Share

CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku
CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku
Author: Indy Shinta

1. Permohonan Bapak

Author: Indy Shinta
last update Last Updated: 2024-11-08 16:58:05

“Saudari… Cheryl Anindita. Kami dengan bangga mengumumkan bahwa Anda lulus dengan nilai A plus.”

Cheryl terpaku, hampir tak percaya. Ia mendapatkan nilai A plus dari dosen penguji yang terkenal killer? 

"Terima kasih, Pak...," ucapnya pelan, suaranya nyaris bergetar.

Nilai yang memuaskan ini bukan sekadar penghargaan untuk dirinya sendiri. Ini adalah persembahan terbesar yang bisa ia berikan untuk Bapak, sosok yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya sehingga Cheryl bisa mencapai titik ini.

Di titik pencapaiannya ini, Cheryl tak sabar ingin berbagi kebahagiaan dengan Bapak, seseorang yang selama ini menjadi pendorong terbesar bagi setiap langkahnya.

"Bapak pasti senang banget dengar kabar ini," gumam Cheryl seraya menempelkan ponsel ke telinganya, menunggu suara hangat bapak menyapa di ujung sambungan telepon. 

Akan tetapi, hanya nada dering panjang yang ia dapati. Padahal biasanya bapaknya cepat merespons. Apalagi bapaknya tahu hari ini Cheryl sedang menghadapi hari penting. 

"Kok tumben sih Bapak sulit ditelepon?" 

Dengan langkah gontai, Cheryl berjalan keluar dari gedung fakultas. Bibirnya tersenyum saat berpapasan dengan teman-teman yang memberinya selamat. Namun senyum itu lenyap kembali setelah teman-temannya berlalu pergi. Pikirannya terus memikirkan bapak yang mendadak sulit dihubungi.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Cheryl seketika tersenyum melihat nama “Bapakku Pahlawanku” akhirnya terpampang dalam layar, meneleponnya. 

"Pak…! Cheryl udah lulus, Pak… dapat nilai A plus! Cheryl udah jadi Sarjana sekarang!” pekiknya, rasa senang membuncah dalam dadanya. 

“Hmm. Selamat.”

Cheryl tercekat.

Suara itu… bukan bapaknya. Suara itu terlalu asing, dingin, dan kaku. 

Keningnya berkerut, matanya menyipit. “Si-siapa… ini?” 

Mendadak, perasaannya sangat tidak enak. 

“Kamu Cheryl Anindita, putrinya Pak Bondan Purnomo. Benar?” tanya suara asing di ujung telepon.

“I-iya.”

“Pak Bondan kecelakaan dan sekarang sedang kritis. Cepat ke IGD rumah sakit Bintang Hospital yang ada di Karawaci, sekarang.”

Cheryl terhuyung. Jantungnya seolah berhenti sejenak. 

Kecelakaan? Rumah sakit? 

Tubuh Cheryl terasa lemas, dan semua yang tadinya ingin ia sampaikan kepada sang bapak seperti lenyap begitu saja.

"Ta-tapi… bapak saya… baik-baik saja, kan? Dan Anda…, siapa?" suara Cheryl bagai tercekik, hampir tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi.

Terdengar helaan napas yang tak sabar di ujung sambungan telepon. “Kamu dengerin saya nggak, sih? Saya bilang tadi kan kritis. Sudah. Jangan banyak tanya, cepat datang saja.”

Dunianya seakan berhenti berputar. Semua rasa lega yang ia rasakan sebelumnya lenyap, digantikan kekhawatiran yang mendalam. 

Tubuhnya mendadak lemah, namun ia tak boleh berlarut-larut dalam kekagetannya. Bapak, yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya, kini membutuhkan dia.

"B-baik...," suara Cheryl pecah, air matanya langsung mengalir deras, "sa-saya... ke... sana... se-sekarang," ujarnya dengan terisak-isak.

“Dengar… terkadang air mata tidak berguna, hanya akan membuatmu panik dan bodoh. Berhenti menangis… dan cepat bawa dirimu ke sini sekarang juga.” 

Suara bariton itu terdengar datar, bahkan terkesan acuh tak acuh. 

