KRIINGG!! KRIINGG!! KRIINGG!!
Suara alarm ponsel yang semalam Ardi pasang terdengar nyaring memenuhi seluruh ruangan kamarnya. Dia hanya Beringsut-ingsut karena risih dengan suara alarm tersebut. Anak laki-laki, yang usianya sekitar empat tahun terbaring di samping Ardi, segera beranjak untuk duduk di atas tempat tidurnya sambil mengumpulkan beberapa nyawanya yang sempat hilang.
Rehan Raditya Mubarok, putra pertama Ardi Raditya Mubarok. Ibunya meninggal bertepatan saat dia lahir, kini dia hidup dengan satu ayah yang sangat menyayanginya.
"Yah! Bangun udah jam lima." seru Rehan sambil mengoyang-goyangkan tubuh ayahnya.
"He-em" Ardi hanya berdeham. Namun, setelah tubuhnya terus di goyang-goyangkan oleh Rehan, dia segera bergegas bangun dan mencium kening putranya. "Iya nih! Ayah bangun. Yuk! Cuci muka lalu wudhu, abis itu! Kita sholat." Ajak Ardi yang langsung turun dari tempat tidurnya.
"Yah! Gendong." pinta Rehan sambil mengucek-ngucek matanya dengan kasar.
"Manjanya anak satu ini." gumam Ardi sambil mengangkat tubuh putranya.
Setelah selesai berwhudu dan sholat subuh. Ardi menyuruh Rehan untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke pasar. Mereka berdua hidup serba berkecukupan, dengan Ardi yang menjualkan sayuran milik teman dari kakek dan neneknya.
Dulu Ardi merupakan seorang anak yatim piatu, yang di adopsi pasangan lansia ketika berusia dua puluh empat tahun. Saat kecil di panti asuhan, Ardi selalu di hina karena kekurangan fisiknya yaitu di kaki.
Dia selalu berjalan dengan terpincang-pincang, karena sebuah insiden kecelakaan ketika dia berusia tujuh tahun. Saat itu dia menolong seorang anak kecil yang hampir tertabrak sebuah mobil yang malah mencelakakan dirinya sendiri, itu membuat kakinya terlindas oleh ban mobil dan berakhir dengan dirinya sekarang.
Pernah, saat itu ada pasangan muda yang mau mengadosinya ketika Ardi berumur sepuluh tahun. Namun naas, suami dari pasangan itu malah menolak Ardi karena cara berjalanya yang terpincang-pincang.
KEMBALI KE MASA LALU.
"Mah! Papah enggak mau punya anak yang cacat kaya gitu?! Mamah coba pikir, apa kata keluarga kita nanti. Mending cari anak yang lainya ajah."
"Tapi pah! Anak itu mirip sama almarhum ayah mamah?!"
"Pokoknya papah enggak mau?! Kalo mamah terus maksa mamah nanti yang urus segala kebutuhanya dia."
................
"Rehan udah siap belum?!" Sahut Ardi dengan duduk di atas sepeda tua milik almarhum kakek sambungnya yang siap di gayuh.
"Udah" jawab Rehan yang keluar sambil merapikan bajunya untuk di masukan ke dalam celananya. Dengan sigap, Ardi membantu anaknya memasukan baju yang terlihat kebesaran.
"Sudah siap!? Ayuk kita berangkat."
Ardi mengayuh sepeda Onthel tuanya dengan kecepatan sedang. Sambil menikmati momen angin pagi yang menerpa lembut wajahnya.
"Yah! Boleh aku berdiri?"
"Udah duduk ajah. Bahaya, udah pernah jatuhkan?!" jawab Ardi yang memperingatkan. Bukanya menurut, putra kecilnya malah langsung berdiri di jok tempay duduknya dan itu membuat keseimbangan Ardi sempat terganggu akibat terkejut.
Dengan sepontan dia memutar tanganya untuk menyanggah tubuh Rehan agar tidak terjatuh. Putra kecilnya yang tidak menghiraukan kecemasannya, cuma tertawa karena larut dengan imajinasinya sendiri.
Ardi mendesah pelan, membuang pemikiran negatifnya. Nyatanya, dia lebih suka dan nyaman mendengar anaknya bisa tertawa akibat hal kecil ini.
Dengan tersenyum tipis dia terus mengayuh sampai tiba di tempatnya untuk mencari nafkah. Saat mereka sampai, Ardi segera berhenti dan memarkirkan sembarang.
"Ada apa ini?!" tanya Ardi terkejut.
"M-mas!!" sahut seseorang, saat menyadari kedatangan Ardi. Ardi segera menoleh, dan mendapati Pakde Sadi putra pertama sahabat Kakeknya dulu.
"Ada apa ini Pakde. Kok! Tokonya di bongkar?!" tanya Ardi panik.
