“Nama yang bagus.” Rini berkata setelah membaca deretan huruf yang tertera di ID card Cheryl. “Cheryl Anindita.” Ia mengulang nama itu pelan, seperti ingin mengingatnya. "Ayahku yang menamainya," Cheryl tersenyum kecil. “Katanya, Cheryl berasal dari bahasa Perancis chérie, yang artinya tersayang atau tercinta.""Lalu, Anindita?" tanya Rini, sambil tersenyum kecil. "Itu dari bahasa Sansekerta.” Cheryl tersenyum malu-malu. “Artinya sempurna, tanpa cacat, atau unggul."Rini mengangguk-angguk pelan. "Wah, namamu berarti… seseorang yang layak dicintai dengan sempurna. Nama adalah doa. Ayahmu pandai sekali mendoakanmu.”Cheryl terkekeh kecil. "Ayahku memang sangat mencintaiku. Tapi aku jauh dari sempurna."Rini tersenyum seraya memperhatikan gadis itu lebih lekat. "Tapi kamu memiliki sesuatu yang istimewa, sehingga kamu akan terlihat begitu sempurna di mata orang yang mencintaimu.”Cheryl tertawa kecil, tapi ada sesuatu yang redup di matanya. Ada rindu yang mendalam yang terasa begitu n
Rini membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu. Ia tahu betul perasaan takut yang diungkapkan oleh gadis di dalam lift tadi, Cheryl. Perasaan takut salah memilih, takut jatuh cinta pada seseorang yang tak seharusnya. Ia pernah ada di posisi itu. Pernah merasa begitu kecil di hadapan cinta yang terhalang oleh kenyataan pahit.Dulu, ia hanyalah seorang gadis biasa, putri dari pemilik restoran kecil yang sederhana. Tempat di mana para pelanggan tetap datang bukan karena kemewahannya, melainkan karena cita rasa dan pelayanan yang tulus. Dan di antara pelanggan itu, Wishnu menarik perhatiannya. Dia putra dari seorang konglomerat yang datang dengan pakaian mahal, mobil mewah, dan sikap santai yang bertolak belakang dengan latar belakangnya yang penuh aturan. Tapi berbeda dari kebanyakan orang kaya, Wishnu tidak pernah bersikap angkuh. Ia menikmati setiap hidangan dengan sungguh-sungguh, berbicara dengannya tanpa memandang statusnya sebagai pelayan restoran. Lalu, entah bagaimana, per
Cheryl melangkah menuju coffee shop di lobi gedung dengan langkah ringan, meskipun pikirannya masih dipenuhi berbagai hal tentang pekerjaan barunya. Aroma kopi yang baru diseduh menyambutnya begitu ia masuk, menciptakan kehangatan yang kontras dengan udara dingin dari pendingin ruangan di luar.Ia langsung menuju meja kasir, memasukkan pesanannya di layar digital—satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi untuk Sofyan. Setelah membayar, ia berdiri menunggu di dekat counter, jari-jarinya secara refleks menggulir layar ponsel tanpa benar-benar membaca apa pun.Getaran halus di tangannya membuatnya tersadar. Nama Sofyan muncul di layar. Ia segera mengangkatnya.“Cher, beliin satu lagi buat Pak Bara,” suara Sofyan terdengar santai di seberang.Cheryl melirik ke arah barista yang sedang menyiapkan pesanannya. “Oke, tapi dia suka kopi apa?” tanyanya, memastikan.“Pahit. Kopi tanpa gula.”“Iya, tapi apa? Espresso atau long black?”“Long black aja, biar nggak terlalu ekstrem,” jawab Sofyan.C
