Diruangan CEO RK Company, seorang pemuda tak henti-hentinya menunduk sambil mengucapkan kata maaf kepada lelaki muda yang sedang menyesap kopinya.
"Kamu selamat, jika saja saya ketauan. Kamu saya pindahkan ke bagian OB hari ini juga." Ucap lelaki muda yang diketahui sebagai CEO RK Company."Maaf bos, saya tidak bermaksud terlambat. Sungguh tadi dijalan para warga menghentikan mobil saya dan meminta bantuan untuk mengantarkan ibu hamil yang akan melahirkan. Saya tidak bisa menolak karena mereka langsung membuka pintu dan menaikkan ibu-ibu itu." Jawab pemuda jujur, dia adalah Albert asisten pribadi nya.Tanpa menjawab apapun lelaki muda itu melambaikan tangannya ke arah Albert pertanda dia menyuruhnya keluar dari ruangan ini."Raya!!" Teriak Meisya yang lagi-lagi berkas fotocopy nya ketumpahan kopi Raya untuk kesekian kalinya."Sory sory. Gak sengaja Kak." Ucap Raya sambil menyatukan kedua telapak tangannya ke atas kepala sambil membungkuk."Sory mulu, udah ku bilang kau kalo ngopi jangan dekat-dekat samaku. Tiga tahun kerja bareng kau, ku rasa stok kertas ketumpahan kopimu udah segudang ini, Ray!" Omel Meisya dengan logat orang Medan kepada teman sejawatnya itu. Meski hampir tiap hari dia mengomel karena Raya, namun dia menyayangi Raya seperti adiknya sendiri. Mengingat selisih usia mereka yang terpaut 2 tahun.Tiga tahun sudah, sejak Raya diterima sebagai karyawan tetap Perusahaan RK Company, sejak itulah mereka bersahabat. Meisya mengajak Raya untuk pindah ke kost an nya yang memang jaraknya dengan RK company lebih dekat dari pada kost an Raya yang lama. Kebetulan saat itu ada kamar kosong tepat di sebelah Meisya, karena yang menempati sebelumnya baru saja pindah.Hari-hari Meisya berubah menjadi serba berisik sejak ada Raya di hidupnya. Namun dia senang, karena tak perlu merasa kesepian saat jauh dari keluarganya yang menetap di Kota Medan. Begitu pula dengan Raya yang memutuskan untuk pindah ke Bali setelah menyelesaikan pendidikan SMA nya di Jakarta.Malam itu ayah dan bunda nya Raya berusaha mencoba menjadi penengah dan membantu untuk menyelesaikan kesalah pahaman antara Raya dan Awan. Namun keputusan Raya sudah bulat dan dia memilih untuk pindah ke Bali melanjutkan kuliahnya."Kak, mataku pegel nih." Ucap rasa sambil mengusap-usap mata kanannya. Yang sejak tadi pagi berkedut tiada henti."Kenapa?" Tanya Meisya tanpa mengalihkan perhatiannya dari tumpukan berkas yang harus dia copy ulang karena berkas sebelumnya sudah rusak akibat kopi Raya."Mataku kedutan aja dari pagi.""Ada kawan lama yang mau kau jumpai keknya, gitu sih mitosnya. Entah iya entah enggak kakak pun gak tau. Soalnya kalo mata ku kedutan lupa pulak buat ngeceknya. Ku jalani aja hari-hariku. Tanpa peduli siapa-siapa yang mau kujumpai. Hahaa...""Ada-ada aja kakak ini.""Ya memang iya."Kemudian Raya kembali duduk di tempat nya. Dan dia termenung seperti sedang mengingat sesuatu. Pandangan yang tadi nya penuh semangat kini berubah menjadi sendu."Ih, kenapa pulak kau Raya. Nanti kesambet kau baru tau." Ucap Meisya."Tiba-tiba kangen, Kak." Lirih Raya sambil meneteskan setitik air mata nya. Meisya menyadari ada yang tidak beres pada Raya. Dia segera memberikan tanda kepada berkas yang sudah di fotocopy lalu berjalan menghampiri Raya."Kangen sama mantan mu itu?" Tanya Meisya begitu menggeser satu kursi dan duduk di hadapan Raya."Ya, Kak. Kak, kenapa sih kak move on itu susah?" Tanya Raya dengan polosnya."Hahaa... Gak ada yang susah Raya kalok kau niat untuk ngelupain dia. Kecuali kau masih ngarep buat balikan sama dia. Semua berawal dari niat sayang." Ucap Meisya ngegas. Begitu lah Meisya walau nada dan logat bicaranya sedikit kasar, namun dia memiliki hati yang tulus."Ish! kakak ini. Plakk!""Alahmak! Udah pintar nepok kau sekarang ya?" Ucap Meisya."Hahaa... kakak yang ngajarin. Wekkk!" Wajah