Melihat Mentari yang melongo, Senja buru-buru berdeham dan meminum es lemonnya.
“Maksud saya, udah sewajarnya bagi saya sebagai atasan kamu untuk melindungi kamu, pegawai saya, kan? Kalau hal ini menimpa pegawai yang lain juga, tentu saja saya akan melindungi mereka juga. Jadi, ini bukan perlindungan yang diberikan secara romantis. Jangan salah kaprah.”
Barulah Mentari mengerti. Cewek itu tertawa dan mengucapkan terima kasih, lalu mulai menyantap makan siangnya. Sudah dia duga, tidak mungkin Senja Abimana melakukan hal yang sangat di luar karakter seperti itu. Dirinya saja yang sudah kegeeran. Dia melirik Senja yang kini terlihat bingung di tempatnya. Keningnya mengerut, sudah seperti lansia.
“Bapak kenapa? Kok nggak makan?” tanya Mentari de
“Wha—“ Mentari Chrysalis tidak mampu berkata-kata. Wajahnya terasa sangat panas. Bahkan, dia bisa mendengar Angelica Abimana bertanya kenapa wajahnya saat ini terlihat begitu merah. Mentari juga baru menyadari satu hal mengenai bosnya tersebut. Ternyata, bukan hanya keluaran neraka, Senja Abimana juga merupakan iblis berwajah malaikat! Bagaimana tidak? Dia selalu bersikap dingin dan menyeramkan, tetapi di belakang, rupanya Senja memiliki sifat menyebalkan seperti ini yang berbeda seratus delapan puluh derajat sifat aslinya. “Hm... kamu kehilangan kemampuan untuk berbicara,” angguk Senja sambil mengusap dagunya. “Itu artinya, menurut kamu, saya memang ganteng. Well, selera kamu ternyata boleh juga. Saya setuju. Jangan sampai kamu malah naksirnya sama bocah kekanakkan seperti sahabat ka
Hei, Awan... ngapain lo menelepon Mentari tanpa seizin gue? Kalimat Senja itu membuat kening Awan mengerut. Izin? Dia harus meminta izin kepada Senja jika ingin menelepon Mentari Chrysalis? Perkembangan apa yang sudah dia lewati mengenai hubungan keduanya? Apa mereka bukan hanya sekadar bos dan sekretaris? Oho... ini benar-benar menarik. Sudah cukup lama sejak Serena meninggal dunia dan Senja baru lagi bersikap sangat protektif seperti ini kepada lawan jenis. “Hei? Lo budek?” tanya Senja lagi di ujung sana, membuat Awan tersadar dari lamunannya dan berdeham. Dia juga bisa mendengar seruan jengkel dari Mentari. Kemungkinan besar karena ponselnya direbut secara paksa oleh Senja. “Pak Senja, ini benar-benar tindakan semena-mena! Bapak suka seenaknya aja bersikap dan sekarang main ngerebut barang saya! Saya bisa melaporkan Bapak ke kantor polisi! Balikkin ponsel saya! Pak Awan itu mau ngomong sama saya, bukan sama Bapak!” Awan mengulum senyum dan menahan tawanya. Dia sudah bisa me
Baru kali ini Mentari Chrysalis merasa sangat takut pada Samudra Pratama. Ya, memang sahabatnya itu terkadang selalu marah-marah kepadanya, demi kebaikannya dan keselamatannya sendiri. Namun, tidak seperti sekarang, di mana cowok itu mengurungnya di dinding, mencengkeram lengannya dengan kuat hingga rasanya begitu nyeri dan memberinya tatapan tajam yang begitu menyeramkan. Mentari yang biasanya bersikap ceria dan tengil pun, kini seolah tidak bisa berkutik. Dia diam, menelan ludah, dan mati-matian menelan semua ketakutannya. Tapi, tubuh mungilnya tidak bisa berbohong. Tubuh itu gemetar hebat, namun Samudra seolah tidak bisa melihatnya. Jika dia menyadarinya, bukankah seharusnya cowok itu melepaskannya? “Lepasin gue, Sam!” seru Mentari, berusaha memperlihatkan keberaniannya. Bahwa dia tidak takut sama sekali dengan Samudra. Ini rumahnya, ini teritorinya. Tidak ada satu orang pun yang bisa semena-mena dengannya di tempat yang bisa membuatnya tenang dan nyaman. D
