Ujung pulpen itu menekan kertas, meninggalkan jejak tinta hitam yang tegas dan tak terhapuskan. Bunyinya seperti gema palu hakim yang mengetuk meja, sebuah keputusan final yang mengakhiri satu babak kehidupan dan memulai babak lain yang penuh ketidakpastian. Tangan Elara masih gemetar saat ia menarik pulpen itu, tetapi apa yang telah tertulis tak bisa ditarik kembali.
Kian pria dengan wajah giok itu mengambil map kontrak dari atas konter dengan gerakan yang lambat dan penuh makna. Ada kelegaan yang aneh dalam postur tubuhnya, seolah beban yang sangat berat baru saja terangkat dari pundaknya, hanya untuk dipindahkan ke pundak Elara. "Bagus," ujar suara terdistorsi itu. Ia kemudian membuka kopernya lagi, kali ini mengeluarkan sebuah kotak hitam ramping dan sebuah kartu berwarna platinum. Ia mendorong keduanya ke arah Elara. "Ini ponselmu yang baru. Hanya aku yang bisa menghubungimu lewat sini, dan hanya aku yang bisa kau hubungi. Nomor lamamu akan nonaktif besok pagi. Hancurkan ponsel lamamu beserta kartunya malam ini," perintahnya, setiap kata adalah paku yang menancapkan Elara lebih dalam pada realitas barunya. Isolasi adalah langkah pertama. "Dan ini," lanjutnya, menunjuk kartu platinum itu. "Gunakan untuk semua kebutuhanmu dan keluargamu. Anggap saja sebagai uang muka atas kesetiaanmu." Elara menatap benda-benda itu. Sebuah ponsel yang lebih canggih dari apa pun yang pernah ia miliki, dan sebuah kartu kredit tanpa batas. Alat-alat kebebasan finansial yang ironisnya menjadi simbol perbudakannya. Ia hanya bisa mengangguk kaku, tak mampu bersuara. Kian sepertinya tidak mengharapkan jawaban. Ia berjalan menuju pintu depan yang sebelumnya tidak bisa dibuka. Dengan satu gerakan yang mengejutkan, ia mengutak-atik sesuatu di bagian bawah pintu, dan dengan suara klik yang keras, pintu itu terbuka beberapa senti. Hembusan angin malam yang basah langsung menerobos masuk. Pria itu bahkan bisa memperbaiki pintu yang rusak. Tentu saja. Seorang Kian Alvaro tidak akan membiarkan hal sepele seperti pintu macet menghalangi jalannya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, punggungnya menghadap Elara. "Jemputan akan datang besok pagi pukul tujuh tepat. Siapkan dirimu." Tanpa menoleh lagi, ia melangkah keluar dan lenyap ditelan derasnya hujan dan kegelapan malam, meninggalkan Elara sendirian di dalam kafe yang kini terasa asing dan dingin. Elara berdiri mematung selama beberapa menit, hanya ditemani suara dengungan kulkas dan rintik hujan yang menghantam jendela. Ia menatap ponsel dan kartu kredit di atas konter, lalu ke tanda tangan basahnya di atas kontrak. Semuanya terasa seperti mimpi demam yang aneh. Perjalanan pulangnya adalah sebuah kabut. Jalanan yang basah, lampu-lampu kota yang berpendar, semua tampak normal, tetapi Elara merasa seperti hantu yang melayang melewatinya. Ia bukan lagi Elara si barista. Ia adalah properti milik seorang pria dengan rahasia mengerikan. Ia tiba di rumah susunnya yang sederhana lewat tengah malam. Aroma minyak kayu putih dari kamar ibunya menyambutnya. Dengan langkah pelan, ia mengintip ke dalam. Ibunya tertidur pulas, selimutnya sedikit tersingkap. Elara masuk dan membetulkan selimut itu, menatap wajah ibunya yang berkerut karena menahan sakit kronis. Di ruang tengah, adiknya, Laras, tertidur di atas meja belajar, dikelilingi buku-buku persiapan ujian masuk universitas. Inilah alasannya. Inilah harga dari kebebasannya. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya mengalir tanpa suara. Ia menangis bukan karena takut, tetapi karena kelegaan yang menyakitkan. Penderitaan mereka akan segera berakhir, digantikan oleh penderitaannya sendiri. Malam itu, ia melakukan dua panggilan telepon yang paling sulit dalam hidupnya. Yang pertama adalah kepada ibunya. Ia membangunkan wanita itu dengan lembut, lalu menceritakan sebuah kebohongan yang telah ia susun dengan rapi. Ia mendapatkan pekerjaan baru. Asisten pribadi seorang CEO penting. Gajinya luar biasa, dengan fasilitas yang melimpah, tetapi dengan satu syarat: perjanjian kerahasiaan yang sangat ketat. Ia harus pindah ke apartemen yang disediakan perusahaan dan mungkin akan sangat sibuk. Ibunya, dengan mata berkaca-kaca karena bangga, memeluknya erat, tidak menyadari getaran ketakutan di tubuh putrinya. Panggilan kedua adalah kepada Pak Budi. Mendengar suara hangat atasannya itu membuat hatinya terasa seperti diremas. Ia menjelaskan dengan suara bergetar bahwa ia mendapat tawaran mendadak yang tidak bisa ia tolak dan harus berhenti efektif saat itu juga. Seperti yang sudah ia duga, Pak Budi sangat pengertian, meski terdengar sedih. "Jaga dirimu baik-baik, El. Jangan lupakan kami di sini," pesan pria itu, membuat Elara harus menggigit bibirnya agar isak tangisnya tidak pecah. Setelah panggilan itu berakhir, ia memegang ponsel lamanya. Layarnya penuh dengan foto-foto kenangan, pesan-pesan dari teman-temannya, dan nomor Pak Budi. Ini adalah seluruh hidupnya dalam sebuah benda kecil. Mengikuti perintah Kian, ia membungkus ponsel itu dengan kain, membawanya ke luar, dan dengan berat hati menghantamkannya ke dinding bata di gang belakang sampai layarnya retak dan mati total. Setiap retakan di layar itu terasa seperti retakan di hatinya. Ia telah menghapus masa lalunya. Pukul tujuh pagi, tepat seperti yang dikatakan, sebuah sedan hitam mengilap tanpa merek berhenti di depan gang rumah susunnya. Lingkungan yang kumuh itu tampak begitu kontras dengan kemewahan mobil tersebut. Seorang supir berjas rapi keluar, membukakan pintu untuknya, dan memanggilnya "Nona Wijaya" dengan hormat. Perjalanan itu sunyi. Elara menatap keluar jendela, melihat pemandangan kota yang berganti dari gang-gang sempit ke jalan-jalan raya yang lebar, lalu ke kawasan elite yang dipenuhi gedung pencakar langit. Mereka tidak menuju ke gedung Alvaro Corp yang ikonik. Sebaliknya, mobil itu memasuki sebuah jalan pribadi yang mengarah ke sebuah menara apartemen tunggal yang tampak eksklusif dan dijaga sangat ketat. Pintu apartemen di lantai paling atas penthouse terbuka untuknya, menampakkan sebuah ruangan yang membuat napasnya tercekat. Ruangan itu sangat luas, dengan dinding kaca dari lantai ke langit-langit yang menyuguhkan pemandangan 180 derajat kota Jakarta. Perabotannya minimalis, mahal, dan didominasi warna monokrom—putih, hitam, dan abu-abu. Ada sebuah sofa kulit raksasa, sebuah meja kopi dari marmer hitam, dan beberapa lukisan abstrak berukuran besar di dinding. Namun, tidak ada satu pun sentuhan pribadi. Tidak ada foto, tidak ada tumpukan majalah, tidak ada pernak-pernik. Tempat itu indah, mewah, tetapi dingin dan steril seperti sebuah museum. Dan di tengah ruangan itu, membelakanginya sambil menatap pemandangan kota, berdiri Kian Alvaro. Hari ini, ia kembali menjadi CEO yang sempurna. Setelan birudongkernya pas di badan, rambutnya tertata rapi, dan wajahnya… wajahnya normal. Tampan, tajam, dan tanpa cela. Tidak ada jejak topeng giok atau penderitaan dari malam sebelumnya. Jika bukan karena ingatannya yang begitu jelas, Elara mungkin akan berpikir ia hanya berhalusinasi. "Selamat datang, Nona Wijaya," sapa Kian tanpa berbalik. Suaranya kembali normal, dalam dan berwibawa. "Mulai hari ini, tempat ini adalah tempat tinggalmu