Tatapan itu… seperti menelanjangi setiap gerak-geriknya, membuat napas Cheryl tercekat seketika.Untuk pertama kalinya, ia merasakan tekanan yang berbeda. Bara memang selalu tampak dominan dan sulit ditebak, tapi tidak pernah seperti ini. Tidak pernah sedingin ini.Sejak tadi lelaki itu tidak berkata apa-apa. Hanya diam, menatapnya dengan sorot mata yang nyaris tak berperasaan.Sejenak, Cheryl terpaku di tempat. Tangannya refleks menggenggam cangkir kopi lebih erat, seakan benda itu bisa memberinya perlindungan dari hawa intimidasi yang menguar dari sosok Bara.Ia menelan ludah, lalu akhirnya memaksakan bersuara. "Kopinya, Pak."Langkahnya terasa berat saat ia maju, mendekati meja Bara. Jarak di antara mereka terasa begitu jauh, padahal hanya beberapa meter.Saat ia meletakkan kopi di atas meja, Bara masih belum berkata apa-apa. Tidak ada anggukan, tidak ada isyarat. Hanya sorot mata itu, yang terus tertuju padanya.Dan entah kenapa, itu lebih menakutkan dibandingkan omelan atau kema
Cheryl merasakan udara di sekelilingnya berubah, terasa kian menipis, menyempitkan ruang bernapasnya. Dunia seakan mengecil, menyisakan hanya dirinya dan Bara.Dada pria itu hanya sejengkal darinya. Kehangatannya merembes ke kulit Cheryl, membakar pertahanan yang selama ini mati-matian ia jaga.Tangan Bara masih bertahan di pinggangnya, begitu kokoh dan menguasai. Sementara tangan satunya membelai pipi Cheryl, kelembutannya bertolak belakang dengan sosoknya yang keras, dingin, tak tersentuh."Terima kasih buat apa?" Bara menghela napas. Jemarinya bergerak pelan di wajah Cheryl, seolah memastikan wanita itu nyata, bukan ilusi, bukan sekadar bayangan yang bisa lenyap sewaktu-waktu."Terima kasih karena kamu menerimaku, mau menerima pelukanku." Sesederhana itu. Tapi kalimat itu sanggup mengguncang sesuatu dalam diri Cheryl.Selama ini, ia melihat Bara sebagai ancaman. Pria itu seperti gunung es yang sanggup membekukan setiap langkahnya. Tapi kini, ia melihat sisi lainnya yang lebih man
Bara seharusnya menghentikan ini.Seharusnya.Tapi begitu bibir Cheryl terbuka untuknya, membiarkannya masuk lebih dalam, seluruh kendali yang mati-matian ia pertahankan runtuh seketika.Ciumannya bukan lagi sekadar tuntutan. Ia menginginkannya lebih, menginginkannya sepenuhnya. Bara awalnya kesal.Kesal karena Cheryl selalu membuatnya kehilangan kendali. Kesal karena perempuan itu tak pernah benar-benar pergi, tapi juga tak sepenuhnya tinggal. Seperti bayangan di batas cahaya. Dekat, tapi tak bisa digenggam.Lalu rasa itu berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Lebih kelam. Posesif.Bara tak bisa membayangkan ada orang lain yang bisa memahami Cheryl seperti dirinya. Ia membenci bagaimana pikirannya dipenuhi oleh sosok itu, bagaimana dadanya terasa kosong setiap kali Cheryl menarik diri. Ia ingin mengunci gadis ini di sisinya, menjadikannya bagian dari dunianya, meskipun ia tahu… kakeknya mungkin tidak akan suka, tidak akan setuju.Dan itu, terasa lebih menakutkan daripada kehilan
Ruang rapat utama di gedung Apex dipenuhi atmosfer serius. Cahaya putih dari lampu LED memantulkan kilau samar di permukaan meja kaca panjang yang menghadap jendela besar dengan pemandangan kota yang sibuk.Bara duduk di kursi eksekutif di ujung meja, sorot matanya tajam namun tenang, mencerminkan kendali penuh atas situasi. Di hadapannya, tiga perwakilan dari Prima Sentosa duduk dengan ekspresi serius. Richard, direktur utama perusahaan tersebut, membuka pembicaraan dengan nada percaya diri.“Kami ingin membangun kawasan terpadu yang mengintegrasikan hunian, bisnis, dan gaya hidup. Untuk itu, kami memerlukan sistem pembayaran digital yang dapat menyatukan seluruh transaksi dalam ekosistem kami. Apex memiliki teknologi dan infrastruktur yang kami butuhkan.”Bara tidak langsung menanggapi. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, membiarkan keheningan mengisi ruangan. Taktik sederhana, tetapi cukup untuk membuat lawannya mulai bertanya-tanya.Dengan gerakan santai, Bara meraih remote di me
