Beranda / Romansa / CEO Bertopeng Giok / Perjanjian dan Kegelapan

Share

Perjanjian dan Kegelapan

Penulis: Ethan Zachary
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-18 20:42:44

Waktu seolah membeku. Satu-satunya yang bergerak di dalam Kopi Senja yang gelap adalah berkas cahaya gemetar dari senter ponsel Elara, yang menari-nari di atas permukaan topeng giok yang mustahil itu. Udara terasa berat, sesak oleh keheningan yang memekakkan telinga, hanya dipecah oleh dua suara: detak jantung Elara yang berdebar liar di rongga dadanya dan napas Kian yang berat dan serak, seolah setiap tarikannya adalah sebuah perjuangan.

Jeritan yang sejak tadi tersangkut di tenggorokan Elara tak kunjung keluar. Kakinya terpaku di lantai, menolak perintah otaknya untuk berbalik dan lari. Lari ke mana? Pintu terkunci, dan di hadapannya berdiri sesuatu yang seharusnya hanya ada dalam mimpi buruk atau dongeng pengantar tidur neneknya. Dongeng tentang Jenderal bertopeng giok yang dikutuk karena kesombongannya. Tapi ini nyata. Kengerian ini nyata.

Pria atau makhluk di hadapannya itu tersentak saat cahaya senter Elara menyapu wajahnya. Ia mengangkat lengan, melindungi topengnya seolah cahaya itu adalah asam yang membakar.

"Matikan," sebuah suara berdesis dari baliknya.

Suara itu bukan milik Kian Alvaro. Vokal CEO yang dalam dan jernih itu telah lenyap, digantikan oleh gema yang terdistorsi dan dingin, seolah disaring melalui lapisan batu yang tebal. Suara itu tidak wajar, tidak manusiawi.

Tanpa berpikir, Elara menekan tombol di layar ponselnya. Kegelapan total menelan mereka. Kini, satu-satunya sumber cahaya adalah pendaran hijau pucat yang samar-samar terpancar dari topeng itu sendiri, dan kilat yang sesekali menyambar di luar, menerangi siluet mereka dalam sepersekian detik yang mengerikan. Dalam kegelapan, sosok Kian terasa sepuluh kali lebih mengancam.

Pikiran Elara berpacu liar, mencoba mencari penjelasan logis. Lelucon? Mustahil. Siapa yang akan melakukan lelucon serumit dan semengerikan ini? Proyeksi hologram? Teknologi canggih? Tapi erangan kesakitan yang ia dengar tadi begitu nyata, begitu penuh penderitaan. Getaran tubuhnya saat menabrak pintu kaca bukanlah sebuah akting.

Lalu, ingatannya kembali pada buku catatan usang milik neneknya yang tersimpan di laci kamarnya. Buku berisi sketsa-sketsa aneh dan cerita-cerita yang ia anggap sebagai fantasi seorang wanita tua. Salah satu sketsanya adalah gambar seorang pria dengan wajah yang tertutup topeng batu, persis seperti ini. Di bawahnya tertulis sebuah kalimat dengan aksara kuno: “Saat malam merenggut wajahnya, sang jiwa terpenjara di dalam giok.”

Keringat dingin membasahi pelipisnya.

Ia harus keluar. Sekarang juga.

Dengan gerakan lambat dan hati-hati, Elara mulai melangkah mundur, berusaha menuju pintu belakang di dekat dapur. Setiap langkahnya terasa begitu berat. Lantai kayu yang biasanya senyap kini berderit pelan di bawah sepatunya, suaranya terdengar memekakkan di tengah keheningan.

Kriet.

Satu langkah.

Kriet.

Dua langkah.

Tiba-tiba, sebuah suara langkah lain yang berat dan mantap memotong jalannya. Sosok gelap Kian bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan, bukan ke arahnya, melainkan ke arah tujuannya. Ia kini berdiri di antara Elara dan pintu dapur, sebuah siluet raksasa yang menghalangi satu-satunya jalan keluar. Pendaran hijau dari wajahnya memberikan bayangan yang menakutkan di dinding.

"Kau tidak akan ke mana-mana," ujar suara terdistorsi itu lagi, lebih tegas kali ini.