"Rukonya sudah kami jual Mas Ardi, mas tau sendiri bapak saya harus berobat di jakarta. Seluruh rumah sakit di Jogja sudah angkat tangan semua mas! Dokter menyarankan untuk di larikan ke Kota."
"Jadi, karena biaya! Kami sekeluarga sepakat untuk jual ruko ini mas. Nah ini?! Ada lebihan buat mas, karena sudah bantu usaha kami selama ini. Saya juga mohon maaf lupa mengabari mas Ardi."
Pakde Sadi menyodorkan beberapa uang ke Ardi. Dengan lemas karena sedikit syok Ardi menerima sejumlah uang tersebut sambil tersenyum getir.
"Terima kasih Pakde. Kalau begitu saya tinggal nih?!"
"Iya silahkan. Oh iya, ini sayuran yang masih seger tolong di bawa! Kalau kurang tinggal ambil aja terserah mas."
"Oh iya, sekali lagi saya berterima kasih Pakde." Sahut Ardi sambil menjabat tangan Pakde Sadi dengan sopan. Dia segera berbalik, dengan perasaan pahit yang masuk menjamah pikiranya.
"Rehan Nak!? Salim ke Pakde, kita mau balik." seru Ardi, sambil melihat anaknya yang tengah bergurau dengan teman sesama penjualnya.
"Loh, Mas udah mau balik yah?!" tanya Arifin teman sesama penjual yang terkejut saat anak yang tengah asik di candainya di panggil.
"Iya nih! Oh iya, pamit yah. Mungkin seterusnya saya gak jualan lagi."
"Loh kok bisa?!"
"Iya, pemilik toko sudah menjual ruko sama barang jualanya untuk berobat."
"Aduh mas.. Enggak ada sampean bakalan sepi nih."
"Yah, mau gimana lagi. Udah ya saya pamit." Ardi lalu menoleh ke arah Rehan yang tengah di berikan beberapa lembar uang oleh Pakde Sadi. Terlihat, Pakde Sadi memberikan beberapa nasehat kepada anaknya untuk tidak bandel dan nurut kepada orang tuanya.
Melihat Rehan yang tersenyum polos, membuat rasa sesak di dadanya semakin berat dan sakit. Bayangan negatif tiba-tiba muncul di pikiranya, namun kenyataan pahit ini. Harus ia telan sendiri.
Dia mengelus kepala anaknya dengan lembut, setelah berlari dari tempat Pakde Sadi menuju ke arahnya.
"Rehan mau makan Bakpia enggak?!" tanya Ardi penasaran.
"Mau!? Tapi Yah, ini pake uang Lehan aja. Kata Pakde, ayah nanti enggak jualan sayur lagi. Berarti nanti ayah enggak punya uang dong, kalo beliin Lehan Bakpia. Nih?!" seru Rehan sambil tersenyum polos, menyodorkan selembar uang seratusan yang telah di berikan Pakde Sadi tadi.
Hati Ardi semakin sakit, mendengar pernyataan yang mengejutkan dari anaknya. Dia mengigit bibir bawahnya dengan keras.
Ardi berjongkok untuk menyamai tinggi anaknya. "Uang ini untuk Rehan simpen, ayah ada uang kok." jawab Ardi dengan lembut.
"Yaudah. Nanti Lehan simpen aja buat ayah." seru Rehan sambil tersenyum bangga.
Arifin yang sudah paham dengan keadaan Ardi. Ikut sedih, setelah melihat perbincangan sahabatnya. Dia menuju ke arah Ardi sambil menyelipkan beberapa uang ke kantong Ardi.
"Apa ini mas?!" tanya Ardi terkejut.
"Udah, buat rehan beli Bakpia." bisik Arifin sambil menepuk pundak sahabatnya dengan santai.
"Kalau begitu makasih nih mas. De, salim ke Om Arifin juga." setelah Rehan selesai menyalami Arifin. Mereka kembali menaiki sepeda Onthel tua mereka dan langsung mengayuh pergi.
Arifin, menggeleng-gelengkan kepalanya karena ikut bersedih dengan keadaan sahabat sesama penjual sayur seperti dirinya.
................
Di tengah jalan saat Ardi masih mengayuh sepedanya. Dia terkejut karena Rehan tiba-tiba menepuk pelan punggungnya di belakang.
"Ayah. Kenapa ayah diem aja?! Dari tadi Lehan ngomong ayah diem aja?!"
"Eh, maaf Rehan ayah tadi enggak denger. Kenapa?!"
"Lehan mau beli tas kayak itu!?" seru Rehan sambil menunjuk ke arah anak yang tengah menggendong sebuah tas berwarna merah yang berlogo Adidas.
"Iya.. Nanti ayah beli yah!? Tapi nanti, hari ini kita beli Bakpia oke."