sendu tadi hilang seketika ketika dia melihat ekspresi wajah Meisya, kemudian dia menutup sebelah matanya dan menjulurkan lidahnya ke arah Meisya."Udah sana lanjutin kerjaan kakak, ganggu aku aja. Hushh." Usir Raya lagi pada Meisya."Ih, kurang ajar ini anak!" Bentak Meisya sambil menoyor kepala Raya pelan. Begitulah mereka, tiga tahun hidup bersama membuat Raya terbiasa dengan cara Meisya. Cara bercanda orang Medan pada umumnya. Awalnya dia sempat kaget, disaat mereka sedang tertawa terbahak tiba-tiba Meisya memukul pundaknya dengan keras. Namun melihat muka Meisya yang semakin memerah karena tertawa sambil mengeluarkan air matanya, dia kembali melanjutkan tawa yang sempat tertunda."Hahaa... "Mereka kembali diam fokus dengan pekerjaan masing-masing hingga tiba waktunya istirahat untuk makan siang. Namun Raya tak kunjung menyudahi pekerjaannya. Dia masih sibuk meremas dan membuang kertas kesembarang tempat, sudah puluhan kertas berserakan dilantai itu. Namun Meisya tak peduli."Ray, yok makan dulu." Ajak Meisya."Iya, kak. Duluan. Nanggung ini, nanti kalo ditinggalin takutnya aku kelupaan sampek mana tadi." Jawab Raya. Ini memang kebiasaannya, selalu menyesaikan pekerjaan terlebih dahulu sebelum meninggakkannya."Huftt... Akhirnya!" Ucap Raya setelah menarik nafas lega sambil memijit-mijit pergelangan tangan kanannya yang terasa keram, sebab selama tuga jam tiada henti dia sibuk menyelesaikan hasil desainnya.Kemudian dia melihat kearah jam tangannya. Masih ada sisa waktu sepuluh menit. Dia segera bangkit dan berlari menuju kantin dimana Meisya menunggunya."Drtt... Drtt... " Terasa getaran Hp disaku celananya beserta nada dering lagu "Bagaikan Langit" by Melly Goeslow. Menarik perhatian seorang laki-laki yang berjalan berlawanan arah dengannya."Halo, kak Mei. Sabar, ini aku lagi otw kantin." Ucap Meisya langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu si penelepon membalas perkataannya."Bugh!!""Prakkk!!""HP ku!!" Raya langsung bergegas memunguti HP nya yang sudah menjadi banyak berserakan di lantai."Hikss... hikss... " Isak tangis nya terdengar oleh pria yang termangu menatap punggung Raya yang sedang membungkuk menangisi HP nya. Ingin rasanya dia mengulurkan tangan untuk membantu Raya. Namun di urungkannya."Maaf!" Ucapnya dingin layaknya seorang CEO perusahaan besar. Ya, Raya menabrak CEO tempat dia bekerja. Namun dia tidak menyadarinya. Karena selama tiga tahun dia bekerja disini, sekalipun dia tidak pernah bertemu dengan CEO nya. Jadimana dia tahu kalau itu adalah CEO nya."Iya, gak papa. Aku yang salah jalan gak lihat-lihat." Ucap Raya sendu masih menangisi HP nya."Nanti aku ganti HP nya." Ucap pria itu lagi."Gak perlu, gak papa kok beneran." Balas Raya sambil berdiri sejajar menatap pria yang di tabrak olehnya. Lelaki itu tampak gugup ketika Raya menatapnya. Dia pun berusaha untuk mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Raya."Raya!" Ucap Raya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Membuat lelaki itu termanggu seakan tak percaya, kalau gadis dihadapannya ini mengajaknya untuk berkenalan. Itu artinya ..."Herlambang." Jawab lelaki itu mantab sambil menjabat tangan Raya tanpa berfikir lebih panjang."Kamu dari departemen apa? Aku gak pernah lihat kamu sebelumnya." Ucap Raya jujur. Karena selama dia bekerja disini, dia dikenal sebagai sosok yang mudah bergaul. Hampir semua karyawan yang ada diberbagai departemen di perusahaan ini mengenalnya begitupun sebaliknya."Aku?""Buk, nasi ayam penyet satu sama teh hangat ya." Raya memesan lalu mencari keberadaan Meisya dan teman-teman nya dari departemen desain. "Sini, Ray!" Panggil Meisya yang melihat Raya sedang celingukkan mencari keberadaan mereka. Raya langsung berjalan menuju ke tempat dimana para temannya bertahta. Namun ketika Raya baru sampai di meja