Setelah menemui bapaknya, Cheryl menundukkan kepala, termenung di ruang tunggu keluarga pasien. Permintaan bapaknya barusan menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang membuatnya kehilangan keseimbangan.
Menikah? Dengan pria itu? Sosok asing yang dingin dan miskin simpati?
Cheryl menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang tak keruan. Bersamaan dengan itu, tatapan penuh harap Pak Bondan yang lemah tak henti-hentinya berkelebat di pikirannya.
Pikiran Cheryl seketika terhenti saat langkah tegas terdengar mendekat. Dia mendongak, dan di sana pria itu berdiri. Berkemeja hitam lengan panjang dengan lengan yang sedikit digulung, celana chino hitam pas tubuh, serta sepatu kulit hitam polos. Serba hitam….
‘Seperti malaikat pencabut nyawa,’ pikir Cheryl, tanpa secuil simpati di sorot matanya, apalagi belas kasih.
Wajahnya memang tampan, baiklah… sangat tampan. Tapi dingin. Terlalu dingin.
“Waktu bapakmu tidak banyak,” kata pria itu, datar. “Kita harus segera menikah, sebelum bapakmu benar-benar meninggal.”
Kata-kata itu menghantam Cheryl seperti tamparan keras. Cheryl ternganga. Seolah yang dibicarakan oleh pria itu bukanlah sesuatu yang sakral saja, tapi hanya hal sepele yang bisa dikerjakan disela-sela kesibukan.
Dan apa dia bilang tadi? ‘Sebelum bapakmu betul-betul meninggal?’
“Kamu gila, ya?” desis Cheryl, suaranya bergetar dengan amarah yang coba ia tahan. Tatapannya tajam, menusuk sepasang mata dingin di depannya. “Kamu pikir ini lelucon?”
Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Lelucon atau bukan, ini hanya soal memenuhi permintaan seseorang di akhir hidupnya. Apa susahnya?”
“Apa susahnya?” Cheryl mengulang ucapan pria itu dengan nada tinggi. “Heh! Semudah itu menurutmu?”
“Tidak juga sih,” pria itu mengedikkan bahunya dengan santai. “Tapi, masalah sepele atau rumit itu… tergantung gimana cara kita menyelesaikannya, kan?”
Ada seringai tipis di wajah tampan tapi dingin itu.
“Perlu kamu tahu, aku bisa saja menolak permintaan bapakmu, tapi aku berbaik hati mengiyakan permintaannya untuk menikahimu.”
Cheryl terdiam. Dia tidak habis pikir. 'Sombong sekali orang ini?'
“Kenapa tidak kamu tolak saja?” ketus Cheryl.
“Dan membiarkan bapakmu mati dengan membawa rasa kecewanya karena penolakanku?” balas pria itu, suaranya nyaris berbisik.
Dia kemudian mengedikkan bahunya dengan santai. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku akan bilang pada bapakmu, bahwa kamu memintaku untuk menolak pernikahan ini. Jadi... kalau bapakmu meninggal dengan membawa rasa kecewa, toh kecewanya itu bukan sama aku, tapi kamu… anaknya sendiri.”
Hati Cheryl mencelos. Kata-kata pria itu terdengar dingin, tajam, dan menghakimi.
“Aku juga tak sebegitu inginnya menikahi kamu… gadis cengeng yang bahkan tak pernah aku kenal.”
Cheryl tersentak. Sial, betapa mudahnya pria itu bicara… tanpa perasaan!
“Oke. Aku akan bilang ke bapakmu, sekarang.”
Ketika pria itu benar-benar mulai melangkah menuju ruang perawatan Pak Bondan, Cheryl menjadi panik. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Tu-tunggu…!” suaranya pecah, nyaris memohon.
Pria itu berhenti. Menoleh santai dengan ekspresi datar. “Ya?”
Cheryl menggigit bibir, menelan bulat-bulat konflik yang mengguncang dirinya. Permintaan menikah itu bukan lagi tentang dirinya. Tapi ini tentang harapan terakhir dari bapak, seseorang yang sangat ia cintai lebih dari apapun.
“B-baiklah,” Cheryl menghela napas berat, suaranya terdengar hampir berbisik. “Ayo… menikah.”
Dalam benaknya yang penuh konflik, Cheryl terpaksa menyetujui permintaan terakhir bapak.
Persiapan pernikahan itu berjalan secepat kilat, seolah waktu berlomba dengan napas Pak Bondan yang makin pendek. Keduanya sepakat untuk menikah siri—tak ada waktu untuk mengurus secara resmi.
Upacara pernikahan itupun cuma dihadiri oleh dua orang saksi yang diambil dari staf rumah sakit, dan seorang penghulu yang siap memimpin akad nikah.
Pernikahan yang sangat sederhana, tapi penuh beban.
Pria dingin itu duduk di samping Cheryl, tak sedikit pun menunjukkan emosi. Tatapannya kosong, seolah pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis, bukan pengikat dua jiwa.
