“Pak Arnold,” ujar Berlian. Berlian terkesiap dengan kedatangan Arnold, apalagi saat ini Jonathan tengah bersamanya. Ia heran mengapa bisa merek bersama, apakah saling mengenal atau hanya sekedar teman bisnis.“Suster mengatakan Cinta akan pulang hari ini, kebetulan anak saya berada di rumah sakit ini. Jadi, sekalian saya mampir,” usir Arnold.“Iyah, Pak. Dokter bilang besok akan pulang. Saya berterima kasih atas semua fasilitas yang Pak Arnold berikan,” ucap Berlian. Berlian tak berani menatap Arnold, apalagi sejak tadi Jonatan menatapnya dengan tajam seolah-olah hendak menerkamnya. Lagi, Berlian bertanya-tanya tentang Jonathan yang kini bersama dengan Pak Arnold.“Oh, iya. Kenalkan ini adik saya, Jonathan.” Berlian mengangkat kepala, ia terkesiap mendengar pengakuan Arnold yang mengenalkan Jonathan sebagai adiknya. Sejak mengenalmu tidak pernah ia bertemu dengan Arnold. Memang dirinya pernah tahu jika Jonatan memiliki seseorang Kakak. Hanya saja tidak pernah tahu wajahnya.
“Aku harus cari tahu kapan Cinta lahir, jika benar apa yang aku pikirkan, jadi selama ini Berlian .... Sial!” Jonatan membanting setir ke pinggir jalan. Pikirannya kacau memikirkan hal yang tidak masuk akal. Awalnya ia mengira Cinta adalah anak selingkuhan sang kakak. Namun, kini ia malah berpikir keras tentang kemungkinan Cinta adalah anaknya. Arnold sejak tadi menghubunginya karena ia pulang tak mengabari sang kakak. Jonathan membiarkan panggilan masuk itu terus saja berdering. Kali ini Berlian berhasil membuat Jonathan berpikir keras. Apalagi saat melihat wanita itu marah seolah-olah ia merasa bersalah karena membuatnya tersinggung.“Ada apa, Kak?” Akhirnya Jonatan mengangkat ponselnya.“Kamu pulang enggak bilang, Papa menghubungi katanya ingin bicara.” Suara Arnold dari ujung ponsel. “Ada urusan penting, jadi enggak bilang. Maaf,” ujar Jonatan.Jonathan langsung mematikan ponselnya dan gegas kembali mengendarai mobilnya. Baru pertama kali ia merasa heran saat melihat Berlian,
“Iya, aku tidak harus mengatakan jika Cinta adalah anak Jonathan. Aku takut mereka merebutnya dan memisahkan dariku.” Sebuah Ketakutan yang Berlian rasakan adalah sebuah kewajaran. Jonathan akan menikah dengan wanita lain, kemungkinan jika mereka tahu tentang Cinta, pasti akan mengambilnya darinya.“Aku yang mengandungnya sembilan bulan, kenapa harus mereka yang mengambilnya.” Berlian kembali masuk ke ruangan. Ia menatap wajah sang anak, lalu berpikir seperti apa wajah Mischa yang Arnold bilang mirip dengan anaknya. Jika memang, pantas saja karena merek adalah saudara sepupu. “Bu Raya tidak pulang?” tanya Berlian.“Ibu di sini saja. Di rumah juga sepi, takut besok pulang enggak ada yang ngurusin,” ungkap Bu Raya.Wanita dengan gamis biru itu duduk di samping ranjang Cinta sembari menatap wajah anak itu. Ia merasa iba kenapa anak sekecil itu tidak memiliki ayah.“Lian, ibu maaf ibu mau tanya ke mana sebenarnya ayahnya Cinta?” tanya Bu Raya.Pertanyaan itu begitu sulit untuk
“Ee, maaf. Iya saya salah karena terburu-buru karena ada meeting.” Wanita itu merasa terpojok dan takut lalu mengakui jika dia salah. Berlian merasa aneh dengan sikap Jonathan yang terus baik padanya. Mulai dari ingin mengantarnya pulang dan saat membelanya. “Bantu Berlian merapikan itu!” titahnya.Jonatan langsung melangkah di ikuti beberapa asistennya yang sejak tadi mengikutinya dari belakang. Perlahan pria itu memperhatikan Berlian walau terlihat gengsi dan tak mau banyak bicara. “Heh, awas kamu! Aku tidak ada waktu membantu kamu merapikan ini,” ujar wanita itu. Berlian pun menarik napas, lalu menggeleng melihat sikap angkuh beberapa karyawan di perusahaan itu. Rasanya melihat karyawan kecil seperti menginjak-injak dan tak peduli. Seperti karyawan yang menabraknya tadi, sudah di marahi malah masih saja angkuh. “Berlian, kamu bawa kopi saya?” tanya Mbak Amel. “Iya, Mbak. Tapi tumpah kesenggol, nanti saya buatkan lagi.”“Ya ampun, jatuh ya. Ya sudah saya tunggu deh di