sebelah, tiba-tiba seorang wanita berdiri dan bertabrakan dengan Raya. "Brukkk!!" Raya pun jatuh tersungkur ke lantai, lututnya memar mengeluarkan sedikit darah. Ingin rasanya dia menangis, namun itu tidak mungkin dia lakukan disini. "Eh, kau kalo berdiri pakek mata! " Bentak Meisya kepada perempuan itu sambil menghampiri Raya dan membantunya untuk berdiri. Namun Raya sepertinya kesusahan. "Berdiri pake kaki bego'! Bukan mata. Dasar kacung!" Balas perempuan itu yang tak terima di bentak oleh Meisya. Yang mereka kenal sebagai Sintya, dari departemen pemasaran. Sintya memang selalu saja mencari masalah dengan Raya, namun Raya selalu mengabaikan keber
"Jangan bercanda deh." Seru Raya sambil menepuk lengannya sedikit bertenaga. Membuat si empu nya tertegun merasakan pukulan gadis mungil dihadapannya ini. Entah apa yang dipikirkannya. Namun sedetik kemudian dia menertawakan kekonyolannya sendiri. "Aku dari departemen Keuangan." Jawabnya asal sambil tertawa singkat. Raya pun menganggukkan kepalanya. Sebenarnya dia tidak berbohong. Dia adalah CEO disini, maka dari itu departemen apapun yang disebutkan sebenarnya ya dia tidak berbohong. Karena memang semua departemen disini berada dibawah pengawasannya. Kemudian Raya kembali mengangkat kepalanya dan menatap lekat kepada manik mata lelaki yang mengaku bernama Herlambang itu. Untuk kedua kali nya dalam satu hari ini. Lelaki yang dijuluki CEO Galak itu benar-benar gugup dibuatnya. "Kau mengingatkanku dengan seseorang." Degg!! Jika di perhatikan dengan seksama akan terlihat perubahan ekspresi pada wajah Kurniawan saat itu. Gurat wajahnya seakan menegang. Telapak tangannya tampak berke
Kurniawan HerlambangSeorang pemuda yang berhasil mendirikan perusahaan namun berkembang pesat hanya dalam waktu empat tahun. Ya, dia adalah Awan nya Raya. Sejak kepergian Raya tujuh tahun yang lalu Awan merubah dirinya menjadi sosok lelaki yang pekerja keras dan ambisius. Nasehat bunda Raya selalu terngiang di telinganya setiap saat."Mungkin ini cara Tuhan agar kalian fokus pada masa depan. Kejar mimpi kalian masing-masing. Hingga tiba saatnya nanti waktu kembali memepertemukan kalian dalam kondisi yang jauh lebih baik dari pada sekarang."Demi bisa fokus Menata masa depannya, Awan meminta izin pada papa dan mamanya untuk kuliah dan hidup mandiri di Bandung. Awalnya papanya menolak, tapi berkat bantuan mamanya akhirnya Awan pun diizinkan untuk pindah dan melanjutkan studi nya di Bandung. Dari sinilah hidup Awan berubah seratus delapan puluh derajat. Dia yang terbiasa dengan segala fasilitas dari sang ayah, dia harus menanggalkan semuanya. Memulai segalanya dari nol. Bertemu dengan
Awan menyusuri lorong Rumah Sakit Peduli Kasih dengan tergesa-tega, setelah perawat menyebutkan nomor kamar yang di tempati Raya. Tanpa berfikir panjang dia langsung menghampiri Meisya yang sedang sibuk dengan ponselnya di depan ruang rawat Raya. "Bagaimana keadaan Raya?" Tanya Awan tergesa-gesa. Hampir saja dia menerobos pintu ruang rawat Raya jika Meisya tidak segera menghadangnya. "Dia sedang tidur. Kau siapa nya Raya? Aku gak pernah lihat kau sebelumnya." Tanya Meisya sambil mengerutkan keningnya. Seingatnya Raya tidak punya saudara atau bahkan teman pria diluar kantor. Jika teman-teman kantor dia sudah pasti mengenalnya. Awan tersadar seketika, dia membuang nafas kasar sebelum menjawab pertanyaan Meisya. "Herlambang, dari departemen keuangan." Jawab Awan. "Bagaimana dengan Raya? Kenapa dia bisa pingsan?" Tanya Awan kembali, dia benar-benar merasa khawatir sekarang. Jika tidak mengingat ada Meisya disini, mungkin dia akan langsung masuk kedalam. "Asam lambung." Jawab Meisya
