"Hey, Iswari kenapa mengintip jendela terus menerus?" tanya James Maxwell suaminya.
Sedari tadi Ibu Darell tak henti-henti memandang keluar jendela ruang tamu. Walaupun sejauh pandangan matanya hanya terlihat halaman rumahnya saja.
"I am waiting for her, Honey," jawab Ibu Darell.
"Who? Kirana?"
"Ya, seharusnya dia sudah di sini sekarang," jawab Ibu Darell yang terlihat khawatir.
"Mungkin Darell mengajaknya mampir ke restoran atau ke kantornya dulu, tak perlu berlebihan seperti itu!"
Ibu Darell mengerutkan dahinya. Ia tak setuju dengan pendapat suaminya. Sejak semalam Darell berusaha menolak mentah-mentah perjodohannya, dan putranya terlihat enggan untuk bertemu dengan Kirana.
"Sepertinya tidak mungkin Darell mengajaknya pegi. Sejak tadi wajahnya mengisyaratkan keterpaksaan saat diminta menjemput Kirana di stasiun."
"Mungkin dia berubah pikiran karena sudah bertemu."
"Sepertinya tidak," Iswari tampak bersikeras.
"Tak satupun dari mereka berdua mengabariku. Aku sudah coba hubungi Darell maupun Kirana tapi tak ada dari mereka yang menjawab teleponku. Aku bingung bagaimana menyampaikan hal ini pada Mas Ridwan."
"Jadi Ridwan pun tidak tahu?"
Ibu Darell menggelengkan kepalanya. Kekhawatiran jelas tergambar di wajahnya.
Tak seberapa lama ponsel yang berada dalam genggaman Iswari pun berbunyi. Kedua mata wanita paruh baya itu pun berubah sedikit cerah saat mendapati nama Kirana pada layar benda pipihnya.
"Waalaikumsalam Kirana, kamu dimana Nak?"
...................
"Iya, itu rumah Budhe."
Ayah Darell mengangkat alisnya saat menyadari perubahan di raut wajah istrinya. Sepertinya terjadi sesuatu yang serius dalam pembicaraannya dengan putri sahabatnya.
"Oh ya sudah, tunggu saja di situ biar Budhe keluar," tutup Iswari mengakhiri pembicaraan.
Wanita yang masih terlihat lincah itu pun segera melangkah cepat menuju pagar depan rumahnya. Perlu sedikit waktu lebih untuk menuju kesana lantaran halaman rumahnya yang cukup luas. Mungkin jaraknya sekitar lima belas meter dari beranda menuju pagar.
Sementara James keheranan melihat apa yang dilakukan istrinya setelah mendapatkan panggilan dari Kirana. Pria yang masih terlihat gagah itu pun memutuskan mengikuti Istrinya.
***
Dua jam sebelumnya ....
Kirana menatap jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Gadis itu terlihat lelah dan sedikit gelisah.
Beberapa kali ponselnya berbunyi baik itu telepon masuk ataupun pesan dari dua orang yaitu Budhe Iswari dan juga Ayahnya. Sengaja Kirana tak menjawab panggilan dan pesan mereka karena tak ingin membuat khawatir.
Sementara pesan atau panggilan dari orang yang ditunggu-tunggu olehnya tak kunjung tiba. Dua kali Kirana menelepon Darell namun tak juga diangkat. Beberapa kali dia mencoba mengirim pesan pada pemuda Maxwell tapi tetap tak ada balasan.
"Apa Mas Darell sibuk ya?" pikir Kirana.
"Ah Mas Darell kan direktur, wajar kalau kesibukannya banyak. Siapa tahu ada rapat penting jadi tak bisa menjemputku bahkan lupa memberitahuku," pikirnya lagi.
Kirana pun segera memainkan ponselnya, mencoba untuk mencari alamat Budhe Iswari yang diberikan padanya beberapa waktu lalu. Kemudian dia membuka aplikasi taxi online untuk mengantarnya ke rumah orang tua Darell.
Begitulah Kirana, tak ingin merepotkan orang lain. Diundang ke rumah keluarga Maxwell saja dia sudah cukup senang.
Kirana memperhatikan cincin berlian yang melingkari jari manisnya. Cincin yang beberapa waktu lalu diberikan oleh kedua orang tua Darell sebagai tanda lamaran untuknya. Kemudian berjalan keluar menunggu taxi onlinennya.
