Jemari tangan Jonatan terus mengetuk meja bergantian. Ia masih saja memikirkan betapa bodoh dirinya saat tahu Berlian sudah memilik anak dan membayangkan dirinya mencari dan menunggu kekasihnya itu lalu berharap bisa kembali sampai ia menolak semua wanita. “Sialan kamu Berlian. Siapa yang berani menikahimu, akan kubuat hidup kalian menderita.”Jonatan kembali teringat ucapan sang ibu. Lima tahun lalu sebuah fakta yang harus ia terima walau sangat berat.“Wanita itu meminta sejumlah uang. Mungkin dia akan menikah dengan pria lain, Mama memang tidak suka dengan dia, lalu dia meminta sejumlah uang agar dia bisa pergi dari kamu.”“Berlian tidak seperti itu.” Jonatan membantah ucapan sang ibu.Lamunannya terhenti saat Alea tanpa mengetuk pintu datang masuk ke ruangannya. “Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?” tanya Jonatan.“Ya ampun Sayang, kita akan menikah. Masa aku harus mengetuk pintu atau izin masuk sama calon suami aku. Enggak mungkin, kan?” Alea sudah duduk manis di hadapan J
“Ke—kecelakaan?”Bibir Lian bergetar, ia pun langsung mematikan ponsel dan berlari mengambil tas dan izin pada Bu Hera. Berita paling mengejutkan dan membuat cemas dirinya yang sedang bekerja. “Anak saya kecelakaan Bu Hera. Tolong, izinkan saya untuk pulang,” pintanya dengan memohon. “Belum waktu untuk pulang, bisa nanti.” “Saya mohon, anak saya sakit, Bu.” Berlian kembali memohon walau sepetinya Bu Hera tidak mengizinkannya.“Ini perusahaan bukan milik nenek moyang kamu, biar saja saudara kamu yang mengurus.” Tidak bisa diam saja, ia memohon dan meminta izin pun tidak di izinkan untuk pulang. Berlian pun keluar, ia bertekad ke rumah sakit karena tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan. Melihat ruangan sepi, ia pun gegas mengambil tas dan pergi tanpa izin.“Aku enggak peduli jika kembali di pecat.” Berlian melangkah menuju lift barang dan berharap tidak ada yang melihatnya. Ia takut malah nanti di tahan karena memang menunggu jam pulang. Saat sampai di lobi, Berlian l
“Golongan darah aku O, kebetulan sekali bukan. Suster silakan ambil darah saya,” ujar pria yang baru datang. Pria itu terlihat sangat berkarisma dan tampan. Dengan jas berwarna hitam juga kemeja putihnya memperlihatkan jika dia bukan pria biasa-biasa saja. Berlian menatap pria itu lalu melirik ke arah Bu Raya. Seolah-olah ia bertanya siapa pria itu yang datang langsung mendonorkan darahnya. “Dia Pak Arnold, yang menabrak Cinta. Pak, ini Berlian ibunya Cinta.” Bu Raya memperkenalkan pria itu. “Saya Arnold, Mbak Berlian saya meminta maaf karena keteledoran sopir saya. Kami pun tidak tahu tiba-tiba Cinta berlari tiba-tiba dan terhantam mobil saya,” ujar Arnold. Berlian bergeming ia tidak tahu harus bagaimana sedangkan pria di hadapannya adalah orang yang hampir merenggut nyawa anaknya. Namun pria itu pun ingin mendonorkan darahnya, jika menolak pun dirinya tidak akan memiliki uang untuk membeli sekantong kantung darah. “Pak Arnold sudah mengurus semua administrasi, juga untuk operas
“Perusahaan yang sangat kejam, seperti pemimpinnya. Dingin dan tidak memiliki perasaan.” Berlian bergumam sendiri. Ia terus memakai karena masih kesal dengan penolakan dirinya pulang cepat.Akhirnya kondisi Cinta sudah membaik, anak perempuan itu pun sudah sadar dari tidurnya. Namun, Cinta masih merengek kesakitan, mungkin badannya yang terasa sakit dan remuk. “Kepala aku sakit,” ujar anak itu. “Yang mana Sayang?” Berlian menghampiri dan mengelus rambutnya. Melihat kondisi sang anak, mana bisa ia tega tidak cepet ke rumah sakit dan tetap bertahan di kantor demi orang-orang jahat sepeti mereka pikir Berlian. Cinta menunjukkan kalau kepalanya sakit, lalu tangan dan kaki. Mungkin wajar karena ia terpental saat tertabrak. Bersyukur masih bisa selamat. “Cinta enggak mau lari-lari lagi. Ma, Cinta janji.” Cinta menangis sesenggukan karena mengingat kecelakaan itu. “Iya, Sayang. Kamu tenang saja. Insyaallah kamu akan baik-baik saja.” Berlian mencoba menenangkan sang anak. Melih
