Share

2. Terpaksa Menikah

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2024-11-08 16:58:49

Setelah menemui bapaknya, Cheryl menundukkan kepala, termenung di ruang tunggu keluarga pasien. Permintaan bapaknya barusan menghantamnya dengan keras, seperti pukulan yang membuatnya kehilangan keseimbangan. 

Menikah? Dengan pria itu? Sosok asing yang dingin dan miskin simpati? 

Cheryl menggigit bibir, mencoba menahan gelombang emosi yang tak keruan. Bersamaan dengan itu, tatapan penuh harap Pak Bondan yang lemah tak henti-hentinya berkelebat di pikirannya. 

Pikiran Cheryl seketika terhenti saat langkah tegas terdengar mendekat. Dia mendongak, dan di sana pria itu berdiri. Berkemeja hitam lengan panjang dengan lengan yang sedikit digulung, celana chino hitam pas tubuh, serta sepatu kulit hitam polos. Serba hitam….

‘Seperti malaikat pencabut nyawa,’ pikir Cheryl, tanpa secuil simpati di sorot matanya, apalagi belas kasih.

Wajahnya memang tampan, baiklah… sangat tampan. Tapi dingin. Terlalu dingin. 

“Waktu bapakmu tidak banyak,” kata pria itu, datar. “Kita harus segera menikah, sebelum bapakmu benar-benar meninggal.”

Kata-kata itu menghantam Cheryl seperti tamparan keras. Cheryl ternganga. Seolah yang dibicarakan oleh pria itu bukanlah sesuatu yang sakral saja, tapi hanya hal sepele yang bisa dikerjakan disela-sela kesibukan. 

Dan apa dia bilang tadi? ‘Sebelum bapakmu betul-betul meninggal?’

“Kamu gila, ya?” desis Cheryl, suaranya bergetar dengan amarah yang coba ia tahan. Tatapannya tajam, menusuk sepasang mata dingin di depannya. “Kamu pikir ini lelucon?”

Pria itu tersenyum tipis, senyuman yang lebih terasa seperti ejekan. “Lelucon atau bukan, ini hanya soal memenuhi permintaan seseorang di akhir hidupnya. Apa susahnya?”

“Apa susahnya?” Cheryl mengulang ucapan pria itu dengan nada tinggi. “Heh! Semudah itu menurutmu?” 

“Tidak juga sih,” pria itu mengedikkan bahunya dengan santai. “Tapi, masalah sepele atau rumit itu… tergantung gimana cara kita menyelesaikannya, kan?” 

Ada seringai tipis di wajah tampan tapi dingin itu. 

“Perlu kamu tahu, aku bisa saja menolak permintaan bapakmu, tapi aku berbaik hati mengiyakan permintaannya untuk menikahimu.”

Cheryl terdiam. Dia tidak habis pikir. 'Sombong sekali orang ini?'

“Kenapa tidak kamu tolak saja?” ketus Cheryl.

“Dan membiarkan bapakmu mati dengan membawa rasa kecewanya karena penolakanku?” balas pria itu, suaranya nyaris berbisik. 

Dia kemudian mengedikkan bahunya dengan santai. “Baiklah, kalau itu yang kamu inginkan. Aku akan bilang pada bapakmu, bahwa kamu memintaku untuk menolak pernikahan ini. Jadi... kalau bapakmu meninggal dengan membawa rasa kecewa, toh kecewanya itu bukan sama aku, tapi kamu… anaknya sendiri.”

Hati Cheryl mencelos. Kata-kata pria itu terdengar dingin, tajam, dan menghakimi.

“Aku juga tak sebegitu inginnya menikahi kamu… gadis cengeng yang bahkan tak pernah aku kenal.” 

Cheryl tersentak. Sial, betapa mudahnya pria itu bicara… tanpa perasaan!

“Oke. Aku akan bilang ke bapakmu, sekarang.”

Ketika pria itu benar-benar mulai melangkah menuju ruang perawatan Pak Bondan, Cheryl menjadi panik. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Tu-tunggu…!” suaranya pecah, nyaris memohon.

Pria itu berhenti. Menoleh santai dengan ekspresi datar. “Ya?”