Sebuah mobil karimun berhenti tepat di depan Kirana. Seorang pria tampak menurunkan kaca mobilnya sambil memperhatikan ponsel yang dia ambil dari samping kemudinya.
"Mbak Kirana?" tanyanya dari dalam mobil.
"Iya," jawab Kirana.
Sopir taci online itu pun keluar dan membantu Kirana menyimpan barang bawaannya di bagasi.
"Masih jauh ya Mas?" tanya Kirana.
"Lumayan sih Mbak bisa satu jam lebih perjalanan kalau nggak macet, tapi kalau macet bisa dua jam," terang sopir Taxi Online.
"Mbak baru pertama kali ke sini?"
Kirana mengangguk, mereka pun mulai mengobrol ringan. Menghilangkan rasa bosan selama perjalanan.
Tanpa disadari Kirana, mobil lamborghini Huracan hitam baru saja memasuki pelataran parkir khusus stasiun. Seorang pria tampan berdasi keluar tepat di saat mobil karimun yang ditumpangi Kirana mulai menjauh dari stasiun.
Pria tampan itu terlihat berkeliling ruang tunggu stasiun dan mencari sosok Kirana. Mencoba mengunjungi gerai makanan dan juga cafe, menduga mungkin gadis itu lapar dan mampir ke sana namun hasilnya nihil. Sambil berkacak pinggang ia pun kembali melayangkan pandangan ke sekeliling.
"Huft sial, kemana dia ya?" keluh pria bermata Hazel sambil mengacak-acak rambutnya.
Kemudian dia melangkah menuju pusat informasi dan meminta bantuan petugas untuk memanggil Kirana agar menemuinya di pusat informasi.
Petugas segera memanggil nama yang dicarinya. Menyebutkan bahwa Kirana Maheswari ditunggu Darell Antonio Maxwell di ruang informasi. Petugas pun mengulangi informasi sebanyak tiga kali dan Darell menunggu selama tiga puluh menit namun tak ada jawaban.
Darell mencoba menghubungi ponsel Kirana berulang kali namun sama sekali tak ada jawaban.
"Huh, nyusahin aja belum apa-apa udah ngambek," gerutunya sambil menyimpan kembali ponselnya.
Pria bertubuh tegap itu akhirnya meninggalkan stasiun dan bermaksud menyusuri jalanan di sekitar stasiun barangkali menemukan Kirana di sana.
"Mungkin dia cari makan di luar, minder kali makan di cafe dalam stasiun. Biasanya harganya kan suka beda dengan yang di luar sana," cibir Darell.
***
Mobil yang ditumpangi Kirana terus membelah jalanan ibukota. Gadis itu terlihat lelah dan lapar. Semenjak tadi ia hanya menghabiskan kue bolu dari Bu Hadi saja.
Kirana tak berani beranjak dari ruang tunggu, takut kalau-kalau Darell datang dan kebingungan mencarinya. Namun ternyata pria yang ditunggunya tak kunjung datang. Kirana berpikir pekerjaan Darell begitu menyita waktu hingga tak sempat menjemput bahkan memberitahunya.
"Sudah sampai, Mbak," tegur sopir begitu tiba di alamat yang tertera di aplikasi.
Kirana menengok ke samping, sebuah bangunan megah bak istana berdiri kokoh. Jujur ia merasa bergetar melihat bangunan itu, tak menyangka kalau calon mertuanya orang yang sangat kaya.
"Ini rumah Budhe Iswari?" batinnya.
Kirana mencoba untuk mengambil ponsel yang disimpan dalam tas ransel yang ada di sampingnya. Kemudian mencocokkan alamat yang diberikan dan mengingat nama perumahan yang ia masuki. Lalu memperhatikan nomor rumah yanh tertera di pagar B-9, semuanya sama.
Mobil yang ditumpanginya sempat berhenti di gerbang perumahan untuk menjalani pemeriksaan dengan petugas keamanan.
"Eh iya, " jawab Kirana kikuk kemudian mengeluarkan sejumlah uang sesuai dengan tarif yang berlaku dan memberikannya pada sopir Taxi Online.