Taksi melambat saat tiba di depan sebuah gerbang tinggi. Cheryl segera menelepon petugas keamanan, “Tolong buka gerbangnya.” Hanya butuh beberapa detik sebelum gerbang besi hitam itu terbuka secara otomatis, suara mekanisnya bergema pelan di antara azan magrib yang mulai menggema dari toa masjid di kejauhan.Jalan masuk menuju rumah Bara yang semegah istana itu cukup panjang, membentang lurus dengan lampu-lampu kecil tertanam rapi di sepanjang tepian, menerangi hamparan rumput yang terawat sempurna. Pepohonan tinggi menjulang di kedua sisi, seolah menciptakan lorong alami yang menambah kesan eksklusif dan… misterius.Tak lama, tampak bangunan utama, berdiri megah dengan arsitektur klasik yang dipadukan sentuhan modern. Pilar-pilar tinggi menjulang, fasadnya diterangi lampu-lampu dinding yang memberikan semburat keemasan pada marmer putih yang mendominasi eksteriornya. Air mancur besar berdiri di tengah halaman depan, suara gemericik airnya terdengar lembut di antara suara azan yan
Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m
Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber
Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan
Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep
Bara menggertakkan rahang. Rasanya, ia ingin sekali membanting pintu dapur, berteriak, bahkan mengusir semua orang dari rumah ini. Tapi ia tahu, semua itu hanya bisa ia lakukan dalam khayalannya saja. Ia menunduk sejenak, mengatur napas. Menelan bulat-bulat kekecewaan yang belum sempat ia sembuhkan pagi ini. Kemudian, ia meletakkan kembali nampan ke atas meja. Matanya masih menatap makanan yang ingin ia sajikan untuk Cheryl itu beberapa detik, penuh rasa berat yang tak terkatakan, sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menuju ruang tamu. Setiap langkahnya bergema dalam kesunyian rumah, dan setiap detik terasa seperti pengkhianatan terhadap niat awalnya hari ini, yang ingin mempersembahkan waktunya penuh untuk Cheryl. Tapi kini ia harus menghadapi sesuatu yang tak ia undang. Begitu sampai di ambang ruang tamu, Bara menarik napas dalam-dalam. Ia menegakkan tubuh, mengatur raut wajah, dan melangkah masuk. Tuan Sigit berdiri dengan angkuh, seperti biasa. Di sebelahnya, Milen
Cahaya pagi yang samar menyusup melalui sela tirai, mengguratkan warna keemasan di dinding kamar. Cheryl mengerjapkan mata pelan, merasakan sisa perih di sudut-sudutnya. Tubuhnya masih berat, pikirannya buram. Tapi saat pandangannya mulai fokus, jantungnya terhenti sejenak ketika menyadari bahwa Bara adalah sosok yang pertama kali ia lihat hari ini.Lelaki itu duduk di sisi tempat tidur, diam, menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, antara penyesalan dan kelegaan.Cheryl tersentak bangun, napasnya tercekat. Untuk sesaat, begitu saja, ia hampir merentangkan tangan, ingin menarik lelaki itu dalam pelukannya, mencari hangat yang dulu selalu menenangkan. Tapi kesadaran datang seperti tamparan keras.Lelaki ini... lelaki inilah yang membuatnya lelah menangis semalaman."Kenapa kamu di sini?" suaranya serak, hampir berbisik, lebih kepada dirinya sendiri daripada untuk didengar Bara.“Aku… nggak mau jauh dari kamu. Aku mau kamu tetap sama aku, Cheryl. Apapun yang terjadi. Demi kamu,
