Sedih, hati Lina terasa hancur, dia tidak pernah menginginkan malam pertamanya seperti ini. Sambil menahan Isak Lina hanya dapat menatap langit-langit kamarnya sambil menggigit bibir bawahnya.
Sementara Reynaldi sudah turun dari ranjang mewahnya, dengan peluh yang masih menetes di pelipisnya. Pria itu hanya diam dan segera mengenakan pakaiannya. “Mulai sekarang, kau tinggal disini! Ini kamar mu! Jangan mengganggu hidupku. Aku akan datang jika aku memerlukanmu. Lakukan saja kewajibanmu,” ucapnya dingin, sangat dingin sampai membuat ngilu hati Lina. Tanpa perasaan pria itu berlalu pergi meninggalkan kamarnya begitu saja. Sementara Fanny yang tau apa yang terjadi di kamar madunya, terduduk di sofa di dalam kamarnya dengan tangan yang mengepal. Sesekali memukuli meja rias tanpa disadari. Fanny tidak bisa tidur. Meskipun semua yang terjadi adalah rencananya. Tapi tetap saja dia cemburu. "Sial! Sial!" gumamnya sambil memijit kepala yang dipenuh dengan bayang-bayang suaminya sedang tidur dengan wanita lain. “Dia suamiku, dan dia milikku! Dia akan menjadi milikku selamanya,” gerutunya berusaha meyakinkan perasaannya sendiri. Hari berlalu, seiring berjalanya waktu, ada sesuatu yang berubah dalam rumah tangga mereka. Lina, yang awalnya dianggap hanya sebagai alat untuk melahirkan keturunan mereka, mulai menarik perhatian Reynaldi. “Apa yang kamu lakukan, apa tidak ada yang bisa kamu lakukan selain duduk diam disitu?” ujar Reynaldi perhatian, walau sikapnya masih terkesan dingin. "Ma-maaf," lirih Lina. Membuat Fanny muak, apalagi terkadang Fanny melihat tatapan suaminya pada Lina selalu berbeda saat mereka sedang makan bersama di meja makan. Tak hanya itu, Fanny juga melihat ada gelagat aneh pada suaminya. Tatapan itu. Tatapan yang dulu hanya diberikan kepadanya. Kini mulai diserahkan dengan sukarela pada Lina. Betapa gelisahnya Fanny saat ini. Ia menyadari kalau suaminya melihat Lina bukan hanya alat pencetak keturunan. Tatapannya berbeda, dan semakin hari semakin berbeda. Sudah cukup membuat Fanny merasa takut kehilangan suaminya. Dia cemburu. Hingga akhirnya, Fanny memutuskan bahwa skenario ini tidak bisa dilanjutkan, Fanny mulai membuat skenario jahat untuk Lina. Yang penuh dengan tipu muslihat yang keji. “Ini tidak bisa dibiarkan, dia harus diusir!” Nyala sudah api cemburu dalam hatinya. “Aku harus membuat skandal, agar perempuan kampung itu diusir selamanya dari rumah ini," gumamnya. Suatu malam, ketika Reynaldi pulang larut malam dari perusahaannya. Fanny sudah menunggu di kamarnya, dengan wajah pucat yang dibuat-buat dan air mata yang terus mengalir. “Ada apa, aku lelah, jangan buat masalah lagi dengan Lina?” tutur Rey dengan suara lelah. “Aku tidak bisa mengatakan ini, tapi aku … tidak bisa diam saja,” lirih Fanny membuat Rey mengerutkan kedua alisnya. Reynaldi menatap kearah Fanny dengan tajam dan dingin. “Katakan! Ada apa?!” Fanny berusaha membuat ekspresi yang meyakinkan. “Aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Lina, Aku melihatnya sedang bersama seseorang, di kebun belakang. Mereka, bercumbu! Mereka sangat tidak tahu malu!” Ekspresi wajah Reynaldi berubah seketika. Kedua pupilnya melebar, keningnya berkerut, dan bibirnya terkatup rapat dengan kedua tangan mengepal di