Kirana pun mengambil barang-barangnya yang sudah diturunkan oleh sopir taxi online.
"Mbak, kembaliannya," sopir itu menyerahkan selembar uang sepuluh dan dua ribu pada Kirana.
"Ambil saja, Mas."
"Makasih ya Mbak, permisi!" pamitnya sambil berlalu meninggalkan Kirana berdiri sendiri di depan bangunan megah itu.
Kirana memperhatikan ponselnya kembali, dan baru menyadari ada tiga panggilan tak terjawab dari Darell dan juga pesan darinya. Kirana memutuskan untuk membalasnya nanti setelah menelepon Budhe Iswari.
Seorang penjaga rumah memandangi Kirana dengan tatapan yang tak bersahabat. Kirana pun mencoba menjelaskan siapa dirinya dan tujuannya pada pekerja yang bernama Muji.
"Saya mau cari Budhe Iswari, saya diundang kesini," jelas Kirana.
Muji memandang Kirana dari atas sampai bawah dengan tatapan yang merendahkan. Pria itu kemudian berkata,
"Mbak, maaf di sini kayaknya nggak terima lowongan ART baru."
"Buka pintu dan bawa barang bawaannya masuk, Muji!" perintah seorang wanita yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
"Budhe Iswari," pekik Kirana sambil tersenyum.
Kini giliran satpam Muji yang berubah kikuk oleh teguran majikannya. Ia sungguh malu karena telah menduga Kirana adalah calon Asisten Rumah Tangga yang baru. Cepat-cepat ia membuka pintu dan mempersilakan Kirana untuk masuk dan mengambil barang bawaan gadis itu.
"Maaf ya, Mbak," ucapnya sambil mengambil kardus yang dibawa Kirana.
Kirana hanya tersenyum dan mengangguk lalu menghambur mendekat wanita paruh baya berambut pendek itu dan mencium tangannya takzim.
"Dengar Muji, dia ini calon istri dari Darell, jadi jangan sekali-sekali kamu anggap dia sebagi ART. Ingat dia ini juga bos kamu!" tegur Iswari tegas.
"Baik, Nya. Saya minta maaf."
"Sudah, Budhe nggak apa-apa," balas Kirana. Gadis itu kemudian melangkah ke arah Ayah Darell yang berusan datang menyambutnya, lalu menyalaminya.
"Kenapa kamu naik taxi online Kirana? Darell mana?" tanya Budhe Iswari sambil merangkul gadis itu.
"Tadi Kirana nggak ketemu Mas Darell Budhe, sepertinya Mas Darell banyak kerjaan. Karna sudah lewat Isya' jadi Kirana naik taxi online saja. Kasihan Mas Darell kalau nanti kalau selesai bekerja harus jemput Kirana," jawabnya santun.
"Apa? Jadi Darell gak jemput kamu?" Ayah Darell terlihat terkejut, wajah bulenya terlihat memerah karena marah.
"Ngak pa pa Pakdhe, Alhamdulillah ada taxi online, jadi Kirana nggak nyasar."
"Honey, sebaiknya Kirana biar bersih-bersih di kamarnya dulu," tambah Iswari.
"Ya, sebaiknya begitu. Oiya sudah makan Kirana?" tanya Ayah Darell.
Gadis lugu itu pun menggelengkan kepalanya.
"Ya, sudah nanti biar Budhe antar kamu ke kamar terus kamu bersih-bersih dulu dan turun ke ruang makan ya!"
"Iya Pakdhe."
Dengan diantar Ibu Darell, Kirana pun menuju kamar yang akan ditempatinya di lantai dua. Gadis itu begitu kagum melihat isi bangunan yang seperti istana. Dengan pilar-pilarnya yang kokoh. Perabotan berdesain klasik dan banyak ukiran khas jawa yang indah.
"Nah, kamar kamu di sini sayang," kata Budhe Iswari.
"Kalau kamar Darell yang seberang itu, sebelahnya kamar Audrey, adiknya Darell."
"Iya Budhe," jawab Kirana.
"Sekarang kamu mandi dan ganti baju dulu ya, nanti kita akan makan bersama, kamu mau makan apa Kirana?" tawar Ibu Darell.
"Apa saja yang Budhe siapkan nanti Kirana makan koq."
