Share

9. Keputusan Ayana

Pikirkanlah dengan matang tentang yang akan kalian ucapkan. Jika tidak ingin menyesal dikemudian hari.

-Puteri Ayana

Gedung pencakar langit memang selalu membuat takjub bagi mata-mata yang melihatnya. Begitu juga yang kini Ayana rasakan saat kakinya dengan sempurna menginjak kantor milik Tuan Besarnya.

Disambut oleh beberapa pria berjas hitam elegan, Ayana tampak canggung dan merasa tidak nyaman. Namun, saat tungkainya mengayun memasuki kantor besar itu, ia seperti tersihir dan tidak berhenti berdecak kagum.

Baru kali ini ia bisa memasuki gedung bertingkat, melihat interior dan beberapa robot pajangan seketika membuat Ayana seperti gadis udik yang baru masuk kota.

Ia tidak tahu seberapa kaya Daniel hingga memiliki gedung yang luar biasa seperti ini. Para karyawan yang tampak sedang berlalu lalang, menunduk dan memberi hormat pada Ayana.

Gadis itu tentu saja membalas dengan senyum manis. Andai saja ia seorang sarjana, mungkin Ayana sudah seperti karyawan di kantor sang majikan. Lantas saja ia merasa iri karena hanya menjadi sebagai Pesuruh.

"Nona?"

Ayana menoleh dan tersadar bahwa ia berhenti cukup lama menelisik lantai bawah perusahaan milik Daniel. Untung saja tidak ada Daniel di sampingnya, pasti lelaki itu akan mengejeknya kampungan jika melihat bagaimana wajah Ayana terpesona.

Gadis itu tersenyum canggung. "Maaf!"

Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai Mark membalas senyum Ayana. "Ayo Nona, saya antar ke ruangan Pak Daniel," ajaknya.

Ayana hanya mengangguk saja dan mengikuti ke mana lelaki tampan itu membawanya. Ia juga penasaran di lantai berapa ruangan kerja sang majikan. Atau malah Daniel tidak memiliki ruangan kerja sama sekali. Sebab, ia tidak pernah melihat lelaki itu keluar dari kamarnya. Jika mempunyai ruangan di kantor ini, pasti hanya akan berdebu karena tidak pernah ditempati.

Sayang sekali rasanya, andai ia yang memiliki gedung ini. Ia pasti tidak akan melewatkan sehari pun tanpa berada di kantor. Tapi dia Ayana, bukan Daniel yang kaya raya.

Setelah cukup lama berada di dalam lift, pintu terbuka. Mark terlebih dulu keluar, lalu diikuti Ayana dan beberapa pria berjas di belakangnya. Ia tidak sempat melihat di lantai berapa kini berada, ia ingin menjaga wibawanya selama menjadi Daniel. Ia hanya akan terlihat norak jika celingak-celinguk melihat tombol lift.

"Nona, ini adalah ruangan desain. Kami sedang mengembangkan sebuah proyek besar. Jika tidak keberatan, Nona bisa melihat dan memberikan saran." Mark berhenti tepat di pintu ruangan yang tertulis 'Designer Room'.

Lagi, Ayana merasa takjub melihat para karyawan yang sibuk dengan kertas-kertas di meja. Matanya dengan mudah melihat aktivitas karyawan di kantor itu karena penghalangnya bukanlah dinding dari semen, melainkan kaca tebal yang bening.

Luar biasa kantormu, Tuan!

"Nona, bagaimana? Apa kau ingin masuk?" tanya Mark karena Ayana hanya diam saja.

"Tidak perlu. Aku rasa Tuan... maksudku Daniel sudah cukup memberikan banyak saran," ucap Ayana tegas.

Ia hanya datang sebagai wakil Daniel, bukan datang sebagai pemilik perusahaan sesungguhnya. Ayana juga tidak perlu tahu proyek besar dari kantor itu, hanya akan membuatnya semakin terlihat bodoh jika ia mencoba masuk dan memberikan saran dengan otak pas-pasan yang dimilikinya.

"Baik Nona!" ucap Mark lembut.

"Bisakah kita segera ke ruangan pertemuan saja?" pinta Ayana.

"Rapat dimulai tiga puluh menit lagi, Nona. Beberapa pemegang saham masih di jalan," beritahunya.

"Aku akan mengantarmu beristirahat terlebih dulu, silakan." Mark mempersilakan Ayana mengikutinya.

Tidak cukup banyak langkah yang dilakukan Ayana hingga berada di depan sebuah ruangan yang bertuliskan 'Chief Executif Officer. Daniel Hamilton'.

"Selamat siang Ibu Ayana," sapa seorang wanita berjas hijau senada dengan rok sepaha.

Wanita itu dengan cekatan menempelkan sebuah kartu ke layar kecil hingga terdengar bunyi pintu terbuka.

"Silakan masuk Ibu Ayana," ucapnya.

"Terima kasih." Hanya itu yang Ayana ucapkan.

Mark langsung menuntunnya masuk ke dalam ruangan Daniel, jika ia sudah melihat bagaimana indahnya setiap ruangan yang dilewatinya. Untuk ruangan sang CEO, ini lebih dari indah. Tampak berkelas, elegan dan menakjubkan. Ternyata tidak ditempati oleh Daniel, tidak lantas membuat ruangan itu tak terawat seperti pikirannya. Malah ruangan itu sangat bersih dan bebas dari debu.

"Nona, silakan duduk. Beristirahatlah dulu, aku akan kembali nanti." Mark meminta Ayana duduk di sofa.