Cheryl mengatupkan rahangnya. 

Suara itu… datar dan dingin. Tidak peduli apapun yang terjadi, suara pria itu tetap terdengar seolah-olah dia sedang berbicara tentang cuaca, bukan tentang kecelakaan yang melibatkan orang yang sangat penting dalam hidup seseorang.

"Apa dia cacat emosi? Makanya miskin simpati begini,” geram Cheryl dalam hati. 

"Aku tahu!" ketusnya kesal.

“Bagus kalau tahu.”

Cheryl ingin mengomel lebih banyak, tapi tiba-tiba sambungan telepon diputus begitu saja.

Ia terdiam. Hanya ada suara hampa dari ponselnya yang kini mati. 

Kecewa dan marah bercampur aduk dalam dadanya. 

"Ugh! Orang ini… betul-betul ya…!" 

***

Cheryl hampir tersandung saat memasuki ruang IGD. Pikirannya penuh dengan kecemasan yang tak bisa dia hilangkan. Dalam sekejap, semua yang direncanakannya tentang hidupnya setelah wisuda menjadi tak penting lagi.

“Sus, saya… keluarga Pak Bondan, korban kecelakaan yang katanya dirawat di sini,” katanya dengan napas sedikit tersengal usai berlari saat menuju ke sini.

Perawat segera membawa Cheryl menemui dokter yang menangani bapaknya. Tubuh Cheryl lemas saat dokter menjelaskan kondisi sang bapak.

“Pasien mengalami cedera serius. Kami sudah melakukan tindakan darurat, tetapi kami membutuhkan persetujuan dari pihak keluarga untuk operasi lebih lanjut.” 

Cheryl berusaha menahan tangis yang sudah mendesak keluar. Namun, begitu mendengar kata ‘cedera serius’, ia tak kuasa menahan air matanya lagi. 

“Persetujuan operasi?” Cheryl mengulang dengan suara gemetar. 

Dokter mengangguk. “Operasi ini diperlukan untuk menstabilkan tekanan darah dan menghentikan pendarahan internal. Kami memerlukan persetujuan dari pihak keluarga agar kami bisa segera melanjutkan tindakan,” jelasnya.

Si dokter memandang Cheryl dengan sorot simpati. “Kami akan melakukan yang terbaik. Tim dokter sedang mempersiapkan segala sesuatunya. Jangan memikirkan soal biayanya, sebab sudah ada pihak yang siap bertanggung jawab penuh atas semua biaya perawatan pasien sampai sembuh.” 

‘Tidak perlu memikirkan biayanya, sampai pasien sembuh’. Setidaknya info itu sedikit melegakan.

Setelah berbicara dengan dokter, Cheryl segera menemui Pak Bondan yang terbaring lemah di sebuah ruangan, selang infus dan alat-alat medis tampak menempel di tubuhnya yang dipenuhi luka.

“Pak… tolong bertahan… Cheryl mohon... Cheryl… nggak punya siapa-siapa lagi selain Bapak.”

Ia sudah tidak punya ibu sejak kecil, hanya bapak... satu-satunya orangtua dan keluarga yang ia miliki. 

Cheryl mengumpulkan sisa keberaniannya yang mulai terkikis oleh ketakutan. Gadis itu menggenggam erat-erat tangan sang bapak, berharap ada keajaiban di balik segala ketakutan yang menderanya.

Tangannya tiba-tiba gemetaran, seakan takut bahwa kehangatan tangan bapak yang ia rasakan saat ini bisa menghilang sewaktu-waktu. 

Sementara itu, Pak Bondan hanya memandangi putri semata wayangnya itu dengan sorot yang begitu sendu.  “Che..ryl…,” panggilnya dengan begitu lirih.

“Iya, Pak?” Cheryl mendekatkan dirinya, agar bisa menangkap suara lemah sang bapak di antara bunyi mesin monitor di sekitarnya.

“Mungkin... waktu Bapak... nggak lama lagi....”

“Bapak jangan ngomong gitu….” Cheryl kian terisak-isak.

“Menikahlah, Nak.... Itu saja… yang ingin Bapak lihat… untuk... terakhir kali.”