Seulas senyum tampak di wajah wanita paruh baya nan anggun ini kemudian berkata,
"Kirana sayang, di sini makanan dimasak tergantung permintaan. Ada tiga juru masak di sini, Asia, Western dan Nusantara."
Kirana membatin takjub, untuk makan di rumah saja bisa memesan seperti di restoran.
"Kalau begitu Kirana minta yang nusantara saja. Nasi goreng tidak apa-apa Budhe."
Sengaja dia memilih mrnu nasi goreng karena sangat simple. Bahannya pun tak macam-macam. Dia meyakini kalaupun ada bahan yang habis di dapur, tak akan susah untuk mencarinya.
"Cuma itu saja, Sayang?"
"Iya Budhe, dari tadi Kirana kepingin banget makan nasi goreng," jawabnya.
"Ya sudah, kamu beres-beres dulu gih, biar Budhe bilang pada juru masak. Oh iya Kirana kamu ngak ada alergi apa-apa kan?"
"Nggak Budhe."
Kirana pun segera masuk ke dalam kamar begitu Ibu Darell mendekat pada tangga. Sejenak ia mengagumi kamar tidur mewah yang ditempatinya, lalu duduk di tepi ranjang merasakan ranjang empuknya. Gadis itu kemudian mengambil ponselnya dan membalas pesan dari Darell.
[Assalamualaikum Mas Darell, maaf tadi ponsel Kirana ada di tas, jadi Kirana tidak tahu ada telepon dari Mas. Saya sudah di rumah Mas, tadi naik Taxi Online.]
Ting! Sebuah balasan masuk ke dalam ponsel Kirana.
[Kalau mau naik Taxi Online itu bilang donk! Bikin repot gue aja loe! Tau gak, gue dari tadi muter-muter nyariin loe!]
Kirana tersentak membaca balasan dari Darell. Dia tahu kalau Darell terlihat kesal, dan merasa bersalah karena lupa memberi tahunya.
[Maaf,Mas.]
Lima minggu telah berlalu semenjak insiden pesta itu. Meski saat itu sempat heboh, tapi tak ada yang membahasnya di sosial media ataupun media lainnya.Darell berterima kasih pada Stefan Gunawan, tuan rumah pesta. Ia mengultimatum akan memperkarakan siapapun yang mempublikasikan insiden di pestanya pada publik, meskipun melalui sosial media.Biar saja sampai hari ini gadis bergaun hijau dan laki-laki yang bersamanya tetap menjadi misteri. Yang ada dalam pikirannya sekarang, ia bersiap-siap memberi kejutan untuk Kirana.Darell sudah berjanji untuk mengajaknya pergi melihat menara Eifell, sebagai bentuk perayaan perceraiannya dengan Jenny. Darell yang mengerti kalau sejak dulu Kirana mendambakan pergi ke Paris."Kita berangkat sekarang?" tanyanya pada Kirana yang baru saja keluar dari kamar tidurnya.Mereka menyewa hotel di sekitar menara eifell. Menyewa suite room dengan dua kamar tidur.