kedua sisi tubuhnya. “Siapa? Katakan!” desis Reynaldi. “Dengan Umar! Satpam rumah kita yang masih muda dan tampan! Lina itu memang tidak tau diuntung, dinikahi pria mapan, memilih yang tampan! Ini mencoreng keluarga kita, Sayang!” tangis Fanny yang tampak hancur dan sangat meyakinkan. Suasana sejenak lengang, hanya keheningan yang menyelimuti. “Apa kau yakin? Kau tidak salah lihat, kan?” tanya Reynaldi sekali lagi dengan menatap ragu. “Aku pun tidak ingin percaya, tapi aku melihat semuanya sendiri. Mereka duduk berdekatan, lalu mereka berbisik, berpelukan, lalu mereka berciuman. Menjijikkan,“ ujar Fanny berusaha meyakinkan suaminya Wajah Reynaldi memerah, nafasnya memburu, bukan karena cemburu, pikirnya. Tapi karena marah, dia merasa harga dirinya diinjak-injak. “Dimana mereka?” tanya Reynaldi, suara bergetar. “Di taman belakang,” jawab Fanny. Reynaldi langsung melangkah ke taman belakang rumah. Lina saat itu memang berada di taman belakang rumah. Dia sedang menatap bintang yang ada diatas langit, Hatinya sedang rindu pada kedua orang tuanya, juga adik-adiknya. “Brak!” Reynaldi membuka pintu pembatas rumah dengan kasar. Wajah pria itu terlihat sangat marah. Lina belum pernah melihatnya seperti itu. “Masuk kamu!” perintahnya kasar. Lina yang masih kebingungan, malah bertanya. “Ada apa?” “Aku bilang masuk!” bentak Reynaldi membuat Lina terjingkat. Tidak punya pilihan, Lina mengikuti suaminya masuk ke dalam rumah. Sampai di dalam, Fanny melihat ke arahnya dengan senyum sinis dan puas. Reynaldi yang melangkah lebih dulu membalikkan badannya. “Kau selingkuh!” “Apa?” Lina terkejut, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. “Ya, Kau berselingkuh dengan satpam. Memalukan! Tidak tahu diuntung!” desis Rey menatap jijik istri keduanya. “Aku tidak pernah melakukan hal itu!” jawab Lina sambil menggeleng lemah. “Jangan berbohong! Masih mau mengelak!” bentak Reynaldi tanpa ampun. “Mana mungkin aku melakukan hal memalukan itu!” Lina berusaha membela diri “Fanny jadi saksi! Dia melihatnya sendiri! Kau membuat malu! Kau mencoreng wajahku, di rumahku sendiri!” cecar Reynaldi berkata kasar. Air mata Lina mulai berjatuhan. “Aku tidak melakukannya, aku bersumpah!” Hati Reynaldi sudah gelap, tertutup dengan segala tipu muslihat Fanny. Tanpa rasa iba, Reynaldi menarik tangan Lina kasar, dan menyeretnya hingga ke pintu utama. Lalu mendorongnya hingga tersungkur jatuh dilantai. “Keluar dari rumah ini! Jangan pernah kamu berani menampakan wajahmu di depan aku lagi! Cuh!” Dengan keji Reynaldi berkata sambil meludahi wajah Lina. “Tolong dengarkan aku! Aku tidak pernah berselingkuh! Bahkan aku tidak pernah bicara dengan siapapun di rumah ini.” Lina berusaha melepaskan tangannya sambil terus menangis. Tapi Reynaldi tidak peduli, tatapannya penuh kebencian. Kasar, dia dorong tubuh Lina keluar dari pintu. Membiarkan Lina jatuh di ubin keramik yang berkilau dan dingin. Malam itu hujan turun, Membasahi tubuh Lina yang masih duduk tersungkur di ubin teras, menatap wajah Reynaldi dengan penuh kebencian. “Kenapa kau begitu percaya dengannya, tapi tidak sedikitpun percaya padaku?” lirihnya hampir tidak terdengar. Mendengar itu Fanny tersenyum sinis. “Terang saja dia percaya padaku, karena aku sudah mendampinginya