Cheryl menggigit bibir, menelan bulat-bulat konflik yang mengguncang dirinya. Permintaan menikah itu bukan lagi tentang dirinya. Tapi ini tentang harapan terakhir dari bapak, seseorang yang sangat ia cintai lebih dari apapun.

“B-baiklah,” Cheryl menghela napas berat, suaranya terdengar hampir berbisik. “Ayo… menikah.”

Dalam benaknya yang penuh konflik, Cheryl terpaksa menyetujui permintaan terakhir bapak.

Persiapan pernikahan itu berjalan secepat kilat, seolah waktu berlomba dengan napas Pak Bondan yang makin pendek. Keduanya sepakat untuk menikah siri—tak ada waktu untuk mengurus secara resmi. 

Upacara pernikahan itupun cuma dihadiri oleh dua orang saksi yang diambil dari staf rumah sakit, dan seorang penghulu yang siap memimpin akad nikah. 

Pernikahan yang sangat sederhana, tapi penuh beban.

Pria dingin itu duduk di samping Cheryl, tak sedikit pun menunjukkan emosi. Tatapannya kosong, seolah pernikahan ini hanyalah kontrak bisnis, bukan pengikat dua jiwa.

Saat penghulu melantunkan ijab kabul, hati Cheryl terasa semakin berat. Tangannya gemetar, tapi pandangannya tetap terpaku pada wajah lemah bapaknya. Di mata Pak Bondan, Cheryl melihat kelegaan, cinta, dan permintaan yang tak terucapkan.

“Ananda Bara Wardhana bin Wishnu Wardhana, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan ananda Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin berupa perhiasan kalung emas seberat 25 gram, dibayar tunai.”

Untuk sejenak, pria dingin bernama Bara Wardhana itu terdiam. Cheryl meliriknya, berpikir bahwa pria itu mungkin ragu-ragu kemudian akan menghentikan pernikahan yang tak masuk akal ini. 

Namun ternyata, dengan sekali tarikan napas pria itu akhirnya berikrar, “Saya terima nikah dan kawinnya Cheryl Anindita binti Bondan Purnomo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

Ketika Bara mengucapkan ikrar pernikahan dengan suara datar, hati Cheryl mencelos. Kata-kata itu terdengar jelas, tapi kosong. Seperti lembaran kertas tanpa makna. 

Akan tetapi, ketika saksi akhirnya berkata, “Sah,” ia melihat wajah bapaknya berubah. Ada senyum damai yang menyungging di bibir Pak Bondan, juga… air mata menetes dari sudut matanya.

Pak Bondan menatap Cheryl penuh kasih. Ada kedamaian yang terpancar jelas di wajahnya. Melihatnya, Cheryl ikut tersenyum sambil menyeka air matanya. 

Mata Pak Bondan tiba-tiba terpejam, senyumnya yang masih terpatri seolah menyimpan kedamaian abadi. Bersamaan dengan itu, bunyi monoton beep yang panjang tiba-tiba terdengar di ruangan. Grafik monitor di sebelah ranjangnya kini berubah menjadi garis lurus yang memanjang tanpa jeda.

Suara itu seperti lonceng peringatan, memecah suasana seketika. 

Paramedis segera bergerak cepat. Dokter mendekat dengan defibrillator di tangan, sementara perawat yang lain dengan cekatan memeriksa tanda-tanda vital Pak Bondan. 

Namun, meski berbagai upaya dilakukan—kompresi dada, suntikan adrenalin, hingga perangkat kejutan listrik—garis pada monitor itu tetap tak bergerak, seperti mengukuhkan kenyataan pahit yang baru saja terjadi.

“Bapak…!” Jeritan Cheryl menggema. Tangannya yang gemetar mengguncang tubuh sang bapak, seakan berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang segera berlalu. 

Namun, tubuh Pak Bondan tetap diam, tak lagi merespons. Keheningan mencekam menggantung di udara, mengiringi tangis Cheryl yang pecah dalam kepedihan.

Pada akhirnya, senyum damai di wajah Pak Bondan menjadi jawaban atas harapan terakhirnya—melihat putrinya menikah dengan pria yang telah ia pilihkan.