Uh-oh! Bahaya besar! Mentari tidak pernah menyangka dirinya akan melompat menjauh begitu saja, hanya karena Senja mencoba memegangnya. Semua ini karena perbuatan sialan Samudra semalam. Sepertinya, rasa trauma dan takut Mentari masih membekas di dalam dirinya. Bahkan untuk memaksa senyum saja, Mentari sangat sulit untuk melakukannya. Dia melakukannya sambil menunduk dan mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Tidak berani mengangkat wajah untuk bertatapan dengan Senja, yang auranya bahkan sanggup membuat Mentari semakin menciut. “Mentari,” panggil Senja sekali lagi. Masih setegas barusan. Dia mengambil langkah mundur, menciptakan jarak karena mengerti ketakutan Mentari saat ini. Tiba-tiba saja magma dalam dirinya menggelegak, meminta dikeluarkan dalam bentuk cacian dan makian. “Saya akan tanya sekali lagi. Apa yang terjadi sama kamu, sampai kamu bisa setakut ini? Seolah-olah kamu... baru aja dilecehkan oleh orang lain.” Kalimat itu membuat Mentari mematung dan menyentak napasn
Sebenarnya, Mentari tidak langsung pulang ke rumah, ketika dia kabur dari kantornya karena dikejar-kejar oleh bos sialannya itu, saat jam makan siang. Cewek itu berjalan-jalan di mal, menyantap makan siang walaupun tidak bisa dia nikmati karena nafsu makannya hilang begitu saja, sibuk menghindari pengunjung mal lainnya yang berjenis kelamin cowok jika sudah terlalu dekat dengannya dan masih banyak lagi. Kalau diingat lagi, Mentari merasa usianya bertambah lima puluh tahun daripada usia sebenarnya. Dia sangat kelelahan, seperti seorang nenek-nenek. Terlebih mentalnya. Dan semua ini karena si sahabat berengseknya, Samudra. Mentari heran. Ada apa dengan perilaku Samudra akhir-akhir ini? Semenjak Samudra tahu mengenai interaksinya dengan sang bos, dan semenjak dia salah paham dengan ucapan Senja, Samudra seperti menjelma menjadi anggota Yakuza. Marah-marah terus kerjaannya. Puncaknya ya kejadian semalam itu. Mentari tidak bisa mengenali Samudra sama sekali. Dia tak
Tersadar dari kekagetannya akibat kalimat bernada sensual dari Senja barusan, Mentari mengerjap, berdeham dan mendengus. Cewek itu bersedekap dan memalingkan wajahnya. Namun, Mentari masih menyempatkan diri untuk sesekali melirik Senja yang terlihat mengulum senyum. Dan... ya Tuhan! Sungguh mahakarya Tuhan yang sangat sempurna. Keseksian duda beranak satu merangkap bos galaknya itu memang tidak ada duanya! “Jangan asal ngomong deh, Pak. Saya lagi malas bercanda soalnya,” kata Mentari dengan nada yang dibuat sebete mungkin. Dia kembali melirik Senja yang kini mengusap dagunya dan nampak sedang berpikir. Ada apa? “Aneh,” sahut Senja kemudian. Masih dengan nada suara serak seksinya itu. “Seingat saya, saya nggak ngajak kamu bercanda tadi. Saya serius.” “Hah?” Mentari melongo dan mematung ketika perlahan, Senja Abimana mendekatinya. Langkah yang begitu pelan dan tenang itu seharusnya bisa membuat Mentari kabur detik ini juga, kar
Awalnya, Senja berpikir mungkin masalah yang terjadi di antara Mentari dan Samudra hanyalah masalah persahabatan pada umumnya. Tapi, Gerhana berkata bahwa Samudra marah-marah kepada Mentari, di teras rumah Mentari, memojokkan Mentari ke dinding sambil mencengkeram kuat tangannya hingga Mentari kesakitan. Wajar kalau Gerhana marah dan mengusirnya. Jika Senja ada di tempat kejadian semalam, mungkin dia akan menendang Samudra lebih dulu, alih-alih hanya mengusirnya dengan ancaman seperti yang dilakukan oleh Gerhana. Dan lagi, perbuatan berengsek apa yang sudah dilakukan Samudra, yang katanya merupakan sahabat Mentari, kepada cewek itu? Ini bukanlah sikap seorang sahabat kepada sahabatnya sendiri, jika hal tersebut membuat si sahabat terluka bahkan ketakutan. Senja men
Beberapa menit sebelumnya....Samudra Pratama harus segera bertemu Mentari Chrysalis. Karenanya, dia memacu motor sport-nya dengan kecepatan tinggi. Melaju di jalanan yang ramai, menyalip dan menghindari kendaraan lain dengan lincah dan tak kenal takut, seolah-olah dirinya sedang dirasuki oleh pembalap profesional. Melupakan sebuah fakta bahwa di boncengannya saat ini duduk sang sahabat sejak SMA, Jingga Saputri. “Sam! Sam! Bisa pelan-pelan bawa motornya?!” teriak Jingga, mengatasi kebisingan di jalan sekitarnya. Dia sudah memeluk kuat pinggang Samudra, bahkan menarik jaket yang dipakainya, tapi sahabatnya itu tak juga tersadar. Ketakutan sudah menguasai diri Jingga saat ini. Ya, dia memang ingin bertemu dengan Mentari karena sudah lama tidak bertemu dan bermain bersama