Cheryl membeku.

Sungguh. Permintaan yang mustahil. Padahal, jelas-jelas bapaknya tahu... dia tak punya kekasih, apalagi calon suami.

Selama 22 tahun hidup, Cheryl menjalaninya dengan serius belajar demi bisa membanggakan sang bapak lewat prestasi akademiknya, hingga dia melewatkan hal-hal semacam berkencan dan pacaran.

“Menikah?” Cheryl menggeleng pelan. “Tapi, Pak… Cheryl menikah dengan siapa? Cheryl kan nggak punya—”

Tiba-tiba, matanya terkunci pada sosok pria tinggi tegap yang berdiri di sana, wajahnya kaku dan dingin, seolah tak peduli dengan apapun di sekitarnya. Tatapan matanya yang tajam dan penuh perhitungan seperti menembus dirinya, tanpa ada sedikit pun kehangatan.

“Denganku. Kamu akan menikah denganku, Cheryl Anindita.”

Cheryl ternganga.

Suara itu…

Itu... suara pria asing yang menyebalkan di telepon tadi!

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   181. Cuma Kamu yang Aku Punya

    Bara melangkah menuju lorong panjang yang menghubungkan ruang makan dengan kamar utamanya. Tangan Cheryl terpeluk erat di lehernya, sementara Bara memegang tubuhnya dengan penuh kewaspadaan, seakan takut kehilangan momen ini.Di sepanjang lorong, para pelayan yang melihat mereka langsung menunduk, memberi ruang dan menghormati privasi sang tuan dan nyonya. Tidak ada yang berani mengganggu mereka. Dalam rumah ini, Bara merasa bebas untuk bertindak sesukanya, dan mulai saat ini, dia memilih untuk menikmati setiap detik kebersamaannya dengan Cheryl.Bara mencuri satu kecupan singkat di bibir Cheryl, dengan lembut namun penuh hasrat. “Kamu tahu, Cher, aku sering memimpikan saat seperti ini,” katanya dengan suara yang teredam, hampir berbisik.Cheryl memandang Bara dengan tatapan hangat. “Seperti apa?”Bara mencium bibir Cheryl lagi, kali ini lebih lama, lebih dalam, menikmati rasa ciumannya yang membuat dadanya berdebar. “Saat aku bisa bebas menciummu setiap kali aku ingin, tak peduli ada

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   180. Istirahat dengan Baik

    Bara terdiam sejenak. Ia tahu betul, setiap langkahnya selalu disertai konsekuensi. Dan ia paham benar apa yang menantinya jika ia memilih untuk menemui Milena saat ini. Apalagi kalau bukan drama pertunangan mereka yang akan kembali disorot, menjadi konsumsi publik yang memuakkan."Ini yang Opa inginkan. Aku muncul di sana, berdiri di sisi Milena, memberi kesan bahwa aku calon suami setia." Ia mendengus dalam hati, muak dengan permainan panggung yang dirancang oleh kakeknya.Bara menoleh pada Sofyan. Matanya tajam, dingin, seperti saat ia menjatuhkan vonis akhir dalam ruang rapat dewan direksi. "Sofyan, katakan pada Opa Sigit bahwa aku tidak akan datang. Dan katakan juga, aku tidak ingin terikat apa pun lagi dengan Milena."Nada suaranya tegas, final. Tangannya mempererat genggamannya pada Cheryl, seolah menegaskan pilihannya. Ia tidak akan berpaling dari istrinya lagi, tak peduli berapa banyak tekanan yang datang dari luar.“Tapi, Tuan—” Sofyan mencoba menyela, namun Bara segera memo

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   179. Mencintaimu Tanpa Tapi