"Si-siapa kau?" bisik Elara, suaranya bergetar hebat.

"Kau tahu siapa aku," jawabnya. "Pertanyaannya adalah, apa yang kau lihat?"

Elara menelan ludah yang terasa pahit. Berbohong. Ia harus berbohong. "Listriknya padam. Aku tidak melihat apa-apa dengan jelas."

Keheningan menyelimuti mereka selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Elara bisa merasakan tatapan tak terlihat dari balik topeng itu menilainya, menguliti setiap kebohongannya.

"Cahaya sentermu cukup terang," balas Kian dingin. "Jangan berbohong padaku. Itu hanya akan membuat situasi ini menjadi lebih buruk."

Tepat saat itu, seolah takdir sedang mempermainkan mereka, lampu-lampu di langit-langit kafe berkedip-kedip sebelum menyala kembali dengan terang.

KLIK!

Cahaya normal yang hangat kini memenuhi ruangan, membuat pemandangan di hadapan Elara menjadi semakin nyata dan absurd. Di bawah cahaya lampu, topeng giok itu tidak lagi terlihat seperti pendaran hantu. Ia terlihat padat, solid, dengan urat-urat hijau tua yang rumit menjalari permukaannya yang mulus. Benda itu menyatu sempurna dengan leher Kian, tanpa celah, tanpa sambungan. Seolah-olah kepalanya memang terbuat dari batu mulia itu.

Melihat kengerian yang tak terselubung di wajah Elara, Kian tampak sedikit goyah. Ia mundur selangkah, postur tubuhnya bukan lagi ancaman, melainkan pertahanan. Ia terlihat seperti seseorang yang rahasia paling kelam dan memalukannya baru saja dipertontonkan di bawah lampu sorot.

"Setiap orang punya harga, bukan?" Kian tiba-tiba berkata, nadanya berubah. Gema aneh dari suaranya sedikit berkurang, digantikan oleh nada bisnis yang dingin, meski masih terdengar ganjil. "Setiap keheningan bisa dibeli."

Elara hanya bisa menatapnya, bingung.

Kian sepertinya telah membuat sebuah keputusan. Ia berjalan ke mejanya, mengabaikan Elara sejenak, dan membuka koper kulit mahalnya yang tergeletak di kursi. Gerakannya masih kaku, tetapi kini lebih terkendali.

"Kau Elara Wijaya," ujarnya, tanpa menoleh. "Usia dua puluh tiga tahun. Ayahmu meninggal tiga tahun lalu, meninggalkan hutang yang cukup besar. Ibumu menderita artritis kronis, biaya pengobatannya tidak murah. Adikmu, Laras, baru saja lulus SMA dan butuh biaya untuk masuk universitas. Kau bekerja di sini dan mengambil pekerjaan lepas menerjemahkan dokumen di malam hari untuk menutupi semuanya."

Jantung Elara mencelos. Pria ini tahu segalanya. Ketakutan yang tadinya bersifat supernatural kini berubah menjadi ketakutan yang lebih nyata. Ketakutan akan kekuasaan. Pria ini bukan hanya monster bertopeng, ia adalah Kian Alvaro yang maha tahu, yang bisa menggali kehidupan pribadinya semudah membalikkan telapak tangan.

"A-apa maumu?" tanyanya lirih.

Kian berbalik, di tangannya kini ada sebuah map tebal berwarna hitam. Ia meletakkannya di atas konter di antara mereka, mendorongnya perlahan ke arah Elara.

"Aku akan memberimu sebuah tawaran," katanya. "Sebuah perjanjian. Aku akan melunasi seluruh hutang ayahmu. Aku akan menanggung seluruh biaya pengobatan ibumu di rumah sakit terbaik sampai ia sembuh total. Aku akan memberikan beasiswa penuh untuk adikmu di universitas mana pun yang ia inginkan, di dalam atau luar negeri."

Mata Elara terbelalak. Tawaran itu... mustahil. Itu adalah solusi untuk semua masalah yang membuatnya terjaga setiap malam. Itu adalah sebuah keajaiban.

"Sebagai gantinya," lanjut Kian, dan di sinilah hawa dingin itu kembali, "kau, dan keheninganmu, adalah milikku."