Saat penghulu melantunkan ijab kabul, hati Cheryl terasa semakin berat. Tangannya gemetar, tapi pandangannya tetap terpaku pada wajah lemah bapaknya. Di mata Pak Bondan, Cheryl melihat kelegaan, cinta, dan permintaan yang tak terucapkan.
“Ananda Bara Wardhana bin Wishnu Wardhana, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan ananda Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin berupa perhiasan kalung emas seberat 25 gram, dibayar tunai.”
Untuk sejenak, pria dingin bernama Bara Wardhana itu terdiam. Cheryl meliriknya, berpikir bahwa pria itu mungkin ragu-ragu kemudian akan menghentikan pernikahan yang tak masuk akal ini.
Namun ternyata, dengan sekali tarikan napas pria itu akhirnya berikrar, “Saya terima nikah dan kawinnya Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Ketika Bara mengucapkan ikrar pernikahan dengan suara datar, hati Cheryl mencelos. Kata-kata itu terdengar jelas, tapi kosong. Seperti lembaran kertas tanpa makna.
Akan tetapi, ketika saksi akhirnya berkata, “Sah,” ia melihat wajah bapaknya berubah. Ada senyum damai yang menyungging di bibir Pak Bondan, juga… air mata menetes dari sudut matanya.
Pak Bondan menatap Cheryl penuh kasih. Ada kedamaian yang terpancar jelas di wajahnya. Melihatnya, Cheryl ikut tersenyum sambil menyeka air matanya.
Mata Pak Bondan tiba-tiba terpejam, senyumnya yang masih terpatri seolah menyimpan kedamaian abadi. Bersamaan dengan itu, bunyi monoton beep yang panjang tiba-tiba terdengar di ruangan. Grafik monitor di sebelah ranjangnya kini berubah menjadi garis lurus yang memanjang tanpa jeda.
Suara itu seperti lonceng peringatan, memecah suasana seketika.
Paramedis segera bergerak cepat. Dokter mendekat dengan defibrillator di tangan, sementara perawat yang lain dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vital Pak Bondan.
Namun, meski berbagai upaya dilakukan—kompresi dada, suntikan adrenalin, hingga perangkat kejutan listrik—garis pada monitor itu tetap tak bergerak, seperti mengukuhkan kenyataan pahit yang baru saja terjadi.
“Bapak…!” Jeritan Cheryl menggema. Tangannya yang gemetar mengguncang tubuh sang bapak, seakan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu.
Namun, tubuh Pak Bondan tetap diam, tak lagi merespons. Keheningan mencekam menggantung di udara, mengiringi tangis Cheryl yang pecah dalam kepedihan.
Pada akhirnya, senyum damai di wajah Pak Bondan menjadi jawaban atas harapan terakhirnya—melihat putrinya menikah dengan pria yang telah ia pilihkan.
Sementara itu Bara hanya terpaku melihat pemandangan itu.
Rahang pria itu tampak mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Perlahan ia menarik napas panjang yang terdengar begitu berat, seolah sama beratnya dengan beban tanggung jawab yang baru saja berpindah ke pundaknya.
***
Baby tak segera pergi setelah Bara menyantap makan malamnya. Alih-alih berpamitan, ia justru berpindah duduk ke depan meja kerja Bara yang dipenuhi tumpukan dokumen. Ada sedikit senyum lega di wajah gadis itu saat melihat Bara mulai terlihat rileks, setidaknya jauh lebih tenang dibandingkan saat ia datang tadi. Makanan hangat dan ginseng tonic tampaknya membawa efek baik.Bara kini bersandar di kursi eksekutifnya, meneguk pelan tonic di tangannya, sementara matanya tetap tertuju ke tumpukan laporan di hadapannya."Mas," ucap Baby pelan, membuka percakapan dengan hati-hati. "Sebenarnya... ada apa antara Mas Bara dan Opa Sigit? Kenapa beliau sampai melakukan ini ke Apex? Nggak mungkin ada asap kalau nggak ada api, kan?"Bara menghela napas panjang. Ia menurunkan botol ginsengnya dan akhirnya menatap Baby."Aku nggak punya waktu buat ngobrolin soal itu sekarang," ucapnya datar. "Ada banyak hal yang lebih penting untuk kupikirkan."Tapi Baby tak mundur. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke
Sudah tiga hari berlalu sejak Bara menerapkan strategi yang telah disusun dengan cermat bersama tim khususnya. Ia berharap langkah itu cukup untuk menahan kepanikan pasar, atau setidaknya memperlambat aksi jual para investor. Tapi kenyataan tak berpihak kepadanya. Grafik terus merosot, dan kepercayaan publik terhadap Apex seperti tergerus detik demi detik.Setiap pagi dimulai dengan harapan dan berakhir dengan laporan kerugian baru. Aksi jual justru semakin brutal. Investor besar yang awalnya netral mulai menarik diri, dan pasar membaca itu sebagai sinyal bahaya. Bara seperti mati langkah. Semua kalkulasinya yang telah digodok matang-matang, seperti berakhir mentah begitu saja di hadapan tekanan pasar dan pengaruh Tuan Sigit yang begitu luas di industri.Rasa letih mulai menggerogoti pikirannya. Matanya yang merah menunjukkan kurang tidur, dan wajahnya yang biasanya tenang kini lebih sering tegang, rahangnya mengeras tiap kali memantau laporan real time di layar besar ruang kerjany
