Manteman, maaf banget ya gak bisa rutin up. Pak suami kemarin opname lagi. Aktivitas nulis skr msh disesuaikan dg sikon paksu yang masih bedrest dan butuh perhatian ekstra. Semoga author bisa lekas dapat timing yang tepat utk bisa nulis banyak. Pengennya bisa minimal up 3 bab per hari kayak di novel-novel sebelumnya, pengen banget :)
Bara sampai di rumahnya. Lampu-lampu gantung kristal di foyer memantulkan kilau ke seluruh lantai marmer, menelan bayangan Bara yang baru pulang melewati pintu besar dari kayu jati solid. Beberapa pelayan berdiri berjejer, menyambut serempak dengan anggukan hormat. “Selamat datang, Tuan.”Bara hanya mengangguk, dingin. Wibawanya sudah cukup jadi jawaban untuk mereka.Di ruang tamu utama, Tuan Tomi dan Nyonya Anne duduk di atas sofa panjang berbalut beludru krem keemasan dengan sandaran berukir halus. Beberapa bantal dekorasi berlapis sutra tersebar di sisi-sisinya, menciptakan kontras mewah dengan meja tamu berpermukaan marmer putih yang di atasnya mengepul teko teh porselen bermotif biru tua.Mereka tampak terlalu santai di sana, menyesap teh seolah berkunjung ke vila musim panas, bukan di rumah orang yang telah berbaik hati menampung putri mereka—yang kini mengunci diri di sebuah kamar sambil menangis karena ketakutan mereka datang.Bara menapaki permadani Persia yang merentang di
Bara baru saja selesai berpakaian ketika ponselnya mulai bergetar di nakas. Layar itu menampilkan satu nama yang jarang muncul. “Mimi”.Kepala pelayan di rumahnya, wanita setengah baya yang selalu bicara seperlunya. Kalau Mimi menekan tombol call, pasti ada yang sedang tidak beres di rumahnya.Bara mendesah pendek. Satu bagian dari otaknya berteriak: “Jangan angkat. Nikmati malammu barang lima menit lagi.” Tapi, tangannya sudah bergerak duluan.“Ya, Mimi?” Suaranya keluar dingin. Seperti biasa. Dia selalu terdengar seperti pria yang tak bisa disentuh.“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini mendesak. Orangtua Nona Baby datang ke rumah. Mereka ingin bertemu dengan Nona Baby, tapi Nona Baby justru mengunci diri di kamar, menangis sambil menjerit-jerit. Saya tidak bisa menanganinya sendiri. Pak Sofyan juga belum datang.”Sial.Malamnya hancur dalam detik. Bara mendongak, menatap langit-langit kamar hotel yang bagai menekannya. Dia ingin marah, tapi apa gunanya?“Aku bahkan baru mau istirahat
Reno berdiri di tengah ruangan suite, tangannya merapikan kerah kemejanya yang kusut sedikit. Beberapa kru dekorasi baru saja merapikan pita terakhir, lalu mengecek ulang balon yang bertuliskan huruf emas: “Happy Graduation, Dear Cheryl.”“Sudah siap, Pak Reno,” lapor seorang anggota tim asisten pribadi Valen. Sementara kru dekorasi dengan cekatan membereskan sampah dan merapikan ruangan. Reno menoleh, tatapannya menyisir tiap sudut ruangan. Pita satin sudah terpasang manis di pojok. Kue putih tampak cantik di meja sudut. Kotak hadiah berlapis kertas emas pun sudah siap menunggu.“Good job. Kalian bisa pulang sekarang. Terima kasih,” ujarnya sambil menepuk bahu anak buahnya itu.Semua orang langsung mengangguk, berkemas cepat tanpa banyak bicara. Suara pintu suite terbuka lalu tertutup lagi, meninggalkan Reno sendirian.Reno baru saja hendak memastikan pita terakhir di balon tidak miring, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Layar menyala, menampilkan nama “Dokter Josh
Cheryl terpaku di depan cermin meja rias. Ia sudah memakai piyama tidurnya. Rambutnya sudah selesai dikeringkan dengan hair dryer.Ia menggigit bibir bawahnya—bibir yang masih tampak bengkak, merah, lembap. Jejak ciuman Valen yang menempel begitu dalam, seolah masih menekan syaraf di belakang tengkuknya.Dan saat ia melirik sekilas, tatapannya membentur plakat yang tadi diserahkan oleh Bara.Ia langsung menunduk, seolah tak sanggup memandang lebih lama lagi. Entah kenapa, ada yang terasa aneh. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, tapi bukan karena ciuman tadi. Ada sesuatu yang berdesir di balik tulang rusuknya—sebuah rasa bersalah yang bahkan sulit ia beri nama.Ia tak menyangkal, bahwa ia memang tenggelam. Nyaris hanyut di bawah sentuhan Valen yang lembut tapi menuntut. Ia bahkan mendesah, menikmati dan membalas ciuman itu. “Astaga,” gumamnya sambil menangkupkan telapak tangannya di wajah. Sungguh. Ia merasa bersalah pada Valen. “Gara-gara mimpi sialan!” erangnya menyalahkan diri
Begitu Valen selesai bertelepon dengan Axel, dadanya masih berdegup cepat—bahkan untuk seorang dokter bedah berpengalaman, momen ini terasa seperti menjelang meja operasi paling rumit dalam hidupnya. Tangannya sedikit bergetar saat menempelkan akses card ke pintu kamar 1805.Suara klik pintu hotel terbuka. Valen masuk, menyeret koper Cheryl dengan pelan. Aroma wangi hotel bercampur jejak parfum Cheryl yang samar, membuat kepalanya berputar aneh.“Cheryl?” panggilnya, matanya menelisik ruangan yang sunyi. Tatapannya tertuju pada kain toga yang tersampir di kursi, dan kain kebaya Cheryl yang tergantung di lemari. “Ah. Dia pasti masih di kamar mandi.”Valen menarik napas pelan. Koper milik Cheryl ia letakkan di dekat lemari, kemudian ia duduk di kursi, mencondongkan tubuh, menatap lurus ke pintu kamar mandi. Jam tangannya beberapa kali dilirik, jarum detiknya seperti memukul-mukul saraf sabarnya.“Lama sekali sih dia berendam? Masa dari tadi belum selesai juga.” Ia berdiri, langkahnya
Begitu Valen mencapai lobi hotel, Reno sudah menyambutnya di dekat meja resepsionis. Aroma wangi diffuser white tea menguar dari sudut pilar.“Selamat datang, Dok.” Reno mengangguk penuh hormat. Jemarinya mengepal di samping tubuhnya, seolah siap mengeksekusi perintah apa pun. “Barang-barang Anda sudah saya rapikan di kamar. Ada lagi yang perlu saya bereskan, Dok?” tanyanya sigap, suara pelan namun padat wibawa bawahan yang terlatih.“Emm. Sorry, aku baru kepikiran. Buatkan dekorasi yang seperti di rumah, balon ucapan buat Cheryl di bagian ruang tamu.”Reno terlihat ragu sejenak sampai akhirnya dia memberanikan diri bertanya. “Maaf, Dok. Apakah nanti Nona Cheryl akan menginap di kamar Dokter?”“Ada dua kamar, kan?”“M-maaf, Dok. Tapi Anda tadi meminta saya memesan suite room.”Valen menyipitkan mata. “Aku bilang suite room ya?” Ia mengingat-ingat ulang. “Bukannya royal suite?”Reno menggeleng kecil. “Anda tadi minta suite room, Dok. Jadi hanya ada satu kamar tidur utama.”Valen ingin