"Iya ayah." jawab Rehan sambil mengertkan kembali pelukanya ke Ardi.
Ardi mengeluarkan nafas berat cukup panjang, dia bingung entah harus apa yang akan ia perbuat seterusnya. Namun, dalam hati dia menguatkan dirinya dengan berkata saya pasti bisa. Dia berkali-kali melafazkan BISMILLAHIRROHMANIRROHIM, dalam hatinya berkali-kali.
Hari pertama untuk menjajahkan susu kedelai buatanya membuat Ardi sedikit gugup. Dia sudah sebisa mungkin membuat rasa susu kedelai buatanya, terasa berbeda di mulut orang yang akan membelinya nanti.Dia memberikan secara cuma-cuma kepada beberapa tetangga terdekat, untuk komentar kekurangan apa, yang ada di susu kedalinya ini. Dia sangat bersyukur, karena kebanyakan orang-orang yang telah mencicipi susunya itu memberikan tanggapan rasa yang positif alias enak."Rehan udah siap?!" tanya Ardi penuh semangat."Udah ayah." jawab Rehan sepontan.Dengan modal kecil yang ia terima kemarin. Ardi dengan tanpa berputus asa, mencari-cari dan meminta saran kepada teman-temanya usaha apa yang cocok untuk dirinya saat ini.Setelah menemukan usaha yang menurutnya cocok. Dia meracik sedikit rasanya agar nanti ketika di minum, akan berbeda dengan susu kedelai kebanyakan.Dengan yakin, Ardi menj
Tanpa Ardi percayai. Besok dia akan mulai bekerja di perusahaan ternama di indonesia. PT Harapan, PT yang termasuk perusahaan industri dan pangan yang cukup besar di indonesia.Memiliki enam puluh cabang yang tersebar luas kepenjuru kota di indonesia. Salah satunya di Jogja tempat kelahiran Ardi sekarang. Seragam kerja langsung datang setelah mendapatkan kabar di terima di perusahaan tersebut, sorenya langsung di antar oleh kerabat Arifin yang menjabat sebagai ketua Cleaning Servis di sana."Mas Ardi nanti di tempatkan khusus loh mas?! Mas cuman membersihkan kantor CEO di sana, dan yah. Beruntungnya Mas Ardi, nanti mas bisa di kenal sama Ibu Lia."Ardi terdiam untuk beberapa saat. 'Apa orang cacat seperti ku tidak masalah yah! Jika bekerja langsung di hadapan bossnya?!' batin Ardi kurang percaya diri."Mas?!" sahut kerabat Arifin sekali lagi."Eh iya, Mas.""Jangan panggil mas terus mas Ardi. Saya oranganya kurang nyamanan jika di panggil mas."
"Kenapa anda menatap saya seperti itu?!" bentak Lia."Maaf bu, saya hanya terpukau dengan kecantikan ibu.""Kau kira! Dengan berkata seperti itu aku nanti akan menyukaimu?! Sejujurnya tidak ada satu wanita normalpun yang mau dengan seorang lelaki, yang untuk berjalan saja kesusahan."Ilham memberikan sebuah isyarat untuk diam. Ardi akhirnya paham, kenapa banyak Cleaning cervis yang bekerja di ruangan CEO ini sering di ganti. Ardi menduga jika semua Cleaning Cervis itu di pecat tiba-tiba karena tuan mereka tidak suka.'Aku, lain kali harus berhati-hati.'"Ingat jangan bicara sembarangan, jika masih ingin bekerja di sini." Lia kembali mengingatkan dengan ancaman khasnya. Tatapan mendominasi Lia, sunghuh membuat Ardi ketakutan."Sekrang mulailah bekerja!? Pak Ilham anda boleh segera pergi dari ruangan ini.""Baik bu." jawab Ilham dengan langsung pergi meninggalkan k
"Supaya adik enggak marah lagi. Kakak harus apa?" Lia terus merayu, mencoba membujuk Rehan agar Rehan tidak menjauhinya."Kakak jangan marahi ayah lagi." jawab Rehan sambil berlari ke arah belakag kaki Ardi untuk bersembunyi. Meskipun dia masih kecil, perasaan malu pada orang lain bisa ia rasakan. Dia sangat takut meminta sesuatu dari orang yang baru ia kenali."Iya.. Kakak janji enggak akan marahin ayahmu lagi." Lia mengulurkan jari kelingkingnya, sebagai tanda jika Lia menyetujui permintaan Rehan. Ardi, membimbing Rehan untuk menerima ikrar janji keduanya.Setelah saling mengaitkan jari kelingking, akhirnya Rehan mau menerima eskrim pembelian Lia. Ardi lalu ijin untuk pamit, agar memikirkan kesalahanya hari ini, dan di kemudian hari dia tidak melakukan kesalahan lain lagi.Setelah Lia kembali masuk ke ruanganya. Pandagan mata, yang sedari tadi iri dengan sikap Lia terhadap putra Ardi, ada yang berpikir besok