bertahun-tahun. Apa yang kau harapkan? Dia mempercayaimu? Jangan ngimpi, Lina!” Reynaldi segera menutup pintu rumahnya dengan kasar dan meninggalkan Lina basah kuyup kehujanan di luar rumah. Di balik pintu Fanny tersenyum puas, karena rencananya berhasil. Sementara Reynaldi masih menyimpan amarah yang belum tuntas. Masih ada satpam rumahnya yang harus diberi pelajaran. “Awas kamu, ya! Aku bukan hanya memecatmu, tapi akan kubuat hidupmu tidak tenang,” desis Reynaldi penuh ancaman. "Suruh satpam itu, besok menghadap padaku!"Jantung Nayara berdegup tak beraturan, berdetak seperti genderang perang yang tak pernah reda. Tiket dalam genggamannya terasa dingin, namun sensasi dingin itu tak sebanding dengan kekalutan yang membanjiri benaknya. Faint, dengan tenang, merangkul bahunya, seolah mencoba menyalurkan sebagian ketenangan dirinya ke dalam tubuh Nayara yang gemetar. Pesawat menuju Jakarta baru saja mengudara, membawa mereka melintasi batas-batas benua, menjauhi hingar-bingar kota tempat mereka hidup, menuju sebuah realita yang tak pasti.“Kamu sudah minum obat penenang yang kuberi?” Faint bertanya, suaranya lembut, namun penuh perhatian. Matanya menatap Nayara, mencoba membaca setiap gejolak di balik iris mata Nayara yang tampak berkaca-kaca.Nayara menggeleng pelan. “Tidak perlu. Bukan tentang menenangkan diri, Faint. Ini tentang menghadapi. Aku harus menghadapi semua sekarang.” Kata-katanya keluar dengan nada yang lebih tegas dari yang dia duga, seolah meyakinkan dirinya sendiri leb
Jantung Nayara berdegup tak beraturan, berdetak seperti genderang perang yang tak pernah reda. Tiket dalam genggamannya terasa dingin, namun sensasi dingin itu tak sebanding dengan kekalutan yang membanjiri benaknya. Faint, dengan tenang, merangkul bahunya, seolah mencoba menyalurkan sebagian ketenangan dirinya ke dalam tubuh Nayara yang gemetar. Pesawat menuju Jakarta baru saja mengudara, membawa mereka melintasi batas-batas benua, menjauhi hingar-bingar kota tempat mereka hidup, menuju sebuah realita yang tak pasti.“Kamu sudah minum obat penenang yang kuberi?” Faint bertanya, suaranya lembut, namun penuh perhatian. Matanya menatap Nayara, mencoba membaca setiap gejolak di balik iris mata Nayara yang tampak berkaca-kaca.Nayara menggeleng pelan. “Tidak perlu. Bukan tentang menenangkan diri, Faint. Ini tentang menghadapi. Aku harus menghadapi semua sekarang.” Kata-katanya keluar dengan nada yang lebih tegas dari yang dia duga, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari Faint.Faint
Kelegaan terasa menusuk hingga relung terdalam jiwanya, memecah kepompong ketidakpastian yang selama berbulan-bulan melilit. Nayara membiarkan kuasnya menari di atas kanvas, setiap sapuan warna menjadi refleksi dari gejolak batin yang akhirnya menemukan ketenangan. Lukisan potret seorang wanita dengan senyum samar dan mata penuh rindu tercipta di sana, bersanding dengan untaian kata dalam surat yang menyuarakan pengakuan. Udara dingin Paris malam itu seolah menghangat oleh keputusan yang teguh.“Aku akan kembali ke Jakarta, aku juga akan kembali pada Mama dan Papa. Akan aku hadapi semuanya. Aku tahu sekarang, aku harus apa.” Gumam Nayara, suaranya pelan namun mantap, seolah setiap kata adalah janji yang ia ukir untuk dirinya sendiri. Hatinya yang sempat retak kini berangsur utuh, kepingan-kepingan realitas telah ia susun menjadi sebuah peta jalan. Esok adalah hari baru, sebuah lembaran yang akan ia isi dengan keberanian.*Sore merayap perlahan, mewarnai langit Paris dengan gradasi ji
