“Kamu bisa miliki semuanya, Akash Salim. Kecuali harga diri.”Senyum Akash sontak hilang. Sorot matanya berubah dingin menusuk. Perlahan dia berdiri dan menghadap Arvin dengan gestur tegak. Tinggi tubuhnya yang menjulang seolah mengintimidasi Arvin.Sayangnya, Arvin tak takut. Dia justru mencemooh sinis. “Katamu melindungi wanitamu seperti gentleman. Tapi gentleman macam mana yang ngebiarin wanitanya bertarung sendirian di luar sana?”Akash mengernyitkan dahi. Aura mencekam menguar kuat dari Akash.“Kalau memang nggak bisa melindungi dengan baik, jangan sok berakting jadi pelindung, Tuan Akash Salim.”Dalam sekejap, suasana kafe berubah mencekam. Layaknya panggung pertunjukan, Gista menyadari baik Akash maupun Arvin, keduanya pandai memainkan peran. Arvin dengan topeng simpatinya. Dan Akash dengan sikap dinginnya yang mematikan.Kasak-kusuk mulai terdengar dari sekeliling. Gista menghela napas, jengah dengan mejanya yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian."Ada hubungan apa kalian berd
“Kenapa harus gagal orgasme, sih?”Gista mengetukkan jari di atas kibor kuat-kuat. Emosinya tumpah di sana. Matanya terpaku ke layar laptop, tetapi pikirannya berkelan kepada Akash Salim.“Cowok brengsek,” gerutunya lirih. “Bisa-bisanya dia main berhenti di tengah jalan.”Helaan napas berat akhirnya keluar. Gista memejamkan mata. Pada akhirnya, tarian jarinya di atas tombol-tombol kibor terhenti sejenak.“Malu banget kemarin.” Tangannya menutupi muka. Detik berikutnya, dia langsung bersikap normal setelah teringat di mana dirinya sekarang.Gista memandang sejenak ke arah trotoar persis di samping tempatnya duduk sekarang. Hanya bersekat dinding kaca tebal, dengan Gista duduk di bagian dalam kafe kecil dan hangat itu, pemandangan orang-orang berjalan cepat menembus gerimis terpampang jelas di depan mata.Malam ini dia sengaja keluar dari rumah. Kepalanya sumpek, efek dua hari penuh memikirkan orgasme yang gagal. Dia memilih menghabiskan malam Minggu di kafe tak jauh dari rumahnya, menc
“Kamu mempermainkan dua pria, tapi aku nggak akan biarkan kamu bisa memilih, Gista.”“Apa maksudmu aku nggak bisa milih?” tanya Gista datar.Akash menoleh. “Karena pilihanmu hanya satu. Hanya aku, Gista.” Perkataan itu terlontar dari mulut Akash setelah mereka berada di dalam mobil. Wajah Akash datar, tetapi hatinya bergejolak oleh kemarahan. Gista dan Arvin saling bersentuhan, berjanji minum bersama, dan tertawa bersama. Bayangan itu membuat darahnya mendidih.Dia mengunci pintu mobil, tetapi tak menyalakan mesin. Parkir bawah tanah sepi karena sudah lewat jam pulang kantor. Akash duduk mematung di belakang kemudi. Dan Gista duduk kaku di sampingnya.“Akash, antar aku pulang dulu.”Namun, Akash bergeming. Tatapannya lurus ke depan. Suaranya dingin, kontras dengan ekspresinya yang tampak malas-malasan.“Bagaimana tokohmu menghukum pasangannya yang berbuat salah?”Kali ini Gista menoleh. “Gio? Dia menghukum Sharna? Untuk apa?”“Karena telah menggoda pria lain.”Mata Gista membelalak,
“Jadi, dia sudah menjadi orang ketiga dalam kontrak kita?”Gista langsung mencengkeram sabuk pengaman. Matanya lurus ke depan, tak melihat ke arah Akash yang menyetir di tengah hujan deras. “Udah kubilang, Kak Arvin cuma rekan kerja biasa.”“Rekan kerja, tapi rela hujan-hujanan datang hanya untuk temani kamu lembur dan antar pulang?”Gista menghela napas panjang. “Cuma dia yang masih baik sama aku, selain Mbak Lola.”“Teman kantor yang lain?”Gista hanya diam. Akash berkedip. Tangannya memutar roda kemudi. “Apartemenku?” tanyanya mengubah topik pembicaraan.“Rumahku,” jawab Gista datar.Akash mengangguk. Begitu tiba di depan rumah wanitanya, Akash berniat memayungi Gista turun. Sayangnya Akash kalah cepat. Gista sudah keluar mobil dan berlari masuk rumah.“Tabletmu ketinggalan lagi.” Akash mendesah pelan saat melihat pintu berdebam menutup. Ponselnya berdering pelan. Gista menelepon.“Nggak usah mampir, Pak Akash. Capek.”“Tab–” Akash tak sempat menyelesaikan ucapan. Telepon di ujun
"Ah!" Satu desahan keras lolos dari mulutnya. Gista langsung membekap mulut dan membelalakkan mata. Dengan wajah merah padam, dia menoleh kanan kiri.“Untung nggak ada orang.” Gista memukul pelan mulutnya sendiri. “Lagian ngapain sih, kaki pakai kejedot meja segala? Yang nggak tahu bisa ngira aku lagi nggak-nggak, nih.”Di luar suara hujan yang turun deras membuat nyali Gista sedikit ciut. Dia menyalakan senter ponsel. Resiko lembur di tengah hujan badai seperti sekarang memang harus siap bila sewaktu-waktu mati lampu.Awalnya Gista memeriksa MCB yang ternyata baik-baik saja. Pas kembali ke meja, dia malah tersandung kaki meja.Pandangan Gista tertuju ke laptop, tetapi bukan tulisan yang dilihatnya, melainkan wajah Akash yang bergairah saat berada di atasnya semalam.“Aku hampir gila mikirin kamu.” Gista meletakkan kepala di meja. “Padahal udah aku cuekin, kenapa masih juga aku mikirin kamu terus?”“Memikirkan apa?”Gista langsung duduk tegak. Jeritan ketakutannya membahana di kantor
[Kenapa ada cowok di sebelahku?] Gista membuka mata dan syok berat. Biasanya dia bangun sendirian. Kini ada seorang …. “AKASH?” Gista langsung menutup mulut. Dia berbalik pelan, berusaha tidak menimbulkan suara, dan kejutan kedua datang. Selimutnya melorot setengah dada. Mata Gista melotot saat menyadari dadanya menyembul keluar. Tak ada pakaian. Hanya selimut yang menutup tubuh. Dan saat itulah, matanya menangkap baju-baju berserakan di lantai. Jantung Gista berdentum kencang. “Sudah bangun?” Tangan Akash melingkari pinggangnya. Gista membeku. “Andai ini Minggu.” Akash menarik Gista merapat padanya. Wajah Gista merah padam saat merasakan ketelanjangan Akash, juga bagian milik pria itu yang terasa keras menekan bagian belakang tubuh Gista. “Aku bisa seharian bersamamu di tempat tidur.” Akash mencium bahu telanjang Gista. “Kamu nggak apa-apa?” Setelah mendengar pertanyaan itu, otak Gista mulai merespons. Memori tubuhnya terbuka, menampilkan ingatan semalam, dan ak