Cheryl tak langsung menyalakan lampu saat memasuki kamarnya. Ia berdiri dalam gelap, membiarkan sepi menyambutnya seperti pelukan dingin dari dunia yang telah kehilangan warna.Napasnya membeku di udara, berat dan tersendat, seolah paru-parunya pun enggan menerima kenyataan. Yang paling menyakitkan bukanlah ditinggalkan, melainkan kenyataan bahwa ia sendirilah yang memilih pergi dari pria yang masih ia cintai, tapi tak sanggup lagi ia percaya.Ia teringat pada hari pertama ia mengizinkan dirinya mencintai Bara. Pada senyum lembut pria itu. Pada pelukan hangatnya yang dulu terasa seperti rumah. Tapi kini semua kenangan itu terasa seperti belati, menyayat tanpa ampun.Cheryl perlahan merosot ke lantai, membiarkan tubuhnya ambruk dalam keheningan yang memekakkan. Tangannya terulur ke arah ranjang… tempat di mana ia pernah menyerahkan seluruh dirinya, bukan hanya tubuh, tapi juga cinta, keyakinan, dan kehormatan.Masih terngiang bagaimana malam pertama mereka terjadi hari itu…"Bara. Kita
“Bertunangan dengan Milena bukan keputusan hatiku. Itu keputusan keluarga. Mereka menyatukan dua perusahaan besar melalui pertunangan itu, dan aku… aku terlalu lemah untuk menolaknya. Tapi aku bersumpah, Cheryl, tidak sedetik pun aku mencintai Milena. Hanya kamu, Sayang. Cuma kamu yang kucintai.”Ucapan itu menghantam Cheryl seperti badai yang tak bisa dihindari. Meski suara Bara bergetar, penuh penyesalan, hatinya tetap menolak untuk luluh. Pria itu berdiri di hadapannya, memohon dimengerti. Namun yang Cheryl rasakan hanya sesak. Seolah seluruh dadanya dihantam palu kebenaran yang selama ini coba ia tolak.Tubuhnya mulai gemetar. Bukan hanya karena marah atau kecewa, tapi karena sesuatu dalam dirinya mulai goyah. Dinding-dinding yang selama ini ia bangun rapat untuk menjaga hatinya tetap aman, kini retak perlahan.“Jika aku terang-terangan melawan Opa, Apex bisa hancur sebentar lagi… sebab untuk saat ini, aku masih membutuhkan Opa untuk membuat Apex tetap berdiri. Opa akan membantuku
Begitu Bara melangkah masuk ke dalam kamar mereka, ia menutup pintu perlahan dengan kakinya, membiarkan sunyi mengalir mengisi ruangan.Lampu di langit-langit memancarkan cahaya hangat, membungkus ruangan dalam bayangan keemasan. Namun, di balik kehangatan yang tampak, ada hawa dingin yang perlahan menggerogoti perasaan Cheryl. Dulu, ruangan ini terasa hidup oleh kebersamaan mereka, penuh dengan canda, tawa, dan detak cinta yang nyata. Tapi kini ruangan ini tak lebih seperti kurungan bagi Cheryl.Kamar ini memang pernah menjadi tempat perlindungan teraman bagi Cheryl. Tempat di mana tawa dan bisikan penuh cinta pernah mengisi setiap sudutnya. Tempat di mana ia bisa merasa dimiliki, dicintai, dan dicari. Tempat yang selama beberapa hari ini ia rindukan.Namun kini, setelah kembali ke kamar ini lagi… hatinya justru teriris pedih. Fakta tentang pertunangan Bara dan Milena kembali terasa menghujam jantungnya. Sebentar lagi, kamar ini mungkin tak lagi menjadi milik mereka berdua. Akan a