Share

Kecerobohan Membawa Petaka

"Ma, kok Diam saja?" tanya Cinta lagi.

Berlian terkejut mendengar pertanyaan Cinta yang mungkin begitu sulit di jawabnya. Namun, ia sadar perlahan anak itu akan bertanya ke mana ayahnya. Berlian pun harus bisa menjelaskan dengan baik agar anak seusia Cinta bisa memahami kondisi yang di alami ibunya.

“Ma, kenapa Cinta enggak punya ayah?” tanya Cinta lagi.

Berlian sedikit gugup, ia bingung harus memulai dari mana. Ia hanya takut Cinta tidak paham dengan apa yang akan dijelaskan olehnya. Usia Cinta masih terlalu kecil untuk paham dengan kondisi kedua orang tuanya.

Wajah Cinta terlihat sedih, putrinya menunggu penjelasan darinya. Perlahan Berlian mengelus pucuk rambut Cinta dan mengajaknya duduk.

“Sayang, kamu punya ayah juga kok. Hanya saja kondisi kita tidak bisa seperti teman-teman kamu,” ujar Belian pelan.

“Maksud Mama apa? Cinta sama seperti mereka, punya ayah juga. Kenapa enggak bisa bersama?”

Berlian bergeming sesaat, ia memutar otak untuk menemukan kalimat tepat untuk sang anak. Tidak mudah menjelaskan apa yang sedang terjadi, atau bisa saja dia mengatakan jika ayahnya sudah berada di surga atau meninggal.

Hanya saja, Berlian tidak mau seperti itu. Sejak dulu, ia ingin sekali memberi tahu suatu saat jika bertemu dengan ayah kandung putrinya, ia akan memberitahunya.

“Mama,” ucap Cinta membuyarkan lamunan Berlian.

“Eh, iya Sayang. Ayah kamu sedang berada jauh di sana. Mama dan dia tidak bisa bersama karena sesuatu yang mungkin belum bisa Mama ceritakan.”

Ada benteng yang begitu tinggi antara dirinya dan ayah Cinta. Sebuah kasta yang tidak bisa di tembus olehnya. Apalagi kini ada wanita lain di sisinya, pikir Berlian dalam hati.

“Jadi aku punya ayah juga kan?”

“Iya, punya. Kamu bantu berdoa sama Tuhan agar Mama bisa membawa kamu pada ayahmu, Nak.”

“Ye, iya Ma. Cinta akan berdoa sama Tuhan untuk bisa membuat Mama bawa aku bertemu ayah.”

Wajah Cinta semringah, ia loncat kegirangan saat mengetahui dirinya memiliki ayah. Namun, Berlian merasa sedih karena semua masa lalu yang sangat sulit itu hingga membuat ia dan pria yang pernah singgah di hatinya itu berpisah.

“Maafkan Mama, Cinta. Semoga ada kesempatan untuk memberitahu ayahmu tentang kamu.”

***

Tidak seperti biasanya, Berlian tak merasa bersemangat datang ke kantor. Sejak malam ia memikirkan ayah dari anaknya. Netranya begitu lelah, rasa kantuk masih menghantui dirinya.

Langkah kaki Berlian terhenti saat berada tidak jauh dari lift, tidak lupa dengan perlakuan beberapa karyawan waktu itu membuat Berlian memutar badan menuju lift barang.

Sungguh berat pekerjaannya, tapi baginya lebih berat memikirkan Jonatan.

Sesampainya di pantry, sudah ada Dilla, Nunung dan Deden.

“Kamu baru datang, Lain?” tanya Neni.

“Iya, Nen. Kamu sudah sehat?”

“Oh, alhamdullilah. Terima kasih ya, sudah menggantikan aku lembur kemarin.” Neni tersenyum, karena ia sakit jadi Berlian yang baru beberapa hari masuk sudah mendapat tugas menggantikannya.

Nunung membuat kopi yang akan diberikan pada beberapa karyawan yang meminta, sedangkan Deden menunggu perintah mengantarnya.

“Eh, kemarin aku lihat Pak Jo sama calon istrinya. Enggak nyangka ya, Pak Jo yang dingin itu punya calon istri cantik seperti Bu Alea,” ujar Nunung.

Berlian menoleh, sebenarnya ia sangat terkejut mendengar hal itu dari Nunung. Neni pun menyaut ucapan Nunung.

“Iya, gosipnya enggak lama mereka mau menikah. Gosipnya dulu mau tunangan, tapi pihak Bu Alea menolak. Mau langsung menikah katanya.”

“Wah, calon perempuan sudah enggak sabar.” Nunung terkekeh.

“Ya kalau jadi Bu Alea, aku pun enggak sabar. Secara pria tampan plus kaya raya,” pungkas Neni.

“Heh, gosip aja. Nung, buruan kopinya.” Deden yang sejak tadi menunggu merasa kesal karena Nunung malah bergosip dengan Neni.

Nunung pun mengaduk kopi yang sudah ia tuang dan memberikan pada Deden yang sejak tadi menunggu.

“Sana kasih!” titah Nunung.

Deden pun melenggang pergi, sedangkan ketiga orang di pantry pun bersiap mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing.

“Lian, kita bersihkan kaca di lobi. Nanti kamu pegangin tangga, aku naik,” ujar Nunung.

“Iya, Mbak.”

Berlian pun bersiap dengan alat-alat kebersihan, tapi saat ke luar dia bertemu dengan Bu Heni.

“Nung, kamu sama Nenek saja. Biar Berlian mengepel tangga darurat. Tadi ada info katanya kotor.”

Berlian menarik napas panjang, ia berpikir kenapa harus mengepel tangga darurat. Ia tidak bisa menolak lalu gegas mengambil perlengkapan kebersihan dan tidak lupa ember.

“Lian, jangan lupa papan peringatannya di pasang kalau lagi ngepel. Biar orang tahu dan enggak kepleset,” ujar Bu Heni.

“Iya, Bu. Siap.”

Sepanjang melangkah ke tangga darurat, pikiran Berlian tidak tenang memikirkan desas-desus gosip yang tengah beredar. Sebuah kabar yang menyayat hati, tentang rencana pernikahan Jonathan.

“Aku harus fokus.” Berlian bergumam.

Ia pun langsung mengambil air dan langsung mengepel lantai darurat. Entah siapa yang membuat tanah kotor sampai tangga terlihat kusam. Berlian pun mulai mengepel dari bagian atas tangga. Pikirannya masih sangat kacau, ia bahkan memikirkan sang anak yang akan kecewa karena tidak akan pernah kenal dengan ayahnya.

Berlian sudah sampai tangga bawah, lantai itu masih basah. Tiba-tiba dia melihat karyawan perempuan yang muncul dari tangga di atasnya.

“Mbak awas licin.”

Sayangnya peringatan Berlian terlambat. Kaki perempuan itu sudah menyentuh lantai dan tubuhnya terjatuh.

“Arghh—“

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status