"Milikmu?" ulang Elara, tak mengerti.

"Kau akan berhenti bekerja di sini. Mulai besok, kau adalah asisten pribadiku. Kau akan menandatangani perjanjian kerahasiaan seumur hidup. Kau akan selalu ada saat aku butuhkan, siang atau malam. Kau akan melihat hal-hal yang tidak seharusnya kau lihat, dan kau akan berpura-pura tidak pernah melihatnya. Kau akan menjadi bayanganku, penjaingat rahasiaku. Dan kau tidak akan pernah, sampai kau mati, menceritakan apa yang kau lihat malam ini kepada siapa pun."

Dunia Elara seakan berputar. Ini adalah sebuah transaksi. Jiwanya, kebebasannya, ditukar dengan keamanan keluarganya. Sebuah sangkar emas yang paling mewah dan paling menakutkan.

Ia menatap wajah bertopeng di hadapannya. Di balik kekosongan batu giok itu, untuk pertama kalinya, Elara tidak hanya melihat monster atau CEO yang kejam. Ia melihat keputusasaan. Pria ini, dengan segala kekuasaan dan kekayaannya, sama terperangkapnya seperti dirinya. Terpenjara di dalam kutukannya sendiri.

Pilihannya jelas. Kembali ke kehidupannya yang penuh perjuangan sambil membawa rahasia mematikan yang bisa membuat ia dan keluarganya lenyap kapan saja, atau menerima tawaran ini dan menyerahkan hidupnya. Demi ibu dan adiknya, sebenarnya tidak ada pilihan sama sekali.

Dengan tangan gemetar, Elara menarik map hitam itu ke arahnya. Ia membukanya. Halaman demi halaman berisi pasal-pasal hukum yang rumit, tetapi satu hal yang jelas: nominal yang tertera di sana sanggup mengubah hidup tujuh turunan keluarganya.

"Aku..." bisiknya, "...aku setuju."

Kata itu menggantung di udara, terasa begitu berat, seperti sebuah vonis.

Kian mengeluarkan sebuah pulpen mewah dari saku jasnya. Pulpen berwarna perak yang tampak begitu kontras dengan suasana kafe yang sederhana. Ia meletakkannya di atas kontrak.

"Tanda tangani," perintah suara dari balik topeng itu.

Elara menatap pulpen itu, lalu ke wajah bertopeng Kian, dan terakhir ke kertas kontrak yang akan menyegel takdirnya. Tangannya yang gemetar terulur, meraih pulpen perak yang dingin itu. Ujungnya melayang sesaat di atas garis putus-putus di halaman terakhir, di bawah namanya yang sudah tercetak rapi. Ini adalah titik di mana tidak ada jalan untuk kembali.

Dengan satu tarikan napas terakhir dari sisa-sisa kebebasannya, Elara menekan ujung pulpen itu ke atas kertas.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • CEO Bertopeng Giok   Di Ambang Pintu yang Tak Terlihat

    Helikopter hitam itu mendarat tanpa suara di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di kawasan Puncak, Cisarua. Saat pintu geser terbuka, udara yang langsung menyergap mereka begitu berbeda. Jika Jakarta adalah napas panas dari mesin dan ambisi, dan Ciptagelar adalah udara tanah yang sarat dengan bahaya, maka Puncak adalah embusan nap

  • CEO Bertopeng Giok   Perpustakaan Senja dan Gema di Jakarta

    Fajar baru saja akan merekah, namun di dalam penginapan terpencil itu, tidak ada satu pun dari penghuninya yang tertidur. Pengetahuan akan tenggat waktu tiga minggu yang mereka miliki terasa seperti beban fisik, menekan udara di sekitar mereka dan membuat setiap detik terasa berharga sekaligus menyiksa. Mereka tidak lagi hanya melawan sebuah konspirasi, mereka kini sedang berlomba melawan pergerakan langit."Perpustakaan Senja," ulang Kian, suaranya pelan namun bergema di keheningan pagi buta. Ia menatap Elara, mencari kepastian. "Hanya itu petunjuk yang kita punya?"Elara menghela napas, mencoba menggali lebih dalam lagi ke sudut-sudut ingatannya yang kabur. "Hanya itu, Tuan. Nenek hanya menyebutnya sekali atau dua kali saat aku masih sangat kecil. Bukan sebagai tempat yang nyata, lebih seperti sebuah dongeng. Dia bilang 'si penjaga buku' adalah kerabat jauh dari garis keturunan ibu, seorang pria yang sangat tua, lebih tua dari seharusnya, dan tinggal di sebuah tempat