sekaligus tempat kerjamu." Elara hanya bisa mengangguk, tas kecil di tangannya terasa begitu tidak pada tempatnya di tengah kemewahan ini. Kian akhirnya berbalik. Matanya masih sedingin es. "Ada beberapa aturan dasar yang harus kau patuhi. Anggap ini sebagai orientasi pekerjaanmu." Ia berjalan pelan mengelilingi ruangan, dan Elara mengikutinya seperti bayangan. "Aturan pertama," ujarnya sambil menunjuk ke sebuah koridor panjang di sisi kanan. "Koridor itu menuju ke sayap timur penthouse. Kau tidak akan pernah, dalam kondisi apa pun, melangkah melewati pintu di ujung koridor itu setelah matahari terbenam. Tanpa terkecuali. Apa kau mengerti?" "Mengerti," jawab Elara pelan. Itu pasti tempatnya… bersembunyi. "Aturan kedua. Jadwalku adalah jadwalmu. Aku bisa meneleponmu kapan saja, dan kau harus siap. Ponsel itu harus selalu aktif dan selalu dalam jangkauanmu." "Baik." "Aturan ketiga, dan yang paling penting," ia berhenti dan menatap lurus ke mata Elara, intensitasnya membuat Elara ingin mundur. "Pertanyaanmu hanya boleh seputar pekerjaan yang kuberikan. Kehidupan pribadiku, kebiasaanku, atau apa pun yang mungkin kau lihat atau dengar di luar jam kerja, bukanlah urusanmu. Apa yang kau lihat semalam… anggap itu tidak pernah terjadi. Itu hanya… bagian dari beban pekerjaan yang harus kau tanggung dalam diam." Ia membingkai kengerian supernatural itu sebagai sebuah klausul pekerjaan yang aneh. Sebuah cara untuk menormalkan hal yang tidak normal. Kian kemudian berjalan ke sebuah meja kerja dan mengambil sebuah tablet. Ia menyerahkannya pada Elara. "Ini tugas pertamamu," katanya. "Di dalamnya ada semua informasi tentang jadwal pribadiku, daftar kontak bisnis, preferensi makanan, alergi, hingga nama semua anggota dewan direksi dan keluarga mereka. Hafalkan semuanya sebelum makan siang. Aku tidak suka mengulang." Ia kemudian berjalan menuju koridor lain, menuju sayap barat. "Kamarmu ada di ujung lorong ini. Pelayan akan mengantarkan barang-barangmu nanti. Jangan mengecewakanku, Elara." Setelah mengatakan itu, ia pergi, meninggalkan Elara sendirian di tengah ruang tamu raksasa yang sunyi. Tablet di tangannya terasa dingin dan berat. Ia berjalan ke dinding kaca, menatap hamparan kota yang luas di bawahnya. Dari sini, dunia tampak begitu kecil. Ia telah mendapatkan segalanya untuk keluarganya, sebuah pemandangan dari puncak dunia. Tetapi ia belum pernah merasa sekecil, sesendiri, dan seterpana ini seumur hidupnya. Sangkar emasnya terasa begitu luas, namun dindingnya tak terlihat dan tak bisa ditembus. Pagi pertamanya baru saja dimulai.Helikopter hitam itu mendarat tanpa suara di sebuah lembah kecil yang tersembunyi di kawasan Puncak, Cisarua. Saat pintu geser terbuka, udara yang langsung menyergap mereka begitu berbeda. Jika Jakarta adalah napas panas dari mesin dan ambisi, dan Ciptagelar adalah udara tanah yang sarat dengan bahaya, maka Puncak adalah embusan nap
Fajar baru saja akan merekah, namun di dalam penginapan terpencil itu, tidak ada satu pun dari penghuninya yang tertidur. Pengetahuan akan tenggat waktu tiga minggu yang mereka miliki terasa seperti beban fisik, menekan udara di sekitar mereka dan membuat setiap detik terasa berharga sekaligus menyiksa. Mereka tidak lagi hanya melawan sebuah konspirasi, mereka kini sedang berlomba melawan pergerakan langit."Perpustakaan Senja," ulang Kian, suaranya pelan namun bergema di keheningan pagi buta. Ia menatap Elara, mencari kepastian. "Hanya itu petunjuk yang kita punya?"Elara menghela napas, mencoba menggali lebih dalam lagi ke sudut-sudut ingatannya yang kabur. "Hanya itu, Tuan. Nenek hanya menyebutnya sekali atau dua kali saat aku masih sangat kecil. Bukan sebagai tempat yang nyata, lebih seperti sebuah dongeng. Dia bilang 'si penjaga buku' adalah kerabat jauh dari garis keturunan ibu, seorang pria yang sangat tua, lebih tua dari seharusnya, dan tinggal di sebuah tempat