Sementara itu Bara hanya terpaku melihat pemandangan itu. 

Rahang pria itu tampak mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Perlahan ia menarik napas panjang yang terdengar begitu berat, seolah sama beratnya dengan beban tanggung jawab yang baru saja berpindah ke pundaknya. 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
usut siapa yg menabrak bapakmu?
goodnovel comment avatar
Rahmania Nia
inalillahi wainailaihi Raji'un semogaa Husnul khatimah pak bondan.........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   291. Takdir Tak Memerlukan Izinmu

    Mimi mendorong pintu kamar Baby pelan, nyaris tanpa suara. Dua pelayan lain mengikuti di belakangnya, langkah mereka teratur, seragam, seperti pasukan kecil yang bergerak dengan satu komando.Di sudut kasur, Baby meringkuk. Rambutnya berantakan, mata membesar memandangi pintu yang tiba-tiba terbuka. Napasnya memburu. Ia tampak seperti anak kucing basah yang tersudut, siap mencakar siapa pun yang mendekat.Begitu Mimi melangkah ke dalam, Baby sontak bangkit. Kakinya terantuk sudut ranjang, tapi ia tak peduli. Suaranya pecah jadi jeritan.“Apa yang kalian lakukan?! Kenapa masuk-masuk kamarku tanpa izin?!”Mimi tak menjawab. Ia hanya menoleh pada salah satu pelayan, memberi aba-aba singkat.Pelayan di belakangnya segera membuka lemari, menarik gantungan baju satu per satu. Suara gesekan gantungan menambah panas di kepala Baby.“STOP IT!” jerit Baby. Tangannya meraih bantal, melemparkannya ke arah Mimi, tapi Mimi tak berhenti. Bantal itu jatuh di kaki pelayan yang sibuk melipat baju.“Ka

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   290. Jangan Harap

    Nyonya Anne hanya tersenyum penuh makna.“Tapi kamu dan Baby tidak memiliki ikatan darah, Bara. Kalian sah-sah saja kalau menikah. Lagipula… pertunanganmu dengan Milena juga sudah tidak mungkin dilanjutkan, bukan?”Bara diam. Diamnya tajam seperti pisau basah baru diangkat dari batu asah. Rahangnya menegang. Otot lehernya berdenyut, seolah menahan sesuatu yang hampir tumpah.Dadanya terasa dihantam batu. Berat. Panas. Kata-kata Nyonya Anne berputar di kepalanya seperti rantai besi—membelenggunya lagi di sudut tanggung jawab yang seharusnya bukan miliknya.Ia menahan napas. Menelan dengus marah yang nyaris meledak. Matanya terarah lurus pada Nyonya Anne. Tatapannya dingin, membakar, menguliti sisa keberanian di wajah wanita itu.Dan di sela retak benaknya, Bara mendengar pesan kakeknya yang masih menancap di dasar kepalanya.“Jangan terlalu menghukum dirimu, Nak. Tak perlu jadi martir. Kematian Sabira sama sekali bukan salahmu.”Seketika, sisa sabarnya runtuh.Bara mencondongkan tubuh.

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   289. Sah-Sah Saja

    Bara sampai di rumahnya. Lampu-lampu gantung kristal di foyer memantulkan kilau ke seluruh lantai marmer, menelan bayangan Bara yang baru pulang melewati pintu besar dari kayu jati solid. Beberapa pelayan berdiri berjejer, menyambut serempak dengan anggukan hormat. “Selamat datang, Tuan.”Bara hanya mengangguk, dingin. Wibawanya sudah cukup jadi jawaban untuk mereka.Di ruang tamu utama, Tuan Tomi dan Nyonya Anne duduk di atas sofa panjang berbalut beludru krem keemasan dengan sandaran berukir halus. Beberapa bantal dekorasi berlapis sutra tersebar di sisi-sisinya, menciptakan kontras mewah dengan meja tamu berpermukaan marmer putih yang di atasnya mengepul teko teh porselen bermotif biru tua.Mereka tampak terlalu santai di sana, menyesap teh seolah berkunjung ke vila musim panas, bukan di rumah orang yang telah berbaik hati menampung putri mereka—yang kini mengunci diri di sebuah kamar sambil menangis karena ketakutan mereka datang.Bara menapaki permadani Persia yang merentang di a