    Cheryl langsung memeluk Bara dan menangis terisak dalam dekapan pria itu. Tubuhnya gemetar, bahunya naik-turun menahan sedu yang meledak tanpa bisa dihentikan. Air matanya membasahi dada pria yang kini ia peluk seerat mungkin, seolah hanya dekapan itu yang mampu menenangkan badai di dalam hatinya."Kamu tak perlu melakukan ini, Bara. Seharusnya kamu tak perlu bertindak sejauh ini," ucapnya sambil tersedu-sedu. Ia menenggelamkan wajahnya di dada Bara, merasa begitu kecil namun begitu aman dalam pelukan itu.Bara balas memeluk Cheryl lebih erat, seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Napasnya hangat menyentuh kulit kepala Cheryl saat ia berkata, "Aku mencintaimu, Cheryl. Aku akan melakukan apa pun untuk mempertahankan pernikahan kita."Ucapan Bara membuat Cheryl semakin tersedu. Tangisnya semakin dalam, mengalir bersama keyakinan yang baru saja tertanam kuat dalam dirinya. Kini ia percaya, sangat percaya bahwa Bara benar-benar serius menikahinya. Semua keraguan yang selama i

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   178. Di Mata Mereka, Ini Skandal

    Milena membeku. Darahnya seakan berhenti mengalir. Kata-kata Bara menggema dalam kepalanya, menusuk seperti duri di dada. “Aku jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama.”Milena menggeleng seraya bergumam pelan, “Semudah itukah… kau memalingkan hatimu, Bara? Bukankah kau juga pernah bilang cinta padaku? Hanya padaku…?”“Milena, cukup! Jangan rendahkan dirimu seperti ini di depan laki-laki yang sudah menolakmu!” seru Nyonya Dania, tak sanggup menyembunyikan amarah dan rasa malunya. “Mama tidak pernah mengajarkanmu untuk bersikap serendah ini!”Sedangkan Tuan Adiguna hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun kerutan di wajahnya cukup bicara banyak, bahwa ia tak menyukai arah situasi ini.“Aku mencintaimu, Bara! Tidak bisakah kau melihat betapa besarnya cintaku padamu?” tangis Milena pecah. Ia sudah tak peduli pada harga diri, pada omelan ibunya. Sebab baginya kehilangan Bara terasa lebih menakutkan daripada apa pun.“Aku tak pernah mengeluh padamu soal sakitku, kan

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   177. Aku Yakin

    Bara tahu apa maksud Milena. Ia tahu itu bukan tentang pekerjaan. Itu tentang penundukan. Tentang mempermalukan. Tentang membalas dendam dengan cara paling elegan namun menyakitkan.Lelaki itu berdiri tegap di samping Cheryl. Matanya terpaku pada wajah kakeknya, lalu beralih tajam ke arah Milena yang duduk di atas kursi rodanya dengan ekspresi puas, seolah baru saja memenangkan permainan yang telah dirancangnya sejak awal.‘Brengsek. Mereka boleh saja menekanku, aku siap menghadapi mereka dengan cara apapun. Tapi mereka tidak boleh melakukan ini pada Cheryl, pada istri yang kucintai,’ geramnya dalam hati.Dadanya terasa mengencang, seolah ada bara api yang menyala dan membakar dari dalam. Otot rahangnya menegang seperti kawat baja yang hampir putus. Ia melihat segalanya dalam gerak lambat: tatapan Milena yang seperti menelan Cheryl hidup-hidup, ekspresi Tuan Sigit yang dingin dan menghakimi, serta Cheryl yang berdiri kaku di sampingnya, dengan bahu sedikit bergetar dan sorot mata yang

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   176. Aku Pemiliknya

    Milena terpana di atas kursi rodanya. Ia duduk tegak, punggung lurus seolah tak ingin memberi celah sedikit pun bagi rasa lemah untuk terlihat. Jari-jarinya yang terletak di pangkuan sempat mengepal, namun segera ia renggangkan kembali dengan tenang, menjaga penampilannya tetap anggun.“Dari mana kamu mendapat cincin dan kalung itu, Cheryl?” ucapnya lirih.Nada suaranya tak meninggi, tapi mengandung ketegasan yang dingin dan menusuk. Tidak perlu berteriak. Kalimat itu meluncur ringan, namun cukup nyaring terdengar.Hening mendadak menyelimuti udara, bersama semua mata yang kini memandang ke arah Cheryl.Sorot mata Milena tajam, dingin, dan menyala dengan kekecewaan yang berusaha ia redam. Tubuhnya mungkin tak mampu melangkah mendekat, tapi keangkuhan dan harga dirinya tetap tegak berdiri. Kepalanya sedikit dimiringkan, seolah tengah menilai seseorang yang telah melewati batas.“Itu… milikku,” lanjutnya dengan suara yang sedikit lebih berat. “Bara membelikannya untukku di Paris. Kamu m