Seorang wanita bergaun hijau dengan lengan tali dan punggung yang terbuka tengah berdansa dengan apik. Kulitnya yang halus dan langsat serta tubuh yang cenderung mungil membuat kaum adam penasaran siapa yang berada di balik topeng.Sayang tak seorang pun dari mereka berhasil untuk mendekatinya. Seorang pria gagah dengan setelan resmi tak henti beranjak dari sisinya. Pria itu juga tak segan-segan untuk merangkul pinggangnya yang ramping bagai biola.Kehadirannya ternyata tak hanya mencuri perhatian kaum Adam, tapi juga Hawa. Para wanita banyak yang mengaguminya tapi ada pula yang mencibirnya. Mungkin mereka iri karena tak bisa menjadi primadona pesta."Siapa dia?" tanya Stefan Gunawan si Tuan rumah pada asistennya yang berdiri di sampingnya.Asistennya hanya mengangkat bahu karena tidak tahu. Namun sebagai asisten yang setia, ia pun menawarkan diri untuk mencari tahu, siapa wanita misterius itu.Asisten Stefan
Kini Kirana pun mendekat ke arah Jenny dan menyalaminya."Selamat ya, kulihat hidupmu sudah lebih banyak berubah sekarang," kata Kirana.Jenny tak bisa membalas ucapan Kirana. Ia justru memeluk gadis itu erat dan mulai berkaca-kaca."Ini semua karena Mbak memberi kesempatan saya untuk jadi lebih baik. Mbak percaya kalau saya mampu. Terima kasih ya Mbak. Maafkan saya jika selama ini selalu menyakiti Mbak.""Yang sudah berlalu lupakan saja, sekarang yang penting hidupmu lebih baik.""Ya Mbak. Aku mengikuti saran Mbak, apartemen kusewakan dan kugunakan uangku untuk membeli pakaian sisa impor dan menjualnya secara daring.""Itu bagus sekali. Semoga kamu berhasil."Tiba-tiba saja Kirana melirik Darell dan terpikirkan sesuatu yang jahil. Ingin sekali mengetahui sampai dimana Darell bisa bertanggung jawab sebagai seorang pria."Hmm bicara soal pakaian, aku membutuhkan b
Darell tak bisa berkata-kata lagi. Kepalanya sangat pening, ia sungguh menyesal pernah terlibat dengan perempuan iblis di depannya.Juwita terus saja terisak, tak peduli lagi seperti apa bentuk riasannya saat ini. Rembesan air menghias di pipinya dan berwarna hitam, maskaranya luntur. Dia sungguh berharap belas kasihan dari Darell.Kemudian ia menangkupkan tangan di depan dada dan menatap Kirana. Berharap calon istri Bos nya dapat memaafkannya."Bu Kirana," katanya lirih."Pak James Maxwell menyerahkan semua keputusan pada Pak Darell, jangan minta padaku," jawab Kirana acuh."Pak Darell, kumohon!" pintanya, sayang Darell bergeming dan malah mengajukan pertanyaan yang lain."Apa kamu juga yang meletakkan darah ayam pada kamar mandi apartemenku?" tanya Darell menatapnya tajam.Juwita pun mengangguk, ia meminta tolong pada petugas kebersihan apartemen dan melakukannya. Juwita pun membaya
Wajah pucat Juwita mulai dipenuhi keringat. Wanita yang tadi menantang Darell pun tak lagi berani mendongakkan wajah. Cuma bisa memilin-milin kedua tangan yang ada di pangkuan."Kenapa Juwita, apakah aku salah bicara?" tanya Kirana mulai menantang.Namun Juwita bergeming, tak sepatah kata pun keluar dari bibir merahnya. Kemudian mencoba untuk menutup mulutnya dan bersiap-siap muntah. Sayangnya Darell mengerti kalau ini sandiwara."Nih, biar nggak muntah!" kata Darell menyodorkan secangkir air soda padanya.Cepat-cepat Juwita menegaknya tanpa memperhatikan air apa yang diberikan Darell. Bahkan tak ada perubahan ekspresi saat ia meminumnya.Darell melirik Kirana yang duduk di lengan kursi kanannya. Mereka pun saling mengangguk saat beradu pandang. Sama-sama mengerti dengan apa yang harus dilakukan selanjutnya."Bagaimana sekarang Juwita?" tanya Darell menyelidik."Sudah lega
Seketika pekik tawa tercipta oleh Juwita. Gadis itu mendongakkan kepala dan menantang Darell. Bibir penuh hasil rombakannya sedikit dimajukan, mencoba mencibir."Hmm, jadi Anda tidak mau mengakuinya Pak Darell? Atau Anda ingin seluruh Indonesia tahu seberapa bejat perbuatan Anda?" tantang Juwita mencoba untuk memutar balikkan fakta."Satu lagi Pak, aku masih menyimpan pakaian yang kukenakan saat pertama kali kita melakukannya. Jika Anda ngotot melakukan test DNA, maka itu akan mempermalukan diri Anda sendiri."Darell tampak sedikit memundurkan kursinya. Raut wajah yang tadinya garang perlahan mengendur. Melihat ini, Juwita pun semakin menjadi."Bapak kan tinggal nikahin saya, kalau Bapak nggak mau terus sama saya kan begitu anak ini lahir kita cerai kan beres. Anak ini bisa lahir dengan status yang jelas," tambah Juwita membuat kedua alis Darell semakin terangkat dan mata yang melebar. Ia semakit terkejut dengan permintaan Ju