya pada Rama, rasa urgensinya begitu jelas. "Kita tidak punya waktu untuk disia-siakan."Rama, yang sedang menyiram sebuah tanaman aneh yang daunnya berkilauan seperti obsidian, menoleh dengan tenang. "Api yang terlalu besar hanya akan menghanguskan kayu bakarnya sebelum sempat memberi kehangatan," katanya puitis. "Jembatan empati yang baru saja kau bangun itu masih terbuat dari benang-benang sutra yang rapuh. Jika kau langsung datang dan menuntut sebuah jawaban sebesar Nama Kekuatannya, jembatan itu akan runtuh. Kau akan dianggap sebagai
Keheningan yang menyelimuti ruang meditasi setelah penyelaman kedua Kian terasa berbeda. Bukan lagi keheningan yang tegang dan penuh antisipasi, melainkan keheningan yang lembut dan rapuh, seperti ketenangan setelah badai dahsyat berlalu. Kian duduk bersandar di dinding, tubuhnya masih lelah, tetapi gejolak panik di matanya telah digantikan oleh sebuah ketenangan yang kosong dan introspektif. Air mata telah mengering di pipinya, meninggalkan jejak kerapuhan yang belum pernah ada sebelumnya. Elara duduk tidak jauh darinya, memberinya ruang, namun kehadirannya terasa seperti sebuah jangkar yang kokoh. Ia menyiapkan secangkir teh hangat—kali ini teh melati biasa tanpa ramuan apa pun—dan meletakkannya di meja rendah di antara mereka. Sebuah gestur normal di tengah situasi yang sama sekali tidak normal. Pintu ruangan terbuka tanpa suara. Rama masuk, ekspresinya yang biasanya tenang kini diwarnai oleh sebersit rasa hormat saat ia menatap Kian.
Keheningan di dalam ruang meditasi terasa sakral. Waktu seolah melambat, setiap detik berdenyut dengan bobot dari apa yang akan terjadi. Kian Alvaro, pria yang membangun hidupnya di atas pondasi kontrol dan logika, kini duduk bersila, bersiap untuk melakukan tindakan penyerahan diri yang paling mutlak. Di hadapannya, Elara duduk dengan punggung lurus, menjadi perwujudan dari ketenangan dan kekuatan, meskipun jantungnya sendiri berdebar kencang seperti genderang perang. Ia telah meminum ramuan penenang, tubuhnya sedikit lebih rileks dari hari sebelumnya. Ia menatap Elara untuk terakhir kalinya, sebuah tatapan yang mengandung segalanya: rasa takut, keraguan, dan sebersit kepercayaan yang baru tumbuh. Elara hanya mengangguk pelan, sebuah janji tanpa kata bahwa ia akan berada di sana untuk menariknya kembali. Kian memejamkan mata. Penyelaman kali ini terasa berbeda. Jika sebelumnya ia seperti jatuh ke dalam jurang, kali ini ia melangkahinya d
Satu hari. Dua puluh empat jam. Waktu yang biasanya terasa begitu singkat bagi seorang Kian Alvaro yang jadwalnya dipadatkan dalam interval lima belas menitan, kini terasa membentang seperti sebuah gurun tak bertepi. Tugasnya hari ini tidak tertera di tablet mana pun. Tidak ada rapat, tidak ada laporan, tidak ada data untuk dianalisis. Tugasnya adalah sesuatu yang jauh lebih sulit: menelusuri kembali koridor-koridor berdebu di dalam ingatannya sendiri dan memilih satu kepingan jiwa yang paling rapuh untuk dipersembahkan pada sebuah entitas yang selama ini ia anggap sebagai monster. Pagi itu, suasana di Perpustakaan Senja terasa berat. Rama telah memberi mereka ruang, menghilang di antara rak-rak buku yang tak berujung, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang sarat makna. Kian tidak bisa diam. Ia mondar-mandir di ruang duduk mereka, energi kegelisahannya begitu kuat hingga seolah membuat udara bergetar. Ia mencoba melakukan hal yang biasa ia lakukan saat meras
Perjalanan kembali dari Palung Jiwa tidaklah instan. Meskipun tubuh Kian telah kembali ke ruang meditasi, kesadarannya terasa seperti pecahan kaca yang berserakan, butuh waktu untuk menyatu kembali. Elara dengan sabar mendampinginya, membantunya bangkit dengan gestur yang kini terasa alami, seolah merawat kerapuhan pria itu telah menjadi bagian dari ritme hidupnya. Ia menuntun Kian yang masih gemetar menuju ruang duduk yang lebih nyaman di perpustakaan, di mana Rama telah menunggu dengan tiga cangkir teh herbal hangat yang aromanya menenangkan. Kian duduk tersungkur di sofa empuk, jubah kebesarannya sebagai CEO yang tak terkalahkan kini terasa seperti kostum yang kebesaran. Ia menatap kosong ke cangkir tehnya, bayangan dari badai zamrud dan inti cahaya yang terbelenggu itu masih menari-nari di balik matanya. Untuk waktu yang lama, ia hanya diam, mencoba menjembatani antara realitas mengerikan yang baru saja ia saksikan dengan realitas aman di perpustakaan kuno ini.