“Siapa yang membuang kamu, aku tidak pernah membuang kamu Lian. Tapi malah kamu yang berkhianat, menikah dengan orang lain dan memiliki anak. Siapa di sini yang terbuang?” Netra keduanya bersorobak, tangan Jonathan kembali mencengkeram tangan Berlian dan tidak ingin dia pergi. Deru napas begitu terasa karena jarak keduanya begitu dekat. “Kamu yang buang aku! Kamu berikan surat yang mengatakan untuk melupakan kamu dan meminta aku pergi menjauh karena kamu akan menemui wanita lain di luar negeri.” Berlian meneteskan air mata, ia tak tahan dengan semua yang ia rasa selama ini. Apalagi Jonathan mengatakan dirinya berkhianat tanpa tahu sebenarnya Cinta adalah anaknya. Lebih sakit lagi ketika dirinya harus di paksa pergi saat tahu dirinya sedang berbadan dua. “Aku tidak pernah mengirim surat apa pun sama kamu,” ujar Jonathan. “Cukup dengan semua permainan ini. Biarkan aku pergi sebelum ada yang melihat kita berdua.” Jonathan pun tersadar jika dirinya berada di lingkungan kantor. Tangan
"Mana bisa seperti itu, Cinta anakku Pak Jo." Berlian mencoba menggeser Jonathan dari kursi roda Cinta. "Ma, jangan begitu sama Om Jo. Dia kan baik, hanya mau mengantarkan kita. Cinta enggak keberatan kok," ujar Cinta lalu memandang Jonathan.Berlian menarik napas panjang, ia bingung kenapa sang anak bisa membela Jonathan. Harusnya ia menjauhkannya dari pria itu, tapi kenapa bisa dia bertemu dengan ayahnya kembali.Berlian menarik Jonatan menjauh dari Cinta, ada hal yang ingin Ia bicarakan tidak di depan sang anak."Bukannya Anda marah saat tahu saya memiliki anak, kenapa anda malah datang dan menemui Cinta?" tanya Berlian dengan berbisik."Aku sudah bilang kalau Kak Arnold meminta aku mengantar kalian. Apa salah?""Pak Arnold mengatakan bukan Pak Jo yang mengantar saya dan Cinta. Tapi sopir pribadi dia."Berlian mencoba menegaskan, lalu ia kembali berpikir apa yang sedang di rencanannya oleh pria itu. Sejak pertama bertemu saja sudah begitu menyebalkan dan bersikap dingin dan angkuh
"Jahat kamu." Berlian memukul dada bidang Jonatan. Ia merasa pria itu kejam jika membatalkan pernikahan yang sudah di impikan calonnya. Dirinya pun pernah merasakan hal itu, mendengarnya saja sudah merasa sakit.Jonatan tersenyum sinis saat tangan kecil Berlian menyentuh dada bidangnya. Entah ia merasa ada yang aneh, sesuatu yang sudah lama tidak terasa kini membuat jantungnya begitu cepat berdetak.Namun, demi menjaga kewibawaannya, Jonatan hanya mengeluarkan senyum palsu dengan sikap dinginnya."Itu urusanku, mau jahat atau tidak. Lagi pula, jangan sok tahu dengan apa yang ada di hidupku karena kamu hanya orang lama yang baru saja muncul kembali," ujar Jonathan."Aku tidak peduli, tapi sebagai wanita aku bisa merasakan juga apa yang akan di rasakan Mbak Alea jika mendengar kamu bicara seperti itu."Jonatan membenarkan jasnya, lalu tanpa bicara apa pun ia malah meninggalkan Berlian dan masuk ke mobil. Tidak lama pria itu pun langsung meninggalkan rumah Berlian."Apa semua orang kaya
"Apa mungkin Cinta benar anakku?" Jonatan mengacak-acak rambutnya. Jonatan malah berharap Cinta adalah anaknya. Namun, ia pun memikirkan bagaimana jika benar, tapi pasti akan ada pertentangan dari kedua orang tuanya. Pria itu seperti tidak sabar, berpikir jika akan melakukan tes DNA tanpa sepengetahuan Berlian. Hanya saja, semua tidak akan mudah. Namun, ia kembali berpikir jika lebih baik bicara dengan Berlian lagi dan memastikan apa benar Cinta itu adalah anaknya atau memang Berlian menikah dengan pria lain."Jo buka pintu," ujar Ferdinand dari luar.Jonathan menarik nafas, ia beranjak dari ranjang dan menghampiri pintu. Lalu membuka pintu dan terlihat sang Ayah sudah berada di hadapannya.Tanpa disuruh masuk Ferdinand pun langsung melangkah ke dalam. Ia baru saja pulang dan langsung bicara dengan Jonathan."Ada apa Papa datang ke sini?""Kamu masih bisa bertanya ada apa, sementara kamu sudah membuat kepala Papa pusing dengan mengatakan akan membatalkan pernikahan kamu dengan Alea