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   288. Tak Perlu Jadi Martir

    Bara baru saja selesai berpakaian ketika ponselnya mulai bergetar di nakas. Layar itu menampilkan satu nama yang jarang muncul. “Mimi”.Kepala pelayan di rumahnya, wanita setengah baya yang selalu bicara seperlunya. Kalau Mimi menekan tombol call, pasti ada yang sedang tidak beres di rumahnya.Bara mendesah pendek. Satu bagian dari otaknya berteriak: “Jangan angkat. Nikmati malammu barang lima menit lagi.” Tapi, tangannya sudah bergerak duluan.“Ya, Mimi?” Suaranya keluar dingin. Seperti biasa. Dia selalu terdengar seperti pria yang tak bisa disentuh.“Maaf mengganggu, Tuan. Tapi ini mendesak. Orangtua Nona Baby datang ke rumah. Mereka ingin bertemu dengan Nona Baby, tapi Nona Baby justru mengunci diri di kamar, menangis sambil menjerit-jerit. Saya tidak bisa menanganinya sendiri. Pak Sofyan juga belum datang.”Sial.Malamnya hancur dalam detik. Bara mendongak, menatap langit-langit kamar hotel yang bagai menekannya. Dia ingin marah, tapi apa gunanya?“Aku bahkan baru mau istirahat

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   287. Puppy Eyes and Hidden Knives

    Reno berdiri di tengah ruangan suite, tangannya merapikan kerah kemejanya yang kusut sedikit. Beberapa kru dekorasi baru saja merapikan pita terakhir, lalu mengecek ulang balon yang bertuliskan huruf emas: “Happy Graduation, Dear Cheryl.”“Sudah siap, Pak Reno,” lapor seorang anggota tim asisten pribadi Valen. Sementara kru dekorasi dengan cekatan membereskan sampah dan merapikan ruangan. Reno menoleh, tatapannya menyisir tiap sudut ruangan. Pita satin sudah terpasang manis di pojok. Kue putih tampak cantik di meja sudut. Kotak hadiah berlapis kertas emas pun sudah siap menunggu.“Good job. Kalian bisa pulang sekarang. Terima kasih,” ujarnya sambil menepuk bahu anak buahnya itu.Semua orang langsung mengangguk, berkemas cepat tanpa banyak bicara. Suara pintu suite terbuka lalu tertutup lagi, meninggalkan Reno sendirian.Reno baru saja hendak memastikan pita terakhir di balon tidak miring, ketika ponselnya tiba-tiba bergetar di saku celana. Layar menyala, menampilkan nama “Dokter Josh

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   286. Bukan Karena Pisau Cukur

    Cheryl terpaku di depan cermin meja rias. Ia sudah memakai piyama tidurnya. Rambutnya sudah selesai dikeringkan dengan hair dryer.Ia menggigit bibir bawahnya—bibir yang masih tampak bengkak, merah, lembap. Jejak ciuman Valen yang menempel begitu dalam, seolah masih menekan syaraf di belakang tengkuknya.Dan saat ia melirik sekilas, tatapannya membentur plakat yang tadi diserahkan oleh Bara.Ia langsung menunduk, seolah tak sanggup memandang lebih lama lagi. Entah kenapa, ada yang terasa aneh. Dadanya tiba-tiba berdegup kencang, tapi bukan karena ciuman tadi. Ada sesuatu yang berdesir di balik tulang rusuknya—sebuah rasa bersalah yang bahkan sulit ia beri nama.Ia tak menyangkal, bahwa ia memang tenggelam. Nyaris hanyut di bawah sentuhan Valen yang lembut tapi menuntut. Ia bahkan mendesah, menikmati dan membalas ciuman itu. “Astaga,” gumamnya sambil menangkupkan telapak tangannya di wajah. Sungguh. Ia merasa bersalah pada Valen. “Gara-gara mimpi sialan!” erangnya menyalahkan diri

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status