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   175. Simbol Cinta

    Di dapur, Cheryl tersentak. Suara Bara terdengar jelas, bulat, dan tanpa ragu. Kalimat itu, “Dia sangat berharga untukku,” menghempas dirinya seperti angin kencang yang datang tanpa aba-aba.Tubuhnya membeku, seolah waktu berhenti tepat saat kalimat itu mengalun dari bibir pria yang diam-diam telah menjadi pusat dari segala yang ia jaga. Dadanya bergetar hebat, seolah jantungnya menabrak dinding rusuk berulang kali. Sebuah rasa hangat meledak dari dalam dadanya, menyebar cepat hingga membuat jemarinya gemetar dan kakinya nyaris tak berpijak. Ia tak pernah berani membayangkan akan mendengar pengakuan itu secara terbuka. Dan ketika itu terjadi… rasanya terlalu indah untuk menjadi nyata.Namun kebahagiaan itu tak datang sendirian.Secepat gelombang hangat itu menyapu tubuhnya, datang pula dingin yang menggigit, mencengkeram tengkuknya dengan kuku-kuku tajam bernama ketakutan. Ditambah, suara berat Tuan Sigit yang menyusul kemudian, menyayat udara seperti belati.“Cheryl berharga? Seber

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   174. Perlu Kalian Tahu

    Di ruang makan, semua mata kini tertuju pada Bara. Sorot terkejut tergambar jelas di wajah Tuan Sigit. Bahkan, Nyonya Dania yang semula tertawa ringan, kini mematung dalam diam. Tapi yang paling mencolok adalah Milena, tangannya yang semula santai menggenggam pegangan kursi rodanya kini menegang. Jari-jarinya mencengkeram plastik pelapis kursi seperti mencoba mencari pegangan atas realita yang tiba-tiba berubah dingin.Bara menatap ke depan, tak bergerak. Biarpun dalam dadanya berdegup kencang, namun wajahnya tetap tenang, seperti topeng yang sudah lama ia pelajari untuk dikenakan. Ia tahu apa yang baru saja ia ucapkan bisa menimbulkan riak yang lebih dari sekadar kemarahan orangtua Milena dan kakeknya. Tapi prioritasnya saat ini adalah mempertahankan Cheryl. Masih lekat dalam ingatannya ketegaran yang ia lihat di mata wanita itu ketika berpaling, adalah sesuatu yang tak bisa lagi ia abaikan. Tidak. Bara tak ingin kehilangan Cheryl, tidak sekarang atau besok. Jika ia harus melawan

  • CEO Dingin yang Terpaksa Menikahiku   173. Terima Kasih Telah Mencintaiku

    Air hangat yang menyapu kulitnya seperti selimut lembut dari langit, membuat Cheryl perlahan merasa tenang. Uap tipis memenuhi kamar mandi, membungkus tubuhnya dalam kehangatan, cukup menenangkan badai yang bergemuruh dalam pikirannya. Ia menutup mata, membiarkan air itu jatuh dari bahunya, meresap hingga ke pori-pori, seakan bisa membilas luka yang tinggal karena pernikahan sirinya dengan Bara kini berada di ujung jurang.Cheryl lelah. Letih yang tak lagi bisa ditawar. Dan kali ini, ia memilih menyerah. Karena apa gunanya mempertahankan sebuah ikatan yang bahkan hukum pun tidak mengakuinya? Terlebih, Bara telah resmi bertunangan dengan Milena. Di depan keluarga besar mereka, di hadapan dunia. Cheryl kalah. Dan kekalahan itu terasa begitu nyata, seperti pecahan kaca yang menusuk setiap inci hatinya.Selesai mandi, Cheryl melangkah pelan ke arah lemari. Jemarinya menyentuh gaun-gaun indah, pakaian serba mahal yang dibelikan Bara, yang pernah membuatnya merasa dicintai, membuatnya sep

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status