  • CEO Bertopeng Giok   Perlombaan Melawan Langit

    Perjalanan kembali dari Lembah Tujuh Bintang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Setiap langkah terasa membebani, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi karena bobot pengetahuan yang baru saja mereka peroleh. Hutan yang di pagi hari terasa magis dan penuh kehidupan, kini terasa mencekam dan opresif. Setiap bayangan

  • CEO Bertopeng Giok   Bisikan Sang Tahanan Batu

    Keheningan yang mengikuti pernyataan Elara terasa begitu pekat, seolah udara di lembah itu sendiri ikut menahan napas. Realisasi mengerikan itu menggantung di antara mereka: mereka tidak sedang menghadapi seorang pebisnis serakah, tetapi seorang fanatik yang berencana melepaskan bencana.Kian adalah yang pertama kali memecah kebekuan. Reaksinya bukanlah kepanikan, melainkan fokus yang dingin dan tajam. Naluri sang jenderal mengambil alih sepenuhnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia menarik Elara menjauh dari batu hitam itu. "Jangan sentuh lagi," perintahnya pelan, matanya memindai lingkungan sekitar, waspada terhadap ancaman yang tak terlihat.Ia mengeluarkan sebuah multi-alat dari sakunya. Dari salah satu kompartemennya, ia mengambil sebuah penjepit kecil dan sebuah tabung sampel steril. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia mendekati batu itu dan dengan hati-hati mengambil sampel dari cairan hitam kental yang sudah sedikit mengering di sisinya. Ia memasukkannya

  • CEO Bertopeng Giok   Tujuh Bintang

    Fajar di perbukitan Ciptagelar adalah sebuah entitas yang sama sekali berbeda dari fajar di Jakarta. Tidak ada gedung pencakar langit yang menghalangi cahaya pertama, hanya kabut tipis yang melayang di atas pucuk-pucuk pohon, mengubah sinar matahari pagi menjadi selubung keperakan yang magis. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara serangga hutan, Elara dan Kian sudah bergerak. Mereka adalah dua bayangan yang menyelinap keluar dari penginapan, meninggalkan jejak embun di atas rerumputan.Pakaian mereka adalah cerminan dari misi mereka. Setelan mahal dan sepatu kulit telah berganti dengan celana kargo berwarna zaitun, kaus menyerap keringat, dan sepatu bot trekking yang kokoh. Kian, tanpa jas dan dasinya, tampak lebih liar dan berbahaya, otot-ototnya yang terbentuk dari disiplin bertahun-tahun terlihat lebih jelas. Elara, dengan rambut yang diikat ekor kuda dan ransel kecil di punggungnya, memancarkan aura ketenangan dan fokus yang tidak ia miliki beberapa minggu lalu."Merek

  • CEO Bertopeng Giok   Jejak Pertama di Tanah Leluhur

    Perjalanan darat selama beberapa jam dari Jakarta menuju kaki Gunung Salak adalah sebuah transisi yang nyata, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara psikologis. Aspal mulus dan hutan beton yang angkuh perlahan-lahan menyerah pada jalanan yang lebih berkelok, digantikan oleh hamparan sawah hijau zamrud yang berkilauan di bawah matahari dan siluet pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara di dalam mobil sedan mewah yang dikemudikan oleh supir pribadi Kian terasa dingin dan artifisial, sangat kontras dengan udara lembap dan hangat yang merembes masuk setiap kali mereka menurunkan kaca jendela.Elara menatap pemandangan yang familier itu dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang menenangkan saat melihat kembali perbukitan dan pepohonan yang menjadi latar masa kecilnya. Namun, kelegaan itu kini dilapisi oleh lapisan tipis kecemasan. Tanah yang indah ini bukan lagi hanya sekadar rumah; ini adalah medan perang yang tidak terlihat. Setiap petak tanah yang mereka lewati kini ia

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status