Share

Sosok Yang Berubah Dingin

“Kamu?”

Seketika tubuh Berlian kaku saat melihat sosok pria yang begitu amat sangat ia rindukan. Seseorang yang sejak lama menghilang dan membuat ia frustasi selama ini. Tubuh tegap itu memang tidak berubah, masih sama dengan yang ia kenal dulu.

Ia tidak pernah menyangka jika Jonathan adalah sosok pimpinan di perusahaan tempat ia bekerja. Pria itu menghilang dan tidak ada kabar setelah perpisahan sekolah. Namun, sepertinya tidak hanya Berlian yang terkejut, melihat dari sepasang mata pria itu yang sempat melebar melihat Berlian di hadapannya.

Akan tetapi, wanita di samping Jonathan tampaknya tidak menyadari hal tersebut karena tidak bisa menahan emosi.

“Kamu bisa bekerja enggak sih?” hardik Alea. “Bagaimana bisa kamu meletakkan ember ini di depan ruangan CEO?”

“Ma-maaf, Nona. Saya—“

“Halah! Apa kata maaf saja bisa membuat bajuku kering?” potong Alea lagi. Suara Alea yang kian meninggi membuat Berlian hanya bisa menunduk. “Kamu lihat tidak kalau bajuku basah? Ini mahal! Gajimu gak akan bisa membayar setengah dari harga ganti rugi.”

Sementara itu, Jonathan hanya diam menatap Berlian dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.

“Heh! Kamu dengerin saya bicara atau enggak!?”

“Nona, mohon maaf sekali lagi,” ucap Berlian berusaha menahan emosinya. Dadanya terasa sesak dan suaranya sedikit bergetar. “Apabila Anda berkenan, baju Anda bisa saya cuci dan keringkan kalau mau.”

Hanya itu yang bisa dilakukan Berlian. Ia tidak punya uang banyak untuk mengganti pakaian mahal itu pikirnya sejak tadi.

“Jangan main-main kamu!”

Berlian menghela napas. Lelah. Ia sudah dipaksa lembur ketika badannya sudah pegal-pegal dan kini masih harus menghadapi orang seperti Alea. Apalagi hal tersebut terjadi di hadapan Jonathan, sosok pria yang ternyata masih mampu menggoyahkan hatinya.

“Lalu Anda maunya bagaimana, Nona?” Akhirnya Berlian bertanya. Akan tetapi, mendengar hal tersebut justru membuat Alea semakin emosi.

“Kurang ajar kamu!”

Tangan Alea melayang dan hampir saja menampar pipi Berlian jika Jonathan tidak menahannya.

“Alea.” Suara pria itu terdengar rendah dan dingin, membuat hati Berlian berdesir nyeri. “Ayo, pergi.”

Jonatan langsung menarik Alea menjauh dari Berlian tanpa melirik ke arah wanita dengan pakaian office girl tersebut.

Kedua orang itu kemudian menghilang dari balik lift, sedangkan Berlian masih diam membisu di tempat. Apa yang sedang terjadi padanya? Takdir benar-benar membuat hatinya kembali rapuh. Pria itu tidak menegurnya sama sekali dan bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda ia mengenali Berlian. Jonathan bahkan membiarkan waita itu memarahi Berlian tepat di depannya.

Apa selama ini aku tidak berharga untuknya? pikir Belian.

Pria yang menghiasi hari-harinya kini telah bersama wanita lain yang juga memang selevel dengan derajat mereka. Alea terlihat cantik dan dari keluarga terhormat, berbeda dengan dirinya.

“Pantas saja dia meninggalkan aku, wanita itu lebih cantik dan pasti kaya raya.”

***

“Mama~!”

Rasa lelah dan letih Berlian hilang sudah dengan sambutan hangat putri kecilnya. Cinta berlari memeluk tubuh sang ibu.

“Jangan lari-lari, Sayang,” ucap Berlian.

“Cinta terlalu aktif dan pintar, Mbak Berlian,” ujar Bu Eva saat mengantar Cinta. “Ini susu dan pakaian kotornya, saya mau pulang dulu.”

“Iya, Bu. Terima kasih.”

Berlian pun menggendong Cinta masuk rumah. Walau lelah, ia bahagia melihat tumbuh kembang sang anak yang begitu pintar.

"Aduh, anak mama sudah sangat berat. Pasti makan banyak, nih." Berlian mencium pipi Cinta.

"Iya dong,* ujar Cinta.

Cinta tumbuh sehat, badannya gemuk, kuat dan cantik mirip dengan Berlian. Walau dalam keadaan susah, ia pun masih memperhatikan gizi Cinta hingga dia tumbuh kembang dengan baik.

"Makan sayur juga ya, biar tambah sehat," tutur Berlian lagi.

"Siap, Mama cantik."

Di sekolah pun Cinta aktif dan mudah memahami apa yang diajarkan. Anak perempuan Berlian itu sangat ceria dan berbaur dengan teman-temannya.

"Sama-sama cantik."

Cinta terus saja mengoceh, tapi pikiran Berlian sedang terpecah. Ia masih saja memikirkan pertemuannya dengan Jonathan tadi di depan ruangan pria itu.

Berlian begitu kecewa dengan sikap Jonathan yang seolah-olah tidak pernah mengenalnya. Sikapnya berbeda dengan Jonathan yang dulu. Kelembutan Jonatan pudar berubah menjadi sikap dinginnya.

“Aku tidak salah, dia benar Jonatan. Kenapa dia begitu dingin saat melihatku?”

Berlian merebahkan tubuh di kursi dengan memejamkan mata. Namun, bertanya kembali terbuka saat Cinta menggoyangkan tubuhnya.

“Ma, lihat aku dapat bintang dari Bu guru,” ucap Cinta. Anak itu memperlihatkan tugas menulisnya dan guru di sekolah memberikan bintang dan angka 100.

Berlian tersenyum lalu memperhatikan buku tulisan itu. Lagi-lagi pikirannya masih tidak bisa fokus dan terus saja memikirkan Jonathan.

“Mama bangga sama kamu, Sayang. Cinta harus lebih giat belajarnya.”

“Iya, Ma. Bu guru baik di sekolah, teman-teman juga.”

Berlian tersenyum senang melihat putri kecilnya tumbuh di lingkungan orang baik. Ia tidak salah memilih tempat belajar walau tabungannya harus keluar untuk mendaftarkan di sekolah itu. Hari-hari Cinta selalu ceria menceritakan tentang sekolahnya.

“Ma, Cinta mau tanya,” ujar Cinta.

“Apa Sayang?”

“Setiap hari teman-teman Cinta selalu bercerita tentang ayah mereka. Kenapa Cinta enggak punya ayah seperti teman-teman Cinta?”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Isna Nalu
penasaran diakhir ceritanya
goodnovel comment avatar
Rino No
sya suka..teruskan usaha ya.
goodnovel comment avatar
Tri Lestari Ningsih
saya penasaran bacanya thor...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status