Setelah berperang dengan pikiran dan perasaan nya, akhirnya Nayara memutuskan untuk kembali ke Jakarta, meskipun waktu untuk magangnya di Paris belum selesai. “Aku akan kembali ke Jakarta, aku.juga akan kembali pada Mama dan Papa. Akan aku hadapi semuanya. Aku tahu sekarang, aku harus apa.” gumam nya malam itu setelah melukis dan menulis surat buat Emely ibu kandungnya.***Sore menjelang gelap, Nayara menunggu, Emily Nayara di sebuah cafe kecil, Tidak terlalu lama Nayara menunggu, akhirnya wanita paruh baya itu pun datang, dari kejauhan Nayara melihat senyum itu. Wanita dengan kulit seputih susu, rambut ikal berwarna terang, digelung asal. Penampilan nya yang sangat sederhana tapi tetap cantik dan berkelas. Sesaat Nayara berpikir dan bicara dalam hatinya,” Kulitnya sama persis seperti ku, bola matanya itu milikku, tapi senyum nya tidak seperti ku. Apa senyumku mirip dengan suaminya. Papa kandung ku.” “Sudah lama kamu menunggu, sayang?”sapanya dengan hangat.Nayara bangun dari du
Sore itu, Langit Paris diselimuti warna orange tembaga.Galeri tempat Nayara magang dan mencari ilmu mengadakan pameran kecil.Karya-karya lama, dari seniman yang menghilang, di pameran kan lagi disini. Salah satunya lukisan dengan nama pelukis yang sama di bawahnya. Emily Nayara. Seorang pelukis yang sama yang Nayara temukan waktu itu di galeri Tuan Zack di Yogyakarta.Dan sore itu saat pengunjung mulai berdatangan. Nayara Melihat seorang wanita mematung di depan lukisan itu.Wanita itu mengenakan baju mantel berwarna coklat , dengan syal tebal melilit di lehernya. Rambut coklatnya di kuncir satu sederhana tapi terlihat sangat cantik.Tapi ekspresinya seperti melihat hantu, Air matanya mengalir diam-diam. Sesekali dia mengusapnya dengan tissue.Nayara mendekat dan berkata dengan lembut….“Apakah madam mengenal pelukis nya.”Wanita itu menoleh, mata mereka bertemu, Mereka diam, ada keheningan yang aneh. Hingga akhirnya tatapan wanita itu lembut, tapi juga tajam, seolah ingin mencari
Sebulan sebelum berangkat ke ParisYogyakarta,musim hujan. Hujan mengguyur kaca galeri dengan suara halus, tapi terus menerus. Sampai seluruh debu di kaca galeri luruh dan hilang.Nayara tengah membersihkan ruang arsip, tepatnya di lantai dua galeri Tuan Zack.Membantu Faint menyortir lukisan lama yang belum sempat dipamerkan.Diantara lukisan tua yang sudah terlihat usang dan berdebu, ada satu lukisan yang menarik perhatian nya. Lukisan seorang wanita muda dengan.gaun berwarna biru langit. Tengah duduk di samping bunga mawar merah yang lebat dan berduri.Wajahnya sendu, sorot matanya seperti menyimpan luka yang dalam.Tertulis di bawah lukisan..“Emily Nayara 2007” “Emily?” jantungnya berdegup dengan kencang. Dia bingung kenapa nama itu persis dengan nama ibu kandungnya. Yang tidak sengaja dia dengar saat kedua orang tuanya sedang berbicara di ruang kerja ayahnya.Faint yang berdiri tak jauh dari sana menjelaskan dengan rinci pada Nayara.“Itu salah satu lukisan lama dari salah sa