Raya termangu melihat seorang wanita setengah baya yang tujuh tahun terakhir tak pernah ditemuinya. Seorang wanita yang selalu menganggap nya sebagai putri kandungnya. Kini wanita itu berdiri tepat di depan pintu ruang rawat nya. "Ma... mama?" Panggil Raya sambil menitikkan setetes cairan bening di matanya. Seluruh kerinduannya seakan ikut tumpah bersama titikan air yang kian menderas di pelupuk matanya. Wanita yang di panggilnya mama itu langsung mendekati Raya dan memeluk erat tubuh gadis itu. Menghujani wajah gadis mungil itu dengan kecupan-kecupan yang sedikit agresif membuat Raya kewalahan menahan kepalanya agar tak kesana-kemari seperti bola pingpong. Kemudian dia berhenti setelah melihat Raya yang sudah berantakan akibat ulahnya sedang menatapnya bingung. "Mama dikabari sama Bunda, kalau kamu masuk rumah sakit. Kebetulan mama ada acara arisan disini. Jadi mama langsung nyamperin kamu." Jelas mama Awan yang menyadari arti tatapan dari Raya. Tadi pagi setelah dia mendapat izin
Mama Awan menunggu kalimat selanjutnya dari Raya dengan penuh harap. "Dia apa kabar, ma?" Tanya Raya ragu-ragu. Dia penasaran, malu, juga ada rasa takut jika menanyakan kabar Awan sekarang. Dia penasaran, seperti apa rupanya seorang lelaki yang selalu dia rindukan itu. Dia malu, karena harus bertanya langsung kepada mama yang bersangkutan yang notaben nya mengetahui masa lalu mereka. Dia takut, jika dia mendapati kenyataan bahwa sudah ada orang lain yang menggantikan posisinya di hati Awan. "....." Mama Awan kehabisan kata-kata. Dia pikir Raya akan sedikit menyadari keberadaan Awan dalam sosok Herlambang. Ternyata dia berharap terlalu tinggi. Di gedung RK CompanyTampak mama Awan baru saja tiba dan langsung berjalan menuju ke lift setelah disambut oleh Albert di depan pintu utama atas perintah Awan. "Halo, tante. Apa kabar?" Sapa seorang wanita muda dengan mengenakan pakaian kursng bahan. Lelaki hidung belang pasti akan langsung meneteskan liurnya jika melihat wanita itu. "Ngapai
"Papa!" Teriak seorang gadis kecil berusia enam tahun, begitu melihat Awan memasuki pintu utama gedung RK. Sejak pukul tujuh anak itu sudah berada disana, duduk manis di sofa sambil memainkan gadget nya. Sesekali dia melirik ke arah pintu utama menantikan kehadiran Awan disana. Teriakan gadis itu tak dihiraukan oleh Awan, dia terus saja melangkahkan kaki nya hingga akhirnya gadis kecil itu berlari mendekatinya dan memeluk erat sebelah kaki nya. Membuat langkah nya terhenti. "Papa! Kenapa papa tidak mendengarkan ku?" Tanya gadis itu sambil memanyunkan bibirnya dan melepas pelukannya di kaki Awan kemudian menyilangkan kedua tangannya di dada. Awan yang tidak merasa itu adalah dirinya, hanya diam tanpa bereaksi apapun. Kemudian Albert maju ke depan, dan berbicara dengan lembut kepada gadis itu. "Dimana ibu mu?""Disana!" Seru anak itu sambil menunjuk ke arah wanita yang sedang berdiri di depan receptionis. "Ada apa sayang?" Tanya wanita itu mendekat, dan memeluk tubuh mungil putriny
Hari ini adalah pertama Raya masuk kerja setelah cuti tiga hari karena dirinya harus dirawat dirumah sakit. Selama tiga hari itu pula, mama nya Awan selalu menemani dan menjaganya. Hingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi dalam diri Raya bahwa Awan akan menerima nya lagi jika saja mereka bertemu. Namun sepertinya Raya harus mengubur dalam-dalam segenap fikirannya itu. Sebab hari ini dia kembali di hadapkan kepada kenyataan yang sangat mengejutkan bathinnya. Herlambang yang perlahan mulai masuk ke dalam hatinya dan diterima dengan baik didalam sana sebagai seorang teman, ternyata adalah Awan. Orang yang selalu dia rindukan dalam tujuh tahun terakhir. Betapa bodohnya dia tidak menyadari ini sejak awal. Memang tampak sedikit perbedaan, Awan yang ada dalam ingatannya adalah seorang anak SMA dengan tubuh sedikit berisi, namun tidak terlalu gemuk, berkulit putih, bentuk wajah oval, dan potongan rambut cepak yang di sisir ke atas gaya khas anak SMA. Sedangkan lelaki yang mengaku b