“Aku sudah katakan jika belum siap. Kenapa kalian terus memaksa?” Tidak menyangka kali ini Jonatan begitu marah dan bicara langsung di hadapan keluarga Alea. Mereka semua terkesiap melihat pria yang selama ini diam kini bersuara dan begitu tegas. “Sayang, tenang.” Bu Santi Ibunya Jonatan menenangkan anak mereka. Emosi Jonathan masih tidak stabil, saat pulang ia menghadap masalah yang baginya tidak penting. Pernikahan yang sejak lama ia hindari malah semakin menjadi-jadi. Keluarga Alea begitu gencar ingin menjodohkan mereka apalagi mempercepat pernikahan keduanya.“Jo, jangan bersuara tinggi,” tegur sang ayah. “Aku sudah mengatakan berulang kali, tapi kalian tetap saja memaksa. Apa tujuan kalian melakukan hal ini?” Keluarga Alea bergeming, mereka tak bisa menjawab pertanyaan dari Jonatan. Raut wajah ayah Alea pun menahan emosi, hanya dia tak mau menunjukkan jika dia memang begitu emosi. “Lebih baik kita batalkan saja pernikahannya ini,” ujar Pak Ibnu. “Silakan. Itu lebih
“Maaf saya tidak bisa bicara hal itu. Saya juga meminta maaf pada Tuan Arnold jika Cinta menyinggung Anda.” Pikiran Berlian kalut, mana mungkin ia menceritakan asal usul Cinta pada orang yang baru saja ia kenal. Apalagi, pria asing yang hanya di pikir ayahnya oleh Cinta.“Oke, tidak masalah. Sepetinya saya harus pulang, besok kalau sempat saya kembali ke sini,” papar Arnold.“Eh, Tuan. Tidak usah, tidak apa-apa.” “Loh, kenapa? Saya ingin tahu kondisi Cinta, karena saya dia jadi seperti itu.”“Bukan sepeti itu, saya merasa tidak enak. Lagi pula sebentar lagi mungkin sudah boleh pulang.” Berlian menunduk, ia merasa derajatnya begitu jauh dari pria kaya raya di hadapannya.Arnold pun pamit dan meninggalkan ruangan Berlian. Lalu menuju parkir mobil. Sebelum itu, ada dua pria yang menghampirinya dengan menggunakan baju hitam.“Jaga ruangan yang saya infokan.”“Baik Tuan.”Setelah itu Arnold pun langsung masuk ke mobil dan meminta sopir untuk mengemudikan dengan cepat karena sudah sangat
“Ah mana bisa aku menikahi Alea tanpa cinta, walau untuk pelarian saja, tetap saja akan merepotkan.” Jonathan kembali bergumam.Pria itu pun membuka laptop, kembali fokus dalam pekerjaan yang telah menumpuk. Sejak kedatangan Berlian kembali di hidupnya, membuat pria itu seakan-akan tidak bisa tidur nyenyak. Satu masalah tentang pernikahan saja sudah membuat ia mumet, di tambah Berlian yang sering muncul di hadapannya.“Sayang, boleh aku masuk?” Terdengar suara manja dari balik pintu. Jonathan menepuk keningnya, kenapa bisa sepagi ini Alea sudah ada di kantornya. “Iya, masuk saja.” Alea muncul dengan penampilan sangat menarik. Cantik dengan balutan baju yang lebih sopan dari biasanya. Jonathan sering protes dengan pakaian yang sering ia kenakan. “Ini masih pagi, kenapa kamu sudah ada di sini?” tanya Jonatan sedikit tidak suka.“Aku hanya cemas tentang masalah semalam. Papa sedikit emosi, maafkan ya.” Alea seperti biasa merajuk padanya. “Aku tidak peduli, lagi pula di luar ba
Sontak Jonathan berlari saat melihat Berlian yang jatuh dari ketinggian, kini tubuhnya berhasil terselamatkan oleh bos besar itu. Netra keduanya bersorobak, walau merasa membenci Berlian, hati tidak akan bisa berbohong ketika melihat wanita itu jatuh nalurinya pun langsung bereaksi.Jonathan tersadar dari lamunan dan langsung menurunkan tubuh Berlian. Alea yang melihat hal itu merasa cemburu karena Jonatan menolong karyawannya.“Lagi-lagi kamu!” teriak Jonathan.“Terima kasih Tuan.” Berlian berterima kasih dan menundukkan setengah tubuh.“Heh, kamu lagi. Kenapa sih selalu muncul di hadapan kami, untung calon suami saya baik mau menolong kamu. Kerja itu yang benar, jangan merugikan perusahaan. Kalau kamu jatuh, pasti deh minta sumbangan dari kantor ini,” papar Alea. “Kita pergi saja. Ayo.” Tanpa melirik Berlian, Jonathan melewatinya begitu saja. Sementara, Alea mengikutinya dari belakang. Sejak tadi yang kesal adalah wanita itu.“Kenapa sih kamu menolong dia, biarin saja dia j