"Terima kasih, Mark!" ucap Ayana seraya duduk.

Setelah itu, Mark bersama pria berjas yang mengikutinya memberi hormat lalu pergi meninggalkan Ayana sendirian.

Ayana bernapas lega saat ia tidak melihat lagi orang-orang penting di kantor itu. Jantungnya berdetak cepat, menjadi Daniel ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia harus bersikap tegas, tidak grasak-grusuk dan tetap santun.

Tentu, itu bukan karakter Ayana. Yah, lebih baik jadi orang biasa saja. Daripada harus jadi orang kaya yang penuh kepalsuan. Itu hanya menurut Ayana setelah melihat bagaimana sifat asli Tuannya yang kekanak-kanakan. Hanya elegan ketika di depan banyak orang.

Baru saja Ayana ingin bersender di sofa, dering ponselnya berbunyi. Cepat-cepat ia merogoh sakunya dan mendapati Daniel yang menelpon.

Gadis itu lalu menggeser tanda telpon berwarna hijau ke samping kanan. "Halo."

"Ay, bagaimana? Apakah Mark mengantarmu dengan selamat?"

"Iya." Ayana mendengus kesal.

"Bagaimana menurutmu kantorku? Apakah terlihat mahal? Kau pasti sangat takjub dan tidak bisa berkata-kata. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah bodohmu bereaksi."

Ya Tuhan, kenapa Tuannya itu hanya memikirkan ketakjuban Ayana akan kantornya? Tidakkah ia tahu bagaimana perasaan Ayana sekarang?

"Tidak perlu basa-basi, Tuan Besarku. Ada apa?" tanya Ayana.

"Ruanganku tampak mewah, kan. Aku hanya menghamburkan seupil uangku untuk ruangan itu."

Dasar sombong, bisakah Tuannya itu berhenti mengoceh? Sungguh Ayana jengkel sekali mendengarnya.

"Tuan, aku ini sangat lelah. Bisakah kau matikan telponnya saja?"

"Ay, bisakah kau pulang saja dulu? Punggungku gatal dan aku terlalu lelah untuk menggaruknya sendiri."

"Dasar gila!" Ayana memutuskan panggilan Daniel.

***

"Ibu Ayana, bagaimana kau akan menangani hal ini?"

"Pernikahan itu bukan untuk main-main!"

"Nilai saham terus menurun, jika tidak ada solusi. Saya akan menarik semua saham di perusahaan ini dan meminta ganti rugi."

Ayana sungguh pusing mendengar protes dari orang-orang yang menghadiri rapat. Sudah hampir satu jam rapat terlaksana, tapi  ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata untuk menenangkan orang-orang di ruangan itu.

Hanya diam dengan wajah pucat pasi dan keringat yang membasahi keningnya meski ruangan itu sudah sangat dingin oleh AC.

Mark yang duduk di sebelahnya juga bingung harus berkata apa, Ayana sama sekali tidak memberikan kode apapun untuk meminta bantuannya. Ia tidak mungkin asal berkata jika tidak ada perintah dari Bosnya.

Setelah berpikir cukup lama, Ayana menarik napas dalam. Diam berlarut-larut hanya akan membuat situasi semakin runyam. Ia harus segera menyelesaikan kenyinyiran para pemegang saham.

"Pernikahan kami bukan main-main!" tegas Ayana dan membuat para pemegang saham yang semula riuh kini diam. Fokus mereka kini tertuju pada Ayana.

Ayana mengembuskan napasnya pelan. "Kami membatalkan pernikahan bukan karena kami tidak jadi menikah. Hanya saja, calon suamiku sedang sakit. Ia harus dirawat beberapa bulan."

Tidak ada ide lain lagi yang terpikirkan oleh Ayana. Mungkin ide sakit tentang Daniel, akan lebih efektif membungkam para pemegang saham.

"Kami akan tetap menikah setelah Daniel sembuh. Saya janji, akan mengumumkan berita ini agar saham kalian tidak akan menurun lagi. Kami bukan tidak ingin memberitahu berita sedih ini, kami hanya ingin perusahaan berjalan aman."

Entah pembicara cerdas siapa yang merasuki Ayana. Yang penting saat ini menyelamatkan majikannya dulu dari para petinggi bermulut lambe.

"Saya tahu, hal ini mungkin mengagetkan kalian. Tapi sakitnya Daniel tidak akan mempengaruhi keproduktifan perusahaan ini. Jadi, saya harap Bapak dan Ibu mengerti dengan kondisi ini." Sungguh Ayana merasa takjub dengan dirinya sendiri.

Ayana berdiri. "Maaf membuat kalian panik. Saya janji akan memperbaikinya. Beri saya waktu seminggu. Hari ini Daniel akan mulai menjalani terapi, jadi saya harus segera pulang dan menemaninya."

"Baiklah Bu Ayana, kami akan memberi waktu kepada Anda. Dan kami juga akan berdoa untuk kesembuhan Bapak Daniel," ucap pria berkacamata yang  Ayana perkirakan seumuran Tuan Hamilton.

Ayana tersenyum hangat. "Terima kasih, saya permisi kalau begitu." Ia kemudian melangkahkan kakinya keluar menuju pintu belakang ruangan rapat. Mark dengan cepat mengikutinya.

Bagaimana aku akan menjelaskan hal ini dengan Tuan Besar?

Ya Tuhan, kenapa aku malah mengatakan akan menikah setelah Tuan Besar sembuh? Ide gila apa yang sudah kulakukan?

"Mari saya antar pulang, Nona!"

"Baik." Tubuh Ayana lemas tak berdaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status