Jam menunjukan pukul 00:21 WIB. Ardi beranjak dari tidurnya, dia pergi ke kamar mandi mengambil air untuk berwhudu dan sholat tahajud. Di tengah sujud terakhir, Ardi memperpanjang waktu sujudnya.Dia menangis dan bersimpuh pasrah akan hidupnya. 'Sesungguhnya ibadahku, dan sujudku, hidupku, serya matiku hanya untuk mu ya Tuhan. Maafkanlah hamba yang lemah akan semua cobaan yang telah kau beri. Kuatkanlah hambah untuk lebih pasrah dan berserah diri.'Di pengakhir doanya dia mendoakan masa depan Rehan, agar lebih baik. Ardi yakin, suatu saat nanti. Hidup Rehan pasti akan berbeda dengan dirinya.................Di pagi hari, seperti biasa Ardi datang paling pertama di tempat kerja. Dia membersihkan semua ruangan atas dan bawah, dengan telaten dan sabar."Kenapa kamu mengerjakan semuanya sendirian?" Lia yang tiba-tiba datang pagi, terkejut dengan
Lia menelvon ke Ardi, setelah mendapatkan kabar jika Ilham mengalami kecelakaan. Setelah sadar, Dia langsung menceritakan kesalahanya dan ingin bertemu dengan Ardi untuk meminta maaf.Lia menanyakan prihal kebencianya kepada Ardi dengan alasan apa? Padahal dia sendiri yang merekomendasikanya. Ilham bercerita dia dan rekan-rekan kerjanya yang lain, sangat iri dengan kedekata Ardi dengannya.Setelah memahami situasi, Lia pergi duduk di ruang tunggu. Dia juga merasa aneh dengan sosok Ardi, biasanya dia akan bersikap sangat dingin kepada seorang pria. Namun, bukan hanya Rehan saja yang membuat hatinya suka.Sosok Ardi pun mampu membuatnya cukup nyaman, karena dia tidak seperti lelaki kebanyakan. Hampir semua lelaki yang mendekati Lia, pasti akan berpikiran buruk terhadapnya.Banyak dari mereka yang hanya memandang harta miliknya saja. Jika seorang lelaki itu tau sosok asli Lia, pasti mereka akan berpura-pura sok peduli dan perhatian. Itulah kenapa Lia merasa risi
Ketika jam menunjukan 06:34 WIB, Ardi telah sampai di perusahaan. Di sana, Lia juga sampai dan mengajak Ardi serta anaknya untuk ikut ke rumah sakit. Lia memberikan sebuah kejutan kepada Rehan."Adik, tutup mata dulu! Satu.. Dua.. Tiga.." saat Rehan membuka kedua matanya, dia tersenyum puas. Tanpa rasa malu, Rehan langsung memeluk tubuh Lia dengan tiba-tiba.Ardi yang melihat itu panik, dia segera menasehati putranya."Nak.. Jangan kayak gitu.." belum selesai Ardi berkata Lia segera memotongnya."Udah, biarin aja. Rehan mau duduk di mana? Di depan sama kakak! Atau di belakang sama ayah?""Sama kakak." dengan antusias, Lia segera membukakan pintu. Rehan sudah merasa sangat akrab dengan Lia, dia sudah merasa bahwa Lia bukanlah orang asing baginya.Rehan terus bertanya di setiap jalan, dengan riang. Namun, Lia justru merasa lebih senang dan nyaman dengan suasana ini. Beda dengn Ardi yang melihat dari belakang, dia justru merasa kurang nyaman. Dia mer
Lia terus memasang wajah kesal di dalam mobil. Setelah kedatangan Joong Won, Lia langsung pergi ke asal masalah kemarin. Dia mendatangi rumah ibunya yang kini menikah dengan lelaki selingkuhanya.Ayah Lia sangat ketat dengan agama. Dulu ibu Lia, sering di tampar oleh almarhum ayahnya. Lia yang dulu tidak memahami situasi, akhirnya sangat benci dengan ayahnya yang hanya memikirkan masjid dan yayasan Madrasah yang ayahnya kelola.Tapi setelah ibu Lia tiba-tiba kabur dari rumah, dan menikah dengan selingkuhanya. Lia akhirnya sadar jika yang selama ini ayahnya lakukan itu ternyata benar.Almarhum ayah Lia, sudah mengetahui istrinya yang sudah berbuat serong dengan laki-laki lain. Dia memarahi ibunya karena kasian dengan Lia yang masih kecil, sudah beberapa kali ayahnya, meminta ibu Lia untuk tidak melanjutkan hubungan terlarang itu dengan bahasa yang cukup baik.Bahkan almarhum ayahnya berjanji akan menceraikanya,