Bara baru saja melirik layar monitornya ketika lengan halus Cheryl melingkar di belakang lehernya. Aroma tubuhnya langsung menyusup ke hidung Bara, memancing reaksi spontan dalam otot-ototnya yang tadi tegang karena konsentrasi.“Baiklah, Pak Bos.” Suara Cheryl terdengar lembut dan genit di telinganya, sebelum bibirnya mengecup pipi kanan Bara dengan manis. “Silakan lanjutkan pekerjaan Anda.”Bara menoleh, matanya menangkap kilau jenaka dan hangat dalam sorot mata Cheryl. Kelembutan wanita itu selalu berhasil merontokkan tekanan yang menggumpal di kepalanya.“I love you,” tambah Cheryl saat mata mereka saling bertatapan, suaranya seperti alunan nada yang hanya diciptakan untuk menggoda jiwanya.Tatapan Bara melembut. Dengan satu gerakan tenang, ia menarik dagu Cheryl dan mengecup pipinya sekilas. “I love you more,” gumamnya dalam nada dalam dan rendah, terdengar seperti pengakuan dari dasar hatinya yang terdalam.Cheryl tertawa pelan, melangkah mundur.“Sayang. Kalau kamu sudah selesa
Udara di ruang kerja Bara masih hangat oleh jejak-jejak gairah. Aroma tubuh Cheryl, samar-samar bercampur dengan wangi kulit sofa dan parfum maskulin Bara, menciptakan atmosfer yang liar dan memabukkan.Tubuh Cheryl masih berada dalam pelukan Bara, pipinya menempel ringan di dada bidang pria itu, yang mulai tenang dari debar memuncak barusan.“Gila…,” bisik Cheryl, senyumnya terlukis lelah tapi puas. “Kita akhirnya... betul-betul melakukannya di sini.”Nada suaranya rendah, sedikit serak, dan entah kenapa terdengar begitu menggiurkan di telinga Bara.Bara menunduk, bibirnya mengecup lembut sudut bibir Cheryl yang terlihat penuh. “Seru, kan?” gumamnya, senyum nakal terbit di wajah tampannya.Cheryl hanya tertawa kecil, sebelum menghela napas dan mendorong pelan dada bidang itu. “Katanya… waktumu sempit? Banyak yang harus kamu urus untuk Apex. Kamu harus siap-siap rapat, kan?”Bara memutar mata malas, masih ingin menahan Cheryl dalam pelukannya, namun wanita itu sudah bangkit dari sofa
Bara duduk di balik meja kerjanya. Tangannya bertumpu pada pelipis, sementara layar laptop di depannya menampilkan grafik, tabel, dan catatan analisa yang tak henti bergulir. Laporan dari direktur keuangan, staf ahli strategi pasar, hingga konsultan merger terpampang jelas, menunggu untuk ditindaklanjuti.Namun matanya kosong. Fokusnya buyar. Pikirannya tidak betul-betul tertuju pada pekerjaan. Dia mencoba menyusuri data: skenario tanpa buyback, angka-angkanya jelas menunjukkan tekanan leverage yang tinggi dalam jangka menengah. Opsi kedua, buyback total, secara teori akan menenangkan pasar, tapi memperkecil likuiditas. Sementara skema ketiga, buyback parsial disertai narasi penguatan pasar, masuk akal, tapi sangat bergantung pada timing dan sentimen publik.Logikanya memetakan semua itu, seperti biasa. Cepat, dingin, presisi. Tapi emosinya? Berantakan.“Sial,” gumamnya, setengah menggeram. “Istriku… betul-betul keras kepala.”Matanya berpindah sejenak ke sisi meja, di mana ponselnya
Di sebuah area tangga darurat di lantai 20-an Apex Tower, suara langkah kaki nyaris tak terdengar di tempat itu. Hanya desau angin dari ventilasi dan isakan lirih yang memecah keheningan.Cheryl duduk di anak tangga ketiga dari atas, tubuhnya membungkuk, wajahnya tersembunyi di atas kedua lutut. Bahunya naik-turun, terguncang oleh tangis. Tangannya menggenggam tisu yang setengah basah, kusut, sementara beberapa helai rambutnya menempel di pipi yang basah oleh air mata.Bukan tangisan keras yang meledak-ledak, tapi tangisan yang tertahan, dalam, penuh sesak. Seperti tangisan seseorang yang terlalu lama memendam rasa sakit tanpa tahu cara meluapkannya."Aku nggak boleh ngopi sama Axel, katanya? Kenapa? Takut Bara marah?" gumamnya, suaranya serak dan getir. "Tapi nggak ada yang takut kalau aku marah? Apa cuma Bara yang berhak marah? Karena dia kaya? Karena dia punya segalanya, terus bebas marah? Sedangkan aku yang nggak punya apa-apa… nggak berhak marah, ya?"Suaranya menggema kecil di