Perjalanan kembali dari Lembah Tujuh Bintang terasa jauh lebih berat daripada saat berangkat. Setiap langkah terasa membebani, bukan karena kelelahan fisik semata, tetapi karena bobot pengetahuan yang baru saja mereka peroleh. Hutan yang di pagi hari terasa magis dan penuh kehidupan, kini terasa mencekam dan opresif. Setiap bayangan
Keheningan yang mengikuti pernyataan Elara terasa begitu pekat, seolah udara di lembah itu sendiri ikut menahan napas. Realisasi mengerikan itu menggantung di antara mereka: mereka tidak sedang menghadapi seorang pebisnis serakah, tetapi seorang fanatik yang berencana melepaskan bencana.Kian adalah yang pertama kali memecah kebekuan. Reaksinya bukanlah kepanikan, melainkan fokus yang dingin dan tajam. Naluri sang jenderal mengambil alih sepenuhnya. Dengan gerakan lembut namun tegas, ia menarik Elara menjauh dari batu hitam itu. "Jangan sentuh lagi," perintahnya pelan, matanya memindai lingkungan sekitar, waspada terhadap ancaman yang tak terlihat.Ia mengeluarkan sebuah multi-alat dari sakunya. Dari salah satu kompartemennya, ia mengambil sebuah penjepit kecil dan sebuah tabung sampel steril. Dengan presisi seorang ahli bedah, ia mendekati batu itu dan dengan hati-hati mengambil sampel dari cairan hitam kental yang sudah sedikit mengering di sisinya. Ia memasukkannya
Fajar di perbukitan Ciptagelar adalah sebuah entitas yang sama sekali berbeda dari fajar di Jakarta. Tidak ada gedung pencakar langit yang menghalangi cahaya pertama, hanya kabut tipis yang melayang di atas pucuk-pucuk pohon, mengubah sinar matahari pagi menjadi selubung keperakan yang magis. Di dalam keheningan yang hanya dipecah oleh suara serangga hutan, Elara dan Kian sudah bergerak. Mereka adalah dua bayangan yang menyelinap keluar dari penginapan, meninggalkan jejak embun di atas rerumputan.Pakaian mereka adalah cerminan dari misi mereka. Setelan mahal dan sepatu kulit telah berganti dengan celana kargo berwarna zaitun, kaus menyerap keringat, dan sepatu bot trekking yang kokoh. Kian, tanpa jas dan dasinya, tampak lebih liar dan berbahaya, otot-ototnya yang terbentuk dari disiplin bertahun-tahun terlihat lebih jelas. Elara, dengan rambut yang diikat ekor kuda dan ransel kecil di punggungnya, memancarkan aura ketenangan dan fokus yang tidak ia miliki beberapa minggu lalu."Merek
Perjalanan darat selama beberapa jam dari Jakarta menuju kaki Gunung Salak adalah sebuah transisi yang nyata, bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara psikologis. Aspal mulus dan hutan beton yang angkuh perlahan-lahan menyerah pada jalanan yang lebih berkelok, digantikan oleh hamparan sawah hijau zamrud yang berkilauan di bawah matahari dan siluet pegunungan yang membiru di kejauhan. Udara di dalam mobil sedan mewah yang dikemudikan oleh supir pribadi Kian terasa dingin dan artifisial, sangat kontras dengan udara lembap dan hangat yang merembes masuk setiap kali mereka menurunkan kaca jendela.Elara menatap pemandangan yang familier itu dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan yang menenangkan saat melihat kembali perbukitan dan pepohonan yang menjadi latar masa kecilnya. Namun, kelegaan itu kini dilapisi oleh lapisan tipis kecemasan. Tanah yang indah ini bukan lagi hanya sekadar rumah; ini adalah medan perang yang tidak terlihat. Setiap petak tanah yang mereka lewati kini ia